27. KEJUJURAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

         
“Papa!” Lily mengulurkan kedua tangan isyarat pelukan.

Belum habis keterkejutan karena kehadiran Dito, Ocean kembali kaget saat mendengar seruan Lily. Ia kira salah dengar. Namun melihat Lily merentangkan tangan, ia yakin indera pendengarannya benar.

Meski begitu, Ocean tetap tidak habis pikir. Dito pergi saat Lily baru menginjak usia tujuh bulan. Foto pria tersebut pun tidak pernah ia perlihatkan. Lalu, bagaimana mungkin Lily mengenali Dito dalam sekali pandang?

Di sisi lain, Dito pun tak kalah terkejut. Sambil memeluk Lily, pria itu menatap penuh tanya pada Ocean. Dia yakin Ocean tidak akan repot-repot memenuhi otak Lily dengan ingatan tentang pria tak bertanggung jawab yang meninggalkan mereka. Lebih mustahil lagi jika itu dilakukan Shally dan Rhenald.

Sementara itu, Qwincy sangat terpukul melihat Lily yang langsung mengenali Dito dalam sekali pandang.  Sejenak ada rasa penyesalan di hatinya karena sudah membantu Dito untuk bertemu Lily. Bahkan dia juga yang memaksa pria itu untuk bertemu gadis kecil tersebut, meski Dito sudah berniat pergi.

Tanpa pamit, Qwincy segera mundur teratur dan meninggalkan ruangan. Bukan hanya untuk memberi ruang reuni pada keluarga kecil itu, tapi juga untuk menata hati yang telanjur berantakan.

“Papa, kok, lama?” Terpatah-patah, Lily bertanya. Gadis itu masih tak ingin melepaskan pelukan.

“Maaf. Pa…,” Dito membasahi tenggorokan, “papa ada urusan. Jadi baru bisa datang.”

Papa, papi, atau abi, bagaimanapun Lily memanggil, sebisa mungkin Dito akan mengikuti alur yang tercipta. Meski tahu, dia tidak punya hak.

Dengan hati-hati, Dito melepaskan pelukan karena mengkhawatirkan luka di dada Lily. Sebagai gantinya, dia mengelus-elus rambut gadis kecil tersebut sambil tersenyum lebar, menahan haru dan senang.

Lily menatap balik pada pria di hadapan. Dia senang karena bisa kembali melihat sosok berambut gondrong itu. Dia benar-benar kangen. Selama ini, sosok itu hanya hadir di mimpi-mimpinya. Mereka mewarnai, membaca buku, dan makan kue bersama.

“Aku kangen sama Papa Spidel,” ucap Lily pelan.

Mendengar kata-kata Lily, senyum Dito perlahan menghilang. Dia sedikit kecewa, tapi kembali tersadar. Sejak awal, kehadirannya memang tidak diperhitungkan.

Sementara itu, Ocean membekap mulut sambil berusaha keras menahan tawa. Akhirnya ia tahu alasan kenapa Lily memanggil Dito dengan kata papa. Kelinglungan pasca operasi serta perubahan rambut Qwincy, membuat Lily salah mengenali.

“Papa… papa bukan Papa Spider,” ucap Dito penuh kejujuran. Dia bisa saja tiba-tiba menjadi ayah, baba, atau daddy bagi Lily, tapi tidak untuk merebut posisi orang lain. Dia juga masih punya prinsip. Picik tidak termasuk di dalamnya.

Senyum Lily memudar. Dengan kening mengernyit, dia menyeksamai wajah Dito. Gadis kecil itu mencoba mengingat-ingat lagi, tapi tidak berhasil. Sosok di hadapan memang terlihat sama seperti yang ada di mimpi, tapi juga terasa asing.

Lily kesal sekali. Dia ingin mengingat banyak hal, tapi rasanya susah sekali. Maka gadis itu pun memilih untuk kembali berbaring.

Melihat sikap Lily, Ocean segera mendekat dan duduk di pinggir ranjang. “Lily ingat sama Papa Spider?” tanyanya.

Lily mengangguk pelan. Namun tiba-tiba, gadis kecil itu termangu. Dia memang ingat, tapi juga lupa. Beberapa kilasan peristiwa sempat terlintas di otaknya, tapi dia tidak yakin itu nyata. Maka gadis itu memutuskan untuk menggeleng pelan sebagai jawaban.

Gadis itu mulai terisak sambil melirik ke arah Dito. Dia berharap sosok itu adalah orang sama yang ada di mimpi. Lily sungguh ingin bertemu.

“Lily tidur dulu, ya.” Ocean mengelus-elus rambut  Lily. “Setelah bangun nanti, mama janji, mama akan ajak Papa Spider ke sini.”

Sontak mata Lily berbinar. Mama berkata akan mewujudkan inginnya. Mama berjanji menghadirkan sosok yang selalu muncul di mimpinya.

Perlahan senyum Lily kembali rekah. Dia tidak sabar. Maka segera gadis kecil itu mengangguk dan memejamkan mata. Setelah bangun nanti, dia akan bertemu dengan Papa Spider, bukan hanya di mimpi.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Volcano atau Qwincy?” tanya Dito saat Ocean mengantarnya ke luar ruangan. Sementara di dalam, Lily sudah terlelap sejak setengah jam yang lalu.

“Volca atau Qwincy?” ulang Ocean.

“Yang dicari Lily tadi.”

“Oh.” Ocean menyunggingkan senyum. “Qwincy. Yang tadi nganterin Mas Dito ke ruangan.”

Dito tersenyum kecut. Selain mengantongi restu Rhenald, ternyata pria yang berbincang dengannya tadi berhasil memikat hati Lily. Betapa beeruntungnya.

“Gimana sama Volcano?” tanya Dito.

Dia ingat betul, sosok Volcano bak benteng kokoh menjulang, menghadang siapapun yang ingin menghampiri Ocean. Bahkan sejak perempuan itu menjadi junior Dito di SMA, sang sepupu sudah mengukuhkan posisi. Membuat tidak ada satu pun kaum Adam yang berani mendekati Ocean.

Volcano yang saat itu sudah berstatus sebagai mahasiswa kedokteran, sesekali menjemput Ocean dengan mobil mewahnya. Seakan-akan ingin mengabarkan pada dunia bahwa perempuan yang dijemput adalah miliknya. Pintar, kaya, tampan, kenal baik dengan orang tua Ocean. Hampir tidak ada celah tersisa untuk para calon penikung.

Dito bahkan masih tidak percaya bahwa dia pernah menikahi Ocean. Rasanya seperti keajaiban. Meskipun kebahagiaan itu tidak berumur panjang.

“Volcano bisa terima ini? Dia udah setuju?” selidik Dito.

Kali ini, gantian Ocean yang tersenyum kecut. “Aku enggak butuh persetujuan dia untuk melanjutkan hidup.”

“Tapi--”

“Bang!” potong Ocean sambil menatap lekat ke kedua mata Dito. “Terima kasih.”

“Terima kasih?” ulang Dito dengan bingung.

“Bang Dito pergi terlalu mendadak dan aku belum sempat ngucapin terima kasih,” jelas Ocean.

Kening Dito mengernyit. “Ini sarkas, ya?”

Ocean menggeleng tegas. Dito memang berhak mendapatkan ucapan terima kasih atas semua tenaga, materi, juga waktu yang dicurahkan untuknya dan Lily. Jika saja pria itu tidak tersinggung, Ocean bahkan ingin membalas semua itu dengan tabungan yang dimiliki.

Dito menyeringai. “Aku enggak berhak dengar kata terima kasih dari kamu, Cean. Malah, harusnya aku yang minta maaf karena udah ninggalin kamu dan Lily. Aku juga minta maaf karena baru sekarang bisa meminta maaf. Dan, aku minta maaf karena enggak tahu malu sudah datang ke sini.”

Ocean tersenyum tipis. “Aku tahu, waktu itu Bang Dito pergi karena ditekan papi.”

Ketika Dito pergi, Ocean memang terpukul sekali. Ia terus bertanya-tanya apa alasan yang mungkin. Apakah Dito lelah, ingin menyerah? Namun kedatangan asisten Rhenald ke kontrakan satu petak mereka, secara tidak langsung sudah memberi jawaban.

Dito menunduk dalam sambil menghentak-hentakkan pelan ujung sepatu ke dinding ruangan. Dia merenungi masa lalu yang kelam “Itu enggak akan terjadi kalo waktu itu aku punya banyak uang.”

Andai saja dia berasal dari keluarga kaya dengan segunung warisan. Andai saja setelah lulus kuliah dia langsung dapat pekerjaan tetap dengan gaji besar. Andai saja dia punya koneksi yang memudahkan jalan. Andai saja.

“Itu udah berlalu, Bang.” Ocean berusaha menenangkan Dito.

“Aku selalu ngerasa bersalah untuk itu.”

“Aku selalu berterima kasih, Bang Dito mau nyelamatin aku waktu itu,” balas Ocean.

Dito tersenyum. Entah dia yang menyelamatkan Ocean, ataukah perempuan itu yang memberinya kesempatan untuk menuntaskan rasa penasaran pada cinta pertama. Apapun itu, dia tetap bersyukur.

“Qwincy udah tahu tentang ‘itu’?” tanya Dito lagi, dengan penekanan pada kata itu.

Ocean menggeleng pelan. “Aku lagi nunggu timing yang tepat. Mungkin, setelah Lily pulang dari rumah sakit.”

Dito mengangguk paham. Kesehatan Lily memang yang terpenting untuk saat ini. “As soon as posible aja. Sebuah hubungan harus diawali dengan kejujuran, kan?”

Ocean mengangguk sambil tersenyum tipis. Kalimat terakhir adalah miliknya yang disampaikan bertahun-tahun silam ketika keduanya memutuskan untuk menikah.

Dito menepuk-nepuk pelan pundak Ocean. Dia yakin, kali ini perempuan itu akan mendapat kebahagiaan. Meski bukan dengannya.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro