Ungu - Would You? - [1/2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

P.s : Cerita ini mengandung hal yang tidak dianjurkan untuk dibaca oleh pembaca di bawah umur. (Rating 15+)
Pembaca diharap bijak.

Canada, 15 September 2005
21:00

Suara gelas yang berdenting telah memecah keheningan di sebuah ruangan yang cukup luas dengan sentuhan gaya minimalisnya, berpadu dengan furniture kayu yang menyeruakkan harum khas pohon maple.

Seorang pria bernetra abu-abu gelap itu tengah merangkul pinggang seorang wanita dengan posesif. Membuat orang-orang yang hadir di acara itu terkagum melihat keduanya yang tampak serasi dan menawan.

"Kelly, Leo."

Seorang pria bersurai kemerahan itu telah membuat keduanya menoleh.

"Ada apa, Clark?" sahut sang pria.

"Sejak perjalanan tadi, bukankah ada yang ingin kalian sampaikan?"

Mata seluruh orang kini tertuju pada mereka. Pria itu tampak tersenyum lembut ke arah wanita bersurai cokelat muda yang kini tersenyum malu-malu.

"Aku...."

Semua orang semakin penasaran, begitupula denganku yang kini tidak sabar menunggu jawabannya.

"Aku tengah mengandung anaknya," jawab wanita itu tersipu seraya menatap kami bergantian dengan tersenyum tipis.

Oh, really? Dia, Kelly Sanchez, seorang aktris terkenal itu kini tengah mengandung anak dari kekasihnya, Leonardo Fitzgerald? Wow.

"Wow, i can't believe it guys." Seorang pria bersurai hitam berdecak kagum. "Hei, dude. Kau hebat juga ternyata."

Semua orang terkekeh ketika mendengarnya, begitupula denganku.

"Mr. Xavier Rodriguez, kau terlalu meremehkanku ternyata," gurau Leo dengan tertawa kecil, membuat semuanya ikut tertawa.

"By the way, Kelly."

"Iya? Ada apa, Sha?"

"Apakah alasan kau terlihat pucat akhir-akhir ini karena ... yeah you know, morning sickness?" wanita bersurai blonde dan bermanik hitam pekat itu bertanya seraya menggoyangkan gelas berisi wine putih itu ke kiri dan ke kanan.

"Hmm, aku juga jadi tidak selera makan akhir-akhir ini," jawabnya sembari tertawa renyah.

Pria tinggi dengan seringai khasnya itu-yang notebane-nya adalah kekasihku-berjalan santai dan mengambil gelas berisi wine yang sejak tadi belum Kelly minum.

"Oh, kau tidak boleh meminum ini kalau begitu." Ia meminum wine itu sampai tandas. "Ini tidak baik untuk bayimu."

Wanita bernetra sky blue itu mengerucutkan bibirnya, "Yeah, Luke I know. Tapi, aku sangat menyukai white wine. Hanya sedikit saja ... boleh, ya?" rengeknya.

Luke menggeleng pelan. "Big no. Bukan begitu, Leo?"

Leo mengangguk dan menatap wanita itu dalam. "Aku akan mengambil air putih dulu, okey?" Setelah itu, ia pun pergi menuju dapur, meninggalkan kami yang masih bercakap-cakap setelah tiga bulan tidak bertemu.

Aku menghampiri Kelly. "Mengajak kami menginap ke daerah pegunungan tanpa sinyal dan kendaraan adalah hal yang menarik menurutku," ucapku seraya menaruh gelas berisi wine yang tinggal seperempat itu di sebuah meja kayu berdiameter sekitar satu meter yang berada di tengah kami.

Wanita itu terkekeh. "Kita memang ingin menginap seperti ini sejak kuliah, kan? Ngomong-ngomong, bagaimana caramu bisa cuti? I mean, kau, kan seorang guru."

"Itu benar." Aku mengangguk. "Sebuah keajaiban bahwa aku mendapat cuti selama dua minggu," ucapku seraya mengambil cheese cake kesukaanku.

"Semua orang di sini pun sudah berusaha meluangkan waktunya untuk ini." Ia tersenyum tipis. "Tapi jujur saja, aku sangat senang kau bisa datang."

Tak berselang lama, Leo datang seraya membawa segelas air putih. "Maaf telah membuatmu menunggu."

Kelly menerima gelas itu dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Honey." Ia pun meminum air tersebut sampai tandas dalam sekali minum.

"Terima kasih," ucapnya seraya mengelap bibirnya menggunakan tisu.

Kami semua pun berbincang kembali. Membahas rutinitas kami dan masalah pekerjaan yang dulu menjadi topik membosankan bagi setiap anak remaja.

"Kelly, kau...." Wanita bernetra olive itu menunjuk Kelly dengan bergetar.

"Ada apa, Oliver?" Kelly tertawa renyah.

"Kelly ... kau mimisan?" ucap Zamora, wanita beriris hijau itu dengan tertahan.

Kelly pun menyeka darah yang mengalir deras dari hidungnya. Namun, darah itu tidak berhenti mengalir.

Tentu saja semua orang panik. Namun, kami tidak bisa menghubungi rumah sakit terdekat karena posisi yang tidak mendukung alat komunikasi apapun.

"For Godness sake, Leo! Apakah tidak ada alat komunikasi apapun?! Bagaimana dengan kendaraan? Jangan bilang semua itu tidak ada!" tanya Xavier dengan gusar kepada pria yang kini panik dan merengkuh wanita yang dicintainya itu.

"Tidak ada, Xavier! Kau tahu sendiri daerah di sini tidak ada sinyal!" Leo berseru. "Tidak ada mobil dalam rencana kita ini. Apakah kau sudah lupa?"

Darah kental itu semakin menghiasi gaun putih yang Kelly kenakan. Membuatku sedikit bergidik ngeri dan menahan rasa mual yang menyerangku.

Iranda-yang memang seorang dokter- mulai memeriksa denyut nadi wanita itu. Ia mengernyitkan dahinya dan membelalakkan matanya.

"Guys! Mimisannya tidak mau berhenti! Jantungnya sudah mulai melemah!"

Aku pun bergegas mengambil gelas berisi air putih yang tadi ia minum. "Warfarin? You must be kidding me, right?" batinku terkejut setelah menghirup bau air tersebut yang menyengat.

* * *

Kelly Sanchez, salah satu sahabatku itu kini telah meregang nyawa. Kalian tahu warfarin, kan? Oke, jika kalian belum tahu aku akan menjelaskannya sepintas.

Warfarin adalah zat pencegah penggumpalan darah yang biasanya menjadi bahan aktif dalam racun tikus. Ketika seseorang meminumnya, maka orang tersebut akan mengalami mimisan yang tidak berhenti, mual, dan you know, meregang nyawa dalam hitungan menit.

Suasana di villa ini pun menjadi sangat mencekam dan menguarkan aura kesedihan. Aku dan empat orang sahabat perempuanku hanya dapat menangis di kamar masing-masing.

"Carla."

Aku menolehkan kepalaku. Menyeka air mataku dan menatap wanita bermanik olive yang meringkuk di sampingku.

"Ada apa, Oliver?" tanyaku dengan nada bergetar.

Ia menatap mataku lekat. "Kau bukan pelakunya, kan?"

Oh, tentu saja. Dia pasti akan berpikir seperti itu.

Aku mendesah frustrasi. "Memang benar aku pernah mencoba meracuni ayahku, dan direhabilitasi karena mereka menganggapku memiliki gangguan jiwa. But please, kau tahu sendiri bahwa aku datang bersamamu ketika ke villa ini, kan? Lagipula aku sudah sembuh, Live! Aku tidak mungkin membunuh sahabatku sendiri!" kataku dengan nada meninggi.

Ia tertegun. "Kau benar. Aku yakin kau bukan pembunuhnya. Tapi," ucapnya sendu, "siapa yang membunuhnya?"

Oliver, aku harap aku tahu jawabannya.


Canada, 16 September 2005
10:00

"Yang benar saja, Leo! Kita tidak bisa menunggu sampai tanggal 23!" teriak Sasha seraya menggebrak meja.

Leo menundukkan kepalanya. "Tidak ada pilihan lain. Helikopter akan menjemput kita tanggal 23 nanti."

"Lalu apakah kau ingin kita menjadi korban pembunuh itu?" tanya Xavier dingin. "Kau ingin menunggu mayat Kelly sampai membusuk? Baru kau menguburkannya, begitu?"

"Enough, Xavier!"

Kami tersentak ketika mendengar Leo berteriak untuk pertama kali.

"Kau kira aku tidak ingin segera mengubur wanita yang kucintai secepatnya, hah?! Aku mencintainya! Dan aku merasa sangat bersalah karena tidak mengetahui bahwa minuman itu adalah racun!" teriaknya dengan tatapan tidak terima, sekaligus terlihat sedih.

"Cukup. Hentikan perdebatan yang sia-sia ini," ucap Luke datar.

Semua memandangnya terkejut.

Ia menatap kami serius. "Kita harus mencari cara untuk pergi dari sini."

Xavier berdecak. "Baiklah! Aku akan pergi keluar untuk mencari sinyal!"

Lelaki bernetra biru laut itu langsung pergi ke luar dan membanting pintu.

Kami pun hanya bisa terpaku ketika melihatnya, termasuk diriku yang kini meneguk ludah susah payah.

Sebuah usapan lembut di rambutku telah membuatku menoleh pada pria bersurai hitam pekat itu yang menatapku lembut. "Tenanglah, Honey. Kita akan baik-baik saja."

Aku pun menganggukkan kepalaku dan tersenyum lembut padanya.

Sudah sekitar tiga jam kami diam di tempat, kalut dalam pikiran masing-masing. Namun seketika, suara ledakan telah membuat kami bergegas ke arah sumber suara.

Aku mendekap mulutku ketika kami sampai di tengah hutan yang berada di dekat villa. Menatap pemandangan di hadapanku dengan tatapan tidak percaya.

Korban kedua adalah Xavier Rodriguez.

Yang mati tersungkur dengan kepalanya yang sudah hancur dan berceceran ke mana-mana.

Canada, 17 September 2005
19:00

"Ini adalah kebetulan yang sudah terencana," ucap Luke seraya menatap kami bertujuh.

"Lalu siapa korban berikutnya, Luke? Kau adalah seorang detektif, 'kan? Mungkin kematian mereka meninggalkan sebuah jejak," kata Clark, orang yang terlihat sangat santai dari kami semua. Walau kuyakin dirinya juga tengah gelisah.

"Sudah kubilang ini adalah pembunuhan yang sudah direncanakan, bukan?" Luke menggeleng lemah. "Jadi, akan sulit menemukan jejak karena semuanya sangat rapi."

Sasha terlihat gelisah. "Lalu apa yang akan terjadi berikutnya?" Ia mulai menangis ketakutan. "Si-siapa korban selanjutnya?"

Luke menatap Iranda penuh arti yang disambut anggukan dari wanita itu.

"Sha, ayo kita ke kamar. Kau harus menenangkan dirimu dulu," kata Iranda lembut dan disetujui oleh yang lain.

Mereka pun pergi. Meninggalkan kami yang sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing.

"Leo."

Semua orang kini tertuju pada pria bermanik abu-abu gelap itu.

"Siapa yang mengetahui rencana liburan kita ini?" tanya kekasihku tenang.

Leo tampak berpikir. "Sekertarisku, Wakil Direktur, Pilot itu, dan," ia mencoba mengingat lagi, "sudah. Hanya mereka."

"Oh ayolah, guys! Ini terlalu rumit dan menjengkelkan!" Zamora berteriak muak.

"Tenangkanlah dirimu-"

Oliver memotong omongan Luke. "Bagaimana kami bisa tenang? Nyawa kita adalah taruhannya, dan kau bisa-bisanya menyuruh kami tenang?" Ia mengacak rambut kelabunya frustrasi. "HENTIKAN PERMAINAN GILA INI!"

Aku memejamkan mataku ketika mendengar suara yang melengking penuh rasa gelisah, takut, dan amarah tersebut. Aku baru membuka mataku ketika suara derap kaki yang berlari itu menghiasi keheningan yang mencekam ini.

Clark bangkit dari kursinya. "Aku tidak ingin makan malam. Aku takut salah satu minuman di kulkas terdapat racun lagi. Ya, walaupun dua hari ini aman-aman saja." Ia mengangkat bahu tak acuh. "Aku akan istirahat." Dan dia pun menghilang dari ruangan ini.

"Aku juga," ucap Leo dengan suara letih dan berjalan gontai menuju kamarnya.

Aku terpaku menatap meja kayu di hadapanku ini. Meremas jaket cokelatku ketika merasakan perubahan atmosfer ruangan ini yang terasa menusuk.

"Honey, kau juga istirahatlah dulu."

Aku menoleh. Menatapnya yang tersenyum lembut ke arahku.

"Lalu, bagaimana denganmu?" tanyaku khawatir ketika melihat gurat-gurat letih yang hanya ia tunjukkan padaku ketika kami berdua saja.

"Aku akan berusaha memecahkan teka-teki ini dulu."

Aku menggeleng dan tersenyum teduh. Menangkup kedua rahang yang tegas itu dengan kedua tanganku.

"Aku akan menemanimu. Lagipula, bukankah di saat seperti ini kita harus saling menjaga satu sama lain? Aku tidak akan meninggalkanmu." Kini aku menatapnya serius. "Jika aku meninggalkanmu, aku takut kau akan menjadi korban selanjutnya, dan aku tidak siap untuk hal itu. Selamanya tidak akan pernah siap."

Ia menggenggam kedua tanganku lembut. Dan tanpa kusadari, ia mengecup dahiku sekilas.

"Aku juga tidak akan pernah siap untuk kehilanganmu." Ia memelukku erat, dan tak lama kemudian tertidur dalam pelukan itu.

* * *

"AAAA!!!"

Suara teriakkan seorang wanita itu telah membuatku tersentak dan bangun dari alam mimpi. Aku menatap Luke yang juga terbangun karena suara itu.

"Jangan bilang-"

Ucapanku terpotong karena Luke yang menarik tanganku menuju asal suara, tepatnya di sebuah ruangan kosong yang dijadikan sebagai studio balet. Di ambang pintu, ia berhenti secara tiba-tiba.

"Luke? Ada ap-"

"Diam di sini. Tutup matamu."

Aku berdecak. "Aku tidak mau!"

Ia menoleh, menundukkan kepalanya sedikit untuk menatapku. "Kumohon, kau tidak boleh melihatnya."

"Aku harus melihatnya, Luke," ucapku tajam yang membuatnya terpaku.

Terdengar suara gaduh yang telah membuat kami terdiam dan menoleh ke arah empat orang itu. Leo, Clark, Iranda dan Zamora.

"Ada apa lagi ini?" tanya Clark dengan napas memburu.

"Jangan katakan bahwa," Zamora menggigit bibirnya, "ada korban lagi?"

Luke mengangguk. "Ladies, lebih baik kalian tidak masuk."

Iranda terlihat tidak terima. "Aku seorang dokter, Luke. Jika ada korban, bukankah aku harus terlibat?"

Luke bungkam.

"Sudahlah, Luke. Biarkan mereka masuk," kata Leo sembari mengembuskan napas lelah yang lebih terdengar frustrasi.

"Okey." Luke akhirnya menyerah. "Aku sudah memperingati kalian."

Kami pun memasuki ruangan tersebut. Mungkin, inilah alasan mengapa kekasihku itu bersikukuh tidak ingin kami, para wanita masuk kesana.

Di sana. Korban ketiga adalah Sasha Arnold. Kini ia tergantung di tiga buah tali tambang yang melingkar di leher dan kedua tangannya. Matanya tampak melotot, pecahan kaca di studio itu menancap di seluruh tubuhnya, dan.... Ah, tidak. Aku tidak akan membahasnya lagi.

Tak jauh di bawahnya, terdapat seorang wanita yang kini bergetar hebat. Wanita bermanik olive yang tadi berteriak.

Aku pun memberanikan diri menatap mayat itu. Samar-samar aku menyadari sesuatu walau terhalang oleh desakan air mata yang luruh.

"Huruf 'Y'?" batinku tak bisa menutupi rasa keterkejutanku.

Canada, 18 September 2005
08:00

"KAU YANG MELAKUKANNYA, BUKAN?! KAU YANG TELAH MEMBUNUH MEREKA BERTIGA, HAH?! JAWAB AKU! CARLA ANDERSON!"

Aku pasrah ketika Oliver mulai menjambak rambut cokelatku dengan keras. Rasa sakit itu tidaklah sesakit rasa ketika kau menyadari bahwa,

Sahabatmu sudah tidak mempercayaimu lagi.

"Cukup, Oliver!" Iranda berteriak. Ia berusaha melerai kami yang dibantu oleh Zamora.

"DIA PEMBUNUHNYA! DIA!" Tatapannya sungguh menusuk. Seolah ia tengah menatapku sebagai seorang pembunuh.

Ia berontak sekuat tenaga yang membuat Iranda maupun Zamora kewalahan.

"KAU YANG MEMBUNUH MEREKA! KAU-" Sebuah tamparan telah didapatkan oleh wanita itu. Aku, dan mungkin juga seluruh orang di sana menatap orang yang menampar itu dengan tatapan tidak percaya.

"Hentikan omong kosongmu itu." Leo berujar tajam. "Apakah kau sudah tidak percaya lagi padanya?"

Oliver terpaku dan mulai menangis tersedu. "La-lalu siapa? Siapa yang telah membunuh Sasha?" tanyanya lirih.

"Yang jelas bukan dia," ucap Luke serius. "Ia bersamaku. Aku berani bersumpah bahwa aku tengah tidur memeluknya tadi malam."

Clark tiba-tiba tertawa. "Ouh, seriously? Seorang Luke bahkan mengatakan hal yang menurutnya memalukan itu demi membela kekasihnya." Ia berdeham. "Itu membuktikan bahwa Carla bukanlah dalang di balik ini semua."

Semuanya pun terdiam.

Iranda dan Zamora melepaskan wanita itu ketika dilihatnya Oliver yang mulai tenang.

"Kau benar." Ia menatapku dengan pandangan kosong. "Kau bukan pembunuhnya."

* * *

Siang harinya kami sibuk membereskan kekacauan di villa ini. Tapi, pikiran kami tidak pernah lepas dari kejadian-kejadian mengerikan yang menimpa, dan mungkin akan kami alami.

Oliver tampak meringkuk di sudut ruangan itu. Memalingkan wajahnya ketika pandangan kami bertemu.

"Sudahlah."

Aku menoleh. Mendapati gadis bermata hijau itu tengah tersenyum teduh kepadaku.

"Apakah kita semua bisa melewati semua ini, Zamora?"

Ia mengangkat bahu tak acuh. "Aku tidak tahu. Tapi, aku berharap seperti itu."

* * *

Suara seorang wanita yang memanggil namaku itu telah membuatku terbangun dari mimpi.

"Oh, ayolah. Tidak bisakah orang-orang tidak mengganggu tidurku?" batinku menggerutu.

"Carla."

Aku menengadah. Menatap Iranda yang menatapku dengan wajah pias.

Aku langsung berdiri dan menatapnya cemas. "Siapa?"

Ia berjalan ke luar kamar, dan mau tidak mau aku pun mengikutinya. Sesampainya di sana, tepatnya di ruang perapian. Sungguh, demi apapun.

Aku tidak kuasa lagi menahan air mataku.

Korban keempat adalah Zamora Carpenter. Mayatnya kini berada di atas bara api. Tubuhnya terikat oleh tali tambang, dan digantung secara terbalik. Dari ujung kepala hingga bahunya telah hangus, membuat kulit putih pucatnya tampak seperti arang dan menguarkan bau darah yang pekat.

Oh, Tuhan. Mengapa ia harus mengalami hal mengerikan ini?

Canada, 19 September 2005
06:00

Aku tengah duduk di ruang tengah, tempat biasa kami berunding bersama. Memandang kosong meja kayu yang berada di hadapanku, lagi. Menerawang jauh kepada memori-memori kebersamaan kami.

"Carla?"

Panggilan itu telah membuatku menoleh ke arah Luke yang semakin tampak letih. Lingkaran hitam mulai tampak jelas di kantung matanya.

"Honey, sudah berapa lama kau tidak tidur?"

Ia menarik kursi di sampingku dan duduk seraya meregangkan otot-otonya. "Kurang lebih satu hari," jawabnya dengan malas.

"Istirahatlah dulu. Jangan memaksakan diri."

Ia menggeleng tegas. "Tidak."

"Kenapa?"

"Karena sebagai detektif, seharusnya aku dapat menyelesaikan kasus ini secepatnya agar korban tidak bertambah banyak."

Aku bungkam. Tak berkata apa-apa lagi ketika aku melihat raut kesedihan dan kekecewaan yang mendalam di sana.

Ia berkata lirih, "Seharusnya aku dapat menyelamatkan mereka semua. Aku.... Aku tidak layak untuk disebut detektif. Aku benar-benar tidak layak."

Ia menoleh, dan dapat kulihat kerapuhan yang baru kulihat lagi darinya.

"Aku tak bisa menyelamatkan siapapun, Carla."

Ia meraihku dalam pelukannya. Menangis di bahuku untuk yang kedua kali setelah kematian Ibunya.

"Aku takut tidak bisa menyelamatkanmu."

* * *

Sore harinya, kami dirisaukan oleh hilangnya Clark. Kami sudah mencari-carinya di sekitar villa. Namun, tidak juga ditemukan. Akhirnya kami pun mencari sampai ke pelosok hutan.

"Bukankah biasanya pembunuh itu beraksi di malam hari?" tanya Leo gusar di tengah perjalanan kami menuju danau di dekat villa.

"Aku tidak tahu," jawabku seraya mengeratkan mantel. Hawa musim gugur ini benar-benar menusuk tubuhku.

"Tidak usah di malam hari jika salah satu dari kita dapat segera dibunuh," gumam wanita bermanik olive itu dengan pandangan kosong.

Walau hanya sebuah gumaman, kalimat mengerikan yang meluncur dari wanita itu terdengar sangat jelas di telinga kami.

Iranda mengembuskan napas dalam. "Memang benar. Untuk itu, kita tidak boleh lengah."

Setelah mencari kurang lebih dua jam, kami pun menemukan Clark-yang sudah menjadi mayat-di dalam galian lubang berbentuk lingkaran dengan mata dan mulut terbuka, saja.

Korban kelima adalah Clark White. Dan syukurlah, ia tidak mengalami hal mengerikan yang dapat merusak raganya itu.

Setelah sekian kali melihat ini, ada rasa yang tumbuh semakin kuat. Rasa marah, kesal, benci, dan perasaan negatif lainnya telah memenuhi relung hatiku.

Di manapun kau berada, pembunuh. Jika aku bertemu denganmu, aku akan membalas semua kejahatanmu itu.

Canada, 20 September 2005
12:00

"Honey, apa yang kau lakukan di sini?"

Orang itu melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, dan langsung disambut olehku dengan menggenggam kedua punggung tangannya.

"Melihat permukaan air kolam," jawabku seraya terkekeh pelan.

Terkesan kurang kerjaan, bukan? Tapi, apa yang bisa kulakukan selain merenung dan berpikir sembari menatap permukaan air kolam yang tenang ini?

"Kau tahu, tidak baik jika kita sendirian," ucapnya yang kubalas dengan anggukan mantap.

Aku tahu, tentu saja.

Bisa jadi korban selanjutnya adalah,

Aku.

"Apakah kau sudah menemukan petunjuk?"

Ia melepas pelukannya. Duduk di sampingku, dan menatap mataku dengan lekat. "Aku sudah memastikan satu hal."

"Apa itu?"

"Pembunuh itu hanya membunuh satu orang dalam satu hari. Which means, hanya akan ada dua orang yang akan selamat dari tragedi ini."

Aku mengernyitkan dahi. "Bagaimana bisa-ouch, Luke." Aku mengusap dahiku yang disentil olehnya dengan pandangan tidak terima.

"Bukankah kau seorang guru matematika? Seharusnya kau dapat menjawabnya dengan mudah."

Aku mengembuskan napas malas. "Aku sedang tidak ingin berpikir, Luke. Jawab saja pertanyaanku."

Ia terkekeh. "Begini, kita semua berjumlah sepuluh orang. Salah satu dari kita akan 'dibunuh' setiap harinya." Ia menarik napas dalam. "Kita berada di villa ini sejak tanggal 15. Maka, sampai saat ini ada lima orang yang terbunuh. Helikopter akan menjemput kita ketika pagi tanggal 23 nanti. Jadi, korban terakhir akan jatuh pada tanggal 22, yaitu korban ke-8."

Aku membelalakkan mataku. "Kau benar." Aku terdiam sejenak. "Bagaimana bisa kau menganggap bahwa hanya satu orang saja yang akan dibunuh setiap harinya? Bisa saja ia membunuh lebih dari satu."

Ia menatapku serius dan menggelengkan kepalanya. "Aku tahu karena pembunuh itu adalah 'Pembunuh yang konsisten'. Sejauh ini aku melihat bahwa pembunuhan ini diatur secara rapi, bahkan kau dapat melihat ikatan tali tambang pada Zamora yang terkesan teratur."

"Orang konsisten?" Aku membekap mulutku. "Jangan-jangan...."

"Iranda?"

Aku menganggukkan kepalaku.

"Aku tidak tahu. Tapi, kemungkinan itu bukanlah hal yang tidak mungkin."

Seketika, keheningan melanda kami.

"Hei, kalian berdua."

Suara seseorang di belakang kami telah membuat aku maupun Luke terkesiap. Kami bergegas berdiri dan mulai siaga.

Orang itu terkejut. Ia menatap takut-takut ke arah kami berdua.

Luke mendesah frustrasi. "Apa yang kau lakukan di sana, Leo?" tanyanya jengkel.

.
.
.
.
.
_To be Continued_

"Apakah kau mencurigaiku sebagai dalang di balik semua ini?"

"Satu korban kembali jatuh."

"JANGAN MEMBOHONGIKU LAGI! KAU YANG MEMBUNUHNYA, KAN? KAU PEMBUNUHNYA!"

"Kita harus berjuang sampai lusa. Kita harus selamat."

"Would you?"


Story by : KagayakiMiHa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro