RAIN : 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading!
***

Wonwoo sempat menyesali keputusannya pulang ke rumah terlalu cepat dari biasanya. Bila tahu hal tidak mengenakkan yang akan dia hadapi, sudah pasti dia akan menawarkan diri untuk membantu Woozi menata barang-barang di minimarket. Atau kalau sangat terpaksa, dia akan bermain-main sebentar dengan beberapa anak payah yang uangnya bisa dia ambil.

Jungkook tadi menelepon, meminta bertemu secara empat mata. Itu hal yang hampir mustahil terjadi. Seorang Min Jungkook tidak akan mungkin menghubunginya terlebih dulu bahkan jika ia sekarat. Itu hal terbodoh yang membuat Wonwoo langsung melesat begitu jam kerja paruh waktunya baru akan berakhir sepuluh menit lagi. Beruntung, Woozi datang lebih awal. Sayangnya, hal itu berujung sia-sia dengan seulas senyum kecut yang tersemat di bibir. Jungkook tidak benar-benar berniat bertemu dengannya. Pemuda itu bahkan tidak menampakkan diri sama sekali dan hanya mengirim sebuah pesan singkat yang berisi, "Enyah saja. Aku tiba-tiba tidak berselera."

"Wah, seharusnya kau tidak melakukan ini padaku." Dan itu yang digumamkan Wonwoo dengan tangan terkepal kuat hingga gerahamnya saling bergesekan. Matanya merah dan lembap karena kecewa. Untuk apa juga dia merasa begitu. Jungkook sudah dia buang beberapa tahun lalu, dan rasa peduli seharusnya tak lagi bersarang. Bahkan ketika sesal menerobos masuk, dia tak sudi memberikan izin. Sama saja, Jungkook tetap membencinya. Jadi, apa yang berubah?

"Kau pikir uang yang kau hasilkan sudah banyak? Huh? Melayani wanita setiap malam tidaklah cukup. Kau harus membawakanku lebih banyak dari ini."

Wajah Wonwoo mengeras tatkala beberapa lembar won digoyang-goyangkan di depan mukanya, kemudian di lempar begitu saja hingga tak sengaja mengenai mata. Perih langsung menyapa. Meski begitu, hatinya lebih perih lagi. Lembaran itu berhamburan di kaki. Tangannya mengepal kuat-kuat, tetapi dia masih diam saja.

"Kau mengabaikanku? Kenapa diam saja, berengsek." Tangan pria itu menampar pelan pipi Wonwoo berkali-kali. "Setidaknya katakan hal bagus yang bisa membuat suasana hatiku baik," sambungnya. Wonwoo masih diam dengan tangan siap melayangkan tinju. Sebisa mungkin menahan amarahnya agar tidak ikut meledak.

"Wah, kini kau benar-benar mengabaikanku. Ada apa dengan tanganmu itu? Mau memukul? Setidaknya bawalah banyak uang. Jangan bersikap sok keren dan diam saja. Jangan menyusahkan seperti bocah tengik itu."

Tidak, Wonwoo tidak boleh tersulut. Dia tidak ingin membuat keributan karena menghajar wajah ayahnya sendiri. Setidaknya, bukan hari ini. Dia terlalu malas meladeni pria yang sehari-harinya berbau alkohol tersebut.

Wonwoo hanya membungkuk sedikit, lalu berniat beranjak dari sana. Telinganya tak ingin lebih jauh mendengar hal yang ingin dia dengar. Apalagi ketika ayahnya itu mulai menyahut Jungkook dalam pembicaraan mereka.

"Apa dia masih hidup?"

Langkah Wonwoo memelan pada anak tangga ketiga. Rahangnya makin mengatup. Urat di leher mulai menonjol pada lapisan kulit. Setelah sekian lama, kenapa juga baru bertanya sekarang?

"Atau sudah mati?" Pria itu tertawa, menggelegar di seluruh ruangan berbau alkohol tersebut. "Astaga, aku berharap dia punya nasib baik sebelum benar-benar mati," lanjutnya. Disahut botol soju di dekat sana yang masih sisa setengah, lalu diteguk sampai hampir tandas.

"Hentikan." Wonwoo berujar dengan suara rendah. Sirat kebencian terpancar jelas di wajahnya yang tegas dan marah. Bila besok dia harus masuk penjara, itu berarti dia sudah melakukan sesuatu yang tak seharusnya untuk menyumpal mulut pria tersebut.

"Sial. Kenapa aku harus membesarkan anak-anak tidak berguna macam kalian? Setidaknya jadilah berguna. Hasilkan uang yang banyak untukku. Bukannya menyusahkan seperti ini."

Mendengar itu, yang dilakukan Wonwoo hanya tersenyum mengejek dalam hati. Siapa yang sebenarnya tidak berguna, batinnya. Setelah membuat ibu mereka gila dan mati sia-sia, seharusnya pria itu tidak memiliki hak mengucapkan kata-kata itu dari mulut kotornya.

"Kalau bocah itu masih hidup, suruh dia melayani pelangganku, dan hasilkanlah banyak uang. Itulah yang harus dia lakukan untuk berterima kasih padaku karena telah membesarkannya."

Kali ini Wonwoo tidak bisa diam saja. Setelah menggertakkan giginya, dia berbalik lalu dengan kalap melayangkan sebuah tonjokan keras. Pria itu terhuyung. Botol sojunya jatuh, belingnya pecah, memburai di lantai. Panas menyelubungi dada Wonwoo yang kembang-kempis karena amarah. Dia hanya berharap ayahnya menutup mulut daripada mengatakan hal-hal yang membuat kesabarannya mengerut.

"BERENGSEK SIALAN KAU!" teriak pria tersebut. Tangannya menggapai sebilah kayu dari bawah meja, lalu menghantamnya di punggung Wonwoo yang hendak berbalik lagi.

Wonwoo memejam. Nyeri di punggung dia abaikan ketika ayahnya melayangkan pukulan berkali-kali. Lapisan bening di netranya nyaris leleh kalau tidak ditahan. Saat kayu tersebut hendak mendarat lagi, dia segera menahannya.

"Lepas! Kau pantas dipukuli!"

Wonwoo tidak mendengarkan. Tangannya tetap menahan bilah kayu tersebut, memutarnya, lalu melempar ke sembarang arah. Suara nyaring di lantai memekakan telinga.

"Jangan pernah sekali-kali Ayah melibatkan Jungkook lagi. Ayah sudah merusak dan membuangnya. Masih hidup atau sudah mati, jangan pernah menyentuhnya atau merasa penasaran sama sekali. Dia tidak ada hubungannya lagi dengan Ayah," geram Wonwoo. Setelah itu, dia memilih menjejakkan kaki keluar rumah. Tas sekolah masih menempel di punggung. Di luar gerimis turun tipis-tipis. Dia sama sekali tidak peduli ketika sang ayah meneriakinya dengan sumpah-serapah. Terdengar lemparan botol yang membentur pintu setelah dia membanting pintu.

Netra Wonwoo melebar, berusaha menahan kejut ketika didapati presensi seseorang di depan sana, berdiri di halaman rumahnya yang terbengkalai. Matanya yang berkilat-kilat sempat beradu pada tatapan orang tersebut. Wonwoo hanya berharap, kekacauan tadi tidak terdengar sampai luar.

"A-apa yang kau lakukan di sini?"

Jungkook balas menatapnya dengan cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata. Tangannya mengepal erat. Desisan kasar keluar dari mulutnya. Sedetik kemudian, kakinya memilih berbalik, menjauh dari sana.

"Ya! Tunggu sebentar!" Wonwoo berlari menyusul, menerobos gerimis yang perlahan berubah menjadi hujan.

"Jungkook-ah," tahan Wonwoo. Jungkook menatapnya intens, kemudian menyentak tangan pemuda Jeon tersebut dengan kasar.

"Lepas, sialan." Jungkook berujar rendah. Giginya saling mengerat, bergesekan dengan penuh amarah. "Dan jangan memanggilku seperti itu. Menjengkelkan."

"Ada apa kau kemari?" tanya Wonwoo alih-alih menanggapi perkataan Jungkook sebelumnya.

"Bukan urusanmu." Kakinya digerakkan lagi, mengambil langkah selebar dan secepat yang dia bisa. Wonwoo tentu tak akan diam. Lelaki itu berusaha menyejajarkan langkahnya.

"Kau masih mencurigaiku tentang orang-orang yang mengeroyokmu waktu itu?"

Jungkook berhenti. Hujan membuat hoodie yang melapisi seragam sekolah ikut basah, begitu juga Wonwoo yang kini telah kuyup. Kepalan pada tangan masing-masing masih bertahan.

"Aku tidak melakukannya. Sungguh. Kau bisa percaya padaku."

Seringaian terlukis di sudut bibir Jungkook. "Pecundang sepertimu tetaplah pecundang."

"Bahkan ketika aku bersumpah atas nama Tuhan sekalipun?"

"Tidak usah membawa-bawa Dia. Menyebut nama-Nya saja kau tidak pantas. Jangan berlagak bahwa kau tidak tahu apa-apa. Aku sudah muak, Jeon Wonwoo."

"Ya, tidak seharusnya kau bilang begitu." Entah kenapa Wonwoo merasa pertahanannya hari ini lemah sekali. "Aku memang pendosa. Aku sudah melakukan banyak hal buruk padamu. Tidak bisakah kau percaya padaku sekali ini saja? Aku memang berengsek, tapi aku masih punya nurani untuk menyayangimu."

"HENTIKAN, BERENGSEK!" Jungkook berteriak emosi. Dia tidak ingin mendengarkan Wonwoo lagi. Dia sudah menghilangkan rasa pedulinya pada lelaki tersebut sampai di titik di mana dia tak akan menyesal bila Wonwoo mati di depan matanya sendiri.

Belum sempat Wonwoo membuka mulut untuk membalas, Jungkook sudah menempelkan ponselnya di telinga. Netra mereka masih saling beradu sengit.

"Oh, hyung. Aku masih berada di luar—"

Wonwoo menyambar ponsel Jungkook cepat. Dia tahu, yang menghubungi Jungkook adalah Min Yoongi. Di saat seperti ini, mendengar nama atau suaranya saja rasanya agak menyebalkan.

"Jungkook-ah, kau mendengarku?"

Suara Yoongi terdengar dari sambungan telepon. Dengan emosi, Jungkook berusaha mengambil kembali ponselnya, tetapi Wonwoo segera mengakhiri panggilan secara sepihak. Sudut bibirnya tersenyum miring, sedang ponsel itu diperlihatkan pada Jungkook dengan ekspresi aku-bisa-melakukan-apa-pun-asal-kau-tahu.

"Apa maumu, sial!" geram Jungkook, lalu mengambil kembali ponselnya dari Wonwoo. Lelaki di depannya hanya bisa diam, entah merenungi apa. Namun, seringai di mukanya masih tersisa—yang sejujurnya ditujukan untuk dirinya sendiri.

Jungkook menatap Wonwoo sekilas sebelum mendial nomor Yoongi kembali. Tanpa peduli bagaimana lelaki itu menatapnya, ia berbalik, mengambil langkah agak tergesa sambil menerobos hujan.

"Oh, hyung. Maaf, tadi teleponnya terputus."

"Benarkah? Baiklah kalau begitu. Aku juga sedang ingin makan yang pedas."

Lamat-lamat Wonwoo bisa mendengar suara Jungkook. Pemuda itu bahkan sempat tertawa pelan saat membalas ucapan Yoongi, seakan emosi yang meluap tadi tidak pernah ada. Seolah semua perangai buruk itu hanya ditunjukkan ketika sedang bersamanya. Jujur saja, itu menyakitinya. Dia juga ingin tawa itu ada untuknya.

Wonwoo meremat pegangan pada tas punggungnya, berusaha menekan nyeri dan sesak yang menjalari hati. Kelopak matanya sudah penuh. Cairan yang ada di sana luruh perlahan.

Lelaki itu, Wonwoo, benar-benar membenci situasi ini.

***

To be continued ....

Yeay! Akhirnya bisa update lagi meskipun nggak sesuai jadwal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro