6. MOTI(F)ASI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oh, jadi penemu prosedur ini namanya Cone?" celetuk Qwincy.

"Bukan." Volcano menggeleng. "Dinamakan cone procedure karena prosedurnya akan membuat bagian jantung berbentuk seperti kerucut."

"Oh," Qwincy mengangguk-angguk, "mirip-mirip cone ice cream ya, Dok?"

Volcano mengernyit, tapi tetap menanggapi pertanyaan pria di hadapan. "Kurang lebih."

"Berarti saya bisa pilih varian rasa, dong?"

"Maksudnya?" Lagi-lagi Volcano mengernyit.

"Cokelat campur vanila. Saya mau es krim rasa itu di atas cone-nya nanti."

Saat akhirnya memahami maksud Qwincy, Volcano pun menyeringai. "Kami enggak bisa nambahin es krim di atasnya."

"Emang kenapa?" Qwincy memperlihatkan ekspresi kecewa.

"Nanti es krimnya meleleh." Volcano memutuskan untuk menyamakan frekuensi yang diciptakan Qwincy.

Qwincy mengangguk-angguk sambil bersandar di kursi fortuna warna merah. "Ya udah, saya request tambah freon, deh. Biar es krimnya bisa sekalian dibawa pulang."

Sambil geleng-geleng, Volcano menahan tawa. Baru kali ini didapatinya seorang pasien menanggapi rencana operasi besar dengan respon jenaka. Padahal pasien-pasien lain cenderung tegang bahkan tidak jarang menangis saat menerima kabar tersebut.

Sementara bagi Qwincy, menanggapi keputusan tim dokter dengan santai adalah salah satu cara untuk menjaga kewarasan. Ia harus dapat menenangkan diri sendiri karena tidak punya orang lain yang akan melakukan itu untuknya.

"Jadi, tim dokter akan melakukan prosedur ini agar katup yang malposisi bisa dikoreksi."

"Koreksi?" Qwincy terkekeh. "Udah kaya ujian, Dok."

"Itu istilah yang kami gunakan untuk menyebutkan perbaikan pada sesuatu yang anomali. Walaupun--"

"Dok," potong Qwincy, ini waktunya ia berkonsultasi dengan serius, "apa kerugian saya jika mengambil tindakan ini? Dan apa keuntungan saya jika menolak tindakan ini?"

"Keputusan cone procedure didapatkan dari pertimbangan banyak dokter spesialis dalam konferensi bedah. Tidak hanya satu atau dua kepala yang berpikir. Jika manfaat yang didapat tidak sebesar resiko yang diambil, tentu tindakan ini tidak akan menjadi rekomendasi untuk kasus Mas Qwincy."

"Iya, Dok, saya percaya tim dokter memutuskan yang terbaik. Saya cuma pengen tahu apa keuntungan jika menolak dan kerugian jika setuju. Emang harus banget, saya dioperasi?"

Volcano berpaling pada layar komputer, lalu memeriksa beberapa data milik sang pasien. Adanya sistem yang terintegrasi membuat pihak rumah sakit, seperti dokter dari berbagai spesialis, farmasi, hingga administrasi, lebih mudah untuk melakukan pelacakan.

Setelah beberapa saat melihat data, Volcano lalu mengambil alat peraga jantung yang ada di pinggir kiri meja.

"Dari hasil pemeriksaan, katup mas yang bagian ini sudah mulai kelelahan," dia menunjuk salah satu bagian, "jika tidak segera melakukan koreksi, katup ini bisa rusak. Jika itu terjadi, bisa-bisa kita tidak hanya melakukan perbaikan, tapi juga harus melakukan penggantian katup."

"Ganti katup?"

Volcano mengangguk. "Meski tidak akan sesempurna yang dikasih sama Tuhan."

Ekspresi Qwincy berubah. Meski tidak mendalam, ia sedikit tahu tentang penggantian katup jantung. Ada dua jenis yang bisa digunakan; katup biologis yang diambil dari jaringan tubuh hewan dan katup mekanik yang terbuat dari mesin.

Pasien yang memiliki katup mekanik, harus minum obat pengencer darah seumur hidup. Sementara pasien dengan katup biologis tidak memerlukannya. Hanya saja, mereka harus melakukan penggantian katup setiap sepuluh tahun sekali.

Dari dua pilihan itu, tidak ada yang mendingan bagi Qwincy. Ia tidak mau jika harus menjalani ganti katup. Namun, ia juga masih takut untuk menyetujui operasi yang disarankan.

"Apa cuma itu kerugian kalo saya menolak atau menunda operasi?"

"Dengan katup yang malposisi, pastinya akan ada kebocoran aliran darah. Artinya, jantung mas akan terus membengkak hingga akhirnya tidak bisa membesar lagi dan bisa terjadi gagal jantung."

Qwincy teringat jantungnya yang mengalami pembengkakan. Besarnya sudah sampai di angka 150%. Ia pun membayangkan jika jantungnya terus-menerus bertumbuh dan mengalahkan besar paru-paru. Seketika, pria itu menggeleng. Jika itu terjadi, penampilan telanjang dadanya saat berenang tentu tidak akan keren lagi.

"Apa enggak bisa ditunda sampai saya melambaikan bendera putih, Dok?" Qwincy terus melakukan negosiasi.

Kata operasi tidak pernah terlintas dalam benak pria itu. Harus memutuskan untuk menjalani operasi dalam waktu dekat, membuatnya cukup terguncang.

"Kondisi Mas Qwincy saat ini cukup stabil. Ini jadi salah satu keuntungan. Proses pemulihan pasca operasi akan lebih cepat dan mudah. Bayangkan jika Mas melakukan operasi di usia renta. Kemungkinan komplikasi akan bertambah, proses pemulihan juga bisa lebih lama. Selain itu, resikonya mungkin akan lebih besar dibanding manfaat yang akan diterima. Di titik itu, operasi tidak lagi terlalu bermanfaat."

Qwincy mendengar penjelasan sang dokter dengan seksama. Tadinya, ia ingin menolak mentah-mentah atau minimal mengundur rencana operasi hingga waktu yang tidak ditentukan. Namun demi mendengar penjelasan tersebut, hatinya mulai gamang.

"Berapa persentase keberhasilan operasi ini?"

"Menurut statistik, bisa di atas 90%. Itu berdasarkan data-data ketika semuanya lancar. Kita berharap tidak ada komplikasi sehingga angkanya tetap besar," terang Volcano. "Tapi tetap saja, setiap tindakan operasi besar pasti punya resiko."

"Re-resikonya, apa?"

"Untuk resiko dan detail pembedahan akan dijelaskan oleh dokter bedah."

"Bukan dokter?"

Volcano menggeleng mantap. "Dokter bedah lebih memahami detail dan apa yang akan dilakukan di ruang operasi nanti."

Qwincy mengangguk pelan.

"Ini pengantar ke dokter bedah." Volcano menyerahkan selembar kertas.

"Setelah dari sana, nanti Mas Qwincy akan diberikan pengantar untuk pemeriksaan gigi, THT, rongten, dan lab. Bersamaan dengan itu, tim penjadwalan akan mulai menjadwalkan operasi."

Kembali mengangguk pelan, Qwincy menerima lembaran yang diberikan.

"Keep spirit, Mas!" Volcano mengepalkan tangan.

Mendengar kata-kata motivasi itu, Qwincy malah memicing. "Dokter, sih, enak, ngomong spirat-spirit spirat-spirit. Dokter kan enggak ngalamin sendiri."

"Kalo gitu, coba Mas Qwincy sharing-sharing sama pasien lain. Siapa tahu bisa saling menguatkan. Saling memberi motivasi."

Qwincy mengangguk terpaksa.

Tiba-tiba, Qwincy teringat pada Lily. Saling sharing demi memotivasi diri, bukankah itu bisa jadi alasan bagus untuk menyamarkan motifnya mendekati Lily dan 'Len'?

Mendapatkan ide itu, Qwincy pun segera pamit. Dengan semangat yang tadinya meredup -lalu mulai menyala kembali-, pria itu membuka pintu kamar periksa.

Qwincy memindai kursi di ruang tunggu, tapi tak kunjung menemukan Lily dan gadis kecil itu. Menduga anak beranak itu tengah ke toilet, ia pun mengambil tempat di ruang tunggu untuk menanti. Hingga tak terasa, puluhan menit telah berganti.

Penuh penasaran, Qwincy mendekati seorang perawat yang baru selesai melakukan pengukuran saturasi dan suhu tubuh seorang bayi.

"Sus!" panggil Qwincy.

Perawat yang tengah menulis itu sontak mendongak. "Ada apa, Mas Qwincy?"

Qwincy sedikit terkejut karena sang perawat mengenalinya. Namun baginya itu kesempatan emas. Saling mengenal akan menumbuhkan keinginan untuk saling membantu, bukan?

"Pasien perempuan yang tadi duduk di sana," Qwincy menunjuk kursi yang tadi diduduki Lily, "ke mana, ya, Sus?"

"Pasien yang mana, Mas? Yang duduk di sana kan banyak. Ganti-gantian."

Qwincy menyelipkan telunjuk di balik topi, lalu menggaruk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal.

"Kalo enggak salah namanya, Lily," ucapnya ragu-ragu. Ia tak yakin bahwa perawat tersebut menghafal seluruh nama pasien.

"Oh, si Lily. Dia udah pulang, Mas."

"Dia enggak jadi periksa?" tanya Qwincy.

Seingatnya, Lily belum masuk ruang periksa. Meski hari itu ada dua dokter jantung anak yang praktek, tapi ia yakin, mereka konsultasi dengan dokter jantung yang sama. Bukankah itu yang terjadi beberapa pekan silam?

"Udah selesai, kok. Tadi dia konsultasi sama Dokter Busro, dokter bedah." Sang perawat mengerling ke arah ruang periksa yang bersebelahan dengan ruangan Dokter Volcano.

"Oh." Qwincy mengangguk kecewa.

Bahkan saat datang kesempatan kedua, ia belum juga mendapatkan nomor ponsel perempuan itu.

Qwincy mendekati perawat berbusana biru muda itu.

"Suster punya nomor handphone Lily, enggak? Atau mungkin, saya bisa minta alamat rumahnya?" tanyanya dengan suara lebih pelan.

"Maaf, Mas Qwincy. Kami dilarang memberikan data pasien ke orang lain."

"Beneran enggak bisa, Sus?" Qwincy terus merayu. Berharap perawat itu luluh dan mengabulkan apa yang ia mau.

Perawat itu menggeleng dengan senyum yang tetap tersungging. "Enggak bisa, Mas. Saya harus menjunjung profesionalitas dalam lingkungan kerja."

"Yah, padahal ini penting banget. Saya butuh motivasi dari sesama pasien." Qwincy pura-pura merajuk.

"Motivasi atau motifasi?"

"Motivasi, Sus. Beneran, deh."

"Kalo gitu, Mas Qwincy gabung aja di grup Little Heart Warriors. Kalo enggak salah, mamanya Lily ada di sana. Nanti kan bisa DM-DM-an."

"Little Heart Warriors?" ulang Qwincy.

Perawat itu mengangguk. "Grup khusus untuk pasien dan orang tua pasien jantung anak."

Qwincy mengangguk-angguk. Ia memang tahu, beberapa komunitas punya grup khusus di media sosial. Mulai dari komunitas penulis dan pembaca, komunitas pengusaha cilok, komunitas ibu-ibu arisan RT.05, hingga komunitas pecinta lalapan atau daun muda. Bukan hal yang mengejutkan jika para pasien juga memiliki komunitas dan grup khusus.

"Ada lagi, Mas?"

Qwincy menggeleng. Urusannya sudah selesai.

"Kalo enggak ada lagi, boleh saya minta tanda tangan Mas Qwincy? Anak saya sama teman-temannya itu penggemar Mas Qwincy." Perawat tersebut mengulurkan empat lembar kertas HVS.

"Tolong tanda tangan, masing-masing buat Diandra, Kirana, Gisel, dan Syabrina. Tulis namanya satu-satu, terus kasih pesan, semangat belajar untuk ujian, ya."

Perawat itu lalu mengedipkan sebelah mata. "Buat motivasiin anak-anak itu, Mas."

Qwincy ternganga, tak percaya. Ia memang tidak keberatan memberikan tanda tangan dan kata-kata semangat untuk para penggemar. Namun yang membuatnya heran, ke mana terbangnya kata-kata 'profesionalitas dalam lingkungan kerja' barusan?

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️


Yang mau tanda tangan, yoklah.
Mumpung lagi nganggur, nih. 😎
Satunya marebu. 🤑

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro