16. ASAL BUKAN HUJAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Lo serius mau ngasih surprise ke gue?” Untuk ke tujuh kalinya Qwincy bertanya.

Sementara di samping, Ocean tengah mengemudi Fortuner hitam milik Qwincy. Setelah meninggalkan mobil di kampus, perempuan itu naik ojek untuk menghampiri Qwincy di rumah sakit.

“Samu!” panggil Qwincy. “Ini beneran surprise, kan?”

“Iya, Bawel!” jawab Ocean. “Dan tolong, jangan panggil gue samu lagi. Nama gue Ocean.”

Qwincy terbahak mendengar keluhan itu. Sejujurnya, ia cukup bangga bisa menemukan nama baru untuk Ocean. Maka sejak tadi ia memanggil perempuan itu dengan nama Samu.

“Ocean sama samudra kan punya arti sama. Jadi, enggak masalah, dong, kalo gue manggil lo samu?”

“Emang lo akan men-translate semua nama asing ke dalam Bahasa Indonesia?” sinis Ocean.

Qwincy berpikir sejenak. “Hanya nama-nama tertentu, sih. Seperti nama lo.”

“Tapi di akte gue yang tertulis--”

“Terketik,” koreksi Qwincy.

Ocean berdecak. “Tapi di akte gue, yang ter-ke-tik adalah nama ocean. Bukan samudra.”

“Tapi setiap dengar kata ocean, gue selalu teringat samudra.”

“Itu urusan lo!” sambar Ocean.

“Berarti manggil Ocean atau Samu juga urusan gue, dong. Kan mulut gue.”

Ocean menghela napas panjang. Dia menyadari bahwa peluang memenangi debat dengan Qwincy hanya 7%. Maka, lebih baik dia menyudahi debat itu dan menyimpan tenaga.

“Samu!” panggil Qwincy. “Mata gue emang harus ditutup-tutup gini, ya?”

“Kalo enggak ditutup, ya, bukan surprise. Gimana, sih?” Masih kesal karena kalah debat, Ocean menjawab ketus.

“Iya juga, ya,” gumam Qwincy. “Tapi, surprise-nya bukan ketemu penadah organ manusia, kan?”

“Bukanlah!” sewot Ocean. “Lagian, lo pede banget kalo organ-organ lo bakal laku dijual.”

“Bener juga. Gue enggak yakin kalo penadah organ mau nerima isi tubuh gue. Lambung gue pasti penuh luka karena keseringan lewatin sarapan. Ginjal gue kayanya banyak kerikil karena jarang minum air putih. Liver gue, duh, jangan ditanya lagi. Kayanya kondisi liver gue juga mengenaskan karena sering begadang.”

“Tuh, kan! Lo sendiri aja ragu organ-organ lo bakal laku,” ucap Ocean sambil menahan geli.

Tak mempedulikan komentar Ocean, Qwincy kembali melanjutkan, “Apalagi jantung gue. Harus direparasi dulu sebelum dijual. Kalo pun laku, gue enggak yakin penadahnya bakal balik modal.”

“Malah diperpanjang!” gerutu Ocean. “Pokoknya, gue mau ngasih surprise yang menyenangkan buat lo. Jadi, lo jangan mikir yang macem-macem.”

“Lagian, lo sendiri yang enggak ngasih clue surprise-nya apaan. Jadi jangan salahin kalo gue mikir yang macem-macem, dong,” kata Qwincy sambil memiringkan tubuh ke arah kaca jendela. Pura-pura merajuk.

Ocean menghela napas panjang. “Clue-nya... ini adalah spot bagus buat ngambil foto.”

Qwincy lalu memutar tubuh mengarah ke Ocean. “Lo ngajak gue ke sana biar gue jadi tukang foto lo?” tuduhnya.

“Ya, enggaklah. Gue cuma penasaran sama tempat itu dan pengen ngajak lo buat nemenin gue.”

“Jadi sebenarnya selama ini semua demi kepentingan lo? Dan kata surprise cuma akal-akalan lo, doang?”

Meskipun Qwincy belum mengetahui rencana sebenarnya, Ocean cukup tersindir dengan kalimat tadi. Dia memang mengakui perjalanan ini dilakukan untuk kepentingan dirinya. Bukan untuk Qwincy.

“Iya. Emang buat kepentingan gue. Tapi, gue juga pengen nikmatin tempat itu bareng lo.”

“Kenapa gue?”

“Karena… karena lo udah bikin Lily senang,” bohong Ocean.

“Hmm… meskipun mencurigakan, gue percaya aja, deh. Lagian, gue juga untung karena udah diajakin jalan-jalan gratis. Disopirin lagi.”

Mendengar kalimat itu, Ocean pun mengucapkan syukur dalam hati. Setidaknya Qwincy merasa senang dengan perjalanan mereka.

“Masih lama enggak nyampenya?”

“Lumayan, sih. Kita baru setengah perjalanan.”

“Ya udah. Lo fokus nyetir aja. Bangunin gue kalo udah nyampe. Gue mau tidur dulu,” ucap Qwincy sebelum akhirnya terlelap.

“Oke,” balas Ocean singkat. Paling tidak, dia bisa menyetir dengan tenang tanpa perlu meladeni keluhan-keluhan Qwincy.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Ini di mana?” tanya Qwincy sambil mengamati bangunan bergaya Eropa yang terpampang di depan.

“Belanda!” Ocean terkikik. “Selamat datang di Cimory Dairyland. Lo enggak pernah tahu?”

“Cimory?” Qwincy berpikir sejenak. “Berarti kita di Puncak, dong?”

“Bingo!” seru Ocean sambil menjentikkan jari tengah dan jempol. “Yuk, buruan! Soalnya jam 5 udah tutup.”

Ocean lalu menarik tangan Qwincy dan membawanya menuju loket pembelian tiket. Mereka hanya punya waktu dua jam sebelum waktu berwisata berakhir.

Begitu masuk ke kawasan wisata, Ocean dengan semangat mengajak Qwincy melihat sapi, pony, kelinci, kura-kura, hingga burung unta. Di setiap titik mereka akan berpose dan berfoto, sendiri ataupun berdua.

Di sela-sela perjalanan, berulang kali Qwincy mengeluhkan bahwa seharusnya mereka mengajak Lily. Sembari menahan rasa haru, Ocean mengatakan akan melakukannya lain kali.

Bagi Qwincy, pemandangan di Cimory Dairyland memang eksotis. Apalagi ada Ocean yang menemani. Namun, pria itu tidak terlalu menikmati momen-momen mereka karena awan kelabu menggantung di langit. Sewaktu-waktu, hujan bisa saja turun ke bumi.

Firasat Qwincy tidak salah. Tepat di depan gerbang area windmill, di mana ribuan kincir angin plastik ditata menyerupai susunan bunga tulip, tetes hujan mulai turun.

“Kita ketemu di depan,” ujar Qwincy tanpa banyak penjelasan.

Lalu dengan kekuatan penuh, pria itu berlari menuju gedung utama. Meninggalkan Ocean yang menatap penuh tanya.

Kehujanan saat sedang piknik adalah rencana Ocean. Makanya, dia memilih berwisata outdoor di Kota Hujan saat sore hari agar peluang hujan-hujanan terbuka lebar. Semakin banyak kena hujan, semakin besar peluang Qwincy terserang pilek. Begitu yang dipikirkan Ocean.

Namun siapa sangka, saat hujan turun Qwincy malah berlari secepat kilat dan meninggalkannya. Mau tidak mau, Ocean pun berlari menyusul Qwincy ke gedung utama.

“Lo gimana, sih? Padahal kita hampir nyampe di spot terbaiknya. Kenapa lo malah kabur?” Ocean mulai mengomel.

Sementara yang diomeli tetap tenang sambil memilih kue pie di souvenir shop.

“Qwin! Ayo kita balik lagi!” Ocean menggenggam lengan Qwincy, mencoba menarik pria itu kembali ke area wisata.

“Enggak mau!” ucap Qwincy lalu menyodorkan dua kantung pie. “Lily suka yang cokelat atau yang Oreo?”

“Beli pie-nya entar aja. Kita balik dulu ke sana,” desak Ocean, meskipun dalam hati kembali terharu karena Qwincy masih sempat mengingat Lily.

Sambil menepiskan genggaman Ocean, Qwincy menatap perempuan itu. “Hujan, Samuu….”

“Kalo nunggu hujan reda, nanti keburu tutup,” rengek Ocean sambil melihat jam di pergelangan tangan.

“Tapi hujan,” kukuh Qwincy sambil meletakkan enam kantong pie varian cokelat dan oreo ke dalam keranjang belanja.

“Enggak apa-apa. Kita kan bisa hujan-hujanan,” bujuk Ocean sambil meraih keranjang merah yang dipegang Qwincy, lalu meletakkannya di lantai.

“Kapan-kapan kita ke sini lagi. Gue yang nyetir dan traktir, deh,” tawar Qwincy, lalu kembali mengambil keranjang yang diletakkan Ocean.

“Gue enggak mau! Gue maunya sekarang!” kukuh Ocean sambil merebut keranjang dan meletakkannya kembali di lantai.

Sambil membungkuk, Qwincy mendekatkan wajah ke arah Ocean. “Lo enggak lagi ngidam, kan?” ledeknya.

Ocean membuang wajah. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya perempuan itu berkata jujur, “Kalo besok gue enggak bisa bawa lo yang lagi pilek ke hadapan Pak Riyadh, skripsi gue bakal terancam.”

Qwincy menegakkan tubuh sambil berusaha mencerna apa yang Ocean bicarakan. “Jadi, ini demi kelancaran skripsi lo?”

“Iya!” ketus Ocean.

Qwincy menyeringai. “Ternyata benar kata Dokter Volcano. Lo emang egois.”

Ocean menatap Qwincy dengan garang. Mendengar nama Volcano saja sudah cukup membuatnya kesal. Ditambah lagi, Qwincy malah mengiyakan apa yang dikatakan dokter itu.

“Ini semua salah lo! Kalo lo enggak bohong ke Pak Riyadh bahwa kita sodaraan, gue enggak perlu bohong kalo lo lagi pilek!” ucap Ocean dengan nada tinggi.

“Samu, lo boleh kurung gue sama orang-orang yang lagi pilek atau sekalian lo suntikin virus influenza ke tubuh gue. Apa aja, asal bukan hujan!” tegas Qwincy penuh penekanan.

“Tapi hujan-hujanan adalah cara yang paling gampang buat bikin lo pilek,” debat Ocean.

“APA AJA ASAL BUKAN HUJAN!” Kali ini Qwincy berteriak, membuat Ocean dan orang-orang sekitar terkejut.

Mata Qwincy memerah, nafasnya memburu cepat. Sekedar dibohongi bukanlah masalah besar. Namun dijebak bersama hujan adalah masalah lain. Ia tidak bisa memaafkannya.

Sementara di sisi lain, Ocean bergumul dalam kebingungan. Kenapa kemurkaan Qwincy justru berkali lipat lebih besar dari kemarahan yang dimilikinya? Dan hal itu membuat hatinya amat sakit.

“Kalo lo enggak mau nginep di Puncak, ambil mobil gue sekarang. Kita pulang.” Sambil menahan emosi, Qwincy menyerahkan kunci mobil pada Ocean.

Meski masih marah dan bingung, Ocean tetap meraih kunci itu, lalu berjalan menuju parkiran.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Di perjalanan menuju Jakarta, Ocean kembali memegang kemudi mobil. Sementara Qwincy kembali mengenakan penutup mata seperti perjalanan saat berangkat. Pria itu juga mendengarkan lagu-lagu menggunakan headphone di telinga.

Alunan musik yang samar-samar terdengar di telinga Ocean menandakan bahwa volume disetel dalam mode maksimal. Ocean menduga bahwa Qwincy masih marah dan tak ingin berbincang dengannya. Maka dibiarkannya situasi tersebut hingga mereka tiba di depan rumah Ocean.

Tanpa mengucapkan kata pamit, Ocean turun dari mobil. Di saat yang sama, Qwincy berpindah ke kursi pengemudi sambil menurunkan kaca jendela.

“Gue punya kenangan buruk sama hujan.”

Kalimat Qwincy menghentikan Ocean yang baru akan melangkah. Tanpa membalikkan tubuh, Ocean memasang telinga, siap mendengarkan.

“Bokap sama nyokap gue berantem waktu lagi hujan deras. Bokap juga pernah nyambuk betis gue karena hujan-hujanan. Saat nyokap masuk rumah sakit dan bokap tetap dinas di luar negeri, tiap hari selalu turun hujan. Bahkan saat nyokap meninggal dan gue terima kabar kalo bokap enggak akan pulang, di luar juga lagi hujan.” Tanpa diminta, Qwincy bercerita.

Mendengar itu, Ocean pun membalikkan tubuh. Dia memandangi Qwincy yang tengah menatap kosong ke arah jalanan di depan.

“Dingin suhu saat hujan, suara hujan, melihat tetes-tetes air hujan, semua tentang hujan selalu ngingetin gue pada kenangan buruk itu. Makanya gue benci hujan. Sebenci-bencinya.” 

Ocean akhirnya mengerti kenapa Qwincy memintanya menyetir di perjalanan pulang ke Jakarta, kenapa pria itu menutup matanya, dan kenapa volume musiknya sangat kencang. Semua untuk menghindari hujan yang turun deras dari Puncak hingga pertengahan Tol Jagorawi.

Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyeruak di dada Ocean. Bagaimana mungkin dia tega membangkitkan kenangan buruk pria itu? Jika saja mengetahui hal tersebut dari awal, mungkin Ocean akan memilih jujur pada Riyadh.

“Gue enggak tahu kalo hujan--”

“Bahkan mendengar atau menyebut nama hujan saja, udah bikin gue muak.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Qwincy pun menginjak pedal gas dan berlalu. Meninggalkan Ocean yang masih menatap nanar pada mobil hitam yang semakin lama semakin menghilang di kegelapan.

‘Qwin, lo boleh benci pada apapun. Apapun, asal bukan hujan,’ bisik Ocean sambil membayangkan wajah putrinya.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️


Spot foto yang enggak jadi didatengin Qwincy.










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro