Jingga - David - [1/1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia terdiam dalam kegelapan malam. Senyap dan sunyi, selain dengkuran ringan orang-orang yang tidur di sekitarnya, orang-orang yang mengikutinya dalam perjalanan panjang ini. Dihelanya napas dalam, sambil menyesap keheningan. Hanya ada dia dan cahaya redup dari pelita yang dinyalakan, satu-satunya yang menerangi goa batu tempat perlindungannya hari itu.

Tangannya terulur, meraih kandil dari tanah liat bersumbu pendek lalu berdiri dari batu tempatnya duduk, memutuskan untuk berjalan keluar. Langit hitam bertabur bintang terbentang di hadapannya, menyambutnya bersama dengan desau angin malam yang menusuk dingin. Pemuda itu mengabaikan suhu udara dan memilih menatap langit. Sekali lagi, dia mendesah. Namun, kali ini dia juga tersenyum.

Kandil di tangannya dia letakkan di dekat mulut goa dan tak lama kemudian dia menyusul duduk di sana. Hanya ada dia dan kesendirian tapi anehnya dia tidak merasa sepi. Inilah saat-saatnya untuk berdiam dan berbicara dengan kuasa yang jauh lebih besar dari dirinya. Hatinya mengingat banyak kejadian yang telah dia lalui sejak dia harus kehilangan segalanya.

Sepuluh tahun lalu, dia diambil dari padang rumput, dari pekerjaannya menggembalakan kambing domba, dibawa ke istana dan menjadi seorang pemusik yang bermain bagi raja. Dia pernah mengalahkan raksasa yang konon tak terkalahkan dan menjadi pahlawan perang, memimpin pasukannya memenangkan ratusan pertempuran hingga segalanya berbalik ketika sang raja memilih untuk membunuhnya, menuduh bahwa dia berniat mengambil tahta.

Dia terdiam sejenak, menghentikan ingatan yang berputar di kepalanya, menatap langit, seakan sebuah suara berbisik dalam benak, mengingatkan bahwa segala yang terjadi adalah bagian dari sesuatu yang besar. Sebuah dengusan keluar dari hidungnya yang mancung. Ya, mungkin saja, balasnya dalam hati pada suara senyap itu. Dia tahu bahwa takdir tidak berputar tanpa kendali. Ada sebuah tangan besar sedang menggerakkan semesta, mengatur letak bintang dan menamai mereka. Tangan yang sama juga mengatur hidupnya, sekarang, tepat pada saat dia berdiam di bawah langit.

Empat kali, nyawanya nyaris melayang di tangan pemimpin yang dahulu arif, membuatnya sadar bahwa dia harus melarikan diri demi hidupnya. Statusnya berubah, dari seorang jendral menjadi buronan dan empat ratus orang mengikutinya. Dari orang-orang yang membenci sang raja hingga mereka yang dianggap sampah masyarakat. Pemuda itu tersenyum getir, dia tetap menjadi seorang pemimpin, hanya berbeda siapa yang dia pimpin.

Dia menutup mata sebelum menoleh ke dalam goa, di mana para pengikutnya tertidur. Orang-orang yang menjadi keluarga keduanya, yang setia menemaninya melewati gunung dan lembah, dari bukit batu satu ke yang lain. Orang-orang yang kini telah menjadi kuat, setara dengan prajurit raja. Sungguh beruntung dirinya yang pelarian mendapatkan kawan loyal dan mampu. Enam ratus orang jumlah mereka, sanggup memegang pedang dan memainkannya dengan ahli tapi ....

Diarahkannya mata ke langit sekali lagi dan melihat sebuah tangan besar sedang memintal cerita, menggerakkan matahari dan mewarnai langit dengan warna jingga di timur. Pemuda itu tersenyum, dia bisa tenang bukan karena ada ratusan orang yang mengelilinginya. Dia tenang karena dia tahu, Sang Penggenggam  Takdir yang menjaganya. Rasa amannya bukan pada manusia tapi pada sebuah kekuatan yang melebihi segalanya.

"Daud!"

Pemuda itu menoleh ke arah mulut goa, seorang pria berbadan besar keluar sambil merapikan jubahnya. Kumis dan jenggot tebal memenuhi dagunya, memberikan kesan seram.

"Kukira kamu kemana, ternyata di sini."

"Aku terbangun sebelum matahari terbit, jadi kupikir aku mencari angin segar." Pemuda bernama Daud itu bangkit sambil membawa kandil sebelum meniupnya. "Apa kalian sudah siap?"

Dia mendengus. "Sudah dari tadi. Kita mau ke mana?"

Daud terdiam sejenak, berpikir untuk terakhir kalinya sebelum berbicara, "Ke Geshur. Kita akan menemui Raja Akhis untuk bekerja padanya."

"Raja negeri Filistin?! Bukannya mereka musuh bangsa kita?"

"Aku tahu, justru karena itu, Raja tidak akan mengejar kita sampai ke sana. Kita bisa tinggal di salah satu kotanya sambil menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. Tenang saja, reputasi kita sebagai buronan sudah sampai ke telinga mereka. Kita bisa memanfaatkannya untuk membuat mereka percaya bahwa kita juga musuh Raja."

"Aku tidak yakin itu keputusan yang bagus," ucap lawan bicaranya tidak yakin, menggaruk dagu. "Tapi jika itu maumu, kami akan ikut."

"Terima kasih," balas pemuda yang umurnya masih belum menyentuh kepala tiga, mengikuti kawannya masuk ke goa yang kini ribut karena persiapan perjalanan.

Tiba-tiba langkahnya berhenti, dia menoleh ke batas langit yang kini sepenuhnya berwarna jingga kekuningan, menguatkan dirinya sekali lagi, mengingat bahwa harapannya tidak terletak pada ratusan orang di hadapannya, tapi tetap pada Allahnya. Daud melangkah masuk tanpa mengetahui bahwa percakapannya dengan langit hari itu akan menjadi kekuatannya ketika dia berhadapan dengan orang-orang yang kini berada di pihaknya, setahun kemudian, di tanah asing.

.
.
.
.
.
_END_

Story by : PhiliaFate

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro