🕐 01 | Perhaps Secret Love

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hello, akhirnya bab pertamanya bisa diluncurkan. 1.566 kata, nih.

Bacanya sambil nyemil, biar enak.

18 November 2022
Australian Independent School
Jakarta, Indonesia

Sebuah bus yang menampung banyak siswa tersebut berhenti di area Pejaten tepat setelah memasuki wilayah sekolah yang didominasi olive green di depan pagar. Salah satu siswa dengan seragam beige dan celana panjang olive green melihat sekitarnya yang telah berbondong-bondong untuk turun dari ruangan sempit.

"Jaden, aren't you gonna leave now?" tanya siswa yang dikenalnya berkulit sawo matang.

"Later. You can go ahead first, Aba," katanya dengan santai, mendapatkan tepukan di bahunya sebelum teman seangkatannya itu duluan menuruni bus; menyisakan dirinya dengan seseorang di samping tengah tertidur bersandar di bahunya.

Siswa laki-laki yang dikenal dengan Jaden Lionel Adhitama itu melirik ke kiri dan tersenyum ketika melihat bulu mata lentik terpejam; bergerak sedikit untuk menyamankan posisi tidurnya.

"Cathania, bangun," kata Jaden lembut menepuk pipi sedikit berisi gadis tersebut, senyumannya enggan menghilang ketika melihat perempuan itu melenguh dengan mata yang berusaha terbuka sambil melihat sekitar dari jendela yang tembus.

"Bangun, sayang. Pak Amran bentar lagi mengomel kalau masih di sini, mau parkir mobilnya," ucap laki-laki dengan rambut yang menutupi dahinya dengan senyuman mautnya.

Sayangnya gadis tersebut tidak menyadarinya sama sekali; memilih menarik tas sekolah yang menjadi guling dan berdiri. "Ayo, Lion. Ke kelas. Ngantuk banget," gumam gadis tersebut yang mendorong paha Jaden dengan kakinya.

Pemuda kelahiran Maret itu bangun dan meletakkan tangannya di bahu gadis tersebut dari belakang untuk menuntunnya turun. Tidak melupakan mengucapkan terima kasih kepada Pak Amran yang duduk di kursi supir. Keduanya telah menjejakkan kaki di lapangan sekolah bertaraf internasional ini.

"Pasti bergadang lagi, kan? Ngerjain apa semalam? Jam berapa tidurnya? Pasti kemarin nggak ada orang di rumah, makanya kamu bisa bergadang, kan?" cecar Jaden dengan tegas membuat gadis yang memakai seragam beige dan rok warna hijau yang lebih gelap itu mencebik bibirnya kesal. Gadis yang dipanggil Cathania itu menepis tangan pemuda itu dengan bahunya sendiri. Kemudian berjalan lebih cepat, menaiki tangga.

Jaden melewati murid lainnya yang memakai seragam putih menandakan bahwa mereka masih belia di tahun ketujuh ataupun kesepuluh. Sedangkan yang menggunakan seragam beige berada di tahun kesebelas dan keduabelas.

Pemuda 180 sentimeter itu terkekeh ketika menyadari bahwa teman sebangkunya itu sedang kesal, berlari menghampirinya yang telah mencapai pintu kelas mereka. Kelas yang dihiasi dengan meja yang diisi oleh enam kursi di beberapa tempat dengan satu meja panjang di depan menjadi meja guru. Dinding kelas yang ditempel hasil kerja mereka selama ini.

"Say ... Naeva," katanya yang sempat berhenti ketika hampir memanggil gadis tersebut dengan kata 'sayang' seperti biasa yang dia lakukan di luar jam sekolah.

"Apa?"

Duh, jutek. Beneran marah, nih, batin Jaden yang meringis. Dia menghentikan gadis tersebut membuka pintu dan menariknya ke depan loker siswa di depan kelas.

"Apaan? Sudah di dalam sekolah, Jaden. Lepasin tanganku, ntar dilihat orang-orang lagi," ucap gadis kelahiran Desember itu ribut. Namun, tenaga pria selalu menang hingga gadis yang diberi nama Naeva Lotus Cathania itu diam, membiarkan sebelah tangannya masih digenggam pacarnya.

Jaden menurunkan wajahnya, mensejajarkannya dengan tinggi gadis yang lebih pendek itu. Wajahnya kentara khawatir, "Kamu kalau sudah tidak kuat bergadang, tidur. Kalau kamu sakit, yang ada semua orang makin risau. Sudah kelas 12, Naeva. Tahu sendiri, kan, IB Diploma Programme itu sulit?"

"Justru tahu. Makanya, kemarin aku lagi latihan buat essay sampai jam dua. Kebetulan Mama lagi nggak ada di Jakarta. Ke Bali karena kangen pacarnya," kata Naeva dengan matanya menukik kesal.

Jaden menebar senyumannya tiba-tiba membuat gadis itu semakin menatap tajam. Apa teman sebangkunya itu tidak tahu kalau dia lagi kesal dituding seperti itu?

"Iya, iya. Lain kali kalau mau latihan ngajak aku juga. Biar bergadang bareng sekalian ngawasin kamu supaya nggak kemalaman," kata Jaden yang melepaskan genggaman tersebut kemudian melewati Naeva untuk masuk kelas.

Tanpa tahu kalau gadis itu berdecak sembari senyum-senyum sendiri sebelum mengikuti jejak Jaden.

Memang yang disayangkan di sini hanyalah hubungannya dengan Jaden tidak bisa diumumkan. Karena, semua orang menuntut mereka untuk hanya fokus belajar demi jebol ke universitas ternama.

Naeva menyipitkan matanya yang berbentuk double eye-lid dengan netra berwarna coklat madu ketika melihat sosok lain duduk di bangkunya tersenyum melambai tangan ke arah Jaden tanpa rasa bersalah sama sekali.

Gadis Capricorn itu melangkah mendekati susunan mejanya di paling belakang di sudut kiri dengan susunan rak buku di belakang. Jaden hanya mengikutinya dan meletakkan tasnya sesekali menatap dengan tatapan awas ke Naeva yang berekspresi datar.

"Oh, Nae. Gue duduk di sini, ya? Mau minta Lion untuk ngajarin gue Mathematics. Lo kan tahu, teman lo ini da shen-nya," ucap gadis yang duduk di tempatnya dengan wajah polos dan mata yang berbinar harap.

*da shen = master dalam Bahasa Mandarin.

Dih! Mata lo minta ngajarin Mate, lo mau modusin Lion, kan? Dan, apa-apaan panggilan itu? Lo nggak dekat sama Lion sama sekali, seenaknya panggil dia gitu, batin Naeva yang melihat gadis berseragam sama dengan mereka memeluk buku modul tebal.

Naeva langsung meletakkan tas penuh beban di pangkuan gadis sok polos—begitu Naeva melabelinya—dengan senyuman manis, "Boleh. Kebetulan gue juga mau ke kantin, tapi setelah bel ini, lo balik ke tempat lo, ya. Gue juga perlu duduk soalnya, Sher."

Jaden yang melihatnya terkejut tanpa bersuara, tidak tahu bahwa gadis yang baru sebulan ini menjadi pacarnya bersikap seperti itu.

"Lo boleh kok duduk tempat gue. Nggak ada bayangan di papan tulis kalau duduk di sana," kata gadis bernama Sherya itu.

Naeva meletakkan sebelah tangannya di siku meja, "Nggak, deh. Gue tetap duduk di sini. Pelajaran pertama kan Biology, gue perlu Jaden untuk bantuin gue, Sher. Lo kan sudah mastering Biology." Tidak lupa dengan senyuman miring di wajahnya.

"Iya, Sherya. Gue sudah janji ke dia kalau mau bantuin ngajarin Biology," timpal Jaden yang buru-buru setelah menangkap sinyal tatapan maut kekasihnya.

"Okay, gitu aja, deh. Gue ke kantin dulu,' kata Naeva tersenyum penuh kemenangan. Lalu, melemparkan tatapan kepada gadis berkulit albino dan bersurai blonde duduk sendiri. "Louisa, do you want to go to the canteen with me?" tanyanya.

"Sure, Lotus. Let's go."

Naeva tersenyum merangkul lengan gadis berwarga kebangsaan Amerika seraya berjalan ke kantin. Bukan lagi semua pemandangan asing bagi mereka untuk melihat siswa dari negara yang berbeda, berbaur dengan mereka dengan Bahasa Inggris sebagai jembatan komunikasi.

"Lion, boleh ajarin gue yang tentang integral?" tanya Sherya yang membuyarkan pandangan Jaden ke pintu kelas yang telah tertutup menandakan kalau kekasihnya itu telah pergi dengan temannya.

"Ya? Oh! Boleh. Tapi, lain kali pakai Jaden saja. Nggak ada yang pernah panggil gue Lion, aneh soalnya," kata pemuda tersebut segera duduk dan mengambil pensil setelah memberikan sebuah alasan yang mungkin masuk akal. Sangat tidak mungkin mengatakan bahwa yang memanggilnya seperti itu hanya boleh Naeva seorang.

"Oh ..., okay, Jaden."

Jakarta, Indonesia
03.00 pm

Naeva tersenyum ketika mendengar bel sekolah diikuti dengan sang guru Bahasa Spanyol itu membubarkan kelas. "Lion, ayo pulang," katanya yang menarik ujung lengan seragam laki-laki di sampingnya dengan semangat.

"Pulang sekarang atau mau mampir dulu ke cafe?" tanya Jaden yang memasukkan bukunya ke dalam tas.

"Ck. Pulang. Mama sudah ngomong duluan ke pihak sekolah sampai minggu ini pakai bus sekolah," gerutu gadis itu mengambil tas sekolahnya, melihat temannya yang lain meninggalkan ruangan kelas satu per satu.

"Dekat rumah kamu ada cafe, kan? Mau ke sana?" tanya laki-laki tersebut lagi.

"Nggak pengen. Nanti malam, video call, ya. Ngajarin aku tentang Bahasa Spanyol tadi." Sepasang manik gadis tersebut terlihat berkaca-kaca berkilauan.

Jaden tersenyum mengacak rambut gadis di depannya, "Iya. Ayo aku mengantarmu di depan, tadi Aba nawarin main basket sebelum pulang."

Tapi, dahi pemuda tersebut mengerut ketika pacarnya enggan menjauhi meja kosong. Mata hitam gelap pemuda tersebut memastikan kondisi sekitar sebelum menarik tangan gadis tersebut dengan halus, "Kenapa, sayang?"

"Tadi pas pelajaran Mandarin, aku bisa jawab semua assessment-nya, loh, Lion," ucap Naeva dengan mata yang berbinar bahagia mengingat pelajaran kelima tadi.

Jaden tersenyum lebar penuh bangga, "Bagus dong. Pinter banget pacar aku."

Bukan itu. Bukan itu yang Naeva ingin dari pemuda di depannya.

"Ish! Jay," rengek gadis tersebut yang merengut kesal.

"Heum?" deham laki-laki tersebut yang sempat membuat Naeva kembali merasakan jatuh cinta. Namun segera sadar.

"Pat-pat-nya mana? Kan aku udah pinter kata Jay," ucap gadis tersebut yang menggembungkan pipinya.

Jaden tertawa menggelegar, merasa lucu dengan rengekan gadisnya ini. Dia mengambil selangkah lebih dekat ke gadis tersebut, mengulurkan tangannya ke atas, mengusap lembut rambut Naeva sayang, "Pinter banget, Cathania pacarku." Matanya lurus ke manik gadis tersebut.

Naeva berusaha menutupi senyumannya. Meskipun gagal, berusaha tidak bertingkah gila bersama dentuman jantungnya yang semakin kencang karena Jaden yang suka memberikan kalimat rayuan.

"Thank you. Boleh, ya, ikut nonton kamu main basket?" tanya Naeva yang kembali melemaskan bahunya karena Jaden menggeleng kepala menolak.

"Nggak, sayang. Kamu itu daritadi sudah cape makanya nggak konsentrasi sama materi terakhir hari ini, kan? Sudah, sekarang pulang, istirahat. Nanti jam makan malam, aku telpon untuk bangunin kamu." Jaden berusaha membuat Naeva memahami perasaannya.

"Janji, ya? Mau ice cream."

Jaden mengangguk, "Iya, janji. Ice cream-nya nanti setelah kamu pulang dan istirahat." Suaranya yang terdengar sopan di telinga Naeva.

"Okay! Ayo, pulang! Mau ice cream!"

Pemuda menjadi anak tunggal keluarga Adhitama itu terkekeh dan meletakkan tangannya di bahu gadis itu sembari keluar dari kelas. Pertemanan mereka sudah lebih dari enam tahun dan sebulan yang lalu baru saja menjadi sepasang kekasih. Namun, Jaden Lionel Adhitama benar-benar meminta kepada Tuhan kalau dialah yang diutus untuk menjaga Naeva Lotus Cathania sampai akhir nanti.

Karena perasaannya bukan dimulai sebulan yang lalu. Melainkan lima tahun mengikutinya selama ini.

Dan perasaan sayangnya kepada Naeva akan tetap seperti itu dan di kemudian hari.

To Be Continued

Kita awali dulu dengan yang manis-manis. Biar hidup ada manisnya. Walaupun cuma sedikit.

Sampai ketemu di Bab 2

14 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro