12. LO-GUE THEORY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dear, Teman-teman pembaca
Sebelumnya saya minta maaf karena sudah hiatus sekitar berbulan-bulan untuk persiapan operasi.

Alhamdulillah, sekarang saya sudah dalam masa pemulihan. Tadinya, sih, pengen ke Mak Erot untuk memperpanjang masa libur. Tapi, Qwincy udah protes. Katanya, takut orang-orang lupa sama dia.
(Emang ada yang masih ingat dia? 🤔)

So, today Qwincy is back!

Semoga cerita ini bisa menghibur dan diambil manfaatnya.

❤️❤️❤️❤️❤️

“Lo enggak mau bilang sepatah dua patah kata ke dewa penyelamat lo ini?” tanya Qwincy dengan nada penuh jumawa.

Ocean melirik pada pria yang asyik mengemudi sambil cengar-cengir itu. Niat untuk berterima kasih memang sempat hadir. Namun mendengar kesombongan dari bibir Qwincy, mendadak niatan itu menguap.

“Kenapa tadi Anda bohong?” Alih-alih memenuhi permintaan Qwincy, Ocean malah bertanya tajam.

“Tentang?”

“Tentang alasan ikut campur dalam urusan saya.”

“Yang mana?” Sambil menggaruk-garuk kepala, Qwincy berpura-pura berpikir keras.

“Tentang… tentang calon istri.” Sambil memalingkan wajah ke arah jendela di samping, Ocean menjawab pelan.

“Oh, yang tentang calon mertua itu?”

Ocean sontak menoleh tajam ke arah Qwincy. Meski diucapkan dengan pelan, dia yakin pria itu pasti mendengar kata-katanya barusan. Namun, kenapa redaksinya malah berubah?

“Terserah anda-lah!” ketus Ocean setelah mendengkus.

Qwincy malah cengar-cengir melihat reaksi sang lawan bicara. “Lo tahu enggak? Ada tiga jenis kebohongan yang dibolehkan. Salah satunya berbohong saat perang.”

“Anda pikir saya lagi perang?”

“Enggak juga, sih. Lo cuma lagi diserang, aja. Dan gue yakin, kalo enggak ada gue, lo pasti udah K.O.,” ucap Qwincy, lagi-lagi penuh percaya diri.

“So, menurut norma kesopansantunan harusnya gue berhak ngedapetin ucapan terima kasih, dong,” sambung pria itu.

“Apa anda sehaus itu pada ucapan terima kasih?”

“Apa anda sepelit itu untuk kata terima kasih?” balas Qwincy sambil mengulum senyum.

Ocean memutar kedua bola mata. Dia yakin, masalah tidak akan selesai hingga kata terima kasih itu terlontar.

“Terima kasih,” ucap Ocean singkat.

“Alhamdulillah!” Qwincy bersorak sambil menyapu wajah dengan satu tangan, seakan-akan sudah menjadi pemenang utama undian berhadiah. 

Ocean meringis. Bermaksud mengalihkan perhatian, perempuan itu pun membuka tas dan mengambil lembar-lembar revisi skripsi.

“Tapi, sejujurnya gue iri sama Lily.”

Meski mendengar kata-kata Qwincy, Ocean memilih untuk bergeming.

“Lo enggak penasaran, kenapa?”

“Anda kalo mau cerita, cerita aja. Enggak usah mastiin orang penasaran atau enggak,” komentar Ocean, acuh tak acuh. “Tapi saya enggak janji akan mendengarkan dengan serius, apalagi menanggapi.”

“Lily beruntung punya lo, orang yang bener-bener khawatirin keselamatan dan keberhasilan operasinya. Bahkan berani menolak keputusan dokter karena pertimbangan persentase keberhasilan operasi.”

Ocean memicing ke arah Qwincy. “Anda nguping pembicaraan saya?”

“Nguping itu kalo ngobrolnya pelan-pelan atau bisik-bisik. Kalo pada dasarnya suara kalian kedengeran sampai ke seluruh penjuru kafe, ya, bukan nguping namanya. Tapi mendengarkan. Kaya ngedengerin siaran radio aja.”

Ocean memalingkan wajah, lalu kembali sibuk membuka lembar-lembar skripsi. Dia tak perlu membantah ucapan Qwincy karena hal tersebut memang benar.

“Gue iri sama Lily karena punya ibu kaya lo.”

“Enggak ada yang istimewa. Hampir semua ibu punya kekhawatiran besar seperti saya. Termasuk ibu anda. Coba aja tanya.”

Qwincy mengangkat bahu. “Mana bisa gue denger jawaban nyokap dari dalam tanah.”

“Hah? Maksudnya?”

“Gue anak piatu. Nyokap gue udah meninggal,” jelas Qwincy dengan santai.

“Oh, maaf. Saya enggak tahu.” Meski Qwincy sama sekali tidak menunjukkan kesedihan, Ocean tetap merasa tidak enak.
“No problem. Kejadiannya udah lama banget, kok.”

“Ayah anda?” tanya Ocean hati-hati.

“Masih ada,” jawab Qwincy singkat. “Jadi, lo akan tetap menolak operasi Lily?” sambungnya, mengalihkan pembicaraan.

Ocean menghela napas panjang. Dia memang ingin Lily sembuh, tapi takut pada kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. “Saya butuh waktu untuk berpikir.”

Qwincy mengangguk-angguk. “Kalo papanya Lily ada, apa dia juga akan menolak operasi ini?” tanyanya iseng.

“Papanya akan jadi orang pertama yang menyuruh Lily operasi,” ucap Ocean pelan, setelah semenit berpikir.

Beberapa saat kemudian, perempuan itu berpaling pada Qwincy. “Ayah anda ngijinin anda untuk operasi?”

Lagi-lagi Qwincy mengangkat kedua bahu sebagai pengganti kalimat ‘saya tidak tahu’.

“Anda belum cerita ke ayah anda, ya?”

“Buat apa? Bokap gue juga enggak akan peduli,” lirih Qwincy.

Ocean tertegun. Selama kenal dan saling berbincang, baru kali itu dia melihat raut wajah murung Qwincy. Bahkan ekspresi itu tidak tampak saat Qwincy bercerita tentang kematian ibunya. Keceriaan yang selama ini menjadi ciri khas pria tersebut, seakan-akan menguap seketika.

Selama beberapa saat, Ocean menatap sosok yang tengah mengemudi di samping. Dia sungguh tidak tahu pria itu menyembunyikan kepahitan hidup di balik senyum ceria.

“Bisa enggak lo berenti ngeliat gue dengan tatapan itu. Gue enggak suka dikasihani.”

“Saya enggak bermak--”

“Gue enggak suka dikasihani. Gue lebih suka kalo dikasih hati,” potong Qwincy yang membuat Ocean segera memalingkan wajah sambil bersungut-sungut. Dia menyesal sempat berempati.

“Ngomong-ngomong, lo mau ketemu siapa di kampus?”

Qwincy kembali membuka percakapan. Jika dalam perjalanan ke Kebon Kafe ia tidak berani mengucapkan satu patah kata pun, maka hal itu tidak berlaku pada perjalanan menuju kampus.

“Dosen pembimbing saya-lah.” Kembali dengan nada ketus, Ocean menjawab.

“Ya iya-lah. Itu, sih, gue tahu. Masa iya, lo cape-cape ke kampus buat ketemu tukang parkir? Kecuali kalo lo nitip kunci mobil atau helm sama dia.”

Alih-alih menanggapi protes Qwincy, Ocean malah kembali sibuk membuka lembar-lembar kertas.

“Dosen pembimbing lo punya nama, kan? Bukan anonim,” ucap Qwincy lagi.

“Saya mau ketemu Pak Riyadh.” Akhirnya Ocean menjawab, meski dengan kesal. Pria di samping sungguh tidak memiliki kepekaan, tetap mengganggu orang yang sedang terlihat sibuk.

“Riyadh Solihin, bukan?”

Ocean memalingkan wajah dari kertas-kertas di pangkuan. Menatap sekilas pada Qwincy, lalu kembali menunduk. Riyadh adalah salah satu dosen yang sering masuk televisi. Tidak heran jika banyak yang mengenal sosok dosen sekaligus pembantu dekan Fakultas Ilmu Sosial itu.

“Bener enggak, Riyadh Solihin?” desak Qwincy.

“Iya.”

Qwincy senyum-senyum sendiri. Tidak menyangka tebakannya benar. “Gue temenin, ya.”

Ocean memicing. “Saya kasih tahu, ya. Walopun di tivi terlihat ramah, Pak Riyadh termasuk dosen killer, super sibuk, dan tidak suka sembarangan ketemu orang asing. Saya aja kalo bimbingan, cuma naruh berkas di meja. Terus nunggu di luar sampai dipanggil. Balik lagi cuma buat ngambil berkas yang sudah dicorat-coret.”

“Oh.” Qwincy bergumam.

“Lagian anda mau ngapain ketemu beliau? Selfie bareng?”

“Ih, ngapain juga gue selfie sama dia?”

“Atau minta tanda tangan? Kalo cuma buat itu, mending nunggu skripsi saya selesai. Nanti saya lebihin lembar tanda tangannya buat anda.”

“Hah?” Qwincy mengernyit, lalu terbahak. “Pokoknya gue mau ikut!”

“Terserah anda-lah,” dengkus Ocean sambil membayangkan bagaimana Qwincy akan diusir dari ruangan dekan tersebut.

***

Ocean ditemani Qwincy –yang mengenakan topi baseball, masker, dan kacamata hitam- menyusuri lorong Fakultas Ilmu Sosial, menuju ruang pembantu dekan. Beberapa pasang mata yang berpapasan dengan mereka, menatap heran pada pria yang berpenampilan mencurigakan itu. Namun, Qwincy tidak peduli. Yang terpenting, ia selamat dari para mahasiswa –yang mungkin saja adalah penggemarnya- ketika melewati lorong-lorong fakultas.

“Selamat siang, Pak Riyadh.”
Qwincy yang mendahului langkah-langkah Ocean saat memasuki ruang dekanat, menyapa terlebih dulu.

Pria berkaca mata di balik meja kerja, mendongak. “Anda mahasiswa mana?” tanyanya. Dia tidak menyangka ada mahasiswa yang berani menghadap dengan dandanan sok miterius.

Qwincy membuka masker dan kacamata, lalu berkata, “Saya Qwincy, Pak.”

Mata Riyadh sontak melotot. “Astaga! Qwincy!” serunya. Pria itu segera berdiri lalu menghampiri Qwincy.

“Ayo, ayo! Duduk sini!” ucapnya sambil menggamit tangan sang tamu dan mempersilakannya duduk di sofa yang ada di ruangan.

“Tumben kamu ke sini. Ada apa?”

“Nemenin sodara, Pak.” Qwincy mengerling ke arah Ocean yang masih berdiri di ambang pintu dan menonton acara saling sapa antara kedua pria tersebut.

Riyadh menoleh ke arah Ocean. “Oh, sini, sini! Silakan duduk!” ucapnya sambil menunjuk sofa satu sitter di samping.

Meski masih bingung, Ocean tetap mengikuti perintah tersebut.

“Ada perlu apa?” tanya Riyadh lagi setelah Ocean duduk sempurna.

“Mau nyerahin revisi skripsi, Pak,” ucap Ocean sambil menyerahkan naskah yang sedari tadi dipeluk.

“Oh, Ocean, ya?” Riyadh membaca nama di lembar paling depan. “Bapak enggak tahu kalo kamu saudaraan sama Qwincy.”

“Sebenarnya bu-eh, iya, Pak.” Ocean tersenyum terpaksa. Dia ingin menyangkal, tapi urung saat melihat Qwincy melotot sambil  memonyongkan bibir. Isyarat agar mengikuti rencana.

“Kalo gitu, kita sekalian diskusi skrispsi kamu saja di sini.”

“Sekarang, Pak?”

“Iya, dong. Masa kemarin?” gurau Riyadh, yang disusul dengan tawa.

Ocean mengerutkan kening sambil melirik Qwincy yang tengah mengangkat dagu sambil tersenyum jumawa.

Bimbingan hari itu rasanya berbeda sekali hanya karena kehadiran Qwincy. Haruskah, lagi-lagi dia mengucapkan kata terima kasih?

***

“Apa hubungan anda sama Pak Riyadh.”

“Hubungan? Enggak ada-lah. Pak Riyadh kan udah punya istri. Punya tiga anak lagi. Masa gue tega jalin hubungan sama dia,” jawab Qwincy sambil tetap mengemudi.

“Maksud saya, kenapa sikap Pak Riyadh bisa berubah 167 derajat?”

“167? Nanggung amat!” Bukannya menjawab pertanyaan Ocean, Qwincy malah mengomentari angka-angka yang disebutkan Ocean.

“Intinya, kenapa Pak Riyadh bisa berubah sikap? Apa beliau ingin anda jadi calon mantu?”

“Cie… cemburu.”

Ocean melengos karena lagi-lagi tidak mendapatkan jawaban. Rasa penasaran dan kesalnya bercampur aduk.

“Ya udah kalo enggak mau jawab.”

Qwincy terbahak mendengar kalimat itu. “Ngomong-ngomong, lo kelupaan sesuatu, enggak?”

Dengan panik, Ocean mengintip isi tas. Naskah yang sudah dicorat-coret Riyadh, ponsel, dompet. Semua lengkap.
Perempuan itu berpaling pada Qwincy. “Kayanya enggak ada,” ucapnya ragu-ragu.

“Kata terima kasih?”

Ocean mendengkus, sebelum berkata, “Terima kasih Pak Penolong yang baik hati.”

Qwincy lagi-lagi terbahak, kali ini dengan rasa kemenangan. “Tapi, ucapan terima kasih doang, rasanya kurang, sih.”

“Anda mau apalagi?”

Qwincy tengah berpikir keras untuk sebuah permintaan ketika suara ‘krucuk-krucuk’ bergema dari perutnya. Tidak bisa kompromi, lambungnya melayangkan protes karena belum juga diberi jatah hingga sore menjelang.

“Sebenarnya, saya, sih, mau traktir anda. Sayang, anda lagi puasa. Padahal Magrib masih lama,” ledek Ocean sambil melihat jam tangan.

Mendengar hal itu, Qwincy segera membuka laci dashboard, lalu mengambil sebuah permen jahe.

“Udah gue batalin, kok,” ucapnya setelah permen warna cokelat itu masuk ke mulut.

Ocean melongo. “Jangan bilang, puasa anda tadi juga bohong?”

Alih-alih menjawab, Qwincy malah bersenandung sambil pura-pura melihat kendaraan di belakang melalui spion.

Melihat tingkah pria gondrong itu, Ocean pun menggeleng-geleng. “Oke. Lo mau makan di mana? Gue yang traktir sebagai ucapan terima kasih.”

Hampir-hampir saja Qwincy menabrak mobil di depan saat mendengar kalimat Ocean. Untung saja, ia sempat menginjak pedal rem. Lalu dengan telapak tangan menengadah, pria itu berucap, “Terima kasih, ya Allah.”

“Sebegitu terharunya lo karena dapat traktiran?” ledek Ocean.

“Bukan! Bukan itu! Gue terharu bukan karena traktiran lo. Tapi karena Allah kembali menganugerahkan kosa kata ‘lo-gue’ ke lo.”

Ocean mengerutkan kening. “Sebegitu pentingnya kosa kata itu?”

Penuh keyakinan, Qwincy mengangguk.

“Tahu, enggak? Ada level-level kata panggilan yang menandakan keintiman hubungan. Saya-anda untuk orang yang tidak akrab. Lo-gue artinya sedikit lebih akrab. Lalu aku-kamu untuk hubungan yang lebih akrab.”

Mendengar teori itu, Ocean mengernyitkan kening sambil tertawa sinis. Meski tidak memungkiri, perubahan kata panggilan menjadi lo-gue menandakan bahwa dia tidak lagi menganggap Qwincy sebagai orang asing yang harus diberi jarak. Atas semua yang telah dilakukan, pria itu memang berhak untuk dijadikan teman.

“Lo enggak percaya?”

Ocean memutar kedua bola mata. “Terserah lo, deh.”

“Tapi gue yakin, kita enggak akan berhenti di level aku-kamu.”

“Memang ada level lain lagi sesudahnya?” Ocean melirik.

“Ada,” Qwincy menoleh ke arah Ocean. “Mama-papa,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.

❤️❤️❤️❤️❤️

Selamat sore dari si yang bete nungguin ceritanya di-update. 😁




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro