2. ANTOLOGI DOA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Silakan duduk, Mbak--" Dokter berkacamata itu mendongak untuk melihat pasiennya, "eh, Mas Qwincy, ya?" tanyanya ragu-ragu sambil kembali melihat catatan identitas di rekam medis si pasien baru.

Duduk di kursi yang ditunjuk, Qwincy mengangguk dengan muka ditekuk.

"Betul, Dok. Saya 'Mas' Qwincy," ucapnya dengan penekanan pada kata mas. "Bukan Q-U-E-E-N, tapi Q-W-I-N. Qwincy. Bukan juga Queensha, Queenbee, apalagi Quintal. Dan meskipun rambut saya panjang, saya bukan laki-laki jadi-jadian."

Dokter di hadapan meringis saat mendengar penjelasan panjang itu. Dia semakin merasa tak enak hati.

Di sisi lain, Qwincy cukup maklum. Ini bukan pertama kalinya ia harus mengeja dan menjelaskan nama, serta menegaskan jenis kelamin. Bukan apa-apa. Banyak yang salah sangka pada namanya dan mengira dirinya berjenis kelamin perempuan.

Jengah dengan prasangka dan ejekan, saat masih duduk di sekolah dasar, Qwincy pernah melayangkan protes pada orang tuanya. Ia sampai mogok makan agar diijinkan mengganti nama menjadi Kingcy, Rajacy, atau sesuatu yang terdengar lebih maskulin. Sehingga saat pertama kali didengar pihak lain, mereka langsung tahu jenis kelamin si pemilik nama.

"Nama kamu itu adalah kumpulan doa dari keluarga," ucap Qila, wanita yang melahirkan Qwincy.

Qwincy kecil langsung merinding, membayangkan dirinya menjelma menjadi buku kumpulan doa sehari-hari, dengan sampul hijau dan gambar orang sedang mengangkat dua telapak tangan.

"Doa biar kamu jadi anak sholeh, pinter, hidup bahagia, selalu diberi kesehatan, sukses dalam karir dan jodoh, dan bermanfaat bagi semua mahluk," tambah wanita itu.

Mendengar itu, Qwincy mengangguk-angguk sambil bertanya-tanya, tidak adakah yang memanjatkan doa agar dirinya diberi kekuatan super seperti Spiderman?

"Nah, setiap doa itu ditukar dengan satu huruf yang mewakili si pemilik doa."

Sang bunda lalu menjelaskan bahwa namanya merupakan akronim dari nama enam orang yang memberikan doa-doa tersebut; Qila, Wira, Iwan, Neno, Cici, dan Yusuf.

"Enggak ada nama Om Agra, Bun?"

"Waktu itu, Om Agra masih kecil, tugasnya cuma ngaminin doa-doa. Makanya, nama dia enggak dimasukin."

Saat Qwincy lahir, adik sang bunda itu memang masih berada di bangku SMP, sehingga belum mendapat kepercayaan untuk memberikan doa. Seluruh anggota keluarga khawatir Agra malah akan memberikan doa ajaib, seperti doa agar keponakan kecilnya bisa berubah menjadi Batman atau Spiderman.

"Kalo kamu ganti nama, berarti bunda, panda, yangkung, yangti, mbahkung, dan mbahti juga harus ganti nama, biar doanya tetap berlaku," lanjut Qila.

Mendengar penjelasan itu, Qwincy pun bergidik. Sebagai anak dan cucu pertama yang amat disayangi, ia mungkin bisa merengek agar bunda, panda, yangti, dan mbahkung mengganti nama mereka.

Namun, bagaimana dengan yangkung dan mbahti? Masa iya, orang meninggal disuruh ganti nama? Urusannya pasti repot sekali. Selain mengonfirmasi pada petugas TPU untuk penggantian nama di nisan dan surat kematian, jangan-jangan mereka juga harus melakukan konfirmasi pada malaikat agar nantinya tidak ada doa yang tertukar atau salah alamat.

Akhirnya, Qwincy terpaksa pasrah dengan nama yang telah diberikan dan tercatat di akte kelahiran.

Berseberangan dengan Qwincy, Aru -editor sekaligus sahabatnya- malah menyebut nama itu bagus. Membawa keberuntungan.

"Nama Qwincy itu kasih kau hoki. Itu yang bikin kau terkenal," ucap Aru yakin, seyakin bahwa matahari adalah tersangka utama yang membuat kulit putihnya berubah menjadi legam eksotis.

Qwincy memang pernah beberapa kali menerbitkan novel dengan nama pena Pangeran Galaxy. Namun, novel-novelnya tidak laku banyak. Ada yang hanya tiga puluh, dua puluh, bahkan sepuluh eksemplar. Itupun, lima di antaranya dibeli oleh dirinya sendiri.

Di novel ke enam, Qwincy memutuskan untuk menggunakan nama pemberiaan orang tuanya. Anehnya, novel yang menggunakan nama itu laris manis di pasaran, bahkan masuk di jajaran toko buku nasional.

"Itu bukan karena nama gue bawa hoki. Tapi karena kemampuan nulis gue emang semakin berkualitas. Semakin keren," bantah Qwincy.

"Kalo begitu, bagaimana kalo kau balik ulang pake nama Pangeran Galaxy? Kita lihat, kau pung novel masih laku tidak?" tantang Aru.

Tentu saja Qwincy menolak mentah-mentah. Capek kalau harus branding lagi dari awal, demikian alasannya.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

"Saya Dokter Volcano."

"Volcanoo... gunung berapi?" tanya Qwincy yang dijawab dengan anggukan dokter itu.

"Bisa saya lihat hasil pemeriksaan dari RSUD?"

Qwincy segera menyerahkan beberapa berkas yang dibawa. Ada hasil rongten, EKG, juga echocardiology.

Dengan wajah serius, Volcano segera mengamati hasil pemeriksaan tersebut.

"Gimana, Dok? Salah diagnosa, aja, kan?"

"Jika melihat hasil pemeriksaan--"

"Jangan lihat itu, Dok. Tapi, coba dokter lihat saya." Qwincy segera berdiri dan melepaskan topi baseball yang melindungi dari kemungkinan dikenali para penggemar.

"Dari wajah dan tubuh seperti ini, masuk akal enggak kalo saya punya penyakit jantung?"

Volcano memindai pria di hadapan, dari ujung kaki hingga kepala.

Qwincy kembali duduk, "Tubuh saya enggak membiru. Jadi saya yakin, dokter di rumah sakit yang merujuk saya, pasti salah diagnosa."

Volcano mengulurkan tangan, isyarat agar sang pasien memperlihatkan telapak tangan. Selama beberapa detik, dia pun menyeksamai kuku-kuku Qwincy.

"See, kan?" desak Qwincy.

Walaupun tidak mendalam, ia memang sempat mencari tahu tentang gejala penderita kelainan jantung. Salah satunya kondisi membiru di beberapa bagian tubuh karena kurang oksigen.

"Tidak semua pasien kelainan jantung mengalami gejala sianosis atau membiru. Contohnya, Mas Qwincy," ucap Volcano tenang.

"Tapi, ini enggak mungkin, Dok. Saya selalu jalanin pola hidup sehat, makan sehat, olahraga sehat. Saya bahkan bergaul dengan sehat. Terus, kenapa tiba-tiba saya divonis sakit jantung?"

Qwincy memang tidak sepenuhnya jujur. Ada kalanya ia melanggar pola hidup sehat itu. Namun, itu bisa dihitung dengan jari.

Seperti yang terjadi dua bulan lalu, saat ia mencoba menghisap lintingan tembakau yang ditawarkan salah satu rekan sastrawan senior. Dari situlah kisah ini bermula.

Setiba di rumah, Qwincy batuk terus-terusan hingga lebih dari tiga minggu. Pria itu lalu segera memeriksakan diri ke dokter. Tak ingin mengambil resiko, dokter pun memintanya melakukan pemindaian x-ray.

Akan tetapi, diagnosa kardiomegali atau pembesaran jantung, ditambah suara irama jantung yang berbeda, membuat Qwincy harus pindah konsultasi ke dokter jantung. Di sana, ia diminta melakukan berbagai pemeriksaan lanjutan.

Qwincy pikir, perjalanan itu hampir menemukan solusi. Nyatanya, tidak. Ia lagi-lagi diminta untuk pindah konsultasi. Kali ini ke Indonesia Heart Centre, tepatnya poli jantung anak. Padahal, usianya sudah termasuk kanak-kanak kadaluarsa.

Salah diagnosa, tadinya Qwincy berharap kalimat itu yang akan didengar dari dokter di rumah sakit jantung terbesar di Jakarta, sekaligus Indonesia itu. Namun, dokter di hadapan tetap mengiyakan diagnosa awal.

"Mas, penyakit ini enggak ada hubungannya dengan pola hidup sehat. Ini sudah dari sananya. Ketika organ tubuh mas terbentuk di dalam rahim." Dokter itu menjelaskan dengan sabar.

"Sejak saya masih di rahim?" ulang Qwincy yang dijawab anggukan dokter itu. "Penyebabnya apa?"

"Belum bisa ditentukan penyebab pastinya. Mungkin karena keturunan, paparan zat kimia di trimester pertama, atau penyakit tertentu yang diderita ibu saat hamil."

"Tapi, dari kecil saya enggak pernah ada riwayat sakit jantung, loh. Kenapa pas dewasa, tiba-tiba saya punya penyakit ini?" Qwincy tetap tidak mau menerima kenyataan.

Volcano tersenyum tipis. Penyangkalan. Dia tahu, itu adalah fase pertama saat seseorang ditimpa musibah atau hal yang tidak diinginkan. Namun, sebagai dokter, dia tetap harus memberitakan kebenaran dan kenyataan. Tak boleh ada yang disembunyikan.

"Waktu kecil, Mas pernah periksa ke dokter spesialis jantung?"

Qwincy menggali ingatan, lalu menggeleng.

"Waktu kecil pernah melakukan pemeriksaan terkait organ-organ dalam tubuh? Rongten misalnya? Atau echo?"

Lagi-lagi Qwincy menggeleng. Rongten dan echo pertamanya dilakukan tiga minggu lalu.

"Jadi enggak perlu heran kalo baru sekarang tahunya. Pasien-pasien kecil di ruang tunggu sana," Volcano menunjuk ke arah pintu, "sudah melakukan pemindaian sejak lama. Ada yang saat lahir, ada juga yang ketika masih di rahim. Makanya, lebih cepat terdeteksi."

Tubuh Qwincy lunglai. Seandainya tidak pernah menghisap rokok itu, seandainya tidak mengalami batuk-batuk, seandainya tidak pergi ke dokter, mungkin ia tak perlu mendengar kenyataan menyakitkan ini.

"Padahal, saya enggak pernah ngerasa ada yang salah di jantung saya, Dok."

Volcano mengangguk. "Mungkin pernah. Tapi samar. Jadi terabaikan. Seperti cepat lelah, jantung deg-degan--"

"Deg-degan, sih, selalu, Dok. Kalo enggak deg-degan, saya pasti udah ganti kewargamahlukan jadi vampir, dong?"

Volcano  meringis. "Maksud saya, deg-degan yang tidak biasa. Seperti berdebar-debar yang terasa lebih kencang dan cepat."

Qwincy ber-'oh' pelan, "pernah kayanya," ucapnya sambil menggali ingatan. Ia memang pernah merasakan hal itu. Satu, dua, lima, entah berapa kali.

"Untuk memastikan berapa derajat kebocoran katup, juga kemungkinan komplikasi yang lain, kita akan echo ulang, ya." Dokter Volcano berpaling ke arah komputer di samping, lalu mulai mengetik.

"Kalo diperlukan, kita juga akan lakukan MRI."

Beberapa saat kemudian, dokter itu menyerahkan lembar pengantar pada Qwincy.

"Mas bisa istirahat dulu. Sekitar jam satu siang silakan tunggu di depan kamar 16. Nanti ada petugas yang panggil saat sudah giliran mas."

Qwincy hanya mengangguk lemah. Rasanya tidak ada kekuatan. Hatinya seakan-akan hampa. Dunianya tiba-tiba terlihat suram.

"Kalo sudah tidak ada yang ingin ditanyakan, Mas Qwincy bisa menunggu di luar agar pasien selanjutnya bisa masuk," ucap Volcano. Daftar tunggu pasien yang panjang, menuntutnya menggunakan waktu secara efisien.

Qwincy memicing. Sudah terpukul, masih juga diusir. Ia kesal. Namun, tak urung bangkit.

Baru saja akan melangkah, dokter di belakang memanggil. Membuat Qwincy berpaling.

"Mas Qwincy ke sini sama siapa?" tanya Volcano, baru ingat bahwa sang pasien datang ke ruangan sendirian.

"Kaya Caca Handika, Dok," lirih Qwincy.

"Sama Caca Handika?"

"Kaya, Dok, kaya. Bukan sama. Kaya itu sinonimnya ibarat, seperti, bagaikan, bak, layaknya," jawab Qwincy dengan suara naik satu oktaf.

Sebenarnya, sejak tadi ia merasa kesal, karena tidak mendapatkan kata 'salah diagnosa', ditambah fakta dan penjelasan masuk akal yang didengar. Pertanyaan terakhir lalu menjadi pemicu yang membuatnya melampiaskan kekesalan.

"Saya datang ke rumah sakit ini kaya Caca Handika. Angka satu. Saya datang sebatang kara," tambah Qwincy. Kali ini dengan nada suara yang sudah kembali normal.

Sambil tersenyum tipis, Volcano mengangguk pelan, ikut bersimpati mendengar jawaban tersebut. Dia menduga, Qwincy adalah perantau yang belum memberi kabar pada keluarga di kampung karena khawatir akan menambah beban pikiran mereka.

"Sepulang dari sini, kabarkan kondisi Mas Qwincy pada keluarga. Saya yakin, walaupun jauh mereka pasti akan memberi support dan doa," ucap Volcano tulus.

Qwincy terenyak mendengar kalimat tersebut. Doa. Ia hampir lupa bahwa dirinya punya kekuatan doa-doa. Detik itu juga, ia pun tersenyum seakan-akan telah diangkat segala beban di pundak.

Sekarang, bukan saatnya memikirkan penyakit yang dimiliki. Sebaliknya, mensyukuri dan melanjutkan hidup yang ia punyai. Ia yakin, semua akan baik-baik saja. Bukankah namanya adalah sebuah antologi doa?

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Buku doa-doa yang dibayangin sama Qwincy kecil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro