8. PRINCESS KEPITING

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Mami, kan, udah tau aku benci sama novelis. Tapi kenapa mami masih undang dia ke sini?”

Kalimat tajam itulah yang di dengar Qwincy saat duduk di ruang tamu. Sementara di ruang makan –yang hanya berjarak delapan meter dari ruang tamu-, Ocean tengah melayangkan protes pada Shaly, wanita paruh baya yang menjadi donatur ketiga dalam acara serah terima rumah singgah tempo hari.

“Enggak boleh, loh, benci-benci sama orang,” ucap Shaly dengan intonasi tetap tenang.

“Mereka emang pantas dibenci, kok. Mereka suka mencuri kisah orang lain lalu diperjualbelikan dalam bentuk buku demi meraih keuntungan pribadi.”

Qwincy tertampar mendengar pernyataan itu. Memang tidak semua novelis seperti yang diucapkan Ocean. Banyak yang memiliki imajinasi tinggi, hingga tak perlu mengambil kisah orang lain. Sayangnya saat ini, Qwincy merasa menjadi bagian yang disebut sebagai para pencuri itu.

“Apa salahnya bikin cerita berdasarkan kisah orang lain?” tanya Shaly sambil membawa baki berisi segelas jus jeruk dan sepiring kukis cokelat.

“Salah, dong, Mam! Harusnya mereka bisa kreatif dalam berkhayal hingga enggak perlu ngambil kisah hidup orang lain.” Ocean menjajari langkah-langkah Shaly.

“Kekreativitasan itu, kan, juga perlu bahan awal, Cean. Inspirasi. Dan kisah-kisah hidup orang lain bisa menjadi sumbernya. Iya, enggak, Nak Qwincy?” tanya Shaly sambil meletakkan jamuan di meja.

“Bener banget, Tan!” Qwincy mengacungkan jempol, tapi segera menarik jari itu saat melihat Ocean mendelik. 

Mengabaikan sang anak, Shaly lalu mengambil tempat duduk di hadapan Qwincy sambil mempersilahkan sang tamu untuk menyicipi hidangan.

“Mami, tahu enggak?” Ocean duduk di samping Shaly. “Kadang, mereka tuh enggak ijin saat ngambil kisah orang lain.”

“Jadi kalo ijin, boleh?”  tembak Qwincy sambil menaikturunkan kedua alis.

“Enggak boleh juga!” Ocean menggebrak meja.

“Ocean! Behave!”

“Mami! Jangan mentang-mentang karena pria ini adalah novelis favorit mami dan mami udah dapat tanda tangannya, terus mami bela-belain dia, ya!”

“Enggaklah, Cean. Masa, iya, mami bisa disogok cuma dengan tanda tangan di lima novel.”

Qwincy berdehem. “Kalo ditambah merchandise esklusif, gimana, Tan?”

Merchandise?” Mata Shaly berbinar. “Dari novel yang mana?”

“MAMI!”

Mendengar teriakan Ocean, Shaly buru-buru mendesis sambil meletakkan telunjuk di bibir. “Mami cuma becanda, Cean. Harusnya kamu, tuh, punya sense of humor. Jangan kaku. Ya, enggak, Nak Qwincy?”

Qwincy mengangguk sambil tersenyum. Merasa memiliki sekutu dengan kekuatan tempur yang mumpuni.

“Jawab saya dengan jujur! Anda mendekati kami karena ingin mencuri kisah Lily, kan?” Ocean mengacungkan jari telunjuk sambil bertanya penuh penekanan.

Sesaat Qwincy menahan napas, lalu menelan ludah. Ia melihat Ocean yang masih menatap tajam, lalu melirik Shaly yang tengah menyunggingkan senyum penuh makna.

Sejenak Qwincy ragu. Haruskah ia mempertaruhkan segalanya pada sekutu yang belum pasti akan membawa kemenangan?

“Eng-enggak, kok.” Akhirnya jawaban itu yang terlontar. “Gue cuma pengen sharing-sharing tentang KJB Lily. Juga tentang operasi. Ini atas saran Dokter Volcano, biar gue semangat untuk menghadapi operasi.”

“Dokter Volcano?” Ocean mengulang.

Sementara Shaly mengulang kata yang lain. “Operasi? Nak Qwincy juga mau operasi?”

Qwincy mengangguk untuk kedua pertanyaan yang terlontar dari anak beranak di seberang.

Shaly menghela napas panjang.

“Jujur, tadinya tante emang berharap Lily bisa menjadi salah satu tokoh dalam novel Nak Qwincy. Meski cuma figuran. Tante, sih, berharap perjuangan Lily bisa diabadikan. Yah… walaupun cuma secuil. Mudah-mudahan secuil itu bisa jadi motivasi bagi para pejuang jantung di luaran sana.”

“Mi--”

“Tapi ternyata niat kedatangan Nak Qwincy berbeda dengan harapan tante,” sambung Shaly dengan nada kecewa.

“Tan--”

“Tapi, it’s okay. Nak Qwincy tetap juara di hati tante, kok.” Shaly menutup kalimatnya dengan jari jempol dan telunjuk yang bersilang, membentuk simbol hati.

Perempuan paruh baya itu lalu menepuk pelan paha Ocean.

“Jangan overthinking, Cean! Kasih kesempatan Qwincy buat ngobrol-ngobrol sama Lily,” Shaly mengerling ke arah taman belakang, “Dan kamu, mending urusin  skripsi.”

Usai mengucapkan nasihat itu, Shaly pamit untuk mengerjakan urusan lain.

Qwincy mengantar kepergian wanita paruh baya itu dengan tatapan nanar. Ia ingin menghentikan Shaly dan berkata lantang bahwa ia akan mewujudkan harapan wanita itu. Bahwa keinginan wanita itu selaras dengan niat awalnya. Bahwa Lily tidak akan menjadi figuran, tapi tokoh utama.

Namun, saat melihat Ocean masih menatap nyalang, otot-otot rahang Qwincy mendadak kaku.

“Sebagai sopan santun karena anda sudah ke sini, saya kasih anda kesempatan untuk ngobrol dengan Lily. Hanya setengah jam. Sampai saya selesai siap-siap untuk ke kampus.”

Qwincy mengangguk. Sepertinya, ia memang harus mengikuti arus dan menggunakan pendekatan super halus untuk mendapatkan bahan yang dimau.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

“Kepiting walnanya apa, Om?”

Qwincy yang tengah memandangi kolam renang yang area di taman belakang, segera berpaling. Lalu berpikir sejenak.

“Macem-macem.”

“Kaya pelangi?”

“Itu warna-warni. Macem-macem itu warnanya satu, tapi beda-beda. Misal….”

Qwincy ingin menjelaskan lebih lanjut, tentang berbagai jenis kepiting berikut warnanya. Ada kepiting bakau berwarna kehijauan, kepiting karang berwarna oranye, atau kepiting balengkakem yang warnanya cokelat tua. Namun melihat mata bulat Lily yang memancarkan rasa penasaran, terbit ide usil di benaknya.

“Misal, ada kepiting warna hitam dan ada yang warna merah.” Qwincy menjeda.

“Kalo masih di laut, warnanya hitam. Tapi kalo sudah dimasak, warnanya merah,” lanjutnya yang ditutup dengan tawa membahana.

Lily yang sadar bahwa pria di depan tengah meledek, langsung bersungut-sungut. Dengan bibir dimonyongkan, gadis kecil itu mengambil satu krayon dan kembali mewarnai. Dia kesal, merasa waktunya terbuang karena bertanya pada pria gondrong itu.

Setelah tawanya mereda, Qwincy mencondongkan tubuh, melihat buku mewarnai bertema hewan laut. Ia ingin memastikan warna apa yang akhirnya dipilih Lily. Namun, dahinya mengernyit.

“Kok warna pink?”

“Dia ini plincess kepiting. Jadi, walnanya pink,” jawab Lily, penuh kepercayaan diri, membuat Qwincy kembali terkikik.

“Kamu pernah makan kepiting?”

Lily mengangguk. “Aku sama mama, sama oma, sama opa, suka makan kepiting di Bandal Batavia.”

“Bandar Batavia?” ulang Qwincy.

Bandar Batavia memang merupakan salah satu restoran favorit para pecinta seafood. Lokasinya yang terapung di atas laut pun menjadi daya tarik tersendiri.

Qwincy sudah dua kali berkunjung ke Bandar Batavia. Yang pertama demi riset, dan yang lain dalam rangka perayaan ulang tahun ke-7 Bumibuku. Selain itu, ia tidak pernah ke sana.

Sebagai salah satu publik figur, Qwincy akan menghindari tempat-tempat ramai, kecuali terpaksa. Itu pun dengan berbagai aksesoris untuk menyembunyikan identitasnya karena khawatir bertemu para penggemar. Bukannya sombong, ia hanya tidak enak hati jika mengundang keramaian bahkan berujung kericuhan di fasilitas-fasilitas publik atau bisnis orang lain.

“Kepitingnya enak enggak?”

Lagi-lagi Lily mengangguk.

Tiba-tiba terlintas ide iseng di kepala Qwincy. “Kalo cerita tentang Princess Kepiting, kamu pernah dengar enggak?”
Lily menggeleng.

“Jadi…” Qwincy mengambil ancang-ancang bercerita, “Princess Kepiting adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Mereka hidup bahagia di kerajaan terumbu karang, bersama Raja dan Ratu Kepiting.”

Qwincy melirik ke arah Lily yang tengah mendengarkan dengan saksama. Mata bulat gadis itu berbinar. Bulu mata yang lentik, tampak cantik saat  sesekali kelopaknya berkedip.

“Suatu hari, Princess Kepiting sedang bermain petak umpet dengan saudara-saudaranya. Ia bersembunyi di bawah tentakel gurita yang sedang berkamuflase menjadi pasir. Bermenit-menit berlalu, tidak ada yang bisa menemukan Princess Kepiting. Hingga akhirnya Princess Kepiting ketiduran.

“Saat Princess Kepiting bangun, ternyata ia sudah berada di tempat asing. Kotak kecil dengan dinding-dinding dari kaca bening. Ia bisa melihat ke luar hingga kejauhan. Ternyata, bukan hanya ia yang ada di sana. Di balik dinding-dinding lain ada paman udang, kakek tiram, hingga si kembar lobster. Yang tidak ada adalah Ratu dan Raja Kepiting, juga saudara-saudaranya.

“Princess Kepiting berteriak, memanggil-manggil orang tua dan saudaranya. Berjam-jam ia melakukannya hingga sadar bahwa mereka tidak ada. Ia pun menangis.”

Qwincy bercerita dengan nada sendu sambil pura-pura terisak, sementara bola mata Lily mulai basah.

“Princess kepiting ketakutan dan mulai menangis. Ia ingin pulang, tapi tidak tahu caranya. Ia mau minta tolong, tapi tidak tahu pada siapa. Paman udang, kakek tiram, dan si kembar lobster juga terlihat bingung seperti dirinya.

“Hingga satu ketika. Hap! Satu tangan manusia menggenggam tubuh Princess Kepiting, mengeluarkannya dalam kotak kaca, dan membawanya ke tempat lain!” Qwincy  menaikkan nada suara sambil menikmati ketegangan di wajah Lily, “setelah itu, Princess Kepiting tidak sadarkan diri.

“Di tempat lain, saudara-saudara Princess Kepiting sedang mencari si adik bungsu. Mereka nekat naik ke bangunan besar yang terbuat dari kayu berwarna cokelat. Mereka berjalan mengendap-ngendap, hingga sesuatu jatuh dari atas. Pluk!”

“Si kakak sulung melihat benda yang jatuh.”

Qwincy memberi jeda demi menciptakan ketegangan sekaligus menikmati ekspresi cemas di wajah Lily.

“Ternyata itu adalah capit milik Princess Kepiting. Mereka mengenalinya dari stempel kerajaan yang melekat di sana. Keenam saudara Princess Kepiting pun menangis, tahu bahwa adik bungsu mereka sudah tiada.”

Qwincy berpura-pura menarik ingus karena tak kuat menahan sedih, sembari melirik Lily yang mulai menggosok-gosok mata dengan punggung tangan.

Qwincy terus memperhatikan Lily dalam diam, dengan degup jantung yang terus berdetak semakin kencang. Tentu saja. Hal yang paling dinanti para pendongeng adalah reaksi para pendengar.

“Kemudian di tengah isak tangis keenam kakak beradik itu, terdengar suara seorang manusia,” Qwincy menurunkan nada suara, “Lily, gimana rasa kepitingnya? Enak? Mau tambah tidak?”

Tepat saat kalimat itu usai terlontar, jeritan histeris keluar dari bibir Lily dilanjutkan dengan tangisan meraung-raung. Air mata mengalir deras di pipi kemerahannya.

Mendengar kegaduhan di taman belakang, Ocean segera berlari dari kamar, yang disusul dengan Shaly. Ocean segera memeluk Lily yang masih menangis tersengal-sengal.

Sementara Qwincy tengah tersenyum bangga. Dalam karya tulis maupun lisan, membuat emosi penikmat cerita bergejolak hingga ikut bahagia atau bahkan menangis pilu, merupakan kesuksesan besar bagi seorang pencerita.

Akan tetapi, senyum itu berangsur-angsur memudar ketika melihat ekspresi Shaly, tindak tanduk Ocean, juga kehadiran beberapa asisten rumah tangga yang terburu-buru. Semuanya seakan-akan dilanda panik.

Dengan segera, Lily dibopong menuju kamar Ocean yang bersebelahan dengan taman belakang. Adegan-adegan selanjutnya terjadi begitu cepat, bagaikan tayangan sebuah film. Qwincy bagai terhipnotis. Saat tersadar, pria itu sudah melihat nasal kanul terpasang di hidung Lily. Gadis itu pun telah terlelap, ditemani Ocean yang tengah mengusap-usap rambut putrinya sambil mengamati oxymeter.

Sebelum Qwincy melangkah masuk untuk bertanya, Shaly sudah menggamit tangannya. Membawa pria itu menuju taman belakang, di mana buku gambar dan crayon Lily berceceran.

“Kalo nangis terlalu kencang dan lama, Lily bisa sesak napas. Makanya, kami selalu jaga agar Lily tidak sampai menangis seperti itu,” jelas Shaly tanpa diminta.

Qwincy tertunduk, merasa bersalah.

“Saya--”

Baru saja ingin mengucapkan maaf, ekor mata Qwincy menangkap sosok Ocean yang sudah berdiri tak jauh dari pintu kaca yang terbuka lebar. Menyadari ada yang perlu dibicarakan oleh kedua orang itu, Shaly pun beranjak.

“Gu-gue minta maaf. Gue benar-benar enggak tahu. Ini bukan kesengajaan. Seriusan, deh.”

Tanpa beranjak dari tempatnya berdiri, Ocean mengangguk.

“Lo enggak marah?”

“Saya bisa apa kalo anda bilang ‘eng-gak ta-hu’?”

“Tapi--”

“Saya rasa, anda tidak bisa ngobrol lagi dengan Lily. Jadi, silakan pulang.”

Diusir seperti itu, Qwincy semakin tidak enak hati.

“Emm, gue masih boleh ketemu lagi sama Lily?”

Alih-alih menjawab, Ocean malah beranjak pergi. Kembali menuju kamar tempat Lily berada. Meninggalkan Qwincy yang masih termangu sambil menggerutu. Ah, andai saja si Princess Kepiting tidak ikut main petak umpet, tentu akhir ceritanya tidak akan seperti ini!

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️


Tersangka yang bikin anak orang sesak napas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro