ME VS QWINCY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🌧️⛈️🌧️⛈️🌧️

“Jangan buka gorden!”

Teriakan dari arah kitchen set mengagetkanku. Tangan kanan yang hampir menyibakkan gorden warna abu muda, perlahan kuturunkan. Sambil memicing ke arah pemilik suara, aku pun berjalan menuju sofa.

Selain gorden yang tertutup rapat, ada lagi hal yang membuatku tidak nyaman; suara musik yang mengalun kencang. Iya, kencang. Kamu enggak salah baca.

“Gimana bisa ngobrol kalo musiknya kencang gini?” protesku dengan volume suara yang tinggi.

Aku tahu, gorden yang tertutup rapat dan musik yang mengalun kencang adalah cara Qwincy berpura-pura bahwa di luar sedang tidak hujan. Salah satu caranya untuk membahagiakan diri sendiri.

Sambil mengaduk cangkir, Qwincy menyahut dengan volume suara yang tidak kalah tinggi. “Kalo kebanyakan protes, pulang aja, sana!”

Aku kesal setengah mati. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku harus menahan diri.

Setelah beberapa saat menanti, sang pemilik apartemen pun datang menghampiriku.

“Nih! Gue tahu lo kedinginan,” ucap Qwincy sambil menyodorkan cangkir yang isinya mengepul-ngepulkan asap putih.

Kuambil cangkir itu, lalu menghirup aroma jahe yang menyegarkan. Kemudian aku menyesap minuman hangat manis yang disajikan hingga isinya hampir habis. Bukan karena doyan, tapi karena aku butuh sesuatu untuk menghangatkan diri.

Berbekal jas hujan dan motor matic keluaran tahun 2012, aku memang baru saja menerobos ribuan air langit juga beberapa genangan di jalanan. Hingga akhirnya tiba di lokasi yang berjarak lima kilometer dari tempatku berada. Padahal akan lebih manusiawi, jika Qwincy –dan Fortunernya-, yang melakukan perjalanan menuju titik awal pertemuan kami.

Harusnya aku dan dia bertemu di salah satu café di daerah Tebet. Namun karena cuaca hujan di luar, Qwincy meminta lokasi pertemuan diubah, menjadi apartemennya. Dia bilang karena ada kerjaan mendadak, tapi aku yakin bukan itu alasannya. Sudah sejak lama aku tahu bahwa pria itu sangat membenci hujan.

“Jadi, lo ada perlu apa?” tanya pria berkaus putih itu setelah menurunkan volume suara musik.

Aku berdehem sebelum memulai prolog. “Gue mau ikutan proyek nubar Flower Series-nya karospublisher.”

“Terus? Lo mau gue jadi mentor lo?” tanyanya penuh penekanan. “Sorry, gue sibuk!”

Aku menggemeletakkan gigi. Memang pernah terpikir untuk memintanya menjadi mentor. Siapa tahu aku bisa menjadi novelis terkenal sepertinya. Tapi niat itu kuurungkan karena yakin pasti ditolak. Terbukti, kan?

“Gue mau jadiin lo tokoh utama gue.”

Tepat setelah kalimatku meluncur, Qwincy terbahak. Membuatku canggung.

“Lo enggak lagi nge-prank, kan?”

“Enggaklah!” sewotku.

Qwincy memicing. Sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku, dia bertanya, “Atau lo pengen timbal balik?”

Aku mengerutkan kening. “Timbal balik apa?”

“Lo pengen gue bikin novel tentang lo, ya?”

Senyumku tiba-tiba merekah. Numpang famous dengan menjadi tokoh salah satu novelis terkenal, kapan lagi ada kesempatan seperti ini?

“Tadinya gue enggak kepikiran hal itu. Tapi boleh juga, sih,” ucapku bersemangat.

Namun tiba-tiba, Qwincy kembali terbahak. Kali ini lebih kencang hingga membuatku kembali keki. Lebih dari tadi.

“Sorry! Gue enggak minat. Kisah hidup lo enggak ada yang We O We hingga layak gue tuliskan,” ucapnya dengan nada seakan-akan mencemooh. Lalu kembali tertawa.

Gigiku bergemeletak lagi. Tunggu saja pembalasanku! Geramku dalam hati.

“Gue enggak akan minta timbal balik, kok. Gue cuma mau jadiin lo tokoh utama. Boleh, kan?” Meski masih sakit hati, dengan sopan aku kembali meminta ijin.

Qwincy menyilangkan kaki, lalu bersandar di sofa. “Boleh aja, sih. Gue dan kisah hidup gue emang se-keren itu, kok. Jadi, emang banyak yang pengen nulis kisah tentang gue. Termasuk amatiran kaya lo.”

Gigiku kembali bergemeletak. Tunggu saja pembalasanku! Kembali kurapal mantra itu.

Namun, aku tak urung berucap, “Terima kasih.”

Pria di depanku mengangguk-angguk. “Cuma itu aja urusan lo hari ini?” tanyanya lagi.

“Gue sekalian mau minta foto lo buat ditunjukin ke pembaca gue nanti,” jawabku.

“Perlu banget, ya? Emang mereka enggak kenal gue?”

Kuremas-remas kedua telapak tangan, mencoba menahan diri untuk tidak menjambak rambut gondrong milik pria yang duduk di seberang.

Lo pikir semua orang kenal lo?’ amukku dalam hati.

“Untuk memperkuat kesan cerita aja, sih.” Akhirnya kalimat itu yang kulepaskan.

“Oke.” Qwincy lalu mengambil ponsel dan tampak serius menggulir-gulirkan layar.

Tujuh menit kemudian, ponselku bergetar. Segera kubuka beberapa pesan yang masuk.

“Lo boleh pake foto-foto ini,” kata Qwincy.

Aku memindai 63 gambar yang dikirimnya, lalu memilih beberapa yang mungkin kupakai. Ini salah satunya.

(Kalian kenal orang ini, enggak? Enggak, kan? Emang dia aja yang kepedean. 🙄)

⛈️🌧️

“Mm… Boleh gue baca sinopsis cerita lo?” tanya Qwincy, memecah keseriusanku memandangi foto-fotonya yang lumayan manis.

No!” tolakku sambil mengangkat wajah. Tentu saja! Aku tidak mau nantinya dia mengintervensi cerita yang belum selesai kutulis.

“Tapi lo boleh baca blurb cerita gue, kok,” sambungku ketika melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Aku tidak mau dia berubah pikiran dan melarangku menjadikannya tokoh utama.

Selama beberapa menit kemudian, aku lihat Qwincy tampak serius mengamati ponsel yang kuberikan. Keningnya mengernyit berkali-kali. Entah apa yang tengah dipikirkan. Padahal di sana hanya ada cover cerita dan blurb yang tidak lebih dari 100 kata.

“Lo yakin enggak nyasar?” tanyanya sambil mengembalikan ponselku.

Giliran keningku yang mengernyit. “Nyasar gimana?”

“Desain cover, judul, dan blurb lo, semua tentang cuaca. Sama sekali enggak ada kembang-kembangnya. Padahal lo bilang tema nubarnya Flower Series.”

“Biar pembaca penasaran di mana bunganya,” sahutku ringan sambil tersenyum bangga. Aku yakin, meski novel-novelnya sudah menembus toko buku nasional, pria itu pasti tidak pernah memikirkan strategi yang kubuat.

“Lo beneran yakin enggak nyasar?” desaknya.

Of course! Akan gue buktiin kalo gue enggak nyasar!” nada suaraku meninggi, kesal.

“Oke, oke.” Qwincy mengangkat kedua telapak tangan, mungkin tanda menyerah.

Pria itu lalu mengelus-elus dagu yang tidak ditumbuhi satu rambut pun. Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu. “Tapi gue ada permintaan. Boleh?”

Aku berpikir sejenak, tapi tak urung mengangguk.

“Gue tahu, gue enggak berhak minta lo buat ganti judul karena lo penulisnya. Jadi gue cuma minta, kalo boleh, post cerita ini di musim kemarau aja, ya. Please.”

“Alasannya?”

Alih-alih menjawab, Qwincy malah menatapku dengan ekspresi penuh harap. Aku tak tega melihatnya. Maka bak terhipnotis, aku pun mengangguk.

“Baiklah. Gue akan post cerita ini di bulan Mei. Saat matahari sedang senang-senangnya bermain di ibukota, ” ucapku.

(Sorry to say this, tapi ini beneran, soalnya saya sudah telanjur janji sama Qwincy.

Tapi saya janji, insyaallah, ketika saat itu tiba, saya akan posting cerita dengan rutin.  Mungkin 2 atau 3 kali seminggu.

Jadi, tetap masukkan cerita ini dalam library kamu, ya.)

🌧️⛈️

“Satu pertanyaan lagi dari gue. Lo nyiapin pasangan buat gue atau lo akan membiarkan gue jadi jomblo ngenes kaya tokoh lo yang lain?” tanya Qwincy lagi.

Aku tersenyum karena sudah mengantisipasi pertanyaan tersebut. Kembali kugulir layar ponsel dan menunjukkan foto seorang perempuan. “Kalo dia jadi pasangan lo, gimana?”

Kali ini, Qwincy tersenyum lebar. Aku rasa, dia puas dengan tokoh perempuan yang kupilihkan.

(Ini nih foto tokoh yang bikin Qwincy
cengar-cengir.)

🌧️⛈️

“Okey! Lo masih ada urusan lagi, enggak? Kalo enggak ada, pulang, gih!” ucap Qwincy beberapa saat kemudian.

Aku tersenyum tipis mendengar kalimat pengusiran itu. Tapi, tidak mengapa. Toh, aku tak ingin berlama-lama di apartemen yang gordennya tertutup ini. Namun sebelum pulang, aku harus melakukan satu hal penting.

“Lo tahu aturannya,” ucapku sambil mengulurkan kotak berisi sebuah tablet.

(Yang pernah baca Bab Ikrar Tiga Kelingking di AMORE pasti tahu ini obat apa.)

“Perlu banget, ya?”

“Aturan tetap aturan. Tokoh dalam cerita tidak boleh ingat pernah diskusi dengan penulisnya,” tegasku.

“Tapi, gue kan punya penawarnya,” timpal Qwincy.

Aku kembali menggemeletakan gigi. Entah untuk keberapa kalinya. “Lo akan minum penawarnya?” tanyaku was-was.

Qwincy meraih kotak tablet sambil menyeringai.“Gue juga punya prinsip-lah,” ucapnya, lalu menenggak tablet warna pink.

Aku pun menghembuskan napas lega.

“Tapi gue enggak jamin, efektivitas obat ini bekerja lama buat gue. Jadi, jangan salahin gue kalo satu hari nanti, gue ingat tentang hari ini,” sambung Qwincy.

Aku mengangguk. Meskipun ada, kemungkinan yang disebutkan Qwincy teramat kecil. Maka aku tak perlu cemas.

“Kalo gitu, gue pulang, ya,” pamitku sambil berdiri, sementara Qwincy tetap duduk di sofa sambil memijat-mijat kepala.

Aku yakin, obat itu mulai bekerja. Rasa pusing berat pasti tengah dialaminya.

Aku pun berjalan menuju pintu keluar. Namun baru hendak meraih gagang pintu, aku dikagetkan dengan tepukan pelan di pundak. Segera aku berpaling.

“Tulis cerita yang keren untuk gue yang keren ini, ya,” pintanya. Aku yakin itu dilakukan dengan sisa-sisa kesadaran.

Aku mengangguk. “Tenang aja,” jawabku sambil menepuk balik bahunya.

Tunggu saja pembalasanku!’ Aku melengkapi kalimat dalam hati, sambil tersenyum penuh kemenangan.

🌧️⛈️🌧️⛈️🌧️⛈️🌧️
  

Dear Teman-teman pembaca...
Terima kasih sudah memasukkan RAIN ke library kalian.

Kita ketemu lagi di bulan Mei, saat musim kemarau tiba. Sambil saya mempersiapkan beragam pembalasan  berkedok alur, untuk Qwincy. 😆😆😆

Hingga hari itu datang, silakan menikmati cerita-cerita lain dalam Flower Series ini.

See you. ❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro