Jingga - Belum Saatnya - [1/1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

P.s : Cerita ini mengandung hal yang tidak dianjurkan untuk dibaca oleh pembaca di bawah umur. (Rating 15+)
Pembaca diharap bijak.

  Kancing berbentuk bundaran sempurna berbahan emas murni telah terkait pada cantolannya. Seragam dengan pernak-pernik lencana berupa bintang keemasan mengkilap di atas kedua bahu nampak memeluk anggun tubuh tegapnya. Ia mematut diri pada cermin tegak di hadapannya. Seraya menghela napas panjang.

  Semilir aroma pahit kopi seduhan budaknya sontak menyesap ke dalam relung paru-parunya. Mendadak membuatnya merasa sesak. Ia terbatuk-batuk karena rasa bencinya terhadap aroma itu. Aroma yang senantiasa menjadi pengingat bahwa seseorang yang ia kutuki dengan penuh dendam sedang mengunjunginya. Seseorang yang menyukai kopi pahit yang dipanen langsung dari lahan negeri ini. Seseorang yang tak pernah absen mengunjunginya tiga kali dalam satu hari.

Jendral Djarot duduk di atas kursi rotan hiasan ruang tamu rumah panggung ini. Dipisahkan oleh meja berbahan sama dengan balutan taplak berwarna putih polos tak menarik, seorang pria berkulit seputih susu duduk tegak sembari menyesap isi cangkir di tangannya.

  Budak perempuan pengabdi keluarga Djarot sudah angkat kaki dari ruang tamu membawa nampan dalam dekapannya. Hening sebentar membelantara ruangan tersebut. Dibumbui belaian angin kering yang berhembus cukup kencang dari balik jendela yang terbuka lebar. Musim kemarau kali ini sungguh kelam. Anginnya saja terasa kering kerontang.

Bule itu, Kapten Frederick bicara panjang lebar menggunakan bahasa asing yang Djarot pahami, setelah ia meletakkan cangkir di atas meja. Djarot belum mengubah posisi duduknya, sementara baret seragamnya masih ia genggam erat di tangan.

"Prajuritku telah meringkus seorang pencuri yang mencoba membobol gudang pasokan bahan makanan milik pemerintah." papar Fred.

Gudang dengan luas belasan hektar tersebut diisi oleh beberapa kontainer raksasa yang diasup penuh dengan hasil panen para rakyat pribumi selama dua musim belakangan. Semua milik rakyat tersebut sengaja dikumpulkan untuk nantinya kembali dibagikan secara merata pada seluruh rakyat.

  Itulah yang kaum bule utarakan pada para rakyat menggunakan mulut berbisa mereka. Namun kenyataannya, yang terjadi sungguh kontras dari janji manis yang mereka umbar. Alih-alih membagi kembali, Fred dan para atasannya justru mengirim hasil panen rakyat menuju daratan tempat tinggal mereka di benua biru.

Djarot menghela napas. Begitu banyak hal berkelebat dalam benaknya saat ini, termasuk rasa prihatin terhadap nasib pencuri itu. Siapapun dia, Djarot bisa pastikan nyawanya akan berakhir di tiang gantungan beberapa jam lagi.

"Kau akan membaca materi dakwaannya setibanya kau di kantor." imbuh Fred.

Djarot selalu mendapat bagian yang paling sulit menurutnya. Membayangkan pria itu kehilangan nyawa atas perintah darinya tentu membuat kalbunya gentar. Lagi-lagi Djarot harus menghabisi hidup saudara setanah airnya demi tetap bisa menjilat kaki para koloni. Dengan begitu, seseorang yang amat berharga bagi Djarot akan terjamin hidupnya, paling tidak hingga ia dewasa.

Bibir Djarot sudah setengah menganga hendak bicara dan bernego mengenai hukuman gantung yang akan diberikan pada tersangka pencurian itu. Namun sosok yang membuatnya tetap tinggal di bawah ketiak manusia beriris biru itu, mendadak muncul dari balik pintu kamarnya. Gadis berusia sepuluh tahun dengan balutan gaun selutut tersebut berlari cepat menghampiri ayahnya. Lalu menempelkan pipinya erat pada milik Djarot. Ia memang selalu melakukan hal itu setiap kali ia akan berangkat ke sekolah.

  Karena kepatuhan Djarot pada para koloni yang sudah mirip kerbau dicucuk hidungnya, ia berhasil mengirim puterinya ke sekolah elit milik kaum bule. Puterinya adalah salah satu dari secuil keturunan pribumi yang bisa mengenyam pendidikan di sana.

"Ayah akan menegakkan keadilan lagi hari ini?" cicit gadis itu. Ia duduk di salah satu sandaran lengan kursi Djarot. Sumringah keceriaan sungguh terpancar dari binar wajahnya. Ia sangat mirip dengan ibunya.

Djarot selalu merasa lega setiap kali melihat rona bahagia di wajah sang puteri. Ia bisa menganggap kebahagiaan anaknya tersebut merupakan bayaran sempurna atas pengkhianatannya terhadap negerinya sendiri.

"Ya, ayahmu akan melakukannya lagi." Fred menyambar dengan seringai tajam di sudut bibirnya. Sorotan bengis nan mengancam itu ia tujukan pada Djarot.

Puteri Djarot pun pergi setelah gemerincing cempreng lonceng pedati jemputan yang tengah menunggunya keluar, terdengar. Tak lupa gadis itu mengutarakan kebanggaannya karena terlahir sebagai seorang puteri dari jenderal segagah sang ayah. Yang langsung resmi menggores dalam palung hati Djarot. Amat menyakitkan, hingga rasanya air mata pun tak sanggup mewakilinya.

Decihan Fred membawa Djarot sadar dari lamunan eleginya. "Kau harus melakukannya jika kau tidak ingin puterimu berakhir sama mengenaskan dengan ibunya." Sejak tadi Fred sudah menangkap keragu-raguan yang membiram di wajah Djarot sepanjang percakapan mereka. Jadi mungkin sedikit ancaman dengan penyiratan masa lalu akan membuat Djarot kembali sadar.

  Djarot mengeraskan rahangnya geram. Pria dengan pangkat jauh di bawah miliknya ini sudah tak lagi segan memberikan perintah macam apapun padanya. Dikarenakan posisi bangsanya yang telah hampir berhasil menduduki separuh negeri ini.

~

Djarot tiba di halaman kantornya dengan langkah kaki memaku di tanah. Hal yang pertama kali ia temukan menempel pada dinding-dinding putih kantornya, telah berhasil membuat dadanya mencelos ketakutan. Coretan-coretan tangan dari arang tersebut menyusun sebuah kalimat pendek semacam ocehan protes mengenai tindakan sepihak para kolonial yang menangkap paksa pencuri itu.

  Bola mata Djarot tak berhenti membelalak saat membaca setiap suku kata dalam kalimat pembelaan dari para rakyat pribumi tersebut. Djarot menelan salivanya susah payah seraya mengerjap beberapa kali, demi menghilangkan air bening yang sudah menggumpal di balik pelupuk matanya.

Beberapa orang wanita paruh baya dengan balutan kemben khas ibu-ibu petani pribumi menyerbu Djarot tanpa ampun, persis wartawan saat menyambut seorang artis di atas karpet merah. Salah satu dari mereka merebut tangan Djarot dan menggenggamnya dengan tangan gemetaran. Ia menangis tersedu-sedu, beriring dengan tangisan ibu-ibu lainnya.

"Tuan Jendral, dia terpaksa melakukannya. Dia mencuri demi warga kampungnya yang sekarat karena kelaparan,"

"Di kampung kami hanya tersisa sedikit manusia yang masih bernyawa, Tuan. Jadi ia berusaha agar kami tetap bertahan hidup dan tidak kelaparan,"

"Kami tahu kau masih punya hati nurani, Tuan Jenderal. Hanya kau yang bisa melepaskannya dari segala tuduhan, Tuan,"

"Kami mohon dengan seluruh nyawa kami, Tuan."

Mereka bersahut-sahutan, mencecar habis Djarot dengan segala rayu pengyakinan yang sungguh mengundang luka hati Djarot semakin menganga lebar. Sekarang ia sungguh tak tahu apa yang akan ia lakukan setelahnya. Mengingat bahwa rakyatnya sendiri mati terbengkalai di jalanan hanya karena kelaparan, sungguh amat menyiksa batinnya.

  Sebagai seorang petinggi negeri ini, seharusnya Djarot tak membiarkan hal semacam itu terjadi pada penduduknya. Djarot menutup matanya dengan paksa seraya segala ocehan dan tangis kejar para wanita tua itu terus berkibar di telinganya. Kepalanya menggeleng pelan.

"Hanya dia yang kami miliki untuk membantu kami bertahan hidup, Tuan." rengekan terakhir dari wanita yang menggenggam erat tangan Djarot masih terdengar.

Pria itu hanya bisa diam membisu sampai para penjaga pintu masuk kantor menghampiri Djarot. Dua lelaki bule berseragam sama persis dengan Fred itu menggenggam senapan laras panjang di tangan mereka. Djarot bicara sebentar pada mereka menggunakan bahasa Nasional kaum bule. Lalu.…

Dor!

Salah satu dari pria bersenjata itu berinisiatif mengarahkan bidikannya tepat pada tengkorak wanita yang menggenggam tangan Djarot. Sungguh ledakannya telah membuat bising seantero desa. Debu mesiu bekas lucutan selongsong pelurunya mengabur di udara.

  Sontak sisa wanita yang masih bernyawa terkejut bukan main, hingga hampir terjengkang. Beberapa dari mereka membekap mulut serapat mungkin dengan cucuran air mata tercecer di wajah. Mereka datang dengan niat untuk menyelamatkan satu nyawa. Namun yang terjadi sungguh jauh dari keinginan. Satu lagi nyawa terbunuh sia-sia karena ketidakmampuan Djarot untuk bertindak tegas.

Pria bule yang menembak bergegas menggeret Djarot masuk ke halaman kantor, sementara bule satunya mengusir paksa para wanita paruh baya tersebut. Ia tak segan menendang mereka semua dengan kaki tegapnya yang dibaluti sepatu combat taktis khusus militer dengan hak tebal sekeras batu karang. Djarot hanya diam memandangi kejadian memilukan itu sementara wajahnya yang tegang, resmi kotor akibat bercak darah mencrot milik wanita tua tersebut.

Batin Djarot bergolak bukan main. Sudah perih rasanya mendapati kenyataan bahwa rakyatnya mati kelaparan karena terlalu lelah berladang demi memenuhi isi perut para kolonial itu. Dan sekarang, mereka harus mati demi membela saudara seperjuangan mereka. Lantas yang bisa ia lakukan hanya diam dan meratap.

Di ruang kantornya, Djarot berdiam diri. Dihapusnya noda darah dari pipinya perlahan lalu tangannya membentuk sebuah kepalan keras. Kutukan macam apapun rasanya tidak sebanding untuk dialamatkan pada dirinya. Ia kesal bukan main terhadap perlakuan para bule jahanam itu. Dan ia semakin kesal karena ia tak mampu melakukan apapun untuk mewujudkan rasa benci yang menggelora batinnya.

Ia ingat benar bahwa jika ia mangkir seinci saja dari perintah para kolonial itu, nyawa puterinya akan langsung melayang. Dan itu bukan hanya sekedar ancaman. Dimana pun gadis itu berada, bidikan senapan para penjajah siap meledakkan kepalanya dalam waktu singkat. Karena kuasa penuh mereka atas tanah negeri ini, mereka tentu bisa melakukan apapun.

Sementara Djarot, kegagahannya sebagai seorang jenderal telah dibeli sepenuhnya oleh bangsa penjajah. Keberaniannya terpangkas habis. Yang tersisa dalam diri Djarot hanyalah jenderal bahlul boneka para penjajah. Ia meninju angin dengan sepenuh hati. Berharap dengan begitu, emosi membumbung di hatinya dapat mencelos jauh. Ia menarik napas dalam seraya menutup mata lalu mencoba melupakan segala hal menyakitkan dari benaknya.

  Pandangan Djarot berbelok jauh ke atas meja kerja di balik punggungnya. Berkas yang dimaksud Fred telah tergeletak manis di sana. Benda mati berbentuk persegi panjang tersebut seolah mengingatkan Djarot bahwa ia tak memiliki sedikit pun kesempatan untuk membelot. Ia harus melakukan apapun tuntutan yang tertulis dalam berkas tersebut. Djarot membasahi bibirnya sebentar kemudian meraih benda itu dengan memanjangkan tangan. Kemudian membaca isinya dengan cermat dan seksama.

  Menit berikutnya, Djarot mencampakkan benda itu ke lantai dengan sekali ayunan tangan. Mulutnya mengumpat hebat. Kali ini emosinya gagal ia tahan dan langsung melejit hingga ke ubun-ubun. Dadanya bahkan terasa sesak saking kalap. Ia berkacak pinggang seraya mengawasi kertas-kertas yang sekarang berserakan di lantai kayu tersebut. Ia mengutuk dirinya lagi untuk ke sekian kali setelah membaca materi dakwaan terkonyol yang pernah ia tangani seumur hidupnya.

  Bocah berjenis kelamin lelaki itu akan dijatuhi hukuman gantung dan mati tertuduh sebagai seorang penyihir, karena tindakannya yang mampu menyelundupkan satu kontainer hasil panen dalam hitungan menit. Ditambah dengan dugaan bahwa bocah itu mencuri banyak bahan makanan untuk dipersembahkan pada iblis yang dipujanya.

  Djarot berdecih seraya menggeleng pelan. Sungguh ia tak habis pikir dengan cara berpikir para manusia kulit putih tak bernurani tersebut. Djarot sudah mengira bahwa mereka semua adalah sekumpulan kaum intelek yang takkan mau percaya terhadap hal-hal tak jelas wujudnya, semacam mistik. Namun yang terjadi malah sebaliknya.

  Mereka pasti telah dirasuki ambisi penuh rasa rakus akan tanah dan kekayaan alam negeri ini. Mereka bahkan lebih rendah dari benalu. Dan dengan idiotnya, Djarot sudi diperintah oleh manusia rendahan macam mereka. Ia memijat dahinya pelan untuk meredakan amarahnya. Ia didera dilema. Haruskah ia berhenti dan mulai melawan?

~

Langkah kaki jenjang Djarot menelusuri anak tangga penuh balutan lumut dan membawanya ke ruang bawah tanah. Suara pijakannya menggema di seluruh lorong gelap yang sekilas dilihat mirip gorong-gorong tersebut. Belum tiba di ruang siksa para terdakwa, telinga caplang Djarot sudah menangkap sebuah raungan kesakitan amat panjang dan penuh keperihan. Djarot mendesis pelan. Ia cukup yakin bahwa pemilik teriakan itu adalah anak lelaki yang tertuduh sebagai penyihir.

  Kemudian Djarot melangkah lagi hingga tiba di hadapan pintu kayu berbentuk bundaran dengan kenop berbahan besi usang. Ia menarik benda itu pelan hinga bunyi kerekannya terdengar. Kontan membuat sang eksekutor dalam ruang siksa memutar tubuh menatap kedatangannya. Hanya sekilas, lalu ia kembali memunggungi Djarot. Kedatangan Djarot jelas tak perlu dihujani sambutan tunduk hormat darinya, meskipun pangkatnya hanyalah sersan.

  Sesaat Djarot menyapu pandangan ke setiap sisi ruangan petak tersebut. Ruangan ini dikelilingi beton keras nan tebal, dibuat khusus untuk menyiksa para pengkhianat negeri dan mengurung mereka di sini tanpa memberikan kesempatan berpikir bagaimana cara untuk melarikan diri. Tak ada celah bahkan selebar lubang tikus pun di tempat ini. Para bule tersebut sungguh tahu cara merancang penjara yang apik.

  Djarot menghampiri si eksekutor berbaret merah sementara sorotan cahaya dari obor api yang merupakan satu-satunya sumber penerangan di tempat ini tumpah di atas permukaan wajah Djarot.

  Sekilas ia melirik si terdakwa yang tertunduk lemah. Djarot bisa menerka usianya bahkan belum sampai dua puluh tahun. Lalu Djarot berpaling pada si eksekutor. Tangan kanan pria itu menggenggam batangan besi bergagang kayu. Mereka bicara sebentar. Djarot bertanya mengenai hal apa saja yang sudah dilakukan pria itu terhadap si terdakwa agar ia mengakui kesalahannya.

  "Hampir semalaman aku menyiksanya tapi dia tak juga buka suara." Bule itu mencoba bicara bahasa pribumi namun gagal. Lidahnya beberapa kali terpeleset.

Pencuri itu jelas takkan mau mengakui hal yang bahkan tidak ia lakukan. Lantas Djarot menghela napas seraya memutar bola matanya, jengkel. Lalu ia beralih lagi pada terdakwa. Bocah itu duduk di atas sebuah kursi reyot dengan kedua tangan dan kaki tergelung rantai tebal berkarat. Pergelangan tangannya lecet hingga berdarah. Tentu ia sudah berusaha keras melepaskan diri dari kurungan besi itu namun nihil.

  Ujung kuku-kuku jari tangan dan kakinya dibaluti darah kering. Eksekutor kejam itu telah mencabut paksa semua kukunya lalu menuang tetesan air jeruk nipis ranum di atas bekas kukunya. Untuk sedetik Djarot kagum pada keteguhan prinsip bocah terdakwa tersebut. Bahkan siksaan pedih yang ia lakoni sepanjang malam tidak juga membuatnya mengaku.

Sang jenderal mendekati terdakwa dengan langkah pelan. Kedua tangannya menyatu di balik punggung tegaknya. Lelaki itu menunduk tak bergerak namun deru napasnya masih terdengar. Bau hangus menggelayuti tubuh tanpa balutan tersebut. Rambut legamnya habis dibakar oleh si eksekutor hingga plontos. Bahkan sedikit kulit kepalanya terkelupas dan mengeluarkan nanah.

  Djarot menatapnya nanar. Dalam hati ia terus bertanya mengenai prinsip yang mendasari keteguhan hati terdakwa ini. Apa yang membuatnya terus bertahan pada kebenaran yang hampir punah dari muka Bumi?

Si eksekutor maju selangkah dan pijakannya menimbulkan gaungan angker yang membal di dinding ruangan. Lalu tak ada suara apapun lagi di dalam sini selain deru napas si terdakwa. Eksekutor menarik dagu terdakwa dengan paksa. Membuatnya menatap Djarot pada jarak yang lebih dekat.

  Sontak Djarot membelalak hebat. Ia kenal wajah lelaki tersebut. Dia Gibran, putera semata wayang mantan tukang kebun di rumah Djarot. Segera Djarot meneguk salivanya agar sadar dari segala rubungan tanya di kepalanya.

"Segera akui kesalahanmu, dasar anak pelacur!" cecar si eksekutor dengan volume tinggi menyalak.

Gibran hanya menyeringai angkuh. Wajahnya sungguh berantakan. Noda darah mengering berpencar di permukaan wajahnya sementara bibirnya sudah pecah dan giginya telah rontok beberapa buah. Namun Djarot masih mengenalinya dengan baik. Bocah penurut macam Gibran tak seharusnya menderita hukuman sekeji ini. Hati Djarot lagi-lagi basah karenanya. Haruskah ia memberontak dan mulai membela bangsanya sendiri?

Eksekutor itu tak habis akal. Dia membakar batang besi yang sejak tadi ia genggam di atas api obor. Lalu meletakkan ujung batang berwarna kemerahan tersebut ke atas dada telanjang Gibran. Lantas bocah itu memekik hebat, merengekkan rasa sakit teramat sangat hingga air mata bercucuran di wajahnya. Djarot hanya mampu diam memperhatikan. Tubuh Gibran bermandikan darah akibat ciuman dari besi panas tersebut.

"Belum mengaku juga? Baiklah, kita gunakan cara lain," oceh si eksekutor mulai kesal. Ia meletakkan besi penyiksa tersebut kembali ke tempatnya dengan sekali campak. Lalu ia beralih pada sebuah kertas putih kosong.

  Djarot menghela napas pelan. Ia tahu yang terjadi selanjutnya akan menjadi siksaan terparah. Eksekutor membasahi kertas itu dengan sekali rendam. Kemudian ia membungkus wajah Gibran dengan benda basah tersebut hingga menutup lubang pernapasan bocah itu dengan amat erat. Gibran terjengkang berulang kali, berontak minta dilepaskan karena sesak kekurangan udara mulai menyiksa alat pernapasannya perlahan. Si eksekutor terkekeh horor tanpa berniat melepaskan kertas basah itu dari wajah Gibran.

"Hentikan, Sersan!" perintah Djarot sengit.

Segera eksekutor berhenti tertawa dan menuruti perintah sang jenderal dengan wajah masam. Gibran langsung menyedot udara sebanyak mungkin hingga ia sendiri cengap-cengap tak tentu arah. Pandangannya yang telah memburam berhasil menangkap wajah Djarot dalam kuasa penglihatannya.

"Seret dia ke tiang gantungan!" titah Djarot yang didengar jelas oleh Gibran.

Sontak anak lelaki itu terkekeh lebar. Ia terlihat sama seperti orang gila saat tertawa dalam keadaan yang amat mengenaskan ini.

"Jenderaaaal!" hardik Gibran tak main-main.

Yang langsung mengurungkan niat Djarot untuk bergegas pergi dari tempat ini. Ia memutar tubuhnya kembali menatap Gibran sementara si eksekutor berdiri beberapa langkah di belakang Djarot, siap menerima perintah selanjutnya.

"Kenapa kau melakukannya?"

"Aku bukan penyihir! Aku memang ada di sana malam itu. Aku melihat prajurit baret merah mengangkut banyak karung biji-bjian ke dalam sebuah truk dan truk itu membawanya pergi,"

"Bangsa jahanam ini yang melakukannya sejak awal." Gibran menyental. Seolah-olah ia masih memiliki banyak pasokan tenaga dalam tubuh sekaratnya.

Djarot berdecih pelan. Semua pengakuan Gibran tersebut telah ia pikirkan masak-masak bahkan sebelum Gibran mengutarakannya. Ia tahu segala kebusukan para kolonial itu dan ia sungguh merasa malu karenanya. Bangsa kulit putih itulah yang menjadi pencuri sejak awal. Mereka datang lalu merebut paksa dan menduduki pemerintahan. Kemudian menjarah hasil panen dan menjadikan rakyat pribumi sebagai budak kerja paksa. Djarot tahu namun ia tak cukup berprinsip untuk bertindak selayaknya Gibran.

"Omong kosong. Cukup ucapkan terima kasih karena aku telah membantu memperpendek masa siksaanmu dan kau bisa langsung mati," debat Djarot setelah terdiam cukup lama.

Gibran tersulut emosi lalu dengan sepenuh hati ia memuntahkan salivanya tepat di wajah Djarot. Lantas sang jenderal memejam. Si eksekutor berinisiatif mendekat, hendak menyarangkan tinjunya di wajah Gibran namun Djarot melarang. Tangan tegapnya melintang di dada eksekutor tanda pelarangan. Si eksekutor menurut dan mundur selangkah.

"Aku tidak akan mati sebagai penyihir,"

"Aku akan mati sebagai seseorang yang pernah memperjuangkan hidup saudara sebangsaku,"

"Sementara kau, yang merupakan saudara sebangsa dan setanah airku, akan mati sebagai penjilat dari bangsa biadab ini. Kau yang seharusnya mati mengenaskan di tiang gantungan, dasar kutu anjing!"

Djarot mengusap perlahan bekas air liur Gibran di wajahnya. Segala umpatan yang Gibran sodorkan padanya mutlak benar. Ia sungguh merasa tepat memperoleh gelar rendahan macam itu. Ia memang mirip dengan seekor kutu yang menyelinap di balik bulu-bulu anjing layaknya para penjajah itu, karena ia terlalu takut kehilangan tempat berlindungnya.

Bisu berjarak panjang dalam ruang siksa itu Gibran gunakan untuk berdoa dan berharap agar Djarot sudi mengubah arah hatinya. Dan mau ikut bersamanya memperjuangkan nasib bangsa mereka yang semakin terinjak-injak. Rasa ngilu dan perih di sekujur tubuhnya tak lagi terasa. Ia sungguh sudah mati rasa. Bahkan jika Djarot memang akan melepasnya, ia ragu ia akan berumur panjang setelahnya.

"Apalagi yang kau tunggu? Apa kau mendengar aku membatalkan perintahku?" suara Djarot parau dan bergetar. Pelupuk matanya berlinang. Segera ia memutar tubuh dan meninggalkan Gibran. Ia takkan membiarkan siapapun melihat air mata pecundangnya. Djarot menjauh dari ruang siksa dengan latar belakang gema teriakan Gibran yang melucutkan sumpah serapah terhadap dirinya.

"Orang sepertimu lah yang membuat bangsa ini semakin jauh dari kata merdeka!" itu yang terakhir kali Djarot tangkap dalam indera pendengarannya.

Lalu hening.

.
.
.
.
.
_END_

Story by: aithlubis

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro