21. BENANG SEMRAWUT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Adududuh, Sus!?” Qwincy mengaduh. Sambil meremas-remas perut yang sakit, pria itu menyesali karena telah mengabaikan peringatan perawat.

Sore tadi, Ocean memang datang membawa siomay sebagai ganti kerak telor. Qwincy pun memakan seluruh siomay lengkap dengan sambal kacang dan sambal cabai yang disediakan. Maka delapan jam kemudian, perut pria itu mulai protes.

Malangnya, dengan berbagai alat monitor yang menempel di tubuh, Qwincy tidak bisa bebas pergi ke toilet. Pilihannya hanya satu; buang air besar di pispot.

“Masih berapa lama lagi, Sus?” rintih Qwincy.

“Empat jam lagi, Mas.” Untuk ketiga kalinya perawat  menjawab pertanyaan Qwincy.

Di shift saat itu, memang tidak ada perawat pria yang bertugas. Menurut petugas, perawat pria akan datang di shift selanjutnya atau pada pukul lima pagi. Namun, Qwincy tidak yakin sanggup menahan panggilan alam hingga fajar menyingsing.

“Sama saya atau perawat yang lain aja, ya?” Lagi-lagi perawat menawarkan diri.

Dan lagi-lagi, Qwincy menggeleng tegas. Ia tidak mau membiarkan wanita muda itu atau perawat-perawat wanita lain melihat daerah pribadinya.

Selama ini, kateter pembuangan urine sudah menyelamatkannya dari prosesi pembersihan oleh perawat wanita. Ia hanya perlu menunggu hingga shift di mana perawat laki-laki bertugas, lalu meminta mereka untuk membersihkan tubuh dan mengganti baju.

Sayangnya, kateter tidak memfasilitasi jenis pembuangan yang lain. Maka ketika itulah ia berada dalam masalah besar. Seperti saat ini.

“Kalo dokter…, ada enggak dokter cowok yang jaga malam ini?” tanya Qwincy sambil meringis.

“Ada, sih. Tapi membersihkan tubuh pasien bukan tugas dokter. Jadi dokter pasti enggak mau.”

“Coba nego dulu, Sus. Siapa tahu doketrnya mau,” rengek Qwincy. “Adududuh.”

“Enggak bisa, Mas,” kukuh perawat sambil menghela napas panjang.

“Cleaning service atau security, deh. Pokoknya siapa aja yang penting berjenis kelamin laki-laki. Adududuh.”

“Enggak bisa, Mas. Semua, kan, punya jobdes masing-masing,” ujar perawat, tetap mencoba untuk sabar. “Atau saya telepon keluarga Mas Qwincy, gimana?”
 
Qwincy membelalak. “Brilian!” serunya. “Kenapa enggak dari tadi suster nawarin ide itu, sih?”

“Ya udah, saya telepon keluarga Mas Qwincy dulu, ya,” pamit perawat, lalu meninggalkan ruangan.

Qwincy mengangguk bahagia. Seingatnya, Agra sudah merubah nomor yang harus dihubungi. Maka, ia hanya perlu menunggu sekitar empat puluh menit hingga sang paman datang dari apartemen. Itu jauh lebih baik daripada harus menanti selama empat jam.

Sambil menunggu, Qwincy berdoa agar sang paman tidak keberatan menempuh perjalanan di dini hari hanya untuk membersihkan sisa-sisa kotoran. Ia juga berharap agar google maps tidak membuat sang paman tersesat, sehingga bisa sampai di rumah sakit dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

*
🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Mas Qwincy, bisa mulai, ya. Keluarganya sudah ada,” ucap perawat sambil menaruh pispot di ranjang.

Qwincy melihat jam di dinding dengan sedikit heran. Rasa-rasanya, baru sepuluh menit yang lalu perawat pergi meninggalkan ruangan.

“Kok nyampenya cepet, Sus?” tanya Qwincy curiga. Ia menduga itu hanya akal-akalan perawat, dimana nantinya wanita muda itulah yang akan membersihkan tubuh Qwincy.

“Kebetulan keluarga Mas Qwincy lagi ada di coffeshop di seberang gedung ini.”

“Suster enggak bohong, kan?”

Meski tersinggung, perawat tetap tersenyum. “Enggak, dong. Keluarga Mas Qwincy beneran sudah di sini.”

“Laki-laki, kan, Sus?” tanya Qwincy mewanti-wanti.

Kecurigaannya berganti. Ia khawatir jika keluarga yang dimaksud adalah Ocean yang sedang begadang di rumah sakit. Meski sepertinya, itu hal yang tidak mungkin.

“Laki-laki, kok. Saya juga sudah bilang kalo beliau dimintai tolong untuk membersihkan tubuh Mas Qwincy,” terang perawat.

“Yakin, kan, Sus?”

“Yakin,” ucap perawat, penuh penekanan. “Mas Qwincy buruan duduk di pispot. Nanti malah kebobolan di kasur, loh.”

Setelah perawat menutup tirai pemisah, Qwincy pun segera menuruti instruksi perawat dan menuntaskan hajatnya.

Hingga tirai kembali terbuka dan Qwincy ternganga.

“Kok?” protes Qwincy saat melihat kehadiran Wira. “SUSTEER! Kok orang ini?”

“Nomor yang saya hubungi emang nomor bapak ini,” terang perawat dari balik tirai.

Raut wajah Qwincy berubah. Andai tahu kalo yang datang adalah Wira, ia lebih rela menunggu hingga pukul lima.

“Emang kenapa, Mas Qwincy? Apa mau saya aja yang bersihin?” tanya perawat dari balik tirai.

Sejenak Qwincy diliputi kegalauan, harus memilih antara sang ayah atau perawat muda di balik tirai. Akhirnya pria itu memilih yang pertama, meski rasa gengsi melanda.

“Jangan suster!” tolak Qwincy buru-buru. Sepertinya ia tidak punya pilihan lain.

Mengabaikan sambutan tidak hangat dari Qwincy, Wira berdiri santai di dekat jendela sambil memandangi suasana Jakarta. Gedung-gedung menjulang berjajar dengan beberapa lampu yang masih menyala serta kendaraan yang lalu lalang membuat kota itu seakan-akan tidak pernah benar-benar tertidur pulas. Seperti dirinya di dua puluh tahun terakhir.

Beberapa menit kemudian, Wira pun menoleh pada Qwincy dan bertanya, “Mau dibersihin sekarang, enggak?”

Antara gengsi dan benci, Qwincy pun mengangguk dengan berat hati.

Wira lalu pun membersihkan tubuh sang putra dengan amat telaten. Gerakannya diusahakan selembut mungkin, seolah-olah sedang membersihkan tubuh seorang bayi. Pria itu bahkan tidak lupa mengoleskan minyak kayu putih agar Qwincy tetap merasa hangat.

Ketika Wira sudah menyelesaikan tugasnya, perawat pun membuka tirai.

“Lain kali, jangan dibeliin makanan pedas dan mengandung kacang dulu, ya, Pak. Biar anaknya enggak sakit perut,”  ucap perawat sambil meletakkan minyak serta sabun kembali ke dalam nakas.

“Memang martabak telornya pake kacang?” Wira berpaling ada Qwincy, membuat pria gondrong itu gelagapan.

“Bukan martabak telor, Pak. Tapi siomay. Martabak telornya, sih, belum dibuka.” Perawat menunjuk kotak martabak yang masih terbungkus rapi.

Wira melihat hal tersebut, lalu melirik sekilas pada Qwincy yang sudah pura-pura tidur. Meski ada sakit di hati, dia tidak urung untuk berkata, “Baik, Sus. Saya akan lebih hati-hati milih makanan untuk anak saya.”

Dalam hati, Qwincy pun merapalkan hal senada. Ia akan lebih berhati-hati dalam memilih makanan agar kejadian serupa tidak kembali terulang.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Kondisi stabil membuat Qwincy tidak perlu menghabiskan banyak malam di intermediate ward. Hari berikutnya, dokter sudah mengijinkan pria itu untuk pindah ke ruang perawatan.

Qwincy bahagia bukan kepalang karena bisa merdeka dari kabel monitor alat-alat vital yang membatasi pergerakan. Ia juga tidak perlu lagi berbagi ruang dengan pasien lain. Yang paling penting, ia sudah diperbolehkan ke toilet meski harus dengan pengawasan.

Akan tetapi, kabar bahagia tidak selalu diikuti dengan kabar bahagia lainnya.

“Om enggak bisa nambah cuti lagi, Qwin. Kerjaan om udah numpuk banget,” tolak Agra untuk kesekian kalinya.

“Om enggak boleh egois gitu, dong! Ponakan Om kan lagi sakit. Lagi butuh kehadiran om. Jarang-jarang, loh, aku dioperasi.”

Agra yang tengah berdiri di ujung ranjang menghembuskan napas, lalu menggeleng.

“Sampai aku pulang dari rumah sakit aja, Om. Please,” rayu Qwincy.

Lagi-lagi Agra menggeleng.

“Kan ada gue, Qwin. Kalo ada apa-apa, lo bisa minta bantuan gue.” Ocean membesarkan hati Qwincy.

Qwincy menoleh ke samping kiri tempat tidur dimana Ocean tengah duduk sambil mengupas apel. “Lo mau bantuin gue mandi? Bantuin gue juga pas mau konser di toilet?” tantangnya.

“Em… itu…,” bola mata Ocean berputar, “kita kan bisa telepon Aru.”

“Kalo gue mules, masa gue harus nunggu dua jam, sih?” sungut Qwincy. “For your information, megang batu seerat-eratnya pun enggak bakal manjur buat men-delay mules parah.”

“Kan ada panda kamu, Qwin,” sambar Agra sambil mengerling ke arah sofa di dekat jendela.

Di sana, Wira duduk tenang sambil mengerjakan tugas kantor di laptop. Dia berusaha mengabaikan apa yang dibicarakan ketiga orang di dalam ruangan. Meski rasanya sakit karena diabaikan.

“Om!” Sambil melotot, Qwincy berseru dengan tertahan.

“Qwin! Emang kamu enggak tahu kalo Bang Wira ngamuk-ngamuk di ICU karena kamu enggak bangun-bangun?”

Qwincy tersenyum sinis. Ia teringat cerita perawat saat masih berada di ruang ICU. Keharuan dan  kebahagiaan karena ada yang begitu peduli padanya, meluap seketika begitu tahu bahwa orang tersebut adalah Wira.

“Panda kamu sayang banget sama kamu, loh,” sambung Agra.

“Om!” Qwincy mendelik, “Orang tua yang sayang sama anak, enggak akan ngebuang anaknya!”

Agra menghela napas panjang. “Bang Wira punya alasan.”

“Bullshit!”

“Coba aja kamu tanya langsung.” Agra melirik pada Wira yang tetap bergeming meski sedang menjadi topik pembicaraan.

“Bang Wira!”  panggil Agra. “Sekarang kesempatan abang buat lurusin semuanya. Aku udah capek terjebak di antara kalian.”

Usai mengatakan hal tersebut, Agra pun memberi isyarat pada Ocean agar mengikutinya keluar ruangan. Qwincy dan Wira butuh waktu berdua untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang ada.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Silakan.”

Setelah membiarkan ruangan hening selama lima puluh menit, akhirnya Qwincy menyerah dan memutuskan untuk mengucapkan satu kata singkat. Ia tidak ingin membiarkan dunia tanpa kata tersebut berlangsung hingga waktu yang tidak terbatas.

“Silakan apa?”

“Ya, terserah. Mau minta maaf, kek. Mau ngasih reason-reason, kek. Mau marah-marah, kek. Mau ke toilet, kek. Mau keluar ruangan, kek. Atau mau terus kerja di laptop. Apa aja, silakan!” sewot Qwincy.

Wira tersenyum, lalu menutup laptop di pangkuan. “Kamu mau yang mana dulu?”

Qwincy menggigit bibir bawah. “Ke toilet dulu,” ucapnya pelan sambil merutuk dalam hati.

Salah satu efek obat yang diminum pasca operasi memang membuatnya lebih sering buang air kecil. Sayangnya, kateter pembuangan urine sudah dicabut hingga mau tidak mau ia harus bolak-balik ke toilet.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Panda tahu, panda salah,” ucap Wira ketika sudah kembali duduk di sofa.

“Emang salah,” sambar Qwincy. “Di mana-mana, buang anak itu adalah kejahatan. Kecuali yang dibuang anak nyamuk. Itu, sih, untuk kesehatan.”

“Kamu enggak mau tahu alasannya?” tanya Wira, tidak menggubris ocehan Qwincy.

“Kalo mau kasih alasan, ya, ngomong aja. Enggak perlu nunggu persetujuan,” ketus Qwincy, sambil menggulirkan layar ponsel. Ia tidak ingin menatap sang lawan bicara.

“Panda ngelakuin ini karena panda betul-betul cinta sama bunda kamu,” ucap Wira.
 
“Hah?” respon Qwincy lalu tertawa sinis.

“Bagi panda, kehilangan karena hubungan jarak jauh atau perceraian, rasanya lebih mudah diterima daripada kehilangan karena kematian.”

Qwincy mulai melirik pada sang ayah yang sedang bercerita sambil menatap kosong pada ubin putih rumah sakit.

“Panda pergi jauh dari Indonesia hanya karena ingin membohongi diri panda, bahwa Qila masih hidup. Masih tinggal di Jakarta.”

Wira menjeda selama beberapa detik, membuat Qwincy harus menahan rasa penasaran setengah mati.

“Panda enggak pernah datang saat bunda kamu dirawat di rumah sakit, di ICU, bahkan sampai dia meninggal. Semata-mata agar panda tetap bisa meyakinkan diri panda sendiri bahwa Qila baik-baik saja. Sehat dan bugar.”

Mata Wira memerah. Tenggorokannya juga mulai terasa sakit karena menahan perih yang mulai menjalar dari hati, berdesakan ingin keluar.

“Untuk menopang kebohongan itu, panda sengaja ninggalin kamu sama Agra. Karena ketika kamu ada di dekat panda dan itu tanpa Qila, panda akan tersadar bahwa bunda kamu udah enggak ada.” Wira menelan ludah. “Itu terlalu sakit, Qwin! Terlalu menyakitkan! Panda enggak sanggup!”

Tangis Wira akhirnya pecah.

Sementara di tempat tidur, Qwincy tertegun. Ia bingung, apakah harus ikut bersimpati atau marah pada sang ayah. Yang pasti, benang-benang semrawut antara mereka satu persatu mulai terurai bersamaan dengan hujan yang mulai turun di luar.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Huhuhu... Panda co cuwittt... 😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro