10. PAPA-PAPAAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Cie… cie…”

“Prikitiww…”

“Uhuyy…”

“Duh, senengnya yang ditembak jadi papa baru.”

Sorak-sorakan yang dilontarkan karyawan Bumibuku pagi itu malah membuat Qwincy cengar-cengir sambil melambai-lambaikan tangan, seakan-akan tengah menyapa para wartawan saat berjalan di karpet merah.

Tadinya, Qwincy tidak berniat menceritakan peristiwa yang terjadi di rumah Lily kemarin siang. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Diminta menjadi papa baru, kalimat itu menjadi tamengnya untuk menghindari pertanyaan Aru tentang hasil wawancara.

Qwincy beralasan bahwa dirinya terlalu terkejut, batinnya terlalu terguncang, dan hatinya masih ketar-ketir, hingga tidak sanggup melakukan wawancara dengan sang narasumber. Alih-alih mendalami bahan cerita, ia bahkan mengusulkan pada Aru untuk mengganti ide cerita.

“Oi, Kawan! Ini su yang ke berapa kali?”

“Belum juga nyampe sepuluh, Ru.”

“Tapi kalo kau ganti-ganti ide terus, kau pung cerita tidak akan selesai-selesai!”

“Ini yang terakhir, kok, Ru. Suer!” Qwincy mengacungkan jari telunjuk dan tengah, membentuk simbol V.

Sambil menghempaskan punggung di kursi, Aru membuang muka.

“Kalo cuma ganti ide, mungkin saya masih bisa mengerti. Tapi ini? Kau ganti genre, ganti sasaran pembaca juga. Baru diminta jadi papa baru saja kau su begini!”

Qwincy hanya cengar-cengir mendengar omelan Aru. Sahabatnya itu memang tidak salah.

Saat mendengar permintaan Lily, hati Qwincy tiba-tiba mencair. Bagaimana bisa ia menolak permintaan anak manis itu? Terlebih lagi mereka punya nasib yang sama. Memiliki tipe kelainan jantung yang sama dan sama-sama kurang merasakan kasih sayang seorang ayah.

Meskipun belum bisa membayangkan masa depannya jika harus menikah dengan Ocean, tapi Qwincy sudah terlanjur menyayangi Lily. Akhirnya nanti sah menjadi papa baru atau sekedar papa-papaan, Qwincy tetap yakin rasa sayangnya pada gadis kecil itu tidak akan memudar.

Rasa sayang itu pulalah yang membuatnya mantap mengganti ide cerita. Ia ingin menulis kisah spesial untuk Lily. Sebagai hadiah terjalinnya hubungan antara papa baru dan anak baru.

“Kau kira gampang masuk ke pangsa pasar baru?”

“Iya, gue tau itu emang susah, Ru. Tapi, ini jadi tantangan buat gue. Gue kan jadi bisa ngelebarin sayap juga. Jadi penulis all genre.”

“Penulis all genre all genre. Kau dengare, Orang itu dihargai karena spesialisasinya.”

“Kata siapa? Buktinya aktor yang main karakter beda-beda, bayarannya lebih mahal.”

“Ah! Memang susah sekalie berdebat dengan kau ini!”

Melihat Aru kesal dan hampir menyerah, Qwincy malah terbahak.

“Ru! Dunia literasi Indonesia butuh lebih banyak asupan cerita seperti cerita yang mau gue tulis.”

Jan terlalu jauh kau pikirkan literasi Indonesia. Pikir saja ini buku akan laku atau tidak? Memang jaman gadget begini, masih adakah yang mau beli buku anak-anak?”

“Ada! Pembaca-pembaca gue yang udah punya anak, atau punya keponakan, atau punya murid, mereka mungkin akan beli buku ini!”

“Mung-kin, kan?” Aru mengulang penuh penekanan, yang dijawab Qwincy dengan cengengesan.

Setelah beberapa saat, Qwincy berjalan memutari meja. Kemudian ia duduk di pinggir meja, tepat di hadapan Aru. Ia lalu menggenggam tangan sang sahabat.

Trust me, Ru!” ucapnya dengan mata berkedip-kedip, lalu mengecup punggung tangan Aru.

Bergidik, Aru menarik tangan lalu berlari ke pojok ruangan. Dia tidak menyangka, Qwincy melakukan hal yang menjijikkan.

“Sudah, sudah! Bikin saja apa yang kau mau. Tapi cepat-cepat pigi dari sini!” seru Aru sambil menggosok-gosok punggung tangan ke celana jeans, demi menghilangkan jejak-jejak bibir Qwincy.

Mendengar kalimat pengusiran itu, Qwincy sontak berlonjak girang. Tak menyiakan waktu, ia pun keluar ruangan. Hari ini ia sudah punya janji penting di daerah Kebayoran, tempat kediaman Lily, mama, oma, dan opanya.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Ngapain anda ke sini lagi?”

Dengan mata mendelik Ocean menyambut Qwincy yang berdiri di ambang pintu sambil menggenggam buket Lily merah muda.

“Mau ketemu calon anak gue,” jawab Qwincy ringan sambil tersenyum lebar.

“Hah?” Ocean menyeringai. “Anda pikir, anda pantas jadi papanya Lily?”

“Ya udah, deh. Kalo enggak pantas dan enggak boleh jadi papanya Lily, gue ralat jawaban yang tadi. Gue ke sini mau ketemu sama calon istri gue.”

Ocean kembali menatap tajam. “Siapa bilang saya bersedia ketemu dengan anda?”

“Emang yang bilang gue mau ketemu lo, siapa?”

Wajah Ocean memerah karena malu. “Bukannya…”

“Lo lupa kata-kata gue di De Donat waktu itu? Dua orang yang berjodoh itu punya detak jantung yang seirama. Artinya, gue ke sini mau ketemu calon istri gue, Lily.”

Mendengar kata-kata itu, mata Ocean sontak membelalak. “Anda jangan main-main, ya!”

“Gue enggak main-main, kok.” Qwincy memperlihatkan ekpresi wajah serius. “Sekarang, lo tinggal pilih aja. Lo mau jadi istri atau mau jadi mertua gue?”

Tatapan mata Ocean semakin nyalang saat mendengar pertanyaan itu. Dia sontak melepas slippers yang tengah dipakai, mengangkatnya tinggi-tinggi dengan niat memukuli dan mengusir si pria gondrong.

Namun, terdengar suara Lily dari arah belakang.

“Papa Spidel, ya? Masuk, Pa!”

Qwincy yang sudah siap-siap melindungi kepala dari ancaman pukulan, sontak melongok ke dalam rumah. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia pun segera menyelinap dari samping kiri Ocean dan masuk.

“Hai, Anakku Sayang!”

Dengan langkah-langkah besar, Qwincy berjalan menuju ke arah Lily yang sedang digendong oleh salah satu asisten rumah tangga. Sementara di samping gadis itu, Shaly berdiri sambil tersenyum dan melambaikan tangan, isyarat selamat datang.

Ocean menoleh ke belakang. Entah sejak kapan, nenek dan cucu itu berada di sana, seakan-akan sudah menantikan kedatangan si tamu tak sopan. Yang lebih penting lagu, sejak kapan Lily memanggil Qwincy dengan sebutan 'papa'?

Sementara Ocean masih berusaha meredakan kekesalan, keempat orang yang lain berjalan santai menuju taman belakang. Meninggalkan perempuan itu tanpa penjelasan.

“Kan tante udah bilang, datangnya jam sebelas aja. Kamu kok malah kecepetan sejam. Ketahuan Ocean, kan?” bisik Shaly ketika berjalan di samping Qwincy.

“Maaf, Tan. Enggak tahu kenapa, hari ini jalanan lancar banget. Enggak ada macet-macetnya. Malah, saya udah nyampe daerah sini sejam yang lalu. Karena bosen nunggu di ujung kompleks, makanya saya masuk aja. Kirain Ocean udah pergi,” terang Qwincy dengan suara pelan sambil cengar-cengir.

“Ya udah, enggak apa-apa.” Shaly melambaikan tangan sambil mempersilahkan Qwincy duduk di kursi yang ada di taman.

Siang itu, rencananya Qwincy akan memaparkan ide tema cerita pada Lily dan Shaly, sekaligus meminta pendapat mengenai unsur-unsur yang ingin dimasukkan dalam cerita nantinya. Qwincy merasa sudut pandang Lily dalam cerita tersebut merupakan bagian penting agar cerita anak itu mengalir natural.

“Kita mulai jam sebelasan aja, ya. Nunggu Ocean ke kampus.” Lagi-lagi Shaly berbisik sambil mengerling ke arah kamar Ocean.

Qwincy mengacungkan jempol kanan, isyarat setuju. Ketiganya memang telah sepakat, proyek itu akan menjadi rahasia antara mereka. Tidak ada yang boleh tahu, terutama Ocean.

Sambil menunggu hingga Ocean pergi, Lily mewarnai ditemani Qwincy dan Shaly yang tengah berbincang tentang salah satu novel Qwincy.

Baru lima menit berlalu, Ocean sudah mendatangi taman belakang. “Mi, aku berangkat, ya.”

Shaly dan Qwincy terkejut saat mendengar Ocean berpamitan. Namun mereka tak memungkiri, ada rasa senang terselip. Akhirnya, diskusi inti akan bisa segera dimulai.

Ocean mencium punggung tangan Shaly, mengecup kedua pipi Lily, dan mendelik tajam pada Qwincy.

“Kok berangkatnya lebih cepat?” tanya Shaly basa-basi.

“Sebelum ke kampus, aku mau mampir ke daerah Gelora dulu.”

Shaly mengangguk. “Kegiatan LHW, ya?” tembaknya.

Selama ini Ocean hanya menyibukkan diri dalam tiga hal; Lily, skripsi, dan Little Heart Warrior di mana dia menjadi salah satu pengurus.

Setidaknya dua atau tiga kali dalam sebulan, Ocean punya kegiatan bersama LHW. Kampanye untuk mengumpulkan donor darah hidup, menggalang donasi untuk kebutuhan para anggota, bahkan sekedar bertandang ke rumah singgah untuk menguatkan mental para orang tua pasien, menjadi beberapa agenda yang kerap dilakukan Ocean.

“Ada janji sama Dokter Volcano di Kebon Kafe. Katanya ada hal penting yang harus dibicarain.”

“Ketemu Volca? Berdua aja?”

Ocean mengangguk. “Papi yang nyuruh.”

Shaly ber’oh’ pelan dengan wajah ditekuk. Dia tidak tahu jika sang suami telah mengatur janji temu tersebut.

Sementara itu, Ocean beranjak pergi. Namun baru empat langkah, terdengar suara Shaly memanggil. Perempuan itu pun berpaling.

“Kenapa lagi, Mi?”

“Mami lupa. Mami mau pake mobil. Entar siang ada ketemuan sama temen-temen arisan mami.”

Kening Ocean mengernyit. “Kok dadakan, sih?”

“Eng-enggak dadakan, kok. Mami aja yang lupa.”

Ocean mendengkus kesal. “Enggak bisa di-skip aja ketemuannya? Aku beneran harus bimbingan skripsi, nih, Mi.”

No, no, no. Mami beneran harus datang. Jadi, mami pakai mobil, ya.”

“Terus aku gimana, Mi? Repot kalo naik taksi.”

Seakan-akan sudah mempersiapkan solusi, Shaly lalu berpaling ke arah kanan. “Nak Qwincy, bisa tolong anterin Ocean?”

Qwincy terkejut mendengar permintaan itu. Sudah tentu ia ingin berkata tidak. Namun, ada sedikit rasa sungkan untuk menolak permintaan Shaly. Ia takut hal itu akan mempengaruhi kerjasama mereka yang baru saja terjalin.

“Tapi, kan, aku mau main sama Papa Spidel.”

Lily yang sedari tadi menyimak pembicaraan para orang dewasa, kini melayangkan protes.

Sambil tersenyum, Qwincy menoleh pada Lily. Dalam hati, ia bersorak riang. Gadis kecil itu sudah mewakili kata hatinya. Ia yakin, baik Shaly maupun Ocean akan menyetujui protes tersebut.

“Mainnya, entar sore aja, ya, Sayang. Sekarang, pinjemin Om Qwincy ke mama. Soalnya mama mau ketemu Dokter Volca,” bujuk Shaly.

Lily berpikir, sambil bergantian menatap Qwincy dan Ocean. Setelah beberapa saat, gadis itu pun mengangguk dengan terpaksa.

“Papa Spidel temenin mama aku, ya. Entar sore, papa ke sini lagi, ya,” pinta Lily sambil menatap Qwincy.

Qwincy melengos, sedikit kecewa dengan keputusan Lily. Namun, ia belum pupus harapan. Dengan penuh percaya diri, ia berpaling pada Ocean. Ia yakin perempuan itu akan menolak saran Shaly maupun Lily. Bukankah dia sangat membenci seorang novelis?

“Anda tunggu apa lagi? Ayo, kita jalan sekarang! Nanti saya terlambat,” tukas Ocean.

Detik itu, sendi-sendi Qwincy tiba-tiba terasa lemas. Bukan karena gagalnya agenda diskusi bersama Lily. Namun karena ia tidak bisa membayangkan harus semobil dengan Ocean. Bagaimana jika dirinya dipukuli dan pulang dengan sekujur tubuh penuh lebam?

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️










Papa baru yang mau ga mau harus terima nasib.

Doain, mudah-mudahan bisa pulang dengan selamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro