13. SESAJEN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Waduh! Carpot penuh, tuh!” celetuk Qwincy saat Fortuner hitamnya tiba di depan gerbang rumah Ocean. Di carpot yang biasanya hanya terparkir Honda Jazz merah, sekarang juga diisi Mercedes dan Fortuner putih.

Ocean yang sedang fokus membuka media sosial, langsung menoleh ke arah yang dimaksud. Namun, tiba-tiba raut wajahnya berubah. Buru-buru dimasukkannya ponsel ke tas.

“Itu mobil teman-teman arisan nyokap lo?”

“Itu mobil papi dan Dokter Volca.”

Mendengar jawaban itu, Qwincy pun ber’oh’ ria. “Berarti gue parkir di depan sana, aja, ya.”

“Enggak usah! Gue turun di sini. Lo langsung pulang aja!” tegas Ocean sambil membuka seatbelt.

“Kan gue mau mampir. Mau ketemu Lily,” kukuh Qwincy. Meskipun punya janji dengan Lily, dalam hati dia lebih penasaran dengan kehadiran Volcano di rumah Ocean.

“Besok-besok aja. Udah kemaleman.”

Sambil melihat jam tangan, Qwincy tertawa kecil. “Buat bujang, jam 7 malam itu masih siang.”

Ocean menoleh ke arah Qwincy. “Bokap gue enggak pernah pulang di bawah jam 11 malam. Karena sekarang bokap udah di rumah, artinya sekarang udah mau tengah malam.”

Qwincy pun terkikik. “Jadi bokap lo adalah jam manusia.”

“Pinter lo!”

“Tapi, kok Dokter Volcano boleh maen tengah malam?” Qwincy belum menyerah.

“Karena dia punya black card,” lirih Ocean.

“Yang buat VVIP member kaya di toko-toko khusus gitu?”

Ocean mengangguk sambil tersenyum tipis.

“Gimana caranya biar gu--”

“Makasih untuk hari ini, ya,” potong Ocean sambil membuka pintu mobil. Meskipun masih ingin berbincang lama dengan Qwincy, ia tidak bisa melakukannya. Ia sangat yakin, ada masalah penting yang sudah menanti di dalam rumah.

Sementara itu, masih penuh dengan banyak pertanyaan, Qwincy mengamati punggung Ocean yang berjalan semakin menjauh.

❤️❤️❤️❤️❤️

“Dari mana?” Pertanyaan yang dilontarkan dengan nada dingin itu menyambut Ocean yang baru melewati ambang pintu.

Ocean melirik sang ayah yang sedang membuka-buka berkas. Dengan profesinya sebagai jaksa, membawa pekerjaan ke rumah bukan merupakan hal baru bagi Renald.

“Dari kampus. Ketemu dosen pembimbing,” jawab Ocean sambil terus melangkah.

“Rajin banget dosen kamu. Bimbingan sampai malam,” sinis Renald.

“Baguslah. Biar mahasiswanya cepat lulus.”

Ocean terus melangkah menuju kamar tidur yang terletak di samping ruang tamu. Bertahun-tahun lalu, ruang seluas 4x5 meter itu adalah ruang kerja Renald. Namun dengan pertimbangan kondisi kesehatan Lily, ruang tersebut pun disulap menjadi kamar tidur untuk Ocean dan Lily sehingga memudahkan mobilisasi.

Ruang kerja Renald pun dipindahkan ke lantai dua, tepatnya di bekas kamar Ocean yang bersebelahan dengan kamar tidur orang tuanya dan kamar tamu. Dulu sekali, Volcano menjadi salah satu orang yang sering menginap di kamar tamu.

“Papi belum selesai ngomong. Duduk sana!” Renald menunjuk kursi di sampingnya dengan dagu.

Ocean menghentikan langkah, lalu melirik tempat yang dimaksud oleh Renald. Lokasinya berada tepat di samping Volcano. 

“Aku capek, Pi. Aku mau istirahat.”

“Papi enggak nanya kondisi kamu. Duduk!”

Ocean menghela napas. “Lily dimana?”

“Taman belakang.”

Ocean memalingkan pandangan menuju taman yang berada di sebelah ruang makan. Ia bisa melihat Lily, Shally, dan Mbak Wuri –asisten rumah mereka- berada di sana. Pintu kaca menuju taman ditutup rapat membuat orang yang berada di baliknya tidak akan mendengar satu pun suara dari dalam rumah.

Melihat situasi tersebut, Ocean bisa menduga bahwa perbincangan yang akan dilakukan pasti menyangkut gadis kecil itu.

Merasa tidak bisa kabur, Ocean pun duduk di kursi satu sitter yang ada di seberang Renald. Bukan yang awalnya ditunjuk oleh sang ayah. Ia tidak mau malam itu dua kali menuruti keinginan pria paruh baya tersebut.

“Bukannya kita sudah sepakat mengenai operasi Lily? Kenapa malah kamu batalin?” tanya Renald tanpa mengalihkan pandang dari berkas-berkas yang digenggam.

Ocean bergeming. Tanpa perlu bertanya, ia sudah tahu darimana sang ayah mengetahui informasi tersebut. 

“Kamu pikir Lily bisa bertahan tanpa operasi? Seperti orang yang baru saja kamu temui.” Tanpa menunggu jawaban untuk pertanyaan sebelumnya, Renald kembali melemparkan tanya.

Alih-alih menjawab, Ocean malah melirik tajam ke arah Volcano yang tengah menyesap kopi dari cangkir berwarna putih.

“Oh…, sekarang Dokter Volcano punya sampingan jadi petugas pengaduan, ya?” sinisnya.

“Ocean!” Renald mengangkat wajah dan menatap ke arah putrinya. “Jangan mengalihkan topik! Jawab saja pertanyaan papi! Kenapa kamu batalin operasi?”

Ocean berpaling ke arah Renald yang tengah menatap tajam. “Karena aku ingin memutuskan yang terbaik buat Lily.”

Renald membanting berkas-berkas yang digenggam ke meja, menimbulkan bunyi berdebam yang keras. Baik Ocean maupun Volcano, sangat terkejut. Meskipun beberapa kali menyaksikan kemarahan Renald, keduanya tetap tidak terbiasa.

“Ini bukan sesuatu yang bisa kamu putusin sendiri, ya,” telunjuk Renald mengarah ke wajah Ocean, “Ingat! Saat kamu menginjakkan kaki di rumah ini lagi, kita udah sepakat kalo urusan Lily jadi urusan papi juga.”

“Tapi aku berhak mengambil keputusan untuk Lily, Pi!” Suara Ocean meninggi.

“Kamu pikir papi juga enggak punya hak yang sama?” Dengan suara yang lebih tinggi, Renald membalas kata-kata putrinya.

“Tapi aku mamanya, Pi! Sedangkan Papi cuma opanya.”

Renald menyeringai sinis. “Terus, kamu juga mau bilang kalo laki-laki yang udah ninggalin kamu dan Lily lebih berhak dari papi?” tanyanya dengan nada lebih rendah, tapi penuh penekanan.

Mendengar pertanyaan Renald, rahang Ocean langsung mengeras. Tangannya pun mengepal kencang. Ia sangat kesal karena masalah itu selalu saja menjadi senjata andalan sang ayah ketika mereka mulai berdebat.

“Atau kamu mau bilang kalo laki-laki yang nganter kamu tadi lebih berhak dari papi?” tanya Renald lagi.

Ocean mengatur napas, mencoba menahan emosi. “Papi, masalah ini enggak ada hubungannya dengan Qwincy.”

“Oh…, jadi namanya Qwincy?” Renald melipat kedua tangan di dada, “Terus apalagi yang mau kamu kasih tahu ke papi tentang laki-laki itu?”

“Papi! Kenapa masalahnya jadi melebar kemana-mana, sih?”

Renald melangkah mendekati Ocean, lalu duduk di kursi tiga sitter yang ada di samping putrinya. “Karena kamu anak papi satu-satunya,” ucapnya pelan sambil mencondongkan tubuh ke arah Ocean, “Papi enggak mau  kamu mengulang kesalahan yang sama dua kali. Menikah lalu ditinggalkan.”

Meskipun kalimat-kalimat Renald menyiratkan perhatian, tapi Ocean merasa tidak nyaman. Matanya mulai memerah. Ia memang pernah melakukan kesalahan, pernah mengalami kegagalan. Namun, bukan berarti ia akan mengulanginya lagi.

“Laki-laki itu enggak akan bisa ngasih kebahagiaan buat kamu. Percaya sama papi.”

Ocean memicing. “Dan hanya laki-laki pilihan papi yang bisa?”

“Tentu!” Renald berpaling ke arah Volcano yang duduk di samping, lalu kembali menatap Ocean. “Volca punya semua kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi suami yang baik untuk kamu. Dia punya penghasilan tetap, pintar, perhatian, dan bertanggung jawab.”

Ocean melirik ke arah Volcano yang sedang menatap balik dengan senyum tipis. Sejak tadi Volcano tidak mengeluarkan satu kata pun, tapi itu malah membuat Ocean semakin membenci sang sepupu.

Ocean kembali menatap Renald. “Papi pikir Qwincy enggak punya semua itu?” tantangnya.

Ia dan Qwincy memang belum memiliki hubungan khusus. Namun, Ocean butuh sesuatu untuk bisa menentang sang ayah. Ia akan melakukan apapun, bahkan jika harus membawa-bawa nama Qwincy.

Renald menyeringai. “Pasti enggak punya. Contohnya tanggung jawab. Buktinya dia nurunin kamu di pinggir jalan. Bukannya nganter sampai pintu depan.”

Sedetik, Ocean merasa menyesal karena tidak mengijinkan Qwincy mampir. Ia pikir itu bisa menyederhanakan masalah. Namun, hal tersebut malah menjadi bumerang untuknya.

“Qwincy nurunin aku di depan kare--”

“Assalamu’alaikum.”

Terkejut, Ocean, Volcano, dan Renald sontak berpaling ke arah suara tersebut. Di ambang pintu, Qwincy sudah berdiri sambil menenteng kantong plastik hitam. Meski sempat mendengar namanya dibicarakan, senyumnya tetap merekah. Mata berbinarnya pun menyapu ramah pada setiap orang yang ada di ruang tamu.

“Kamu siapa?” tanya Renald sambil berdiri dan berjalan menuju ke arah Qwincy.

Buru-buru Qwincy berjalan menghampiri dan meraih tangan kanan Renald, kemudian menjabatnya dengan erat. “Saya Qwincy, Om. Yang tadi lagi dighibahin,” jawabnya sambil cengar-cengir.

Renald melepaskan genggaman dengan canggung. Ketahuan sedang membicarakan orang lain, sudah merupakan satu hal yang memalukan. Apalagi jika pihak yang dibicarakan tanpa beban mengungkit hal tersebut secara vulgar.

“Oh,” gumam Renald menutupi rasa kikuk. “Ada urusan apa ke sini?”

“Mau ngasih ini, Om.” Qwincy mengulurkan plastik hitam yang sedari tadi digenggam.

“Apa itu?” tanya Renald. Pria itu tetap enggan meraih bungkusan yang disodorkan.

Melihat tingkah Renald, Qwincy kembali meraih tangan kanan pria itu dan memaksanya untuk menggenggam plastik hitam yang diulurkan.

“Ini isinya setengah kilogram telur ayam, Om. Jadi jangan sampe jatuh. Nanti ruangan ini bau anyir.”

Sambil bergidik karena membayangkan bau telur menguar dimana-mana, Renald pun terpaksa menggenggam erat plastik hitam yang diberikan. “Ini untuk apa?” tanyanya heran.

Bukan hanya Renald, Volcano dan Ocean yang menyaksikan perbincangan kedua pria tersebut juga dibuat heran dengan kelakukan Qwincy.

“Dalam norma-norma dasar perkencanan,  merupakan suatu kewajiban untuk membawakan martabak telur sebagai oleh-oleh buat orang tua dari gadis yang diajak kencan. Tapi karena tukang martabak enggak ada, jadi saya bawain aja telur ayam yang saya beli di warung ujung sana,” Qwincy menunjuk ke arah luar, “Ini adalah sajen untuk calon mertua.”

Ocean sontak terbahak mendengar penjelasan Qwincy, sementara Renald terdiam mematung. Renald yakin, berseteru dengan pria aneh di hadapan pasti butuh tenaga dan usaha yang berkali-kali lipat dibandingkan jika berseteru dengan pria biasa. Dan mulai detik itu, dia harus mulai menyiapkan diri.

❤️❤️❤️❤️❤️

Yang mau dibawain telor juga, sini absen!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro