1. GRAVITLOVE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Sus! Pasien di dalam enggak langsung operasi, ‘kan?” tanya Qwincy kepada perawat yang tadi memeriksa tekanan darah dan saturasi oksigennya.

“Ruang operasi bukan di situ, kok, Mas.”

“Tapi, kok, lama banget? Dia pikir pasien cuma dia aja?” rutuk Qwincy.

Tanpa menunggu tanggapan dari sang perawat, pria itu kembali duduk di dekat pintu masuk ruang praktik. Sebagai pasien yang gilirannya sudah hampir tiba, ia memang diminta menanti di kursi yang disiapkan di dekat pintu ruang praktik.

Qwincy kembali melirik ponsel untuk memantau prakiraan cuaca di wilayah Jakarta. Menurut BMKG, siang itu Jakarta akan diguyur hujan. Terkadang, prakiraan itu memang meleset satu hingga tiga jam. Namun, Qwincy tetap merasa resah jika nanti harus berjumpa dengan hujan.

Sekali lagi, pria itu melirik ke arah pintu ruang praktik. Karena tidak ada tanda-tanda konsultasi telah selesai, Qwincy mulai bermain-main dengan kursi yang diduduki.

Seperti seorang murid SD yang jemu menunggu bel sekolah berdering, ia berayun-ayun ke kiri dan kanan. Dari empat kaki kursi, hanya dua yang dibiarkan menapak di ubin berwarna putih, sedangkan sisanya melayang-layang di udara. Bermain tarik ulur dengan gravitasi. Terus dan terus hingga ….

Gubrak!

Bagai pohon ditebang, kursi yang diduduki Qwincy limbung ke arah kanan. Hanya berselang tiga detik dari suara pintu di belakang yang dibuka kasar.

Bagi Qwincy, semua adalah salah si pembuka pintu. Andai dia membuka pintu dengan penuh perasaan yang tulus, tentu pintu berat yang agak macet itu tidak akan menimbulkan suara keras yang membuat siapapun di balik pintu kaget.

Sialnya, kekagetan itu terjadi tepat saat posisi kursi yang dimainkan Qwincy tengah berada di sudut 50 derajat. Kelewatan lima derajat dari posisi stabil maksimal dalam permainan keseimbangan dengan dua kaki kursi.

Qwincy tengadah, hendak marah-marah. Namun, urung saat melihat perempuan yang berdiri menjulang di dekatnya. Bukan karena perempuan itu cantik. Meskipun wajah perempuan itu menyumbang 10 persen dari pembatalan niat marah-marahnya. Namun, hal-hal lain punya peranan lebih besar.

Satu, karena perempuan itu juga mengenakan topi baseball, seperti dirinya. Bagi Qwincy, bertemu orang yang memakai aksesoris sama di tempat yang tidak biasa, adalah kebetulan yang istimewa.

Bedanya, perempuan itu mengenakan topi cokelat muda di atas hijab merah mudanya. Sementara milik Qwincy berwarna putih. Melindungi rambut gondrong yang berdesak-desakan menyembul di balik topi.

Dua, akhirnya Qwincy bertemu dengan sosok yang kelihatannya berusia tidak berbeda jauh dari dirinya. Padahal sedari tadi ia hanya melihat sosok-sosok orang tua dengan anak-anak kecil dalam gendongan atau pelukan mereka.

Qwincy merasa mereka berdua seperti ditakdirkan untuk berjumpa. Ia seolah-olah menemukan teman seperjuangan. Seperti bertemu sesama warga Indonesia ketika harus studi di luar negeri. Atau menemukan sesama pecinta ciki di dalam kelompok anti micin.

Dengan senyum 'malu tapi harus tetap tampil keren', Qwincy bangkit sambil menahan bokong yang sakit. Tak lupa ia memperbaiki posisi kursi futura biru yang tadi jatuh bersamanya. Pria itu bahkan sudah menyiapkan jawaban atas tanya yang menurutnya pasti akan dilontarkan oleh si perempuan cantik.

'It's okay. Gue enggak apa-apa, kok.'

Qwincy berniat mengucapkan jawaban itu dengan tenang dan penuh karisma. Dengan nada paling lembut yang diyakininya mampu membuat kaum hawa terlena. Ia juga telah membayangkan bagaimana akhirnya percakapan singkat itu akan berujung pada sebuah perkenalan, pertukaran nomor ponsel, hingga proyek menulis novel.

"Bapak lagi ngapain?"

Terkesiap, Qwincy menganga. Hilang kata-kata.

Pertama, meski perempuan itu terlihat lebih muda dari dirinya, tapi kata bapak rasanya terlalu berlebihan. Dengan wajah tampan, bersih tanpa jenggot-kumis, serta penampilan yang modis, harusnya perempuan itu memanggilnya kakak, abang, mas, akang, atau mungkin kakanda.

Kedua, dari sekian banyak pertanyaan normal yang bisa diajukan, kenapa pertanyaan 'lagi ngapain' yang disuguhkan? Bahkan pengangguran yang gabut, tidak mungkin sengaja rebahan di depan pintu poli jantung pediatrik saat kondisi rumah sakit sedang ramai seperti saat ini.

Tidak mungkin juga, kan, perempuan itu melewatkan adegan salto barusan? Qwincy terus bertanya-tanya dalam hati.

Ekor mata Qwincy menangkap beberapa pasien yang menjulurkan leher, ingin tahu apa yang terjadi di depan ruang praktek itu.

Ia juga mendapati perawat yang tadi memeriksa tekanan darah dan saturasi oksigennya tengah menatap dengan tatapan 'ada apa, Mas?' Yang dijawab Qwincy dengan anggukan dan senyuman, pertanda 'semua baik-baik saja.'

Pria itu lalu kembali berpaling pada perempuan muda yang seakan-akan masih menanti jawab. Meski tak habis pikir, Qwincy menolak untuk berlalu tanpa kata. Seperti yang dilakukannya pada perawat tadi. Apalagi dokter di dalam ruangan belum memanggil namanya.

Setelah dua kali menghela napas panjang demi menstabilkan emosi, Qwincy pun bertanya, "Lo tahu Newton, enggak?"

Ocean mengerutkan kening. Takut-takut kalau kepala pria di hadapan sempat terbentur dan membuatnya linglung. Namun, perempuan itu segera menyingkirkan pemikiran yang sempat hadir. Mungkin saja, pria itu memang sedang mencari seseorang bernama Newton.

"Newton? Dokter di sini?" tanya Ocean.

Meski tidak mengenal siapa Newton yang dimaksud, dia berusaha mendapatkan petunjuk lain agar dapat membantu pria gondrong tersebut.

Qwincy menggeleng tegas.

"Perawat? Bagian administrasi? Security? Atau pasien?" kejar Ocean, masih berusaha keras menolong pria yang kelihatannya baru pertama kali ke rumah sakit tersebut.

Lagi-lagi Qwincy menggeleng.

"Jadi, Newton siapa?"

"Sir Issac Newton. Penemu hukum gravitasi."

Sambil melengkungkan ujung topi, Qwincy memasang tampang serius. "Tidak seperti yang lo pikirkan. Penyebab gue jatuh tadi bukan karena gue sedang bermain-main dengan kursi. Sama sekali bukan!" tegasnya dengan kedua tangan disilang.

Kata-kata dan tingkah Qwincy, membuat kening Ocean semakin berkerut. Membuat perempuan itu semakin yakin bahwa kepala pria di hadapan pasti sudah terbentur.

Tak menghiraukan mata memicing dan pertambahan kerutan di kening Ocean, Qwincy melanjutkan, "Tadi itu, gue jatuh karena sedang membuktikan hukum gravitasi milik Newton. Riset dan praktek langsung. Itu emang kerjaan gue di waktu seng--"

Belum tuntas penjelasan itu diberikan, Ocean sudah melangkah pergi. Meninggalkan Qwincy yang lagi-lagi ternganga. Belum juga rasa malunya terkikis sempurna, kali ini giliran harga dirinya yang diinjak-injak.

Namun satu yang pasti, Qwincy yakin bahwa perempuan itu punya gravitasi yang sangat kuat. Cocok untuk menjadi karakter utama dalam novel berikutnya.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Ini adalah abang-abang yang pengen dipanggil kakanda.

Dan ini tersangka yang malah manggil bapak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro