0. OSMOROPHOBIA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Udah berkali-kali gue bilang," Qwincy menghentikan jari-jemari yang sejak tadi menari di tombol-tombol keyboard, "gue enggak mau nulis tema itu!"

Sejak satu jam terakhir, sudah lebih dari sepuluh kali Qwincy menolak. Namun, hal itu tetap tak mampu membuat Aru menyurutkan niat. Dia masih membujuk. Terus dan terus.

Tanpa perlu meminta ijin, Aru duduk di pinggiran meja kerja Qwincy. "Memang kau ada masalah apakah dengan hujan? Apa tidak bisa kau bicarakan baik-baik sama dia? Kalo perlu, katong* kase dia sajen-sajen supaya dia mau damai."

*kita

"Enggak bakal mempan!" tukas Qwincy penuh penekanan. "Gue sama hujan adalah musuh bebuyutan. Mau lo kirim sajen kek, utusan resmi kek, atau apapun, gue jamin enggak akan pernah terjadi hubungan diplomatik antara gue dengan mahluk bernama hujan itu. Titik. No argue!"

Aru menyilangkan kaki, menatap Qwincy dengan tatapan tak mengerti. "Musim semi, musim salju, musim gugur, sampe musim paceklik, pernah kau tulis. Apa bedanya musim hujan dengan musim-musim yang saya sebut tadi?"

Enggan menjawab pertanyaan sang editor, Qwincy hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada layar monitor. Dirinya bukan satu-satunya penulis yang dieditori Aru. Namun, karena mereka adalah teman sekelas saat kuliah, laki-laki itu mencurahkan perhatian lebih pada Qwincy. Alasannya sederhana. Aru ingin sang teman masa kuliah sukses sebagai penulis besar.

Jari-jari Qwincy kembali menari di keyboard laptop. Benda itu sudah mulai terlihat usang. Ada lima goresan di bagian luar layarnya. Ada juga gompalan di salah satu sisi karena pernah jatuh saat Qwincy terburu menuruni tangga di gedung penerbitan.

Meski penampilan laptop itu sudah memprihatinkan, Qwincy masih terus mempertahankannya. Tidak perlu heran. Bersama benda pipih berwarna hitam itu, pria itu sudah menerbitkan tujuh belas novel solo. Dua belas di antaranya berhasil masuk di toko-toko buku besar Indonesia, bahkan beberapa pernah nangkring di jejeran rak best seller.

Karir menulis Qwincy memang tidak melesat tiba-tiba. Selain karena bakat yang diturunkan dari sang bunda, pria itu juga sudah mengasah ketrampilan sejak berada di bangku sekolah menengah pertama. Dari anggota mading, anggota buletin sekolah, hingga langganan juara menulis cerita.

Seluruh jerih itu terbayar. Qwincy menjadi salah satu penulis berbakat Indonesia. Penggemarnya tersebar di berbagai kalangan usia. Tua, muda, dewasa, remaja, hingga anak-anak. Tak heran karena ia menulis berbagai genre; misteri, teenlit, fantasi, drama, hingga romansa.

"Tsunami, angin, sunset, sunrise, gunung meletus," Aru kembali menyebutkan beberapa setting cerita dalam novel-novel Qwincy, "semua sama-sama peristiwa alam, to? Terus, apa bedanya dorang* dengan hujan?"

*Mereka

Qwincy mendengkus kesal. Ia ingat sudah mengucapkan kata 'titik', yang artinya ingin menyudahi pembahasan. Namun, sang lawan bicara juga tak kalah keras kepala. Terus merayu agar kehendaknya didapat.

"Nah itu!" Qwincy menjentikkan jari.

"Dari sekian banyak tema, peristiwa alam, dan permusiman, kenapa gue harus nulis tentang hujan. Bisa aja lo suruh gue nulis tentang... tentang musim duren kek, musim kampanye kek. Atau kalo mau lebih viral, gimana kalo gue nulis tentang musim kawin aja?"

Aru menatap pria berambut sebahu itu. Sinar matahari sore yang masuk dari jendela di belakangnya membuat sosok Qwincy terlihat semakin menawan.

Harusnya, di banyak kisah, setting ini sangat mendukung terciptanya suasana romantis antara pemeran pria dan wanita. Namun, tentu saja hal tersebut tidak bisa terjadi sekarang karena mereka sama-sama memiliki jakun di leher.

"Karena hujan identik dengan sesuatu yang romantis," laki-laki berambut ikal itu memejam, "suara rintik-rintik yang mengalun merdu. Wangi tanah tersiram air yang menentramkan kalbu. Suhu dingin yang membangkitkan rindu."

Aru tiba-tiba membuka mata. "Hujan itu romantis karena penuh kenangan dan mimpi-mimpi manis. Mau itu sama mantan, kekasih sekarang, atau jodoh di masa depan. Dan hal-hal itu bisa bikin kau pung* pembaca baper parah."

*punya

"Kata siapa hujan itu romantis? Teori siapa?" sela Qwincy dingin.

Aru melonjak dari meja kerja lalu menuju sofa yang hanya berjarak dua meter di depan, mengambil tas kanvas berwarna putih, lalu meletakkannya di meja.

"Memang kau tidak pernah nonton film-fim drama?" Aru mengambil sebagian kaset DVD dari dalam tas, "pengakuan cinta di bawah hujan. Berjalan berdua saat hujan, di bawah satu payung, satu jaket, atau satu daun pisang. Ada juga adegan lari-larian saat hujan. Ah, bahkan korang* di timur sana kadang suka melakukan adegan-adegan itu waktu remaja."

*Kami

Hari itu Aru memang berniat meluluhkan hati Qwincy. Begitu bulat tekadnya hingga datang dengan persenjataan lengkap. Jika Qwincy masih tetap menolak, dia berharap, menonton film akan menjadi obat ampuh untuk merubah pikiran.

Qwincy melirik sekilas pada kaset-kaset berbagai judul yang kini sudah berbaris di meja. Ada film India, ada drama Korea, sinetron Indonesia, tak ketinggalan juga produksi Amerika. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan Aru untuk mengumpulkan kaset-kaset itu semua.

Pria 28 tahun itu menarik satu garis bibir.

"Enggak heran lo bilang hujan itu identik dengan romantisme. Soalnya referensi lo film-film ini. Coba kalo referensi lo film It, Mouse, Orphan, The Rain, atau Pengabdi Setan. Gue yakin, perspektif lo tentang hujan akan berubah."

Qwincy memperbaiki kucir rambut yang sudah terasa longgar. Sejak masih mengenakan seragam putih abu-abu, ia memang bercita-cita memanjangkan rambut. Namun, ketatnya peraturan di sekolah membuatnya harus menunda.

Impian berambut gondrong baru bisa dimulai saat Qwincy berada di bangku kuliah. Beruntung, ia kuliah di jurusan sastra, bukan pendidikan atau olahraga. Kalau tidak, ia pasti harus selalu mencukur rambut hingga cepak.

"Makanya itu! Kau harus nonton film-film ini biar kau pung penilaian terhadap hujan mulai berubah."

Qwincy bangkit dari kursi, membuka jendela yang menuju beranda kecil. Dari lantai 20 itu, ia bisa memandang banyak hal, jejeran gedung perkantoran dan apartemen, jalanan flyover ibukota, hingga awan-awan yang berarak. Sore itu cerah. Meski siang tadi, gerimis sempat mampir.

Ucapan Aru kembali terngiang. Kalimat itu memang ada benarnya. Masalahnya, ia merasa tidak bisa berkompromi dengan hujan. Lebih tepatnya, tidak bersedia. Hatinya tidak siap.

"Ini peluang bagus, Qwin." Aru sudah berada di samping Qwincy. Menyandarkan punggung di pagar besi, menatap wajah sang novelis dari samping.

"Banyak sekali DM masuk yang minta kau untuk menulis tema hujan."

Qwincy tidak menanggapi. Sibuk memutar otak, mencari alasan agar Aru berhenti.

"Qwin, coba kau dengar dulu saya pung saran. Kau bayangkan, kau mulai tulis cerita itu sekarang pas lagi musim hujan. Jadi, kau bisa dapat dia punya feel.

"Nah! Di pertengahan tahun depan katong naik cetak. Terus di awal musim hujannya, mungkin November atau Desember, pokoknya bulan yang berakhiran ber-ber, kau pung novel mulai muncul di pasaran. Timing-nya pas. Yang baca juga akan terbawa suasana." Laki-laki itu tetap mencari celah untuk meruntuhkan benteng pertahanan Qwincy.

"Gue enggak bisa, Ru. Gue...," Qwincy mengusap wajah, rasanya berat harus mengakui satu hal memalukan, "gue ada trauma sama hujan."

Aru terkesiap, lalu berpaling ke arah ruang di depan. Area berukuran 8x4 meter itu hampir sama seperti ruang serba guna di apartemen satu kamar lainnya. Ada sofa, televisi, kitchen set di ujung ruangan, juga seperangkat meja kerja di dekat jendela.

Yang berbeda hanya dinding di apartemen itu. Alih-alih mencat dinding, pria itu malah mendekornya dengan wallpaper bertema pemandangan pantai saat siang hari. Ketika cuaca sedang terik-teriknya.

Aru menggali ingatan. Setiap kali hujan membasuh ibukota, Qwincy akan segera menutup gorden, menaikkan suhu AC, dan menyalakan musik dengan kencang. Mungkinkah itu demi melarikan dan menyembunyikan diri dari hujan?

"Kau ada osmorophobia-kah?" tanya Aru hati-hati.

Qwincy memicing. Osmorophobia? Ia memang selalu merasa tak nyaman saat hujan turun. Namun, dirinya tidak dalam level ketakutan berlebih pada hujan. Ia tidak phobia pada air langit. Ia hanya benci pada hujan. Hanya itu.

"Mm... mungkin bisa dibilang begitu."

Qwincy tidak menyangkal tuduhan Aru. Tak perlu. Jika hal itu bisa membuat sang editor menyerah.

"Kalo begitu, saya carikan kau psikolog!"

Aru yang sudah menggenggam ponsel, mulai menggulirkan layar.

"Ru! Gue enggak butuh psikolog!" Qwincy menaikkan suara.

Kali ini rasa tidak nyamannya kian bertambah. Bukan hanya karena paksaan menulis tema yang tidak disuka. Namun, karena kehidupan pribadinya, masa lalunya, mungkin akan dimasuki dan digeledah oleh orang asing.

"Tapi kau pung phobia bisa me--"

"Gue enggak mau perasaan ini berubah. Gue pengen tetap dan terus ngebenci hujan. Selamanya. Titik!"

Aru menghela napas panjang. Sungguh sulit mengubah pendirian pria di samping.

"Kau tidak takutkah dikutuk hujan?"

"Dikutuk hujan? Ada juga hujan yang takut dikutuk sama gue!" seringai Qwincy.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Kira-kira seperti inilah wallpaper di apartemen Qwincy.


🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro