26. IRI SETENGAH MATI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kenapa saat sadar, saya baik-baik saja, Dok?” 

“Mas Qwincy,” Volcano menarik napas panjang, “Ini sama seperti ketika kita ketiduran dari siang sampai maghrib. Saat bangun, terkadang kita bingung, bahkan mispersepsi tentang ruangan dan waktu.”

Dengan seksama, Qwincy mendengarkan sambil mengingat-ingat. Ia memang pernah mengalami hal yang dikatakan Volcano. Karena tidur siang terlalu lama dan bangun saat pukul tujuh malam, Qwincy pernah buru-buru mandi dan berpakaian rapi untuk pergi kuliah. Saat keluar dari tempat kost, ia terkejut bukan kepalang. Ternyata langit sudah gelap. Buru-buru ia melihat kalender di ponsel dan tersadar bahwa hari belum berganti. Hanya cahaya  matahari saja yang sudah pergi.

“Tapi, masa sampai lupa selama ini, sih, Dok?” Qwincy masih tidak puas dengan jawaban Volcano.

Sudah empat hari sejak sadar, tapi Lily masih terlihat linglung. Kehilangan keceriwisan, gadis kecil itu juga lebih banyak diam dan tidur. Saat diajak ngobrol, gadis kecil itu pun lebih banyak bingung. Dia bahkan menatap Ocean, Shally, Rhenald, dan Qwincy seperti orang tak dikenal. 

“Itu normal,  Mas Qwincy. Dia tertidur selama 23 hari,” jawab Volcano.

Sang dokter sengaja tidak mengucapkan nama Lily agar gadis kecil itu tidak tersinggung. Meskipun dia tahu, Lily mungkin tidak mengerti atau tidak peduli pada apa yang dibicarakan orang dewasa di sekitar.

“Wajar kalau dia masih linglung. Ditambah lagi, ada pengaruh obat,” lanjut Volcano, lalu kembali menyuapkan bubur ayam pada Lily.

Qwincy melihat adegan itu dengan cemburu. Sejak sadar, sikap Lily memang seakan-akan berubah. Alih-alih dekat dengan Qwincy atau orang rumah, gadis kecil itu justru lebih nyaman bersama Volcano.

Mungkin karena Dokter Volca adalah orang yang paling sering dilihat Lily saat di ruang ICU dan intermediate.’ Demikian terang perawat pagi tadi.

Meski sudah mendengar penjelasan perawat, Qwincy masih merasa iri setengah mati. Bagaimana bisa kebersamaannya selama ini bersama Lily, terganti begitu saja dengan kehadiran Volcano selama beberapa hari? Bukankah itu tidak adil?

Menghempaskan tubuh di sofa, Qwincy mendengkus kesal. “Sampai kapan, Dok?” desaknya, tidak sabar.

Di sebelahnya, duduk Ocean yang melipat tangan sambil menatap tajam ke arah Volcano dan Lily. Di satu sisi dia lega karena ada orang yang bisa membujuk Lily untuk makan dan minum obat. Namun di sisi lain, dia jengkel karena orang itu adalah Volcano.

“Tim dokter tidak bisa memberi tanggal pasti. Kita tunggu saja,” jawab Volcano.

Di antara semua orang, hanya Volcano yang diam-diam mensyukuri kelinglungan Lily. Selama beberapa waktu lalu dia hanya bisa menyimpan rasa iri setengah mati karena Lily lebih memilih Qwincy. Padahal, dia sudah bertahun-tahun mencoba mendekatkan diri.

Akan tetapi saat ini, semua berubah. Tuhan seperti mengabulkan mimpi-mimpinya. Volcano memang ingin Lily kembali mengingat semua dengan jelas. Ingin gadis itu kembali ke dirinya yang lama. Namun, nanti-nanti saja.

“Dokter jamin, enggak ada malpraktek, kan?”  Lagi-lagi Qwincy meragukan pihak rumah sakit.

Volcano menegakkan punggung, lalu berpaling ke arah Ocean. “Cean. Lily butuh kondisi tenang untuk makan.”

Tanpa menunggu Ocean atau Volcano menyuruhnya diam, Qwincy langsung bangkit. Lagipula ia tidak tahan melihat keakraban Volcano dan Lily. Ia tidak bisa lebih lama menahan rasa cemburu di hati.

Selain itu, ia juga punya janji dengan Aru untuk bertemu di kafe rumah sakit. Memang masih tiga jam lagi. Namun, menunggu di kafe akan lebih baik daripada diintimidasi oleh pria yang sedang membuatnya iri.

Setelah pamit pada Ocean, Qwincy pun melangkah pergi. Saat baru saja menutup pintu dan berbalik,

Braak!

Seperti adegan-adegan di film romantis, Qwincy bertabrakan dengan seseorang. Rambutnya panjang tergerai, mengenakan kaos hitam, dan celana jeans berwarna biru pudar.

Setelah mengucapkan maaf, sosok gondrong itu lalu meraih gagang pada pintu yang baru di tinggalkan Qwincy. Buru-buru, Qwincy menggenggam tangan pria tersebut.

“Mas mau ketemu siapa? Di dalam cuma ada satu pasien,” jelas Qwincy tanpa diminta.

Lily memang berada di kamar perawatan VIP. Tidak ada pasien lain yang seruangan dengannya.

“Ini kamarnya Lily, kan?” tanya pria itu sambil mengintip dari kaca kecil yang memanjang vertikal di pintu.

Sedikit terkejut, Qwincy mengangguk. “Mas saudaranya Ocean?”

Pria itu menggeleng tegas. “Dulu…, dulu saya suaminya,” jawabnya, ditutup senyuman tipis.

Rahang Qwincy tiba-tiba mengeras. Ia akhirnya menemukan jawaban kenapa Renald sangat membenci pria berambut panjang. Kebencian pada sosok yang meninggalkan Ocean pasti terlalu dalam, hingga rambut gondrongnya pun ikut kena getah.

Tanpa menunggu lama, Qwincy segera menggenggam tangan pria tersebut dan menariknya menjauh dari depan kamar Lily. Sementara meski bingung, sosok itu tetap mengikuti langkah-langkah Qwincy hingga mereka tiba di ujung koridor yang sepi.

Qwincy menghentikan langkah, lalu menatap tajam ke mata sosok tersebut. Kemudian, bug! Bug!

Qwincy menghantamkan bogem ke wajah pria di hadapan. Namun hanya berhasil dua kali karena serangan ketiga berhasil ditangkis. Sosok itu pun mendorong Qwincy hingga terjatuh.

“Lo punya masalah apa sama gue?” tanya sosok itu sambil menyeka sudut bibir, memastikan tidak ada darah di sana. Meskipun tidak terlalu keras, pukulan pria tak dikenal itu cukup membuat area pipinya sakit.

“Perlu gue sebutin masalahnya apa?” Qwincy menyeringai sinis. “Lo udah nyakitin Ocean, lo udah ngerampas hak Lily untuk punya papa, dan lo… gara-gara lo, rambut gondrong gue jadi korban!”

Yang lebih penting, kedatangan pria itu bisa menjadi ancaman baru. Meski kemungkinannya kecil, Qwincy khawatir kalo Ocean masih berhubungan dengan pria gondrong tersebut. Bisa saja di tengah keputusasaan menunggu Lily sadar, perempuan itu menghubungi sang mantan. Siapa yang tahu?

Sementara itu, pria di hadapan Qwincy sedikit terkejut. “Gue enggak nyangka lo sebegitu pedulinya sama Lily dan Ocean.”

“Karena mereka adalah masa depan gue,” ucap Qwincy penuh penekanan.

Pria itu kembali tersentak. Tidak kalah terkejut dari saat mendengar pernyataan pertama Qwincy. Dia pun tersenyum, lalu melangkah mendekat dan menjulurkan tangan untuk membantu Qwincy berdiri.

“Sorry, gue enggak tahu.”

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Gue enggak nyangka kalo Om Rhenald udah berubah,” ucap sosok bernama Dito itu setelah meneguk seduhan Robusta.

“Bukannya perubahan manusia adalah hal yang normal?”

“Tapi, abnormal untuk kasus ini,” sanggah Dito. “Sejak Ocean lahir hingga saat gue pergi dari kehidupan Ocean, satu-satunya menantu yang direstui Om Rhenald cuma Volcano.”

Dito melihat sosok Qwincy dengan seksama. Dia sungguh iri setengah mati pada sosok yang duduk di depan. Dia penasaran sekali, apa yang dilakukan Qwincy hingga bisa merampas singgasana abadi Volcano.

“Mungkin, lo kurang sabar dan tekun aja. Makanya enggak bisa ngegantiin posisi sakral itu,” ucap Qwincy sok bijak. Padahal ia tahu pasti, Rhenald masih belum menyerahkan posisi Volcano padanya.

Akan tetapi, Qwincy mengingat percakapan dengan Volcano tempo hari. Bukankah sang dokter sendiri yang mau merelakan posisi tersebut?

Meskipun, saat ini Qwincy sedikit resah. Bagaimana jika kedekatan Volcano dengan Lily berubah menjadi ancaman? Bagaimana jika Volcano menarik kembali serah terima yang pernah dilakukan?

“Tapi, untung lo nyerah. Kalo enggak, gue enggak bakal punya kesempatan.” Qwincy menyungging senyum lebar.

“Saat itu, gue emang enggak punya pilihan selain nyerah,” ucap Dito dengan tangan mengepal. “Tapi itu semua buat Lily. Gue sadar diri, saat itu gue enggak punya kemampuan untuk biayai pengobatannya.”

“Kan ada asuransi yang cuma modal surat keterangan enggak mampu doang!” debat Qwincy.

Baginya, alasan klasik seperti menjual tubuh untuk biaya pengobatan atau meninggalkan keluarga karena tidak sanggup membayar rumah sakit adalah cerita yang tidak laku lagi. Zaman sekarang sudah ada beragam jenis asuransi, mulai dari yang disediakan perusahaan hingga pemerintah. Dari yang berbayar hingga yang mengandalkan surat keterangan miskin.

“Tapi asuransi enggak men-cover biaya pampers, ongkos bolak-balik ke rumah sakit, makan saat di rumah sakit, juga susu khusus untuk anak dengan penyakit jantung bawaan.”

Qwincy menatap tajam ke arah lawan bicara. “Emang lo enggak punya tabungan? Enggak punya kerjaan?”

“Gue baru lulus kuliah waktu Lily lahir. Kerja juga masih serabutan. Kadang nyanyi di kafe, kadang ngamen di perempatan,” terang Dito dengan pandangan nelangsa. “Lo tahu sendiri, peluang kerja untuk lulusan seni musik enggak banyak.”

Qwincy mendengar penjelasan tersebut dengan penuh seksama. Terbesit ide untuk menulis kisah yang didengar dalam novel berikutnya. Namun pikiran itu segera ditepis saat membayangkan hubungannya dengan Ocean menjadi taruhan.

“Ocean sampai harus berhenti kuliah buat menekan pengeluaran,” lanjut Dito.

“Kenapa lo enggak minta bantuan keluarga Ocean?” sewot Qwincy. “Gue tahu harga diri, pembuktian, dan citra sebagai suami-yang-bisa-membiayai-keluarga emang penting. Tapi dalam kondisi terdesak, kenapa harus maksain ego?”

“Karena enggak mau egois, makanya gue ngelepasin Ocean!” tegas Dito dengan rahang yang mengeras. “Seperti yang gue bilang tadi, satu-satunya menantu di mata Om Rhenald cuma Volcano. Dia enggak pernah setuju sama pernikahan gue dan Ocean. Sampai-sampai Ocean diusir dari rumah.” 

Dito menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Waktu gue minta pertolongan ke Om Rhenald, dia ngasih syarat. Gue harus ninggalin Ocean dan Lily.”

“Alur yang klasik sekali,” dengkus Qwincy.

Akan tetapi, Qwincy tak urung berpindah duduk ke samping Dito dan mulai menepuk-nepuk pundak pria tersebut. Ia bisa membayangkan bagaimana perjuangan Dito untuk meluluhkan hati Rhenald akhirnya harus berujung sia-sia.

“Sorry, gue terlalu cepat menilai lo,” ucap Qwincy sambil merutuki Volcano dalam hati. Jika bukan karena dokter tersebut, ia tidak akan tergesa-gesa membuat penilaian untuk mantan suami Ocean. 

“Enggak apa-apa, kok. Itu cuma masa lalu,” ucap Dito, berusaha tegar. “Karena udah ada lo yang bakal menjadi masa depan Ocean dan Lily, kayanya mending gue pulang aja.”

“Jangan! Lo udah jauh-jauh kemari, masa enggak nengokin Rain?”

“Tapi--”

“Hubungan gue dengan Ocean, enggak lantas membuat gue berhak memutus hubungan anak dengan ayahnya. Ayo! Kita ke ruangan Rain!”

Tanpa menunggu persetujuan, lagi-lagi Qwincy menyeret Dito menuju ruangan tempat Lily dirawat.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Saat Qwincy memasuki ruang rawat, di sana hanya ada Ocean dan Lily. Tampaknya Volcano sudah lama pergi. Qwincy sedikit bernapas lega karena kehadiran sang dokter akan membuat suasana tegang. Volcano bukan hanya akan menyalahkan dirinya karena menghadirkan mantan suami Ocean. Dito pun pasti kena amukan. Mengingat kebencian Volcano, beberapa tulang Dito mungkin akan patah di sini sana.

Mengabaikan kehadiran orang yang memasuki ruangan, Ocean terus fokus pada Lily yang sedang mewarnai. Gadis kecil itu memang diminta untuk melatih otot-otot tangan dan jemari. Sementara untuk mengembalikan kekuatan otot-otot kaki, dokter telah menjadwalkan rehabilitasi medik.

“Ocean!” panggil Qwincy. “Ada tamu.”

Ocean menengadah. Tadinya ingin mengomel karena pria tersebut mengganggu dirinya. Namun, kata-katanya tertahan di tenggorokan saat melihat sosok yang ada di samping Qwincy. Bagaimana Dito bisa ada di sini? Darimana dia tahu kabar Lily?

“Hai, Ocean!” Dito menyapa perempuan yang masih terkejut akan kehadirannya.

Tanpa mempedulikan suasana canggung yang ada, Dito melangkah mendekat. Dia lalu duduk di samping ranjang dan mulai membelai rambut Lily. “Halo, Lily,” sapanya.

Mendengar seseorang menyapa, Lily pun tengadah. Selama beberapa detik, gadis itu terdiam, lalu tiba-tiba berseru riang. “Papa!” Lily mengulurkan kedua tangan isyarat pelukan.

Di detik yang sama, Qwincy terdiam. Ia salah alamat. Bukan Volcano yang harusnya membuat iri setengah mati. Namun, sosok yang bernama Dito-lah yang pantas mendapatkannya.

Tak ingin berlama-lama larut dalam rasa cemburu dan sakit hati, Qwincy pun beranjak meninggalkan ruangan. Volcano yang masih mengantongi restu khusus Rhenald dan Dito yang diingat Lily hanya dalam sekali pandang. Sanggupkan ia  bersaing dengan dengan keduanya?

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro