11. MERTUA-MERTUAAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Ketemu Mas Qwincy di mana?” tanya Volcano pelan, sambil melirik ke arah Qwincy yang sudah duduk di meja sebelah.

“Saya ke sini numpang mobilnya,” jawab Ocean tanpa melihat lawan bicara.

Volcano mengangguk kecewa. Dia tidak menyangka, Ocean diantar oleh pria lain.

“Emang mobil kamu kenapa?”

“Mau dipake mami.”

“Oh. Kalo gitu, nanti aku anterin kamu pulang. Biar enggak ngerepotin Mas Qwincy,” tawar Volcano sambil melirik ke arah Qwincy yang sudah sibuk mengetik di laptop.

“Saya enggak langsung pulang. Ada bimbingan di kampus.”

It’s okay. Aku enggak ada shift sore ini. Aku bisa anterin kamu ke kampus, kok. Sekalian nungguin kamu bimbingan, terus nganterin pulang.”

Ocean tidak menjawab tawaran Volcano. Ia tahu, semakin menolak, semakin Volcano mendesak. Lalu akan terjadi perdebatan panjang tak berkesudahan. Padahal, ia tidak ingin berlama-lama berada di tempat tersebut.

“Udah lama aku enggak ke kafe ini. Ternyata banyak yang berubah,” ucap Volcano, ingin mencairkan suasana.

“Kenapa harus ketemu di sini, sih?  Bukan di rumah sakit?” tanya Ocean sambil mengedarkan pandang ke seluruh kafe.

“Emang kenapa?”

“Saya enggak nyaman.”

Kali ini gantian Volcano yang memandangi sekeliling. “Bukannya ini tempat favorit kamu?”

Ocean menyunggingkan senyum tipis. “Dulu. Sekarang enggak lagi.”

Kebon Kafe memang pernah menjadi tempat favorit bagi Ocean. Konsep outdoor-nya seperti berada di tengah hutan, live music di waktu-waktu tertentu yang mengalunkan lagu-lagu easy listening, hingga menu-menu beragam yang ditawarkan, membuat perempuan itu betah berlama-lama di sana. Namun, itu saat dirinya masih mengenakan seragam abu-abu putih.

Saat ini, Kebon Kafe justru membangkitkan kenangan pahit bagi Ocean. Jika bukan karena desakan Renald, ia pasti tidak mau memenuhi permintaan Volcano untuk bertemu di salah satu kafe di bilangan Jakarta Pusat itu.

“Kamu mau pindah tempat?” tawar Volcano.

“Enggak perlu. Buang-buang waktu.” Ocean lalu mengangkat wajah, “Langsung aja, sih. Dokter mau ngomong apa?”

Volcano menyunggingkan senyum. “Cean, kan udah berapa kali aku bilang, selain di rumah sakit jangan panggil aku dokter, dong. Panggil aku mas aja, ya.”

Lagi-lagi Ocean tersenyum tipis. “Maaf. Saya enggak bisa, Dok.”

Volcano menghela napas panjang. Sepertinya, dia masih butuh banyak waktu untuk meruntuhkan benteng yang mengelilingi hati Ocean.

“Gimana kalo kita pesan makan dulu? Aku laper banget, nih. Tadi cuma sarapan biskuit di rumah sakit,” bujuk Volcano.

Sebisa mungkin dia ingin mengulur waktu agar bisa menghabiskan lebih banyak menit bersama Ocean.

“Saya ke sini bukan untuk makan!” tegas Ocean. Lagi-lagi dingin.

Mengabaikan kata-kata Ocean, Volcano malah memanggil waitress berseragam krem-cokelat. Dia pun langsung memesan dua porsi marco pasta dan strawbery smoothies. Menu favorit mereka berdua.

Setelah itu, Volcano meminta sang waitress untuk mendatangi meja Qwincy.

“Mas Qwincy, pesan aja sekalian. Saya yang traktir. Sekalian ucapan terima kasih karena udah nganter Ocean,” ujar Volcano, sedikit berteriak.

Tadinya, Qwincy memang ingin memesan camilan atau sekedar minuman untuk menemani dirinya menulis. Namun saat mendengar kata-kata ‘traktir’ dan 'ucapan terima kasih karena nganter’, mendadak ego laki-lakinya tersentil. Memangnya dia tidak punya uang, sampai harus jadi kurir antar jemput hanya untuk mendapat makanan gratis?

“Makasih, Dok. Saya lagi puasa Senin-Kamis,” tolak Qwincy sambil berusaha tersenyum selebar mungkin untuk menutupi kekesalan.

“Puasa Senin-Kamis?” Mengerutkan kening, Volcano mengecek hari di jam tangan. “Kan sekarang hari Rabu.”

“Ya… maksud saya, saya puasa dari hari Senin sampai Kamis,” kilah Qwincy.

Sambil Volcano mengulum senyum, lalu mengangguk kepada waitress yang tengah menanti. Isyarat untuk menyiapkan menu yang dipesan saja.

“Dok! Saya enggak punya banyak waktu!” desis Ocean saat waitress tersebut sudah berlalu. “Bicara sekarang atau saya pergi!”

Volcano menatap perempuan di depan. Dia tahu Ocean tidak akan bermain-main dengan kata-katanya.

“Oke, oke.” Volcano menyerah dengan kekeraskepalaan Ocean. “Kamu masih belum menyetujui operasi Lily?” tanyanya langsung ke topik utama.

Sudah lebih dari dua bulan Ocean mengambil keputusan untuk menunda operasi. Hingga hari ini, ia belum memberi jawaban lagi. Padahal sebelumnya, tim dokter telah merencanakan operasi Lily akan dilakukan dalam waktu enam bulan yang akan datang.

“Saya belum siap.”

“Aku kan udah puluhan kali bilang hal ini ke kamu, Cean.”

Volcano memang sering menyinggung rencana operasi ketika keduanya bertemu di acara keluarga atau pun saat saling berkunjung di rumah masing-masing.

“Hanya tinggal menunggu konferensi bedah un--”

“Tapi saya masih belum siap,” kukuh Ocean.

Volcano menyentuh lembut punggung tangan Ocean, berusaha menenangkan. Namun, perempuan itu segera menarik tangan.

“Maka kamu harus nyiapin diri.” Meski lagi-lagi mendapat perlakuan dingin, Volcano tetap bersikap hangat.

“Gimana cara saya nyiapin diri untuk operasi yang peluang keberhasilannya kecil, Dok?” tantang Ocean. Jika saja taruhannya bukan nyawa, semua akan terasa lebih mudah.

Volcano memperbaiki letak kacamata di wajah.

“Kamu, kan, udah tahu. Operasi fontan ini yang terpenting.”

“Iya, Dok. Saya tahu. Tapi… tapi tetap saja, saya belum siap.”

“Ocean, ini kan operasi ketiga. Yang terakhir. Aku yakin, kamu pasti lebih siap.”

“Empat puluh persen,” suara Ocean tercekat, “peluang keberhasilannya bahkan tidak sampai setengah.”

“Ocean, tim dokter akan berusaha yang terbaik. Kami akan berusaha agar memperoleh yang 40% itu.”

Ocean tetap bergeming, sambil mengalihkan pandang ke arah lain.

“Setelah melalui perjuangan sejauh ini, apa kamu akan berhenti di tengah jalan? Padahal tinggal selangkah lagi jantung baru itu dijemput.”

Gigi-gigi Ocean bergemeletak. Volcano benar. Setelah semua ini, mungkinkah ia berhenti? Padahal perubahan itu harus dihampiri, bukan dinanti.

“Kenapa kita enggak ngelakuin pengobatan konvensional saja?” Ocean menatap Volcano. “Lagipula setelah operasi BCPS tahun lalu, Lily ada perubahan, kok.”

Volcano balik menatap tajam pada Ocean. Saat terakhir kali mereka bertemu di poli jantung pediatrik, perempuan itu sudah mengiyakan opsi operasi. Pihak rumah sakit bahkan sudah menghubungi dan menjadwalkan kedatangan dokter ahli dari Australia untuk membantu tindakan operasi yang cukup sulit itu.

“Pertanyaan pentingnya, kenapa kamu berubah pikiran?” tanya Volcano.

Ocean menunduk dalam. Salah satu alasannya berubah pikiran adalah pertemuan dengan Qwincy. Saat melihat pria itu bisa tumbuh dewasa bahkan dengan kelainan yang dimiliki, dia berharap hal tersebut juga bisa terjadi pada Lily. Bertahan tanpa perlu operasi.

“Kamu mau ngeliat Lily sesak lagi?” Volcano merujuk pada kejadian beberapa hari lalu.

“Saya akan jaga agar kejadian itu enggak terulang lagi.”

“Kamu mungkin bisa jaga saat Lily di rumah. Tapi, gimana saat Lily sekolah?”

“Lily bisa homeschooling,” kilah Ocean.

“Cean! Kamu enggak bisa perlakukan Lily seperti boneka kaca seumur hidup.”

“Kenapa enggak? Toh, dia a-nak sa-ya,” ucap Ocean penuh penekanan.

“Ocean, gimana kalo sewaktu-waktu Lily mengalami gagal jantung?”

“Saya yakin itu enggak akan terjadi. Selama ini saya hanya melihat pasien Ebstein yang masih bayi dan balita. Tapi, ternyata ada yang bisa bertahan sampai dewasa. Tanpa operasi.”

“Bertahan sampai dewasa?” Volcano mengerutkan kening, lalu berpaling ke meja sebelah. “Maksud kamu Mas Qwincy?”

Ocean memalingkan wajah, tidak menyangkal juga tidak mengiyakan.

“Kasus Mas Qwincy beda. Ebsteinnya ringan. Dia juga hanya perlu satu kali operasi untuk perbaikan katup. Sementara Lily, tidak.”

Ocean menunduk dalam. Meski mendapat penjelasan di balik kemampuan Qwincy bertahan hidup hingga sekarang, ia masih bergeming.

“Cean. Kamu enggak boleh jadi orang tua egois.”

Ocean menengadah, menatap tajam ke mata Volcano.

“Egois?” ulangnya. “Kalo saya egois, saya enggak akan ada di posisi ini sekarang!”

Volcano menahan napas. Dia tahu sudah salah bicara dan menyinggung perasaan Ocean.

“Maksud aku--”

“Kalo dokter sudah selesai bicara, saya pergi sekarang!” Ocean bangkit dari duduknya, lalu mulai beranjak.

Volcano juga segera bangkit, lalu meraih pergelangan tangan Ocean, membuat langkah perempuan itu terhenti.

“Cean, duduk dulu! Dengerin aku dulu,” pintanya sambil mengeratkan genggaman.

Mengabaikan Volcano, Ocean berusaha melepaskan genggaman itu sekuat tenaga. Namun, usahanya sia-sia. Cengkraman Volcano terlalu erat.

“Cean….”

Volcano tetap tidak mau menyerah. Dia bahkan tidak mengacuhkan tatapan dari para pengunjung Kebon Kafe. Baginya, hal yang lebih penting adalah membawa Ocean kembali duduk, melanjutkan perbincangan, dan meyakinkan perempuan itu untuk menyetujui rencana operasi Lily.

Namun tiba-tiba.

“Aww, aww!”

Volcano menjerit, lalu menoleh ke belakang. Entah sejak kapan Qwincy tiba dan sudah memelintir tangan kirinya. Membuatnya, mau tidak mau, melepaskan genggaman tangan pada Ocean.

Setelah pergelangan Ocean terbebas, Qwincy pun melepaskan tangan Volcano.

“Mas Qwincy jangan ikut campur. Ini masalah keluarga!” tegas Volcano sambil memijat lengannya yang terasa sakit.

“Maaf, Dok. Saya enggak bisa tinggal diam. Ini juga masalah keluarga saya,” ucap Qwincy samil menyunggingkan senyum lebar.

“Keluarga? Emang Mas Qwincy juga saudaraan sama Ocean?” Volcano menyeringai. “Saudara apa? Saudara setumpah darah?”

Qwincy menggeleng tegas. “Saya enggak bisa membiarkan Dokter Volcano menyakiti calon istri saya,” ucap Qwincy sambil melirik ke arah Ocean yang tiba-tiba melotot.

“Atau calon mertua,” tambah Qwincy, sambil berharap mata melotot itu berubah jadi lebih bersahabat.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Kurang lebih, beginilah penampakan Kebon Kafe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro