25. 'KABAR BAIK'

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kata siapa pasien adalah orang yang paling menderita selama proses operasi? Bukan! Bukan mereka! Keluarga yang sedang menantilah yang paling tersiksa. Itu yang dirasakan Qwincy sekarang.

Saat menjalani operasi tiga bulan lalu, ia memang ketakutan di awal. Namun setelah masuk ke ruang operasi dan membaca doa tidur, ia pun lelap dalam pengaruh obat bius yang diberikan. Sementara keluarga, mereka harus terus melawan rasa gugup, khawatir, tertekan, dan stress yang seakan-akan tidak berkesudahan.

“Kamu enggak bisa duduk tenang?”

Untuk keempat kalinya Ocean bertanya. Melihat Qwincy hilir mudik di ruang tunggu operasi malah membuat rasa gugupnya semakin berlipat.

“Enggak! Enggak bisa!” Qwincy melambai-lambaikan tangan. “Kalo duduk, aku bakal ngerasa mules terus,” jelasnya, lalu kembali berjalan mondar-mandir.

Qwincy lalu berjalan ke arah security untuk ketiga kalinya dan bertanya kalo-kalo nama keluarga Lily sudah dipanggil. Tentu saja kata belum menjadi jawaban yang kembali ia terima.

“Kok belum dipanggil-panggil, ya?” gumam Qwincy sambil berjongkok di hadapan Ocean.

Beberapa detik kemudian ia kembali berdiri, berjalan sebentar, lalu duduk di samping Ocean. Namun hanya bertahan lima detik sebelum pria itu kembali mondar-mandir.

Ocean hanya melirik sekilas lalu kembali menunduk sambil terus merapalkan doa-doa. Ini adalah kali ketiganya berada di ruang tunggu operasi. Harusnya, dia bisa lebih santai karena punya pengalaman. Nyatanya, perempuan itu tetap tidak bisa menepis ketegangan.

Bagaimana tidak? Angka 60 berbanding 40 terus terngiang-ngiang di telinga. Peluang yang lebih kecil dari risiko terus menghantui kepala. Bagaimana jika? Bagaimana jika? Pertanyaan itu seakan-akan terus bergema di telinga.

“Lama banget, sih!” keluh Qwincy saat sudah kembali duduk di samping Ocean.

“Baru satu jam. Masih ada sembilan jam lagi,” komentar Ocean.

Qwincy menghela napas yang amat panjang, lalu mulai mengacak-acak rambut yang saat itu tidak tertutupi topi. Satu jam menanti saja rasanya seperti berabad-abad. Bagaimana dengan sembilan jam? Jangan-jangan dirinya sudah membatu seperti fosil.

“Kamu, kok, malah tenang-tenang aja?” protes Qwincy.

“Tenang?” Ocean mendongak. Kata siapa dia tenang? Sejak tadi jantungnya seperti digedor-gedor, perutnya melilit, kepalanya sakit. Ditambah lagi harus melihat Qwincy yang terus saja mondar-mandir.

“Aku mau gimana lagi? Mondar-mandir juga enggak bakal ngebantu proses operasi di dalam, kan?” ketus Ocean.

Dalam hati, Qwincy mengiyakan. Namun duduk diam Ocean tetap tidak bisa ia terima. “Ya, setidaknya… ah! Udahlah!” 

Qwincy kembali berdiri, mendatangi security, lalu kembali mondar-mandir.

“Hei, Gondrong!”

Panggilan Renald mengejutkan Qwincy. Meski bukan nama asli, bagi Qwincy itu adalah panggilan sayang.

“Kenapa, Ompi?” tanya Qwincy sambil menghampiri Renald yang sudah berdiri sambil bertolak pinggang.

Setelah level lo-gue dengan Ocean meningkat menjadi aku-kamu, Qwincy memang mulai memanggil Renald dengan panggilan ompi, singkatan om papi. Sementara itu, ia menggunakan kata mican yang berarti mami cantik sebagai panggilan untuk Shally.

“Saya tahu kamu cuma akting! Tapi jangan berlebihan!” Renald mengacungkan telunjuk ke wajah Qwincy.

Dia tahu bahwa Qwincy memang dekat dengan Lily. Namun, dia tidak terima jika kekhawatiran pria muda itu melampaui milik para keluarga.

Qwincy mengerutkan kening. Di waktu-waktu lain, ia bisa saja membalikkan kalimat Renald. Namun saat ini, dengan segala kegelisahan yang dialami, otaknya tiba-tiba seperti jalanan Jakarta di hari kerja. Macet.

“Pii..!” panggil Shally.

“Mami jangan dulu bela-belain si Gondrong ini!” ketus Renald.

Hatinya belum lega. Emosi yang menumpuk karena rasa khawatir pada apa yang mungkin terjadi di ruang operasi harus ditumpahkan. Baginya, Qwincy adalah satu-satunya orang yang tepat untuk menjadi pelampiasan. Dan ini adalah timing yang tidak bisa dilewatkan.

Shally yang sudah berdiri di samping Renald, lantas berbisik, “Enggak enak sama keluarga pasien yang lain.”

Renald melemparkan pandang ke sekitar. Beberapa keluarga pasien di ruang tunggu memang menoleh sejak mendengar omelan Renald. Sebagian dari mereka bahkan terang-terangan terus menatap, seakan-akan menanti adegan selanjutnya. Drama yang tengah berlangsung memang sedikit banyak mampu memecah kekhawatiran yang tengah mereka rasakan. 

“Biarin aja!” kukuh Renald, lalu berpaling pada Qwincy. “Ini pasti gara-gara rambut yang berlebihan, makanya kelakuan juga berlebihan!”

“Rambut?” Kening Qwincy mengernyit. Ia tidak terima jika rambut gondrongnya diseret-seret.  Pria itu baru saja mau menjawab, tapi tiba-tiba tangannya ditarik seseorang.

“Ikut aku!”

Seperti anak kecil yang dipaksa pulang saat sedang asyik menonton lomba tujuh belasan, Qwincy mengikuti langkah Ocean sambil terus menoleh ke arah belakang.

“Sam, Samu! Mau kemana?”

“Itu bukan ruang tunggu pribadi,” jelas Ocean ketika mereka sudah sampai di depan lift. “Kamu ngeganggu keluarga pasien lain.”

“Tapi, kaan…, iya, deh.” Qwincy melepaskan genggaman Ocean. “Anggap aku yang salah. Ayo kita balik lagi ke ruang tunggu. Aku janji bakal duduk tenang, kok.”

Ocean sontak menggeleng, lalu kembali menarik Qwincy untuk masuk ke lift yang baru terbuka. “Kita ke sana kalo operasinya udah mau selesai.”

Menghentikan langkah di antara pintu lift, Qwincy melepaskan gandengan Ocean. “Tapi, gimana--”

“Pliss…,” pinta Ocean dengan suara parau. Seperti Qwincy, seperti Renald, perempuan itu pun butuh pengalihan.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Gimana? Aku lebih tampan, kan?”

Sambil menatap Qwincy, Ocean pura-pura berpikir keras. “Kalo aku bilang lebih jelek, gimana?”

“Berarti aku harus beli wig!”

Jawaban itu sontak membuat Ocean mengulum senyum. Qwincy yang berambut gondrong memang terlihat keren, tapi rambut pendek pun menjadikan pria tersebut tampak lebih segar. Maka keduanya bukan merupakan masalah bagi Ocean.

“Kamu yakin, alasan potong rambut bukan karena papi?”

Qwincy mengangguk sambil menyesap kopi. Renald memang menjadi salah satu alasan, tapi bukan yang utama.

Sepuluh hari lagi adalah ulang tahun Lily. Di hari itu, Qwincy memang berencana hadir dalam kostum Spiderman. Ide untuk totalitas menjadi tokoh super hero itu tiba-tiba terlintas. Rambutnya harus pendek! Bukankah Lily pernah menolaknya sebagai Spiderman hanya karena memiliki rambut panjang?

“Ngomong-ngomong, kenapa, sih, papi kamu alergi banget sama rambut gondrong?”

“Karena….” Ocean menjeda kalimat sambil menggigit bibir bawah, “Mungkin karena dia punya pengalaman buruk dengan pria berambut gondrong.”

Qwincy mengangguk sambil memikirkan kata-kata Ocean. “Apa karena umumnya penjahat yang dia tuntut di pengadilan berambut gondrong?”

Ocean mengangkat kedua bahu sebagai jawaban.

“Tapi, penjahat berambut pendek juga banyak, kok. Yang rapi, enggak brewokan, berdasi, dan pakai seragam, malah nyolong lebih banyak,” gumam Qwincy.

Ocean kembali mengangkat kedua bahu, lalu meraih donat kedua.

“Oh, aku tahu! Aku yakin papi kamu sebenarnya iri sama orang-orang berambut gondrong.”

“Iri?” Ocean menautkan kedua alis.

Qwincy mengangguk-angguk seakan-akan hipotesa yang dicetuskan adalah sebuah fakta. “Dulu, papi kamu pasti fans-nya Guns N Roses. Dia juga pengen punya rambut gondrong kaya Axl Rose.”

“Terus?” komentar Ocean acuh tak acuh.

“Impian berambut gondrong papi kamu enggak kesampaian karena jaksa enggak boleh berambut gondrong. Makanya dia kesal sama orang yang bisa gondrongin rambut. Termasuk aku.”

Mendengar hipotesa tersebut, Ocean sontak tertawa. Apalagi saat melihat Qwincy menyanyikan lagu Sweet Child O’ Mine. Perempuan itu makin terbahak sambil membayangkan penampilan Renald dengan rambut gondrong.

“Ngomong-ngomong,” Qwincy menghentikan nyanyian karena teringat sesuatu, “belum ada kabar dari rumah sakit ya?” tanyanya sambil melihat jam di pergelangan tangan.

Pertanyaan itu membuat tawa Ocean berhenti mendadak. Namun, dia tak urung menggeleng sebagai jawaban.

“Kenapa belum ada kabar, ya?” tanya Qwincy cemas. Operasi Lily sudah berjalan setengah dari waktu yang direncanakan dan hingga saat ini belum ada telepon yang diterima.

“Tidak ada kabar adalah kabar baik,” ucap Ocean sambil tersenyum tipis. “Itu tanda bahwa keadaan Lily masih dalam kendali para dokter. Karena kabar di tengah-tengah operasi artinya kegagalan.”

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Ini udah hari ke dua puluh tiga, loh, Samu!” keluh Qwincy sambil mondar-mandir di café 24 jam yang ada di kompleks rumah sakit.

Sementara itu, Ocean tengah menunduk sambil terus memanjatkan doa-doa pada Ilahi. Menanti Lily sadar dari operasi memang pernah dilaluinya, tapi tidak pernah selama ini.

“Aku harus ketemu Dokter Rahmat!” putus Qwincy.

“Dokter Rahmat enggak ada di rumah sakit,” cegah Volcano. Dia tahu pasti karena melihat Dokter Rahmat pergi sejak sore tadi.

Qwincy menoleh. “Kalo gitu, saya ke rumahnya.”

“Belum tentu Dokter Rahmat di rumah,” ucap Volcano lagi.

“Kalo gitu...,” Qwincy menjeda, “Saya minta nomor Hp-nya. Dokter Volcano pasti punya, kan?”

“Qwin, kamu mau ngapain nelpon malam-malam gini?” Setengah kesal, setengah lelah, Ocean bertanya.

Qwincy melihat jam di pergelangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.40 malam. Memang tidak sopan menelepon di jam ini. Namun, apa lagi yang bisa ia lakukan untuk menenangkan hati?

Qwincy segera mengambil tempat duduk di samping Ocean, lalu menjawab, “Ya… tanya apa aja. Kenapa Lily belum bangun? Kapan Lily bangun? Apa yang udah dan akan dilakukan dokter agar Lily bangun?”

Ocean menghela napas panjang, lelah dengan sikap Qwincy. Dia memang berterima kasih karena pria itu mau menemani di rumah sakit hampir setiap siang dan malam. Namun kepanikan, kecerewetan, dan ketidaksabaran Qwincy kadang membuatnya gregetan.

“Kita udah nanya itu berkali-kali, kan?”

“Apa salahnya nanya lagi?” kukuh Qwincy.

“Qwin,” Ocean menelan ludah, “operasi Lily berhasil. Buatku sekarang, itu cukup untuk jadi kabar baik.”

“Tapi--”

“Mas Qwincy, kabar baik tidak selalu harus disusul dengan kabar baik lainnya,” potong Volcano. “Ada banyak faktor yang membuat Lily masih ingin tidur. Dan tim dokter pasti sudah dan akan terus berusaha agar Lily segera bangun di waktu yang tepat.”

Qwincy memicing pada pria yang duduk di seberang Ocean. “Jujur, deh, Dok! Apa ada malpraktek atau kesalahan saat operasi?”

Mendengar tuduhan itu, ekspresi Volcano langsung berubah. Wajahnya memerah karena marah. Dia geram karena ada orang awam yang berani menuduh rekan-rekan sesama dokternya.

“Qwin!” tegur Ocean. Perempuan itu baru saja ingin melanjutkan kata-kata ketika ponselnya berdering.

Selama beberapa menit berikutnya, Volcano dan Qwincy menutup mulut sambil menatap ke arah Ocean, menunggu hingga perempuan itu menyelesaikan panggilan.

“Lily udah bangun.” Ocean tersenyum.  “Tapi aku baru boleh ke sana besok pagi.”

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Selamat pagi, Mican.” Qwincy menyambut Shally di pintu masuk rumah sakit.

“Pagi, Nak Qwincy yang tampan,” balas Shally.

“Hai, Samu! Pagi ini kamu cantik banget, deh.” Kali ini Qwincy menyambut Ocean.

Mendengar pujian itu, Ocean pun memonyongkan bibir. Meski sebenarnya dia tidak memungkiri kalo pagi ini bangun dengan kondisi yang lebih segar. Tidurnya nyenyak. Entah karena kabar baik yang diterima semalam atau efek empuknya ranjang di rumah.

Hampir satu bulan perempuan itu memang tidak tidur di rumah. Dia memilih tidur di mobil yang diparkir di rumah sakit agar bisa segera datang jika dokter membutuhkan. Namun semalam, Qwincy dan Volcano membujuknya untuk pulang. Qwincy berjanji akan tidur di rumah sakit untuk menggantikan Ocean, sementara Volcano mengantar perempuan itu pulang.

“Kamu udah ketemu Lily?” tanya Ocean sambil menjajari langkah Qwincy menuju lift.

“Belum, dong. Aku mau, kamu jadi orang pertama yang dilihat Rain.”

“Sayang sekali, harapan kamu harus pupus. Orang pertama yang dilihat Lily adalah suster atau dokter di ICU,” ucap Ocean lalu mengulum senyum.

Perempuan itu memang sedih karena tidak menjadi orang pertama yang dilihat Lily saat bangun. Namun, itu bukan masalah besar. Kesadaran gadis kecil itu sudah cukup untuk menjadi kabar baik saat sekarang.

Qwincy tetap mengikuti Ocean dan Shally, meskipun hanya keluarga yang diperbolehkan menemui pasien di ruang ICU. Pria itu berencana menemani salah satunya ketika yang lain menunggu di luar ruangan karena kunjungan harus dilakukan secara bergantian.

Sepanjang perjalanan, Ocean selalu tersenyum. Matanya berbinar, hatinya terlampau girang. Seolah-olah dia akan bertemu dengan kekasih yang sudah lama dirindukan. Perempuan itu tidak sabar ingin melihat senyum Lily atau bahkan mendengarnya mengeluh karena sakit di sana sini.

“Ocean.” Panggilan Volcano membuyarkan lamunan Ocean. Ternyata pria itu sudah menunggu di depan ruang ICU. “Yuk!”

Setelah mencuci tangan dan memakai masker, Ocean pun berjalan ke arah Volcano. Tepatnya menuju ruang ICU.

“Jangan kaget dengan apa yang nanti kamu lihat. Ini masih normal,” ucap Volcano, meski sejak tadi Ocean mengabaikan panggilan maupun keberadaannya.

Dari balik masker, Ocean tersenyum tipis. Dia yakin yang dimaksud Volcano adalah selang-selang yang berjuntaian di seluruh tubuh Lily. Bukankah dia sudah pernah melihatnya beberapa kali? Maka kali ini, harusnya hal itu bukan masalah lagi. Kesadaran Lily sudah cukup untuk menjadi kabar baik sekarang ini.

Setelah menyebutkan nama pasien pada petugas, Ocean pun melangkah mengikuti arah yang ditunjukan. Sementara Volcano yang dari tadi diabaikan, tetap mengekor di belakang.

“Halo, Sayang," sapa Ocean ketika tiba di depan ranjang Lily.

Perempuan itu sedikit terkejut melihat kondisi Lily. Tubuh gadis kecilnya sangat kurus, seperti tulang dibungkus kulit. Ocean pun teringat kata-kata Volcano. Namun, kondisi tubuh Lily bukan masalah besar. Penambahan berat badan bisa dikejar. Yang terpenting sang anak sudah sadar. Itu sudah cukup untuk menjadi kabar baik.

"Maaf, ya, mama baru datang,” tambah Ocean.

Saat itu, Lily sedang duduk bersandar sambil disuapi oleh perawat. Ocean sedang menantikan wajah gadis kecil itu berubah cemberut atau rengekan ingin pulang karena bosan. Namun, ternyata Lily memberi respon yang lain.

“Siapa?”

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Om-om gondrong

Versus

Om-om baru potong rambut


Kalian suka yang mana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro