Kuning - PARADOKS - [1/2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

19 September 2091

Siang itu matahari bersinar terik. Cahayanya menembus dinding kaca Labstronce, laboratorium astro-fisika terbesar di dunia yang berbentuk kapsul raksasa. Setiap sudut ruangan di dalam gedung itu selalu dipenuhi oleh ilmuwan berseragam putih, berjalan cepat dengan tablet dan catatan yang berantakan di tangan mereka. Tapi khusus di hari itu, terdapat lebih banyak lagi gerombolan berkemeja rapi dengan segala warna, sedang memandang serius pada berbagai teknologi baru yang dipamerkan dalam ruang pameran di sebelah lab.

“Dan ini,” seru seorang pria berambut kelabu dengan bangga kepada kerumunan yang mengelilinginya. “Salah satu penemuan terbesar kami, setelah beratus penyempurnaan yang dilakukan selama bertahun-tahun. Yang paling ditunggu-tunggu semua umat manusia di Bumi. Yang selama ini hanya bisa diimajinasikan dan diimpikan, tapi sekarang benda itu telah hadir, dan kalian beruntung telah mendapat kesempatan untuk melihatnya lebih dulu sebelum mesin ini resmi diluncurkan besok.” Pria itu masih tersenyum lebar, seolah sedang memperkenalkan putranya yang berhasil memenangkan perlombaan besar—atau bahkan lebih dari itu—tanpa menyadari tatapan sinis yang dilayangkan oleh seorang remaja laki-laki kurus di barisan paling belakang kerumunan.

“Kuperkenalkan dengan bangga,” lanjut pria itu, “Apparus I, mesin waktu pertama di dunia.”

Semua orang bertepuk tangan dengan antusias, menatap kagum pada tabung silinder bening raksasa yang sekilas tampak mirip dengan lift, jika bukan sabuk-sabuk penahan yang terdapat di dalam silinder. Mereka adalah pengusaha terkenal, peneliti, profesor, atau kolektor mobil terkaya di dunia yang wajahnya sering muncul di televisi. Semuanya tampak sama, pria gemuk atau kurus, dengan rambut tipis disisir rapi—terlalu rapi hingga helaian-helaian rambutnya tidak terlihat—dan kemeja satin lengan panjang pas badan yang diselipkan di celana katun ketat yang setiap seratnya dilapisi dengan semacam karet anti air. Kecuali remaja laki-laki itu, ia tampak mencolok sendiri di antara mereka, bukan hanya karena penampilannya—kaus dri-fit hitam dan celana jins longgar dengan rambut pirang acak-acakkan—tapi berbeda dengan yang lain, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan secuil ketertarikan pun.

“Aku dan David Ryder, rekan kerjaku, yang telah merancang semua ini,” Pria itu melanjutkan lagi. “David, dengan segala sikap mulianya telah mengorbankan diri menjadi kelinci percobaan kami sendiri. Tapi usahanya tidak sia-sia, karena percobaan kami berhasil. Setelah ia kembali di masa depan nanti, semua orang akan memujanya.” Ia tersenyum lebar, diikuti gumaman tertarik para pria berkemeja mengilap.

Remaja berambut pirang itu menggeram marah, karena ia tahu kapan persisnya David Ryder akan kembali. Seratus tahun lagi.

“Oleh karena itulah aku mengundang Thomas, putra pertama dari David Ryder.” Pria itu berkata dengan keras dan menunjuk remaja laki-laki berambut pirang, hingga semua mata kini mengarah padanya.

Kerumunan bertepuk tangan dan bersorak, menatap Thomas dengan pandangan kagum seolah berharap kalau mereka bisa lebih dekat mengenalnya, putra dari profesor fisika sekaligus ahli mesin terkenal. Mereka memberi jalan bagi Thomas menuju ke depan, dan setelah mendengus kecil, Thomas berjalan dengan malas ke arah rekan ayahnya.

“Sungguh sebuah kehormatan bagiku, Profesor Frances Oswald,” kata Thomas sopan, tapi masih terdengar nada sinis dalam ucapannya. Thomas tahu kalau Oswald sama sekali tidak berniat mengundangnya, mengingat ia baru saja menerima undangan tersebut tadi pagi, persis sebelum ia berangkat sekolah. Ia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba Oswald mengundangnya. Tapi akhirnya ia terpaksa menghadiri acara bodoh ini setelah ibunya memohon padanya.

“Demi ayahmu. Ia pasti bangga sekali,” bujuk Mrs. Ryder dengan mata berkaca-kaca ketika Thomas hampir membuang undangan tersebut ke mesin daur ulang. Thomas tahu, ibunya masih belum bisa melupakan ayahnya sejak ‘kepergiannya’ tiga bulan yang lalu. Mesin waktu itu dirancang untuk melakukan perjalanan ke masa depan, dan tidak akan bisa kembali ke masa lalu. Mereka harus menunggu seratus tahun lagi agar Mr. Ryder kembali, dan walaupun Labstronce telah berjanji untuk menanggung seluruh biaya hidup keluarganya selama dua puluh tahun ke depan, Thomas tetap tidak bisa menerimanya.

Oleh karena itulah, Thomas begitu membenci rekan kerja ayahnya yang berdiri di hadapannya sekarang.

“Tom,” panggil Oswald ketika acara mereka selesai.

Thomas yang hendak keluar ruangan dengan memikul ransel kain di sebelah pundaknya menoleh setengah hati pada suara yang memanggilnya. “Hm?”

“Sekarang kau sudah memasuki kelas dua belas, tahun terakhir sekolahmu.” Oswald tersenyum sambil menepuk pundak Thomas dengan sikap kebapakan. “Kau sudah mencari bahan penelitianmu?”

Setiap siswa yang memasuki kelas dua belas akan melakukan penelitian dan mengembangkan teori lama—atau menciptakan teori baru, jika bisa—untuk mendapat ijazah SMA. Thomas sendiri sudah menentukan teori mana yang akan ia bedah, tapi ia tidak yakin kalau memberitahu pada Oswald merupakan tindakan yang bagus.

“Aku tahu, berat bagimu sejak keberangkatan ayahmu. Sebagai sahabatnya, aku ingin menggantikan perannya yang hilang agar kau dan keluargamu mendapat keadilan yang sama seperti keluarga-keluarga lain,” lanjutnya ketika Thomas masih belum membalas. Mata kelabu pria itu menatap Thomas dengan prihatin. Tidak biasanya Oswald bersikap seperti ini padanya.

“Jadi apa? Kau bermaksud ingin melamar ibuku?” dengus Thomas, tidak menyukai tatapan yang diberikan Oswald.

Oswald tertawa gugup. “Bukan seperti itu, Thomas. Begini, ayahmu pasti akan membantumu dalam ini jika ia masih berada di zaman ini. Dan sekarang, izinkan aku mengambil perannya. Kau bisa berkonsultasi padaku kapan saja.”

Thomas tahu, semua siswa di sekolahnya akan iri mati-matian padanya jika ia mendapat bantuan Oswald. Tapi ia tidak peduli. “Jadi kau begitu peduli dengan apa yang ingin kubuktikan dalam penelitianku nanti?” Ia tersenyum miring.

“Tentu saja.” Senyum Oswald mulai mengembang.

“Aku ingin membuktikan kalau kita bisa melakukan perjalanan waktu,” ucap Thomas santai.

“Well,” cetus Oswald. “Sudah kubuktikan. Maksudku, aku dan ayahmu sudah membuktikannya,” katanya sambil menunjuk mesin waktu di dekat mereka.

“Tidak hanya ke masa depan, Prof. Oswald,” kata Thomas tenang. “Tapi juga ke masa lalu.”

Thomas bisa melihat raut ketegangan di wajah Oswald yang berujung pucat selama beberapa saat, tapi ilmuwan berambut kelabu itu segera menetralkan kembali ekspresinya. “Thomas,” ucapnya kaku. “Kita bisa menuju ke masa depan, sejauh apa pun yang kau mau. Tapi kita tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu.”

“Bisa, jika kita bergerak melebihi kecepatan cahaya.” Mata biru Thomas menatap lurus ke mata kelabu pria itu, menantangnya.

Oswald tertawa hambar. “Aku yakin kau adalah salah satu siswa tercerdas di sekolah, apalagi ayahmu berteman dekat denganku. Tidakkah kau membaca satu saja bukuku?”

“Maksudmu, salah satu teori lemahmu yang mengatakan kalau semua atom akan meledak jika bergerak melebihi 95% kecepatan cahaya?” Thomas mengedikkan bahunya seolah itu adalah hal teremeh yang pernah ia dengar.

“Aku sudah membuktikannya,” desis Oswald. Segala topeng keramahan yang ia kenakan sudah memudar.

“Hanya ingin mengingatkan kalau masih ada beberapa pihak yang menemukan kelemahan dalam percobaanmu, Prof. Oswald. Dan aku adalah salah satunya. Tunggu saja sampai aku membuktikannya.” Thomas tersenyum miring, lalu berbalik meninggalkan Oswald.

“Tunggu,” panggil Oswald sambil menahan pundak Thomas. Tiba-tiba wajahnya kembali ramah. “Mari kita lupakan soal rencana penelitian ‘hebat’mu. Bisakah kita makan siang bersama sebentar, mencoba membangun keakraban dalam hubungan . . . ayah-anak?”

“Prof. Oswald.” Thomas mengernyit menatapnya. “Aku bukan anakmu.”

“Kau curang, membolos sekolah dan bersenang-senang di Labstronce!” seru Emma ketika ia dan Thomas berjalan di terowongan kaca. Matahari masih bersinar cerah sore itu, mengintip dari atas jalan layang yang berlapis-lapis, menembus ke atap kaca terowongan yang terletak di bawah tanah.

“Kau lihat wajahku.” Thomas menunjuk wajah datarnya. “Apakah ini tampak seperti bersenang-senang?”

“Tetap saja,” kata Emma ketika ia berhenti di pinggir terowongan dan melepas hovershoes-nya, lalu menyerahkan pada Thomas untuk dipegang. “Kau bertemu dengan banyak orang hebat di sana.”

Gadis itu melangkahkan kaki telanjangnya ke saluran air di pinggir terowongan, mengeluarkan botol dan jaring dari ranselnya, kemudian berjongkok di batu pembatas saluran air. Emma pernah bercerita pada Thomas tentang rencana penelitiannya, yang mencegah diferensiasi sel-sel kecebong dan menggabungkan DNA kecebong itu dengan DNA capung, sehingga akan menghasilkan kecebong bersayap.

Sebenarnya penelitian yang akan mereka lakukan terlalu berlebihan untuk ukuran SMA, sedangkan siswa lain hanya mencoba mengkloning cicak atau kecambah. Tapi sepasang sahabat itu memang berbeda dari yang lain.

Thomas mengernyit pada Emma, bukan karena laki-laki itu tidak yakin kalau percobaan Emma bakal berhasil, tapi Thomas benci harus menenteng sepatu berat Emma, walaupun gadis itu adalah sahabat terdekatnya sejak kecil.

Hovershoes mirip dengan sepatu roda zaman dulu, hanya saja alas sepatu tersebut digantikan dengan teknologi kekuatan angin, sehingga sepatu itu harus disimpan di kotak khusus ketika tidak digunakan, tidak bisa diletakkan begitu saja di atas tanah. Itulah kenapa ia lebih suka berjalan manual ketimbang meluncur menggunakan sepatu merepotkan itu.

“Bertemu dengan orang hebat? Wah, tentu saja.”

Emma tertawa kecil. “Maksudku selain Oswald. Lagi pula Oswald tidak terlalu buruk. Dia mencoba berbaik hati padamu. Bayangkan, mendapatkan tawaran bantuan dari Oswald!” Ia mengayunkan jaringnya ke dalam air, mengangkatnya, dan mencelupkannya lagi ketika tidak ada kecebong malang yang terperangkap. Hanya Emma satu-satunya gadis yang menganggap kegiatan ini tidak jorok.

Thomas menenteng kedua sepatu Emma di tangan kanannya, lalu berkacak pinggang dengan tangan satunya lagi. “Kau tidak akan bisa bekerja sama dengan orang sehebat apapun, jika kalian memiliki hipotesis yang bertentangan. Seperti kau tidak akan bisa menerima bantuan dari orang yang tidak percaya dengan keberadaan DNA.”

Kali ini gadis itu tertawa lebih keras. “Astaga, analogimu terlalu jauh.” Ia mengangkat jaringnya lagi, berhasil menangkap seekor kecebong yang sial, sampai kecebong itu melompat lagi ke dalam saluran air dan menciprati wajah Emma dengan air selokan.

“Sudah kubilang, kau bisa membelinya langsung kalau kau mau hewan menggelikan itu. Kenapa, sih, tidak pakai hewan yang lebih bersih?” Thomas tidak bisa menahan diri untuk tertawa.

“Kau sudah menanyakannya berkali-kali, dan aku tidak akan mengulang jawabanku untuk kesekian kalinya,” gerutunya sambil mengusap wajahnya pada lengan kausnya.

“Thomas,” lanjut Emma. “Bukannya aku membela Oswald atau apa. Tapi sudahkah kau memikirkan cara yang memungkinkan setiap atom dalam tubuh manusia tidak akan meledak jika bergerak lebih dari kecepatan cahaya?”

“Kau jelas-jelas berpegang pada teori Oswald,” kata Thomas dingin.

“Begini,” sergah Emma, “aku tahu kalau kau bertekad mencari ayahmu, lalu membawanya kembali ke masa kini. Aku tahu ambisimu yang kelewat besar. Tapi aku ingin kau juga melihat kemungkinan gagalnya.” Sekarang Emma sudah berhasil mendapatkan seekor kecebong dan memasukkannya ke dalam toples berisi air. Tinggal menangkap beberapa lagi sebagai cadangan.

“Yeah, aku mengerti. Sebagai pelaksana eksperimen yang baik, penting bagiku untuk meramalkan kemungkinan-kemungkinan kegagalan yang akan kuhadapi, sehingga aku bisa mempersiapkan hal untuk mencegah itu terjadi.”

Emma mendesah. Sulit sekali baginya untuk berdebat dengan Thomas. “Mari kita berpikir lebih . . . um, realistis. Fisika dan astronomi memang bukan bidangku. Tapi setidaknya ada satu hal yang kuketahui dengan jelas. Waktu bisa memanjang, atau memendek, Tapi waktu tidak bisa kembali!”

Thomas memutar bola matanya. “Kau mengutip itu dari film.”

“Tapi itu fakta!”

“Hanya teori,” ralat Thomas. “Ayolah, cepat selesaikan urusanmu, atau kulepaskan jari-jariku dari sepatumu.”

Thomas menengadahkan kepalanya dengan lelah, menatap sinar matahari yang mulai semakin oranye. Ia bisa melihat bayangan mobil-mobil yang melesat di atas jalan layang, tapi terowongan di bawah sini sama sekali sepi. Mata Thomas mengerjap ketika salah satu mobil meluncur menembus pagar di sudut jalan, terjatuh bebas dengan kecepatan tinggi. Bukan pemandangan mobil melayang itu yang membuatnya ngeri, tapi fakta yang ia sadari kalau mobil itu tengah jatuh ke arah terowongan, tepat di atas kepalanya.

“Emma!” teriak Thomas ketika kepalanya masih menengadah. Emma mengikuti arah pandang Thomas, dan wajahnya memucat ketika jarak mobil itu sudah semakin dekat ke atap terowongan. Siapa pun akan tahu kalau mobil itu akan segera menghantam mereka, dan mereka tidak akan sempat menghindar lagi.

Sampai tiba-tiba sebuah bayangan hitam menghantam mereka, mendorong mereka dengan kecepatan tinggi, lalu keluar dari ujung terowongan tepat ketika mobil itu terjatuh dan terowongan meledak.

Thomas terjatuh dengan punggung menghantam jalan, jantungnya memukul-mukul rongga dadanya dengan kuat. Bayangan hitam itu sudah menghilang, tapi api besar yang berkobar di depannya benar-benar nyata. Ia bangkit, kemudian menghampiri Emma yang terjatuh tidak jauh darinya.

“Apa yang terjadi?” tanya Emma lemah ketika Thomas membantunya berdiri. Ia membelalak ngeri ketika melihat pemandangan di depannya.

“Ada mobil yang terjatuh, dan . . . aku tidak tahu,” gumam Thomas. Ia paling benci dengan kata ‘tidak tahu’, dan sekarang ia terpaksa mengakui kalau ia tidak memiliki gagasan akan apa yang barusan terjadi pada mereka.

Orang-orang mulai mengerumuni ujung terowongan, sebagian menutup mulut mereka dengan panik, dan beberapa sibuk menelepon. Tapi Thomas masih tidak menemukan seseorang—atau sesuatu—yang mirip dengan bayangan hitam tadi. Siapakah penyelamat mereka?

Story by : HalfBloodElf

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro