7. IDE-IDE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Matahari belum tumbang sempurna saat Qwincy memasuki kantor Bumibuku di daerah Depok. Gedung itu terdiri dari dua lantai. Lantai bawah digunakan untuk bagian produksi, dari printing, binding, wrapping, hingga pengemasan. Sementara lantai yang lain digunakan untuk kantor dan ruang rapat.

Seperti biasa, Qwincy langsung menuju lantai dua, di mana Aru sedang duduk di balik meja kerja.

“Jadi, apa kau pung dokter bedah bilang?” tanya Aru, editor sekaligus sang pemilik penerbitan.

Aru memang seumuran Qwincy. Namun untuk ukuran kesuksesan secara materi, dia melampaui sang penulis. Sejak masih kuliah, dia sudah membuka usaha penerbitan. Jatuh bangun oleng, semua dijalaninya dengan tegar.

“Sama kaya dokter jantung. Gue harus dioperasi. Makin cepat makin baik.”

Pasca menerima keputusan untuk operasi, Qwincy segera bercerita pada Aru. Ia butuh teman berbagi juga untuk memberi motivasi. Meski sang sahabat lebih sering memberi motivasi di luar ekpektasi.

“Ya sudah, tra usah dipikirkan. Operasi jaman sekarang tidak macam jaman dulu. Sekarang su bisa pake ring, atau bedah invansif minimalis. Itu, yang cuma… apa sudah istilahnya, cuma… cuma diiris sedikit di antara tulang rusuk.”

“Iras-iris iras-iris,” sewot Qwincy. “Kata dokter, gue bakal jalanin operasi open heart.”

Aru terkesiap. “Open heart? Buka hati?” celetuknya, berusaha mencairkan suasana.

“Belah dada, Ru!” tukas Qwincy. “Emang lo enggak pernah dengar istilah itu? Konsepnya mirip-mirip open house. Pintu dibuka lebar-lebar biar tamu bisa masuk. Bedanya, jantung gue enggak nyiapin jamuan dan angpau.”

“Oh.” Aru menanggapi singkat.

Tentu saja dia tahu teknik yang sedang dibicarakan. Pengalaman menangani lebih dari 100 naskah membuatnya memiliki banyak pengetahuan, meski tak mendalam. Salah satunya tentang teknik open heart dan prosedur penghentian detak jantung untuk menghindari pendarahan selama operasi.

“Seru juga.”

Qwincy melirik curiga. “Seru apanya?”

“Kau kan suka sekali dengan tantangan. Anggap saja ini wahana baru di Dufan. Seru, to? Tornado saja kau berani, masa begini kau takut? Jan jadi pengecut!”

“Ya Allah, Ru! Beda jauh kali naik Tornado sama open heart,” dengkus Qwincy.

“Kalau menurutku, sama saja. Sama-sama memicu adrenalin." Aru mencondongkan badan ke arah Qwincy, "Kau tahu? Saya pung tetangga di kampung--”

“Oke, oke. Kita ngomongin kerjaan aja, ya, Ru,” potong Qwincy. Ia hafal prolog itu. Jika sudah begitu, sangat mungkin ia akan mendengar cerita Aru selama 2 SKS. 

“Jadi, gimana kabar novel ke-17 gue?”

“Kau pung novel itu… astaga! Banyak sekali toko buku yang minta stok ulang.”

“Tuh, kan! Gue bilang juga apa? Novel yang ini tuh, pasti banyak yang suka.”

“Iyo, iyo. Tapi kan katong tetap harus lihat dulu reaksi pembaca kaya apa. Daripada cetak banyak terus tra laku.”

Qwincy memanyunkan bibir. Kembali teringat novel-novelnya yang mendapat sambutan kurang baik, hingga akhirnya menumpuk di gudang dan dijual dengan harga obral.

“Terus, apalagi?”

“E, kau pung novel terbaru, kapan kau kase selesai?”

“Masih lama kayanya, Ru. Kerangka cerita gue belum mateng banget.”

Su saya bilang, jan ganti-ganti ide trus! Su betul itu cerita tentang chinapobia atau osmorophobia, kenapa diubah lagi?”

“Ru,” Qwincy menarik napas, “novel inspired from true story itu lagi nge-hits.”

“Kalo kau bisa bawakan dengan bagus.”

“Tenang, aja, Ru. Gue jamin, cerita kali ini bisa bikin emak-emak bahkan bapak-bapak se-Indonesia Raya ikut larut dalam kisahnya.”

“Huh! Pe-de sekali kau!” dengkus Aru.

Namun dalam hati, Aru tak urung mengakui kemampuan sang sahabat. Kemahiran Qwincy dalam meramu cerita, memilah kata, juga mempermainkan emosi pembaca, memang harus diacungi jempol lima.

“Seriusan, Ru. Lo bayangin, ada anak kecil yang terancam sebatang kara karena ibunya lagi sakit parah. Banyak konflik yang bisa gue eksplore dari situ. Kegalauan si anak memilih tinggal dengan kakek-nenek atau ayahnya kalau-kalau ibunya enggak berumur panjang. Ditambah konflik antara si ayah dan istri barunya. Ditambah lagi kesedihan yang selalu disembunyikan si anak dari ibunya. Bagus, kan?”

“Ah, terserah kau sajalah mau bikin cerita apa.” Aru melambaikan tangan. “Yang pasti, saya percaya sama kau pung kemampuan. Bikin cerita yang bagus supaya banyak orang beli kau pung novel.”

“Dan nambahin pundi-pundi emas lo biar program ‘pertukaran pelajar’ itu segera tercapai, kan?”

Mendengar itu, Aru pun terbahak.

Sapa suru itu orang-orang tua di kota terlalu neko-neko. Su betul-betul dapat gedung sekolah bagus, malah sibuk cari-cari sekolah alam. Lebih baek sekalian pertukaran pelajar dengan anak-anak di saya pung kampung, to? Korang dapat rasa sekolah di hutan, anak-anak kampung dapat rasa sekolah di gedung.”

Qwincy menyeringai. Daripada repot-repot bikin pertukaran pelajar, kenapa  tidak bangun gedung sekolah? Ia pernah bertanya begitu pada Aru.

Dengan tegas, Aru menjawab, apa gunanya gedung megah, jika tenaga pengajar di kampung tidak tersedia? Tidak seperti sekolah-sekolah di kota.

“Tapi, itu anak kecil pung cerita memang se-tragis itukah?” Aru tidak bisa menutupi rasa penasaran pada sosok ‘Len’.

“Belum tahu, sih. Gue kan belum wawancara sama anak dan ibunya.” Qwincy cengengesan.

“Oi, Kawan!” Aru melotot. “Kau tahu kan, kalo mau bikin cerita inspired from true story kau wajib punya banyak bahan dari narasumber?”

“Iya, gue tahu. Gue lagi usaha buat ketemuan, kok.”

Qwincy memang kesulitan membuat janji temu dengan sang narasumber. Sudah setengah bulan ini ia bergabung dengan grup Little Heart Warrior. Di hari pertama bergabung, dengan tekad serta rasa tak tahu malu, ia mengirimkan pesan pribadi pada pemilik akun Mama Lily.

Pria itu minta disampaikan keinginan untuk bisa bertemu dengan Lily dan ‘Len’. Namun hingga hari ini, pesannya tidak dijawab, padahal jelas-jelas sudah dibaca.

Untungnya, semesta seakan-akan memberi peluang lain.

“Tenang aja,” Qwincy mengedipkan sebelah mata, “gue pasti dapat bahan dari Lily, juga Len.”

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Datang juga?” Sebuah tepukan mendarat di punggung Qwincy, membuat pria itu terlonjak. Kaget setengah mati.

“Astagfirullah!” pekik Qwincy yang tengah berdiri di dekat pintu masuk. “Ya Allah, Dok, udah tahu saya punya jantung, pake dikagetin juga.”

“Maaf, maaf. Saya enggak niat ngagetin.” Volcano  menyunggingkan senyum.

Mendengkus kesal, Qwincy kembali memalingkan pandang ke arah para tamu undangan.

Meski hari libur, aula serbaguna Indonesia Heart Centre cukup ramai di siang itu. Selain anggota Little Heart Wariors yang tinggal di Jabodetabek, beberapa pasien dari luar daerah -yang sedang tinggal sementara di Jakarta untuk tujuan pengobatan- pun turut hadir.

“Dokter ngapain di sini?”

“Saya diundang.”

“Sebagai apa? Motivator? Atau pembaca doa penutup?”

“Perwakilan donatur,” jawab Volcano sambil tersenyum tipis. “Satu dari tiga rumah singgah yang akan diserahkan ke Little Heart Warriors adalah sumbangan dokter-dokter yang lagi PPDS di IHC.”

Selain silaturahim, serah terima rumah singgah dari para donatur memang menjadi agenda lain dalam acara yang digelar Little Heart Warriors hari itu.

Bagi para pasien rawat jalan dan rawat inap -terutama yang berdomisili di luar Jabodetabek-, kehadiran rumah singgah di sekitar IHC sangat berarti. Mereka bisa menghemat anggaran penginapan dan mengalihkannya untuk keperluan lain seperti makan, popok, hingga obat yang terkadang tidak ditanggung perusahaan asuransi swasta maupun pemerintah.

“Oh, pantesan dokter keren amat hari ini.”

Qwincy mengamati Volcano yang hari itu tampak berbeda. Jas putih yang selalu membungkus dirinya sudah berganti dengan jas warna hitam.

Volcano tersipu. “Mas Qwincy juga keren banget,” balasnya.

Hari itu Qwincy memang terlihat menawan dengan kaos putih dibalik setelan jas abu yang tidak dikancing. Sementara rambut gondrong kucir satunya dibiarkan tak tertutup topi.

“Oh, jelas! Kekerenan saya, sih, udah bawaan lahir.”

Qwincy tersenyum bangga, sedangkan wajah Volcano berubah masam. Sedikit menyesal telah melontarkan pujian basa-basi.

“Saya enggak nyangka, Mas Qwincy datang.”

“Kan, ngikutin saran dokter.” Qwincy cengar-cengir. “Saya harus sharing-sharing sama pasien lain, biar  semangat. Ya, kan?”

Volcano mengangguk-angguk. Tidak menyangka si pria yang tampak cuek pada penyakitnya itu ternyata benar-benar mengikuti saran darinya.

“Jadi, udah berapa banyak rekan sesama pasien yang Mas Qwincy ajak ngobrol?”

Ditanya begitu, Qwincy malah kembali cengar-cengir. Boro-boro menghitung berapa banyak yang sudah diajak ngobrol. Ia saja baru menginjakkan kaki di tempat itu tujuh menit yang lalu.

“Jangan-jangan belum ada?” tebak Volcano saat melihat sang pasien tidak memberi jawaban.

“Em… saya lagi nyari pasien yang punya KJB sama seperti saya. Biar nyambung.”

“Oh. Terus, udah tahu pasiennya yang mana? Mau saya bantu?”

“Enggak perlu, Dok. Sudah ada satu orang di kepala saya, kok.”

“Siapa?” Volcano tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran. Hanya ada beberapa pasien ebstein anomaly yang saat ini di rawat di IHC.

“Lily.”

“Lily?”

Qwincy mengangguk. Rasanya ia tidak perlu menjelaskan lebih lanjut tentang sang pasien. Bukankah Lily juga merupakan pasien Dokter Volcano?

“Kenapa Lily?” tanya Volcano.

“Kenapa enggak?”

“Mas Qwincy yakin mau sharing sama Lily?”

“Emang enggak boleh?”

“Enggak, sih. Cuma--”

Volcano ingin melanjutkan kalimat, tapi terdengar pembawa acara mengumumkan agenda serah terima rumah singgah. Sebagai perwakilan salah satu donatur, pria itu harus bergegas menuju panggung.

Setelah berpamitan, Volcano pun mulai berjalan ke barisan depan. Beberapa kali dia berhenti untuk menanggapi pasien atau orang tua pasien yang menyapa. Hingga akhirnya pria itu berhasil naik ke panggung.

Pandangan Qwincy pun kembali melanglang buana. Sedari tadi ia memang sengaja tidak ikut duduk bersama para tamu dalam baris-baris kursi agar lebih mudah menemukan sosok yang dicari.

Di tengah-tengah usaha Qwincy menemukan Lily, seluruh donatur sudah berada panggung. Perhatian pria itu pun teralihkan.

Qwincy mengenali dua di antara tiga donatur itu, Dokter Volcano dan salah satu anggota DPRD DKI Jakarta. Sementara satu wanita paruh baya yang lain, tampak asing baginya. Selain ketiga donatur, perwakilan LHW yang juga merupakan seorang wanita paruh baya ikut naik ke panggung.

Tadinya, Qwincy ingin kembali fokus pada proses pemindaian untuk menemukan sosok yang dicari. Namun, perhatiannya kembali terpecah ketika melihat pembawa baki berisi steorofoam berbentuk kunci yang menjadi simbolis serah terima rumah singgah.

Pantas saja Qwincy tidak menemukan perempuan itu dari tadi. Ternyata sosok yang dicari tengah sibuk di belakang panggung untuk menyiapkan dan membawa kunci-kunci raksasa itu. Pria itu pun tersenyum lega.

Beberapa detik kemudian, Qwincy menyadari satu hal penting. Jika sang ibu ada di panggung, berarti ‘Len’ tengah sendiri. Ia segera berjinjit, mencari tubuh mungil yang mungkin tenggelam dalam sandaran kursi futura. Dan berhasil!

Qwincy segera mendekat ke arah barisan ketiga dan mengambil tempat kosong di samping gadis kecil itu.

“Hai, Len,” sapa Qwincy.

Gadis kecil yang tengah membaca buku ‘Lumba-lumba, Sahabat Manusia’ itu pun mendongak.

“Halo, Om Spidel.”

“Sendirian aja?”

“Enggak. Itu, banyak olang.” Gadis itu mengedarkan pandang.

Qwincy tak berkutik mendengar jawaban itu. Secara harfiah, ‘Len’ memang tidak sendiri. Banyak tamu yang hadir, meski mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

“Kamu lagi baca buku?”

‘Len’ mengangguk, lalu kembali tenggelam dalam lembaran-lembaran kertas.

Melihat gelagat itu, Qwincy menghentikan basa-basi. Ia tidak berniat mengganggu gadis itu. Duduk sambil menemani ‘Len’ sudah cukup baginya. Ia hanya berharap ibu dari gadis itu melihat adegan yang terjadi dan kemudian menunjukkan sedikit rasa terima kasih. Bisa saja dengan mulai membuka ruang pertemanan.

Serah terima rumah singgah menjadi acara puncak hari itu. Setelahnya, dilanjutkan dengan pembacaan doa penutup dan acara makan bersama.
Saat itulah, Qwincy melihat sosok yang dicari tengah berjalan mendekat. Ditemani   Volcano yang berjalan di samping kanannya. Beriringan meski ada sedikit jarak.

Dari kejauhan, Ocean mengamati Qwincy yang sudah berdiri sambil tersenyum. Perempuan itu berhenti tepat satu setengah meter di hadapan Qwincy. Dia memicing, menatap curiga pada sosok pria yang sedari tadi tampak menempel pada putri kecilnya. Dia baru hendak bertanya, tapi putrinya lebih dulu bersuara.

“Mama!” Gadis kecil itu berjalan mendekati Ocean. “Aku tadi ditemenin Om Spidel,” lapornya.

Ocean berjongkok, lalu tersenyum. “Oh ya? Ngobrol apa aja?”

“Enggak ngoblol apa-apa. Om Spidel cuma temenin aku baca.”

“Beneran enggak ngobrol apa-apa?”

Gadis kecil itu mengangguk.

“Ohh.” Giliran Ocean yang mengangguk, lalu bangkit, tapi masih terus memicing pada Qwincy. Dia belum bisa menepis rasa curiga secara penuh.

Meski kikuk karena ditatap dengan tajam, Qwincy tetap melemparkan senyum paling manis yang bisa disajikan.

“Halo, Lily. Apa kabar?” tanya Qwincy sambil mengulurkan tangan.

Namun tanpa disangka, yang menyambut uluran tangan itu justru si gadis kecil bernama ‘Len’.

“Sehat, Om.”

Qwincy mengalihkan pandang pada ibu dan anak itu secara bergantian. Ia bingung, tidak paham.

Hingga saat Volcano berkata, “Ini Lily,” sambil menunjuk gadis kecil berkaos merah muda, “kalo yang ini Ocean, mamanya Lily,” sambungnya sambil mengerling ke arah perempuan yang pernah memayungi Qwincy di bawah hujan.

Seketika, tungkai-tungkai Qwincy seakan-akan lemas. Ke-soktahu-an bukan hanya membuatnya malu setengah mati. Yang terpenting, kerangka cerita yang ada di laptop dan kepala, terpaksa harus di-delete segera. Ini bukan kisah anak yang ingin membahagiakan ibu yang sakit, tapi kisah ibu yang berjuang untuk anak yang sedang sakit.

Detik itu, teriakan Aru seakan-akan bergema di telinga Qwincy, lengkap dengan tatapan melototnya. “GANTI IDE TRUSS!!”

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

Si 'yang salah nyapa orang.'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro