3. STATISHIP

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Statiship: hubungan yang diam di tempat, tidak bergerak maju.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

"Boleh gue duduk di sini?"

Walau terlambat, Qwincy tetap bertanya. Sekedar basa-basi. Sebab sejak setengah menit lalu, ia sudah mulai menyeruput kopi dan menggigit donat dengan topping cokelat putih.

Ocean melirik sekilas, lalu kembali menunduk.

"Kalo saya bilang enggak boleh, bapak akan pindah?" ketusnya.

Qwincy membelalak. "Bapak?" ulangnya sambil meringis. "Kalo lo emang pengen banget terlihat awet muda, setidaknya panggil gue dengan panggilan om atau daddy. Itu terdengar lebih manusiawi."

"Kalo saya panggil dengan panggilan om atau daddy, apakah anda akan pindah?" tantang Ocean tanpa mendongak dan melihat si lawan bicara.

Qwincy menyeringai. Akhirnya perempuan itu mengganti panggilan menjadi anda. Meski masih kesal, ia harus menghargai perubahan itu.

"Enggak juga, sih. Kan meja ini bukan punya 'anda'." Qwincy mengulum senyum.

Kali ini Ocean mengangkat kepala guna mengedarkan pandang ke sekeliling. Di dalam kafe kecil itu hanya ada lima meja, yang semuanya sudah terisi tamu. Dia lalu melongok ke teras kafe. Ada tiga meja yang belum diduduki siapapun.

"Meja di luar kosong," tukas Ocean lalu kembali menunduk.

"Tapi gue enggak mau," sahut Qwincy acuh tak acuh.

Bagaimana mungkin ia duduk di luar sementara awan kelabu tengah bergelayut di angkasa? Bagaimana jika hujan turun tiba-tiba? Dinding dan kaca yang mengelilingi kafe, ditambah suara musik yang mengalun pelan, setidaknya bisa sedikit menyamarkan kehadiran hujan.

Ocean menahan napas karena kesal. Dia pun kembali menyisir seisi ruangan.

"Di sana ada bapak-bapak yang duduk sendiri."

Mata Qwincy mengikuti arah yang dimaksud. "Enggak, ah! Situ kira akika apapun," tolaknya dengan nada mendayu.

Lagipula, ia tertarik duduk di situ karena ingin lebih dekat dengan sang perempuan pemilik gravitasi itu. Bagi Qwincy, itu kesempatan emas. Ia ingin mendalami karakter perempuan itu. Mungkin juga ada kisah yang bisa didapat untuk bahan cerita selanjutnya.

Ocean menghela napas, lalu kembali fokus pada croissant di piring. Dia tiba-tiba merasa bodoh karena meladeni si pria asing.

"Lily," ucap Qwincy setelah melihat map yang tergeletak di meja. Entah apa kata pertamanya, tapi kata kedua dari nama itu adalah Lily. "Nama yang cantik. Sama seperti yang punya."

Perempuan berjilbab pink itu mengikuti arah pandang Qwincy. Lalu dengan segera dia menarik map hasil ekokardiografi, kemudian menaruhnya di kursi samping. Dia geram. Pria di depan benar-benar tidak sopan.

"Apa diagnosa dokter?"

Perempuan itu mendongak, mendapati Qwincy memberi isyarat menggunakan dagu, terkait amplop yang kali ini sudah ada di kursi.

"Ebstein anomaly," jawab Ocean singkat.

Sepertinya pria di depan tak akan menyerah. Lebih baik segera memberi jawaban seperlunya.

"Wohaa!" seru Qwincy sambil menjentikkan jemari, membuat Ocean terkejut setengah mati.

Bukan hanya perempuan bermata bulat itu, beberapa tamu di kafe pun sontak berpaling ke sudut ruangan. Ke arah keduanya.

"Lo pernah dengar, enggak? Dua orang yang berjodoh itu punya detak jantung yang seirama."

"Enggak pernah," tukas Ocean dingin.

"Nah! Makanya gue kasih tahu, biar lo bisa nyiapin hati."

"Untuk apa?"

Qwincy menggeleng-geleng sambil berdecak, bak seorang guru yang putus asa menjelaskan pada murid kelas dua SD, bahwa 1+1 tidak sama dengan 1x1.

"Memangnya dokter enggak bilang sama lo bahwa penderita ebstein anomaly punya detak jantung yang berbeda dengan orang kebanyakan?"

"Lantas?"

"Gue juga ebstein anomaly."

Untuk pertama kalinya, Ocean menatap dalam ke mata pria itu. Dia merasa terkejut juga penasaran. Dengan kelainan yang dimiliki, bagaimana cara pria itu bertahan hingga mencapai usia dewasa?

"Lo punya ebstein anomaly?" Ocean memastikan.

Terpana, Qwincy tersenyum penuh kemenangan. Bertemu orang yang memiliki kemiripan memang akan menimbulkan keakraban, bukan? Bahkan sanggup mengubah penggilan anda menjadi lo.

Qwincy mengangguk.

"Gue pikir, yang berobat anak lo."

Qwincy terkekeh. "Makanya tadi lo manggil gue bapak?" tanyanya.

Ocean mengangguk.

"Gue juga baru tahu kalo gue punya penyakit itu."

"Ini bukan penyakit!" Tiba-tiba, nada suara Ocean berubah. "Ini ke-la-i-nan!"

Qwincy tersentak, tapi tak urung menyahut, "Iya, iya."

Ia tidak ingin keakraban yang baru dijalin, porak poranda. Meskipun ia heran, kenapa perempuan itu malah fokus pada kesalahan pemilihan diksi, bukan pada pokok penjelasan.

"Intinya, karena kita punya penya--, maksud gue, kelainan yang sama, artinya irama jantung kita sama. Jadi secara tidak langsung... artinya gue dan lo berjodoh."

Mendengar teori pria bersweater putih itu, Ocean meringis. "Jadi, apakah setiap orang yang punya kelainan ini harus berjodoh?"

"Harusnya!" tukas Qwincy dengan semangat berapi-api.

Ocean melambaikan tangan. "Di rumah sakit ini ada beberapa anak yang punya kelainan sama. Terus, apa lo juga berjodoh dengan semuanya?"

Qwincy membelalak. "Masa, sih? Kata dokter, kelainan ini hanya 1 berbanding 1000."

"Simple aja. Berarti pasien di sini ada lebih dari ribuan." Ocean geleng-geleng sambil mengulum senyum.

Qwincy menggaruk-garuk kepala yang tidak terasa gatal. Merasa bodoh karena lupa memperhitungkan hal tersebut. Bukankah IHC adalah rumah sakit rujukan nasional? Wajar jika pasiennya ada di angka ribuan.

Meski demikian, Qwincy merasa senang melihat senyum terukir di wajah berbentuk oval itu. Ia yakin, mereka satu langkah lebih dekat lagi.

"Ngomong-ngo--"

Baru saja mau memulai percakapan, ponsel perempuan itu berdering.

"Iya, Mi. Udah selesai, kok."

Setelah menutup panggilan, Ocean segera meraih tas dan dokumen yang ada di kursi.

"Lo mau pergi?"

Perempuan itu mengangguk. Tak menunggu lama, Ocean pun beranjak pergi. Meninggalkan croissant yang masih tersisa sepertiga bagian dan kopi yang baru diminum dua tegukan.

Menatap kepergian perempuan itu, Qwincy menghela napas panjang. Mereka belum juga bertukar nomor ponsel. Ia bahkan belum sempat memperkenalkan diri. Tiba-tiba pria itu merasa kesal karena tadi terlalu panjang melakukan prolog.

Sementara di luar hujan mulai turun, membuat Qwincy bertambah kesal. Ia lalu berpaling pada donat di piring dan kembali menikmati camilan yang tersisa, sambil berharap hujan segera reda.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Sepuluh menit kemudian.

Qwincy melirik jam di tangan kiri. Pukul satu kurang tujuh menit. Meski enggan karena hujan belum berhenti, ia harus segera kembali ke gedung rumah sakit. Mau tak mau, ia harus menerobos hujan untuk menyeberang dan tiba tepat waktu di poli.

Saat membuka pintu kafe, Qwincy merinding. Hawa dingin, deru deras hujan di atap-atap, serta bunyi air yang jatuh dari talang-talang air maupun langsung dari langit, tiba-tiba membuat hatinya tak nyaman. Ada rasa cemas, rasa gelisah, juga sedih yang tak bisa digambarkan.

Selama tiga menit kemudian, pria itu masih terdiam di teras kafe. Cipratan air hampir mengenai sepatu hasil endorse-nya. Sesaat kakinya hendak melangkah, tapi sedetik kemudian kembali mundur. Ia tak mau bersentuhan apalagi bercengkarama dengan hujan.

Tiba-tiba, sebuah payung warna transparan menutupi kepalanya. Payung itu sangat lebar, muat untuk dua orang. Di samping kiri, sang pemilik menatap lurus ke depan. Tas kanvas berlogo menandakan dari mana sang pemilik berasal. Minimarket di samping kafe.

"Lo mau ke gedung utama?" tanya Ocean yang disambut anggukan Qwincy.

"Yuk, gue antar! Lo pasti lupa bawa payung."

Qwincy tersenyum tipis. Ia bukan lupa, tapi memang tidak mau membawanya. Menyiapkan payung berarti mengakui keeksisan hujan, dan ia tak sudi melakukannya.

"Ayo!"

Seruan Ocean menyadarkan Qwincy, membuatnya mulai berjalan. Namun baru dua langkah, petir menyambar. Pria itu terkejut, berhenti lalu menengadah. Suara hujan yang jatuh di payung, terlalu berisik. Ribuan rintik-rintik yang jatuh dari langit pun membuatnya semakin bergidik.

Petir sekali lagi menyambar. Qwincy memejamkan mata. Menutup kedua telinga dengan tangan. Rasa tak nyaman itu semakin besar. Perasaan cemas itu bertambah-tambah.

Tiba-tiba, Qwincy merasakan sesuatu yang hangat. Pria itu perlahan membuka mata dan menjauhkan tangan dari telinga. Di tengah kerepotan membawa satu tas belanjaan, satu tas jinjing, juga payung, perempuan di samping menggenggam tangan kanan Qwincy.

"Selain gravitasi, kayanya lo juga harus belajar listrik statis," ejek Ocean. "Jangan takut. Rumah sakit ini dilengkapi penangkal petir. Jadi, lo enggak akan tersambar."

Ocean lantas tertawa, berharap guyonan itu memecah perhatian Qwincy. Seperti yang diharapkan, pria itu mengulum senyum.

"Lo fans-nya Michael Faraday, ya?" selidik Qwincy.

"Sok tahu!"

"Atau--" Belum selesai kalimat itu, petir kembali menggelegar. Qwincy tiba-tiba memejam sambil menahan napas, tersadar tengah berdiri di bawah hujan.

Melihat perubahan ekspresi pria di samping, Ocean pun mulai melantunkan sebuah lagu,

"Mister sun, sun, mister golden sun, please shine down on me. Oh mister sun, sun, mister golden sun, hiding behind the tree."

Ocean bernyanyi, sementara Qwincy perlahan membuka mata dan menatap takjub. Bukan karena terpesona pada suara Ocean yang pas-pasan, tapi karena lagu itu mengingatkannya pada kenangan masa kecil.

Tanpa sadar, Qwincy sudah digiring hingga tiba di pintu gedung utama rumah sakit.

"Sampai!"

Satu kata itu seakan-akan menyadarkan Qwincy dari pengaruh hipnotis. Pria itu tercengang karena telah sampai di tempat tujuan. Yang membuatnya lebih terkejut, perempuan itu langsung membalikkan tubuh.

"Lo enggak masuk?"

Ocean menoleh. "Urusan gue udah selesai. Gue mau pulang."

Qwincy terpana. Ternyata perempuan itu tetap mengantarnya meski arah mereka berbeda. Kenapa? Qwincy ingin menanyakan itu, tapi ada hal lain yang lebih penting.

"Tunggu, Ly!" teriak Qwincy, berusaha agar suaranya tidak tenggelam oleh riuh rendah hujan.

Pria itu berjalan menghampiri Ocean.

"Tadi gue belum ngenalin diri. Gue Qwincy," ucap Qwincy sambil mengulurkan tangan kanan.

Ocean menyambut uluran itu. "Qwincy? Nama yang unik. Seperti nama--"

"Salah satu novelis Indonesia. Lo enggak salah. Kalo lo pernah ke toko buku dan lihat novel dengan nama penulis Qwincy, nah, itu hasil karya gue."

Ocean terkesiap. Tadinya dia ingin berkata bahwa nama Qwincy mirip dengan nama salah satu tokoh dalam lagu anak-anak. Namun, kenyataan yang didapat membuatnya terkejut setengah mati.

Rahang perempuan itu mengeras. Pria di depan ternyata seorang novelis. Penulis. Sosok yang paling dihindari oleh Ocean.

Dengan kasar, perempuan itu menarik telapak tangan.

"Mulai sekarang, tolong jaga jarak anda dari saya," tegas Ocean, lalu berbalik dan beranjak pergi.

Masih terkejut, Qwincy menatap nanar pada punggung perempuan itu. Apakah ia melakukan kesalahan? Ke mana panggilan lo-gue tadi pergi? Kenapa jarak hubungan yang sudah bergerak maju, seakan-akan kembali mundur dan sepertinya akan terus statis?

Sementara itu, petir kembali menyambar berkali-kali. Hujan pun turun deras sekali, seakan-akan mengajak seluruh anggota gengnya untuk meledek Qwincy yang sedang dicampakkan dan ditinggal pergi.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Kira-kira seperti ini wajah Qwincy pas dicampakkan. Ealah, belum juga ngapa2in udah dicampakkan. 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro