17. RAIN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Aku maunya musim hujan,” protes Lily.

“Tapi, ceritanya nanti jadi enggak bagus.”

“Kenapa?”

Qwincy menggaruk-garuk kepala, berusaha mencari alasan yang masuk akal. “Karena, musim panas lebih cocok untuk berpetualang.”

“Tapi musim hujan juga bagus.” Lily tidak putus asa.

“Kalo musim hujannya kita ganti sama musim salju, gimana?”

“Musim salju tellalu dingin. Aku enggak mau.”

Menghela napas panjang, Qwincy pun kembali membujuk. “Anak-anak kan enggak suka musim hujan.”

“Kenapa?”

“Karena… karena kalo musim hujan, anak-anak jadi enggak bisa main di luar,” jawab Qwincy. Ia teringat satu lagu anak-anak yang isinya tentang harapan agar hujan pergi dan datang lain kali.

“Tapi aku suka musim hujan,” bantah Lily.

Menahan sebal, Qwincy bertanya, “Kenapa?”

“Kalo musim hujan datang, bunga itu,” Lily menunjuk sekumpulan tanaman yang tumbuh di taman, “belbunga.”

“Oh,” Qwincy mengangguk, “Kamu suka sama bunga itu?”

Lily mengangguk. “Soalnya nama aku sama kaya nama bunga itu.”

“Masa, sih? Emang nama bunganya apa?”

“Mas Qwincy! Lily!” seru Shaly sambil tergopoh-gopoh menuju taman belakang, membuat Lily dan Qwincy sontak berpaling. “Ocean udah pulang.”

Mendengar berita tersebut, Qwincy langsung bergegas mematikan laptop dan menaruhnya di dalam ransel. Sementara Lily buru-buru mengambil satu crayon warna ungu dan mulai mewarnai.

Tidak lebih dari tiga menit setelah Shaly menyampaikan kabar, Ocean pun tiba di taman belakang. Baik Shaly, Lily, maupun Qwincy segera bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa.

Meski sudah menyiapkan hati saat melihat mobil Fortuner hitam terparkir di carpot, Ocean masih tetap merasa canggung saat berjumpa Qwincy di taman belakang. Dia khawatir, pria itu masih marah padanya.

“Halo, Sayang.” Ocean menyapa Lily yang tengah mewarnai.

“Mama udah pulang?”

Meski sang putri menanyakan sesuatu yang sudah jelas, Ocean tidak urung mengangguk.

“Kamu lagi warnai pohon?”

Sambil terus mewarnai, Lily mengangguk.

“Tumben, warnanya ungu. Biasanya hijau.”

Lily tersadar, lalu menghentikan kegiatan mewarnai. Karena tadi buru-buru, gadis itu memang keliru mengambil krayon.

“Lo enggak tahu ada pohon warna ungu?” Buru-buru Qwincy mengambil alih pembicaraan. “Gue lupa namanya. Tapi pohon itu tumbuh di daerah Amerika Selatan. Tadi gue cerita ke Lily kalo warna daun di pohon enggak cuma hijau. Ada juga yang warnanya merah, kuning, ungu.”

Lily menatap Qwincy dengan takjub. Dia memang pernah melihat tanaman hias sang oma yang berdaun merah, tapi tidak pernah tahu kalo ada pohon besar yang daunnya warna-warni. Gadis itu ingin mendengar cerita lengkap tentang pohon-pohon tersebut. Namun, dia tidak bisa menanyakannya sekarang.

“Perspektif baru. Biar hidup Lily enggak monoton-monoton banget,” tambah Qwincy yang ditutup dengan tawa kecil.

Mendengar itu, ada sedikit kelegaan di hati Ocean. Bukan karena pelajaran baru untuk putrinya, tapi karena sikap ceria Qwincy. Tampaknya pria itu sudah melupakan peristiwa kemarin.

Thank you, udah ngajarin hal-hal baru ke Lily,” ucap Ocean tulus, lalu berpaling pada Lily. “Sayang, kamu mandi dulu sama Oma, ya. Mama mau ngobrol sama Om Qwincy.”

“Kenapa, sih, kalo mama pulang pasti nyuluh aku mandi?”

“Karena kamu emang belum mandi, kan?” Ocean menjawil hidung Lily.

Wajah Lily langsung cemberut. Alasan sang mama memang benar. Namun, ada hal yang membuatnya enggan mandi.

“Kalo aku mandi, pasti Om Spidel langsung pulang,” rajuk Lily sambil menoleh ke arah Qwincy.

Berdasarkan pengalaman, Qwincy selalu pulang saat dirinya mandi. Padahal, hari ini Lily masih ingin ngobrol dengan Qwincy. Terutama tentang pohon-pohon dengan daun warna-warni.

“Aku masih mau dengal celita Om Spidel tentang pohon walna-walni.”

“Nanti Om Qwincy ceritain kalo kamu udah selesai mandi,” ucap Ocean, “Iya, kan?” Sambil berpaling, perempuan itu meminta persetujuan Qwincy.

Tanpa pikir panjang, Qwincy langsung mengangguk. Menurut BMKG, hari itu Jakarta tidak akan diguyur hujan. Langit pun cerah. Maka, ia bisa sedikit berlama-lama di kediaman Ocean.

Mendapat jawaban tersebut, Lily segera bangkit dan berjalan menuju kamar. Shaly pun segera menyusul dari belakang.

“Gue enggak nyangka bakal ketemu lo di sini,” ucap Ocean setelah duduk di samping Qwincy.

“Kalo gue, sih, udah nyangka bakal ketemu lo. Lo, kan, tinggal di sini,” sahut Qwincy yang ditutup dengan kekehan.

Ocean memutar kedua bola mata. Candaan pria di samping memang menuntutnya menyiapkan berlapis-lapis stok sabar. “So, apa yang membawa lo ke sini?”

“Mobil hitam gue,” jawab Qwincy santai.

“Ihhh,” Ocean menggeram gemas, lalu melipat tangan di depan dada. “Maksud gue, manusia super sibuk seperti lo pasti punya alasan khusus datang ke rumah gue. Nah, apa alasan itu?”

“Ngasih pie cokelat.” Qwincy mengerling ke arah meja makan yang ada di belakang taman. Ada dua bungkus pie dengan varian berbeda di sana.

“Kemarin gue lupa nitip pie itu ke lo. Jadi, hari ini gue rela mengorbankan waktu sibuk gue untuk nganterin pie,” jelas Qwincy dengan ekspresi jumawa, membuat Ocean geram dan ingin melayangkan tinju.

Meski begitu, Ocean bersyukur Qwincy tidak menyinggung peristiwa kemarin. Ditambah lagi, kecerian pria itu juga sudah kembali. Bagi Ocean, itu sudah cukup untuk saat ini.

“Ngomong-ngomong, apa istimewanya bunga itu?” Qwincy menunjuk tanaman yang tadi dibicarakan Lily.

Bagi Qwincy, tidak ada yang terlalu mencolok dari tumbuhan itu. Daun-daunnya panjang. Bunganya kecil dengan beragam warna. Ada putih, ada merah muda, dan ada yang berwarna kuning. Selain itu, semua terlihat biasa. Tidak seistimewa bunga anggrek dengan keunikan kelopaknya atau Raflesia dengan ukurannya.

“Kenapa lo tiba-tiba nanya itu?”

“Bunga itu pasti istimewa, sampai-sampai nama anak pertama lo sama dengan namanya. Bener, kan?”

“Lo tahu darimana?”

“Lily. Apa informasinya salah?”
Ocean menggeleng pelan.

“Jadi, apa istimewanya bunga itu? Gue penasaran.”

Ocean menelan ludah. Sebenarnya dia ingin menghidari topik tersebut, tapi mengingat karakter Qwincy yang tidak mudah menyerah, rasanya pasti akan sulit.
“Bunga itu hanya berbunga di musim….”

“Musim hujan, kan?” sambar Qwincy.

Ocean terkejut. “Kok, lo tahu?”

Qwincy mengangguk. “Tadi Lily cerita begitu. Tapi, emang cuma itu alasannya?”

Ocean mengangguk pelan. “Meski lo nyiram banyak air ke bunga itu, dia enggak akan berbunga sebelum musim hujan tiba. Itu yang terjadi pada Lily. Meski ada yang ingin dia keluar dari perut gue lebih cepat, tapi Lily bertahan sampai waktunya tiba.”

Qwincy sontak bertepuk tangan. “Filosofi yang keren banget. Lo emang bener-bener keren,” pujinya sambil mengacungkan dua jempol.

Tersipu mendengar pujian itu, Ocean tersenyum sambil menunduk. Namun, dia tidak boleh berlama-lama dengan topik ini. Perempuan itu pun memutar otak untuk mencari topik baru.

“Gue tadi ketemu Pak Riyadh. Kayanya dia marah karena lo enggak ikut.”

“Oh, itu. Lo enggak perlu bohong lagi kalo ketemu Pak Riyadh. Gue udah ngasih tahu yang sebenarnya.”

“Maksudnya?”

“Gue udah bilang kalo lo bukan sodara gue.”

Ocean terperanjat. “Pantes aja, tadi gue disuruh nunggu enam jam di luar ruangannya. Padahal kemarin gue masih boleh nunggu di dalam. Malahan, kemarin skripsi gue dikoreksi kurang dari satu jam.”

Qwincy terbahak mendengar omelan itu.

“Terus, gimana nasib skripsi gue selanjutnya? Kira-kira gue masih bisa lulus semester ini enggak, ya?” lirih Ocean sambil memandang kosong ke arah kolam renang di hadapan.

“Tenang aja. Gue bilang sama Pak Riyadh, kalo kebohongan itu ide gue. Gue juga minta dia untuk enggak mempersulit skripsi lo.”

Ocean berpaling pada Qwincy. “Lo yakin Pak Riyadh bakal ngedengerin omongan lo? Lo kan udah bohongin dia.”

“Tenang aja. Gue lebih kenal Pak Riyadh daripada lo,” ucap Qwincy sambil menepuk-nepuk pundak Ocean.

Meski tidak yakin, Ocean terpaksa mengangguk dan mempercayai Qwincy.

“Tapi, gue punya satu pertanyaan penting,” ucap Qwincy, lalu bangkit dan berjalan menjauhi Ocean.

Ocean membuntuti Qwincy, kemudian bertanya, “Apa?”

Qwincy berhenti di depan jejeran tumbuhan yang dari tadi menarik minatnya. Pria itu lalu berjongkok dan mengamati tanaman itu lebih dekat. “Nama bunga ini apa, ya?”

“Nama bunga yang mana?” Meskipun bisa menebak maksud Qwincy, Ocean tetap bertanya. Dari tadi, dia sebenarnya ingin menghindari pertanyaan itu. Namun, saat ini rasanya mustahil.

“Bunga ini,” Qwincy memegang salah satu bunga berwarna merah muda, “Bunga yang lo pakai buat namain Lily. Gue tahu beberapa bunga lily. Ada lily auratum yang waktu itu gue bawa ke sini, tiger lily, sama lily superbum yang bisa dimakan. Nah, kalo yang ini, jenis lily apa?”

“Sebenarnya, bunga itu enggak termasuk lily-lilyan, sih. Malah, lebih ke tumbuhan bawang-bawangan. Cuma namanya doang yang ada lily-nya.”

“Pantesan, daunnya mirip sayur kucai.” Sambil mengangguk, Qwincy berkomentar. “Emang nama bunga ini apa?”

“Nama latinnya Zephyranthes,” jawab Ocean.

Menahan geram, Qwincy menoleh ke arah Ocean yang berdiri satu meter di samping kiri. “Maksud gue, nama yang lo copy paste jadi nama Lily.”

“Itu..., nama bunga itu, Lili Peri. Tapi biasanya juga dipanggil Lili Hujan atau Rain Lily.” Ocean menelan ludah. Tenggorokannya terasa tercekat. “Gue ambil yang terakhir buat nama anak gue.”

Qwincy terperanjat mendengar kalimat Ocean. Ia pun segera mengingat-ingat perkenalan dengan Lily di rumah sakit. Akhirnya ia menyadari, ketika itu Lily bukan mengucapkan kata Len, tapi Rain.

Meski langit Jakarta sangat cerah, terasa ada petir yang menyambar bersahut-sahutan di semesta Qwincy. Dari sekian banyak lily, kenapa Ocean harus memilih Rain Lily sebagai nama anaknya? Kenapa mereka harus bertemu? Dan yang terpenting, kenapa ia harus telanjur menyayangi Lily?

Tanpa pikir panjang, Qwincy langsung bangkit dan berjalan menjauhi Ocean. Ia mengambil ransel, lalu pergi tanpa pamit pada perempuan di belakang. Bahkan janjinya pada Lily sudah dilupakan.

Ocean tidak mencegah kepergian Qwincy. Dia tahu, cepat atau lambat adegan serupa akan terjadi. Sekarang hanya tergantung pada pilihan pria gondrong tersebut. Ingin tetap berhubungan dengannya dan Lily atau pergi menjauh seakan tidak pernah bertemu.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Jam sudah hampir menunjukan pukul 12 malam, tapi Qwincy masih bertahan di Kopi-kopi. Meski tidak terlalu ramai, hadirnya beberapa orang yang ada di kafe membuatnya merasa nyaman. Paling tidak, ia bisa mengalihkan perhatian dari memikirkan Lily.

Mengamati manusia; tingkah laku, gerak-gerik, hingga aktivitas yang dilakukan, menjadi salah satu kegiatan yang sering dilakukan Qwincy. Dari data-data kasat mata itu, ia akan mencoba membuat sebuah cerita singkat tentang kehidupan mereka. Meski hasilnya tidak akurat, tapi bisa melatihnya membuat karakter tokoh.

Qwincy terus melakukan itu hingga seorang wanita berdaster yang dikenalnya masuk ke kopi-kopi dan segera menuju sofa di salah satu pojok ruangan. Tiba-tiba, terlintas sesuatu di benak Qwincy. Maka ia pun menghampiri wanita itu.

“Malam, Bu Rindi,” sapa Qwincy sambil duduk di seberang wanita tersebut.

“Eh, Mas Qwincy. Tumben malam-malam masih di sini. Ada janji? Atau mau pesan kopi buat begadang?” tanya Rindi.

Qwincy memang jarang berada di Kopi-kopi hingga larut malam. Meski harus mengejar deadline, pria itu lebih memilih menyelesaikannya di kamar. Paling-paling, ia turun untuk memesan kopi dan mencari udara segar, lalu kembali lagi ke kamar.

“Lagi males aja di kamar,” ucap Qwincy.

Wanita yang diajak bicara pun menggumamkan ‘oh’ panjang.

“Ngomong-ngomong, saya boleh nanya ke Bu Rindi, enggak?”

“Oh, silakan-silakan. Saya mau dijadiin tokoh novel, ya?”

Qwincy langsung terkekeh. Ia memang pernah berniat menjadikan wanita itu sebagai salah satu tokoh novel. Namun, ia belum menemukan cerita yang tepat.

“Waktu itu, Bu Rindi cerita kalo takut hantu, kan?”

Wanita berdaster hijau itu mengangguk.

“Pernah enggak Bu Rindi punya keinginan untuk menghilangkan rasa takut itu?”

“Bukan pernah lagi. Saya emang lagi berusaha biar nggak takut lagi, kok.”

“Oh, ya? Saya baru tahu.”

“Masa, sih? Bukannya saya pernah cerita, ya?”

Qwincy mencoba menggali ingatan, tapi tidak kunjung menemukan cerita yang dimaksud. “Yang mana, ya?”

“Itu, loh, cerita kalo saya selalu nonton film hantu di bioskop.”

Qwincy mengerutkan kening. Rindi memang pernah bercerita bahwa dirinya tidak melewatkan satu pun film horor  yang sedang tayang di bioskop. Namun, apa hubungannya dengan usaha menghilangkan rasa takut pada hantu?

“Saya pernah dengar, salah satu cara menghilangkan phobia atau ketakutan adalah mengakrabkan diri dengan sumber phobia itu. Karena saya takut hantu, makanya saya terus nonton film hantu.”

“Terus, berhasil?” tanya Qwincy ragu. Jika cara tersebut memang sukses, harusnya malam ini Rindi tidak berada di kafe untuk menginap.

“Kalo untuk saya, berhasil, sih. Dulu-dulu, waktu Mas Dodit ke luar kota, saya kan ada di kafe ini dari jam 6 sore. Hari ini, jam 12. Ada sedikit kemajuan, kan?”

Qwincy mengangguk pelan. Melihat sejarah yang ada, hal itu memang bisa dikatakan sebuah kemajuan, sebuah prestasi.

“Jadi, kita harus mengakrabkan diri dengan apa yang ditakutkan untuk menghilangkan phobia?” Qwincy mengkonfirmasi.

Rindi mengangguk dengan yakin. “Satu lagi. Tahu, enggak? Dari semua film horor, saya suka yang berbalut komedi. Karena saya bisa mengambil versi lain hantu yang enggak menakutkan dan bisa mengakrabkan diri dengannya.”

Lagi-lagi, Qwincy mengangguk. Mengambil perspektif lain untuk mengakrabkan diri dan menghilangkan phobia. Apakah ia harus melakukannya untuk mencintai hujan? Apakah ia bisa? Yang terpenting, apakah egonya bersedia?

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Rain Lily, bunga yang namanya di-copy paste sama Ocean.














Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro