20. KERAK TELOR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Mas Qwincy mau ngapain? Kok selimutnya dibuka-buka?”

Perawat yang baru tiba di sebelah ranjang Qwincy terkejut karena melihat selimut yang dikenakan sang pasien sudah tersingkap hingga memperlihatkan sebagian paha.

“Hehel, Hus,” lirih Qwincy dengan seluruh tenaga yang ia punya. Keberadaan selang ventilator membuatnya kesulitan mengucapkan kata-kata.

Semenjak sadar dari pengaruh obat bius, Qwincy merasakan pegal di sekujur tubuh. Baginya, menggerak-gerakan kaki dan tangan adalah solusi yang tepat. Namun apa daya, sisa-sisa obat bius membuat tubuhnya belum bisa bergerak bebas, seolah-olah lumpuh, tidak bertenaga. Akhirnya, ia hanya bisa menekuk satu kaki kanan dan tidak sengaja membuat selimut tersingkap.

Tak mengerti apa yang diucapkan sang pasien, perawat malah  berkata, “Operasi Mas Qwincy berhasil. Sekarang Mas Qwincy ada di ruang ICU untuk observasi.”

Perawat itu lalu meluruskan kaki kanan Qwincy yang tertekuk dan kembali menyelimutinya dengan selimut salur putih hijau.

Qwincy terkejut, bukan hanya karena sang perawat mengabaikan keluhannya, tapi juga karena apa yang dilakukan perempuan berseragam biru muda itu. Ia sudah susah payah mengganti posisi kaki untuk mengurangi pegal, tapi malah dikembalikan ke posisi awal.

Pria itu ingin sekali marah-marah, tapi sadar bahwa hal tersebut sia-sia selama selang ventilator masih terpasang. Maka ia pun hanya bisa menerima nasib sambil mencoba mengalihkan perhatian dengan melirik sekitar.

Dari ranjang yang posisi kepalanya sedikit ditinggikan, Qwincy bisa melihat beberapa pasien yang tengah terbaring. Namun dari pengamatan itu, hanya dirinya yang berusia dewasa, sedangkan yang lain masih bayi dan anak-anak.

“Kita keluarin lendir dulu, ya, Mas Qwincy,” ucap perawat tadi ketika teman sesama perawatnya sudah datang.

Meski tidak mengerti apa yang dimaksud, dengan lemah Qwincy mengangguk.

Dua orang perawat berada di samping kiri dan kanan ranjang. Setelah aba-aba, salah satunya memasukkan sebuah alat panjang ke dalam selang ventilator Qwincy, membuat pria itu kesakitan, hingga menitikan air mata.

Beberapa saat berikutnya, alat itu pun ditarik dan terlihat banyak lendir.

“Tiga atau empat jam lagi ventilatornya dicabut, ya. Sekarang Mas Qwincy istirahat dulu.”

Qwincy menjawab dengan anggukan pelan. Ia pikir masalah terbesarnya hanya operasi. Ternyata, masa pemulihan tidak kalah beratnya. Pegal di sekujur tubuh ditambah lagi sakit di tenggorokan karena alat bantu napas menjadi cobaan selanjutnya.

***

“Halo, Mas Qwincy. Masih ingat saya?” tanya Dokter Rahmat yang kali itu mengunjungi Qwincy dengan setengah lusin dokter PPDS*.

*Program Pendidikan Dokter Spesialis

Beberapa saat sebelumnya, salah satu dari dokter PPDS tersebut memaparkan kondisi Qwincy. Dokter Rahmat lalu berdiskusi dengan dokter-dokter lainnya di mana Qwincy dijadikan subjek yang dibicarakan. Setelah selesai, barulah Dokter Rahmat menyapa sang pasien yang tengah menikmati sarapan bubur sumsum.

“Masih ingatlah, Dok,” jawab Qwincy sambil menahan kesal. Sejak ventilator dilepas tadi malam, pria itu memang sudah mulai bisa bebas berbicara.

“Dokter kan yang datang ke ruangan saya, terus jelasin tentang resiko operasi,” lanjut Qwincy. “Tapi kenapa dokter enggak jelasin apa yang akan saya hadapi setelah operasi? Dokter enggak bilang kalo ventilator itu rasanya sakit.”

“Kalau saya jelasin tentang itu, nanti Mas Qwincy malah kabur,” ucap Dokter Rahmat. 

“Ya… paling enggak, dokter harusnya kasih tahu kalo habis operasi badan saya akan pegal-pegal. Kalo dokter kasih tahu dari awal, saya kan bisa bawa kursi pijat ke sini. Biar habis operasi saya dibaringin di situ aja.”

Mendapat keluhan itu, Dokter Rahmat malah terkekeh lalu berpaling ke arah dua perawat yang berdiri di dekat ranjang. “Sus, karena pasiennya udah bisa ngomel-ngomel, berarti kondisinya sudah stabil. ACC pindah ke intermediate ward, ya.”

Salah satu perawat tersebut pun mengangguk dan melangkah pergi, sedangkan yang satunya mulai merapikan selang infus yang tidak digunakan lagi.

“Oia, titip salam buat ayah Mas Qwincy,” ucap Dokter Rahmat sebelum beranjak bersama pasukannya, menuju ranjang lain untuk mengevaluasi kondisi pasien.

Mendengar kalimat terakhir, Qwincy menyeringai. Dokter Rahmat pasti tidak menyangka jika Wira bahkan tidak tahu jika anaknya dioperasi. Tak ingin berlarut-larut dalam hal itu, Qwincy kembali menyuap bubur meski langit-langit mulut terasa perih.

Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi pergi, datang kembali. “Mas Qwincy,” panggilnya, “Keluarganya sudah saya telepon. Katanya, akan segera ke sini. Kita tunggu mereka sampai dulu, ya, baru pindah ke IW.”

Qwincy mengangguk. Ia tahu bahwa keluarga yang dimaksud adalah Aru karena nomor pria itulah yang dicantumkan untuk dihubungi oleh pihak rumah sakit. Kalo menunggu pria itu datang, setidaknya butuh waktu dua jam mengingat jarak tempuh antara kantor Bumibuku dan rumah sakit, juga kemungkinan macet di perjalanan.

“Keluarga Mas Qwincy, kan, ada di ruang tunggu ICU.” Perawat yang sedang mencabut selang infus menanggapi.

“Masa, sih?”

“Itu, loh. Bapak-bapak yang kemarin pagi ngamuk-ngamuk di sini.”

“Oh, yang itu! Emang masih ada?”

“Kayanya, sih, belum pulang dari kemarin. Bajunya masih sama. Tadi waktu manggil keluarga Bayi Ana, saya liat masih ada di ruang tunggu, kok. Coba cek, deh.”

Perawat yang satunya pun mengangguk, lalu segera pergi lagi.

“Mas Qwincy anak kesayangan, ya?” tanya perawat sambil membuang selang infus ke tempat sampah. “Kemarin ayah Mas Qwincy bikin heboh karena nangis-nangis dan ngamuk-ngamuk di ruang ICU.”

Qwincy teringat kata-kata Dokter Rahmat. Mungkin karena itulah sang dokter menitipkan salam untuk orang yang disebut ayah tersebut.

“Ayah Mas Qwincy terus-terusan nanya, kenapa anaknya belum sadar? Padahal udah kami jelasin kalo Mas Qwincy sengaja ditidurkan selama dua hari agar jantung baru-nya bisa beradaptasi,” lanjut perawat.

Qwincy mengulum senyum mendengar penjelasan tersebut. Rasa haru dan bahagia meledak dalam dada karena sosok tersebut telah mengkhawatirkan keselamatannya.

“Itu bukan ayah saya, Sus. Tapi om saya,” ralat Qwincy sambil membayangkan Agra tengah menangis dan mengamuk.

“Masa, sih? katanya, beliau ayah Mas Qwincy.”

“Saya emang dekat sama om saya. Sampai-sampai seperti ayah dan anak.”

Perawat tersebut menggumamkan ‘oh’ panjang, lalu pamit untuk menyiapkan berkas-berkas kepindahan Qwincy ke ruang perawatan selanjutnya.

***

Sama seperti di ruang ICU, meski merupakan pasien VIP, Qwincy tetap harus berbagi kamar. Bedanya, jika di ICU terdapat 10 pasien di satu ruangan besar, di ruang intermediate hanya ada dua pasien dalam satu kamar.

Qwincy menempati kamar di dekat jendela, sementara di sampingnya sudah ada satu pasien lain. Seorang remaja laki-laki dengan bibir kebiruan yang fokus menonton televisi.

Perawat di ruang intermediate sedang memperbaiki posisi selang infus ketika sesosok pria paruh baya berjalan pelan ke depan ranjang Qwincy.

“Selamat siang, Sus!” sapa sosok itu dengan suara penuh wibawa.

Qwincy hampir terlonjak dari kasur. Ia sempat berpikir bahwa itu halusinasi. Namun, suara familiar milik pria tersebut meyakinkannya bahwa itu bukan mimpi.

“Siang, Pak! Keluarga pasien, ya?” tanya perawat.

Pria itu mengangguk. “Katanya saya disuruh ke sini.”

“Iya, Pak. Ada beberapa hal yang mau saya sampaikan. Tapi, saya ambil obat dulu, ya.”

Pria itu kembali mengangguk, sedangkan perawat berlalu meninggalkan Qwincy, Wira, serta pasien lain yang tidak terganggu dengan kehadiran orang-orang asing di sekitar.

“Saya tidak minta dijenguk!” sinis Qwincy tanpa melihat lawan bicara. Daripada melihat pria itu, ia lebih memilih menyaksikan gerimis yang mulai turun.

Alih-alih menanggapi kalimat pedas putranya, Wira malah sibuk melihat-lihat rekam medis yang terletak di ujung ranjang. Dalam hati, Wira kesal sekali. Bukan sambutan seperti ini yang dia inginkan. Namun, mungkin ini yang memang pantas diterimanya.

“Tahu dari siapa?” tanya Qwincy sambil menebak bahwa Agra adalah tersangka utamanya. 

Wira melipat kedua tangan di dada, lalu mengangkat dagu dan berkata, “Enggak ada, tuh. Kebetulan aja Panda ada kunjungan ke rumah sakit ini dan lihat-lihat daftar pasien di sini. Lalu kebetulan lihat nama kamu.”

“Bullshit!” dengkus Qwincy. Sekali kebetulan masih masuk akal. Namun jika berkali-kali namanya bukan lagi kebetulan, tapi alasan yang dibetul-betulkan.

Alih-alih menanggapi kekesalan sang putra, Wira malah berjalan menuju jendela yang tepat berada di samping ranjang. Pria itu pun mulai menutup tirai karena melihat hujan mulai turun dengan deras.

Saat itu, terdengar suara pintu dibuka disusul dengan suara langkah tergopoh-gopoh.

“Qwin! Sorry, gue telat. Habis Aru ngabarin lo bakal pindah ruangan, gue ke apartemen lo dulu, jemput Om Agra.” Dengan napas tersengal-sengal, Ocean menjelaskan.

“It’s okay,” jawab Qwincy singkat. “Mana Om Agra?”

“Masih di luar. Lagi terima telepon dari kantornya,” terang Ocean. Perempuan itu masih mengatur napas ketika menyadari sosok pria paruh baya di dekat jendela tengah berdiri menatapnya.

“Selamat siang, Om Wira!” sapa Ocean ramah. “Saya enggak tahu kalo Om Wira di sini.”

“Lo kenal?” tanya Qwincy sambil bergantian menatap Wira dan Ocean. 

“Iya!”

“No!”

Wira dan Ocean kompak menanggapi dengan jawaban yang bertolak belakang.

Sontak Ocean mengerutkan kening. “Saya Ocean, Om. Yang waktu itu video call-an sama Om. Ngasih tahu kalo Qwincy mau operasi.”

“Jadi lo yang ngasih tahu?” Qwincy mendelik.

Ocean mengangguk. Ide untuk memberitahu Wira tentang kondisi Qwincy merupakan hasil diskusinya dengan Agra kala itu.

“Sepertinya kamu salah orang!” bantah Wira sambil melirik pada Qwincy yang tengah memandang kesal.

Sejenak Ocean mengingat-ngingat. Dia yakin pria itulah yang melakukan panggilan dengan dirinya. Meski hanya sekali, 10 menit rasanya cukup untuk membuatnya mengingat jelas raut wajah ayah Qwincy. Terutama sebaris uban yang tumbuh di bagian kepala sebelah kiri. Seperti garis lurus putih yang seolah-olah dilukis di dasar hitam. Sangat khas.

“Saya yakin itu om, deh.”

“Mungkin itu kembaran saya,” bantah Wira sambil membuang wajah ke arah jendela. Meski dia hanya bisa memandang tirai yang menutupi kaca.

Tiba-tiba terdengar tawa tertahan milik Agra yang mendengar kalimat sang kakak ipar. Jangankan kembaran, adik saja Wira tidak punya. Agra ingin membantah, tapi urung karena tidak ingin membuang-buang tenaga.

“Halo, Bang Wira,” sapa Agra mengalihkan topik. “Hai, Qwin! Gimana kabar kamu?”

“Mendingan, Om,” jawab Qwincy. “Makasih udah datang.”

Agra mengangguk. Baru saja ingin menanyakan lebih lanjut tentang kondisi Qwincy, tapi perawat sudah berseru dari belakang.

“Kok rame banget, ya?”

“Maaf, Sus. Ada sedikit miskomunikasi. Jadi semuanya hadir,” terang Agra.

“Lain kali, gantian aja, ya,” ucap perawat. “Terus, ini kok tirainya ditutup?”

“Saya yang tutup, Sus. Saya takut ketinggian.” Kali ini Wira yang menjawab.

Lagi-lagi Agra menahan tawa. Sejak kapan sang kakak ipar memiliki phobia pada ketinggian? Bukankah dulu Wira dan Qwincy sering naik bianglala, juga rollercoaster? Bahkan hingga sekarang Wira sering melakukan olahraga paralayang.

“Jadi, apa yang mau suster jelasin?”  tanya Wira, ingin segera menuntaskan kecanggungan di ruangan tersebut.

Selama sepuluh menit berikutnya, perawat pun menyampaikan beberapa hal terkait peraturan di bangsal intermediate hingga perlengkapan yang harus disediakan untuk pasien.

“Suster! Boleh kami ganti nomor yang harus dihubungi kalo pasien butuh sesuatu?” tanya Agra.

Mendengar permintaan itu, perawat pun mengangguk dan menyerahkan berkas pasien dan pulpen pada Agra.

Sambil mengulum senyum, Agra segera mencoret nomor ponsel Aru dan menuliskan sederet nomor baru.

“Selain barang-barang tadi, apa lagi yang harus disediain, Sus?” Kali ini Ocean bertanya.

“Kalo mau, keluarga bisa bawain makanan kesukaan pasien. Biar pasien lebih semangat makan,” ucap perawat.

Ocean berpaling ke arah Qwincy. “Lo punya request makanan, enggak?”

“Enggak usah. Makanan di rumah sakit udah cukup, kok,” jawab Qwincy. Ia tidak mau membuat Ocean repot.

Ocean mengangguk.

Setelah memastikan tidak ada lagi yang perlu disampaikan, perawat pun secara sopan meminta agar Wira, Agra, dan Ocean segera meninggalkan ruangan supaya Qwincy bisa beristirahat.

“Cuaca di luar tiba-tiba membuat saya ingin makan martabak telor,” celetuk Wira sebelum beranjak, membuat Agra, Ocean, dan perawat sedikit terkejut.

Sementara itu, Qwincy berusaha keras menahan geram. Martabak telor adalah makanan kesukaannya. Sang ayah tahu pasti akan hal itu.

“Kamu mau?” Wira bertanya pada Ocean yang dijawab dengan gelengan.

“Kamu, Gra?”

Tidak seperti Ocean, Agra segera mengangguk paham, lalu berpaling ke arah Qwincy.

Belum sempat ditawari Agra, Qwincy buru-buru berseru, “Samu! Beliin gue kerak telor! Sekarang!”

Ocean membelalak. Kepalanya mendadak pusing mendengar permintaan itu. Di mana pula dia harus mencari makanan langka tersebut?

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Beh, lagi dimane? Dicariin Ocean, noh!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro