Hijau - Hari ke Enam - [1/1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini, tujuh menit terakhir sebelum bel pulang sekolah berbunyi, disambut oleh suara rintikan hujan yang semakin lama iramanya semakin terdengar padat. Aku memandangi burung-burung kecil yang berhamburan dari kaca jendela kelas, seperti mencari tempat perlindungan dari tumpahnya air langit. Tetesan-tetesan hujan membuat pemandangan di luar semakin tak jelas. Kepalaku sudah menoleh ke sana-ke mari, tak tentu arah. Pengelihatanku mencari-cari sosok yang aku kenali. Dia seharusnya sudah menungguku, dia selalu keluar lebih cepat seperti hari-hari yang lalu.

“Aku tak melihatmu tadi, aku pikir kau sudah pergi,” kataku di luar kelas, lalu mengambil payung lipat di tasku.

Hari ini, tetap sama. Selalu hujan, saat pulang.

“Ah, kau pasti khawatir tak akan bertemu denganku, ya?” tanyanya penuh percaya diri.

Senyumnya selalu sama, seperti hari kemarin.

“Kelihatan, ya?” Aku tertawa kecil, dan dia hanya tersenyum sembari berkacak pinggang, menatap dengan penuh arti.

“Ayo, aku akan mengantarmu pulang lagi.” Dia menutup rambut hitamnya dengan hoodie sweter yang dipakainya. Lima hari ini, dia selalu memakai sweter berwarna merah itu.

“Baiklah.” Aku membuka payung lipatku yang berwarna hitam, kemudian memposisikannya di atas kepala.
“Sini, aku yang pegang,” tawarnya.

“Tidak usah, lagipula tinggi badan kita tak berbeda jauh meski aku ini perempuan. Jadi tenang, kau tak akan berjalan membungkuk karena payung ini.” Aku menolaknya halus sambil tersenyum.

Setelah percakapan selesai, kami berjalan bersama, menembus hujan yang tak tahu kapan akan berhenti. Entah apa yang dia rasa dan pikirkan sekarang saat berjalan di sampingku, aku selalu menebaknya. Mungkin dia merasa sedikit berdebar? Mungkin bahagia? Atau jangan-jangan sedih? Jika untukku, aku sebetulnya sangat menyukai hal ini, debaran kebahagiaan. Tapi lama-kelamaan aku ragu, dadaku terasa nyeri. Sesak.

“Mau ke Cafe Sore lagi?” tanyanya.

Aku menganggukan kepalaku, lembut.

* * *

Perlahan aku menyesap cokelat hangat favoritku setelah pelayan mengantarkannya dengan sudut bibir mengembang lebar, ia menatapku dengan heran sejenak lalu pergi. Ada yang salah denganku?

Aku membiarkan kedua tanganku memeluk erat cangkir. Hangatnya menjalar pada telapak tangan. Cangkir cokelat itu kemudian aku simpan, lalu melirik ke arah cangkir lain di sebelahnya yang isinya masih sama saat awal dipesan, sepertinya dia akan membiarkanku lagi untuk meminum bagiannya.

Aku menangkap sorot mata lelaki yang berada dihadapanku, tak seperti kemarin-kemarin yang ragu dan sedikit takut serta gugup, aku berani menatapnya sekarang. Dengan penuh keyakinan mata ini memandanginya. Setelah berlama-lama menatapnya aku tersadar, apakah lelaki yang di depanku ini nyata? Maniknya sangat hitam seperti warna rambutnya, bentuk matanya agak sipit, pipinya tirus, hidungnya tak terlalu mancung. Ada tahi lalat kecil terlukis di ujung kiri matanya. Bagiku, lelaki ini sangat tampan.

“Aku sayang padamu,” ucapnya yang membuatku terkesiap, kemudian mengerjapkan mata.

“Tentu saja, aku juga,” kataku, salah tingkah. ”Kita teman setia sedari kecil, pasti aku juga sayang padamu.” Aku mengusap-ngusap hidungku.

“Bukan, ini bukan sayang semacam itu. Emm, kautahu, sayang pada seorang gadis.” Tatapannya semakin serius, aku rasa pipiku memerah sekarang. Aku tak mau memberatkannya jika aku berkata hal yang sama padanya. Akhirnya, aku memilih membiarkan perkataannya, pura-pura tak tahu.

* * *

Jika hari ini dia menemuiku, maka hari ini menjadi hari yang ke enam dia bertemu denganku secara berturut-turut. Bingung, aku tak tahu harus bagaimana saat bertemu lagi dengannya, haruskah aku tetap pura-pura tak tahu?

Aku menatap ke luar jendela dengan tangan kiri menopang dagu. Seperti kemarin, hari ini masih hujan saat sepuluh menit terakhir pelajaran akan berakhir. Haruskah aku berharap dia menunggu seperti kemarin? Atau haruskkah aku berharap dia untuk segera pergi?

Teman-teman kelasku sudah keluar kelas tepat ketika bel berbunyi, aku masih belum beranjak. Aku masih menikmati nada-nada yang dihasilkan oleh rintikan hujan. Kini, bayangan lelaki itu muncul dalam benakku. Semakin sering dia bertemu denganku, semakin tak terkendali perasaanku padanya, semakin juga aku takut kehilangannya. Aku tak mau mengutarakan perasaanku. Dadaku Sesak.

“Kenapa masih di kelas?”

Aku mendongakkan wajahku, laki-laki dengan sweter merah itu menyungginkan senyuman terbaiknya. Aku terdiam sejenak.

“Hanya menikmati suasana,” ucapku.

“Kalau begitu, kita pulang sekarang,” ajaknya. “Bawa payung kan?”

“Iya.” Aku segera mengeluarkan payung lipatku yang sudah seminggu ini selalu kubawa ke sekolah.

Hari ini hujan tak terlalu deras, kami berjalan bersama, berdampingan seperti kemarin. Aku yang memegangi payung, dan di antara kami tak ada yang berbicara sampai akhirnya suara mengeong kucing yang tengah berlari masuk ke rumah orang lain memecahkan tembok keheningan kami.

“Hari ini hari terakhir aku mengantarmu,” katanya.

“Ah, begitu ya.” Aku tersenyum paksa, hatiku perih. “Kalau begitu mau ke cafe lagi untuk terakhir kali?” ajakku.

“Hmm, maaf. Lebih baik kita ke tempat lain. Kau tahu kan aku tak bisa meminumnya?”

Langkahku terhenti, aku rasa aku egois.

“Eh, baiklah. Aku tak memaksa.” Aku berusaha tersenyum lagi. “Jadi sekarang kita ke mana?”

“Aku mau kita ke taman bermain komplek. Aku ingin sekali ke sana.” Ucapannya datar, tapi masih menyunggingkan senyuman kecil ke arahku.

“Oke, aku rasa kau sedang rindu masa-masa kecil kita,  ya?” Aku mengembuskan napas, lalu memandangnya dengan berusaha terlihat semangat.

* * *

Dia mengarahkan langkahku ke taman komplek perumahan kami, di sana kita selalu menghabiskan waktu bersama sampai-sampai orang tua kami selalu menjemput bersamaan jika waktu yang dihabiskan sudah terlalu lama. Dia selalu menceritakan kehidupannya sehari-hari, hobinya menggambar, dan power rangers merah idolanya. Walaupun waktu itu obrolan kami masih tak jelas, gaya berceloteh khas anak-anak yang ngalor ngidul. Aku rindu masa-masa itu. Apakah dia juga sama?

Aku menutup payungku ketika kami sudah memasuki lorong seluncuran besar di taman ini. Kami berada di bawah seluncuran, dan awan masih menumpahkan tangisannya. Dia menatapku hangat, maniknya membiusku.

“Terima kasih,” katanya.

“Untuk apa, Andrea?”

“Telah memperlakukanku seperti manusia.” Dia mengalihkan pandangannya.

Aku tetap menatapnya walau netranya sudah tak memandangku, rautnya terlihat sendu. Mulutku ingin mencoba mengeluarkan sepatah kata, tapi tak bisa, bibirku terkunci. Bodoh.

“Aku mencintaimu.” Ucapan Andrea langsung menembus dadaku.

Aku terhenyak, wajahku tak bisa kukontrol. Aku membenamkan bibir bawahku dengan gigi.

“Apa maksudmu?”

“Ini hari terakhirku, dan aku ingin mengatakan ini sebelum aku menyesal. Aku sungguh-sungguh mencintaimu.” Kali ini dia memandangku dengan lembut dan percaya diri.

Haruskah aku jujur? Tapi aku tetap tak bisa, aku tak mau perasaanku membebaninya.

“Maaf ....”

Andrea masih tersenyum, “Sudah, aku tak apa-apa.”

Dia mendekatiku, jarakku dengannya sekarang kira-kira sebesar lima senti. Aku tak memintanya untuk menjauh. Kurasakan embusan dinginnya udara masih menerpa wajahku sebelum akhirnya wajah Andrea mendekati. Dia berusaha menempelkan bibirnya pada dahiku. Mungkin sekarang wajahku memerah sekali, tapi tiba-tiba dia berhenti mendadak. Aku tahu alasannya. Bukan karena apa-apa, hanya saja dia memang tak bisa melakukannya.

Wajah Andrea masih berdekatan dengan wajahku. Sinar matanya redup, tapi masih mengusahakan senyuman tergambar di wajah tampannya. Entah mengapa dia tertawa kecil, tapi ketika itu hatiku semakin merasa perih, sakit.

“Maaf, aku harus pergi sekarang.”

Aku tak berkata, aku hanya menggoyangkan kepalaku ke atas dan ke bawah.

“Baiklah, selamat tinggal, Dea ...”

“... Aku mencintaimu.”

Hatiku tak kuat mendengar kalimatnya, semuanya hancur. Aku langsung terduduk lemas di tanah basah taman ini saat Andrea pergi meninggalkanku. Aku menangis kuat saat punggung Andrea yang aku lihat dari kejauhan sudah menghilang secara perlahan. Tenggorkanku terasa tercekat, aku ingin berteriak. Aku terus menangis, dan menangis bersamaan dengan tetesan air dari langit yang turun bersamaan air mata di pipiku.

Apa keputusanku sudah tepat?

Aku masih menangis tersedu, kini dia sudah pergi, menghilang dari kehidupanku.

Dia menghilang untuk selamanya, tapi tak akan pernah dalam hatiku.

Haruskah kukatakan ini sekarang?

“Aku juga, mencintaimu Andrea. Aku sangat mencintaimu.” Aku berkata pada langit yang masih berduka saat ini, dan berharap semoga dia dapat mendengarkanku nanti di sana.

Hari ini, tepat hari ke enam. Teman terdekat, teman terbaikku atau lelaki yang kucintai meninggalkanku,

Meninggalkanku dari dunia ini.

Selamat jalan, Andrea.
 
.
.
.
.
.
_END_

Story by: Jade_Eszter

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro