Biru - Sylvanyx - [2/2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tubuh Jayvyn adalah sasaran empuk bagi senjata Aaron. Mereka menyerang Jayvyn bertubi-tubi dibantu dorongan kuat dari angin. Dengan mudahnya, Jayvyn terlontar ke belakang dan menabrak batang pohon.

"Argh!" erang Jayvyn. Rasa sakit menjalari punggungnya seiring perih yang semakin terasa menyayat luka-lukanya. Angin yang kencang telah membuat dedaunan itu menjadi belati yang mematikan.

Belum sempat Jayvyn berdiri, Aaron sudah mengangkat tangan kiri dan mengayunkannya. Seketika terdengar suara gemuruh dan akar-akar keluar dari tanahnya. Sekilas, Jayvyn bisa melihat ada wajah tersembunyi pada batang pepohonan di sekelilingnya. Mereka tampak sangat marah dan berjalan dengan akar mereka mengelilingi Jayvyn.

Dia melihat pepohonan itu dengan kepanikan yang luar biasa. Jayvyn mengalihkan pandangannya pada pohon tempat Chiara dan Lailie berada. Jika Leora benar, maka Jayvyn harus mencapai pohon itu demi mengalahkan Lailie sekaligus menyelamatkan Chiara.

Berpikir melemahkan Jayvyn. Tanpa dia sadari, pohon-pohon di sekitarnya mulai merapat. Tiba-tiba saja sebuah akar melilit tubuhnya dan mengangkatnya. Jayvyn berteriak kesakitan. Namun dalam angin yang menyambutnya ketika pohon melontarkan tubuhnya, Javyn merasa teriakannya sendiri menyakitkan telinganya.

Kali ini tubuh Jayvyn menghantam pohon tempat Lailie dengan keras. Kepalanya terasa berdenyut dan pening sekali. Susah payah Jayvyn mempertahankan kesadarannya yang mulai melemah. Di depan pandangannya yang samar-samar, dia melihat Aaron mendekatinya dan bersiap mengangkat tangannya lagi.

"Hentikan, Kakak!" jerit sebuah suara melengking.

Gerakan Aaron terhenti. Perlahan ia berbalik badan dan seketika tubuhnya membeku. Leora berdiri di depannya dengan kepayahan. Tampaknya sedikit lagi gadis elf itu akan tumbang.

"Le... ora...." bisik Aaron. Tanpa sadar air matanya mengalir lembut menuruni pipinya. Seakan ada desakan kuat dalam dirinya, dia mulai merasa sakit di kepalanya menjadi-jadi. Bersamaan dengan itu, kilasan kenangan berkelebat di benaknya, bagaikan pecahan kaca yang satu persatu tersusun membentuk sebuah ingatan.

Leora tak kuasa lagi menanggung rasa sakit dari efek kutukan yang diterimanya. Namun senyumnya memperlihatkan kebahagiaan. Bibirnya bergetar ketika mencoba berkata-kata untuk terakhir kalinya.

"Kakak...." bisiknya.

"Jangan berbicara lagi, Leora!" cegah Aaron dalam isak tangisnya. "Ini salahku! Aku terlalu lemah sehingga dengan mudah dimanfaatkan Lailie! Karena kelemahanku, aku sampai melupakanmu dan tidak melaksanakan kewajibanku sebagai seorang kakak! Padahal...." Aaron maju hendak memeluk Leora. "Seharusnya aku melindungimu!"

Tepat saat itu, Lailie melompat dari pohonnya dan menusuk dada Leora dari belakang dengan tangannya. "Dasar kakak beradik tak berguna!" desisnya sambil menarik kembali tangannya yang berlumur darah.

Waktu seakan diperlambat. Tubuh Leora perlahan jatuh sampai Aaron menangkap dan memeluknya.

"Ban... tu... Jay... vyn...." ucap Leora lemah. Ia menatap mata kakaknya lekat. Setetes air matanya terjatuh. Dicobanya mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Aaron. Ujung jemarinya perlahan meluruh menjadi serbuk keemasan.

Sang kakak elf menunduk, menyembunyikan tangisnya. Ia mengecup dahi adiknya penuh kelembutan, menumpahkan seluruh perasaannya dalam ciuman itu. Penyesalan sekaligus cinta dan kerinduan yang terbalaskan dalam rasa sakit perpisahan.

Di belakang Aaron, Jayvyn tak mampu berkata-kata. Dia menyaksikan semuanya dan pemandangan itu membuatnya sesak. Leora mengorbankan nyawanya hanya untuk menemui Aaron dan menyelamatkan Jayvyn. Entah mengapa kenyataan itu membuatnya semakin pedih jika mengingat Chiara.

"Aaron, kerjakan kembali tugasmu!" perintah Lailie.

Aaron bergeming. Ia tetap memeluk tubuh adiknya yang berubah menjadi kilauan emas bagaikan ribuan kunang-kunang. Pelita-pelita mungil itu terbang ke angkasa meninggalkan Aaron. Namun Aaron tetap duduk tak bergerak, seakan jiwanya berada di tempat lain. Matanya menengadah memandangi kepergian Leora.

"Aaron!" bentak Lailie. "Adikmu itu tidak berarti apa-apa! Kau lupa kau sudah bersumpah setia padaku?!"

Tiba-tiba, dari dalam tanah, muncul akar yang dengan cepat menusuk perut Lailie. Elf itu jatuh terduduk dan menatap Aaron tak percaya. Dia lengah untuk sesaat tadi sehingga dengan mudah diserang.

Aaron berdiri. Tatapannya yang dingin serasa lebih menusuk Lailie dibandingkan akar itu. Di belakangnya, Jayvyn yang terduduk lemas terperangah, tidak menyangka semua akan berlanjut cepat seperti ini.

"Jayvyn," suara Aaron terdengar dalam. "Lindungi adikmu!"

Tanpa disuruh dua kali, Jayvyn berdiri meski harus mengandalkan seluruh tenaganya. Dia melirik suatu bagian pada tonjolan akar pohon. Bagian itu dikelilingi banyak peri mungil yang bercahaya. Susah payah Jayvyn berjalan ke tempat itu.

"Takkan kubiarkan!" teriak Lailie dan seketika semua peri yang tadinya mengelilingi pohon menyerang Jayvyn.

Dengan cepat Aaron mencekik leher wanita itu. "Ini takkan membunuhmu, tapi cukup untuk menghentikanmu!" desisnya.

Mata Lailie berkilat penuh amarah dan kebencian.

Peri-peri itu mengepakkan sayap mereka. Serbuk keemasan menghalangi pandangan Jayvyn. Efek dari serbuk itu membuat rasa sakitnya berkali lipat lebih kuat. Lututnya menabrak tanah dan ia benar-benar tidak sanggup untuk berdiri lagi.

"Jayvyn! Jangan berhenti! Lindungi adikmu!"

Suara Aaron berhasil membuat pikirannya terpusat kembali. Jayvyn mengabaikan para peri yang semakin gencar mengepakkan sayap mereka dan mulai menggigit kulitnya. Dia mencoba mengesampingkan semua rasa perih yang menyerang setiap inci tubuhnya. Karena kalau ia terlambat melindungi Chiara, itu akan lebih pedih lagi.

Tangannya terulur dan ia mencoba menggeser tubuhnya semakin mendekat pada tonjolan itu. Perlahan ia berhasil meraihnya. Tonjolan yang terasa terlalu lunak sebagai akar dan berdetak. Jantung Lailie. Sekuat tenaga, Jayvyn membenamkan kuku-kukunya pada benda itu demi menghentikan detaknya.

"JANGAAANNN!!!!"

Teriakan Lailie menggema seiring hutan yang menggila. Pohon-pohon mulai jatuh terduduk dengan akar mereka yang terlipat. Jayvyn melihat pohon besar di hadapannya mulai terkelupas kulit batangnya. Daun-daunnya menguning dengan cepat. Pohon itu meranggas dan melayu, kemudian bergeming tak bernyawa. Ujung rantingnya berayun tertiup angin.

Aaron melepaskan cekikannya dari leher Lailie yang kini menggelepar dalam sekarat. Kakak dari Leora itu mengayunkan tangannya. Dedaunan yang gugur mengangkat tubuhnya dan melontarkannya ke arah bola tempat Chiara berada. Dengan mengerahkan seluruh sihirnya, Aaron menyerang bola itu memakai pisau daun-daunnya. Dari bawah pohon, Jayvyn bisa melihat bola itu pecah dan Aaron menangkap tubuh Chiara.

Tepat saat itu, Lailie mengerahkan sisa-sisa kekuatan hidupnya pada sihir terakhir. Ia meluncurkan sebuah cahaya kilat pada pohon tempat ia dulu menitipkan nyawa. Pohon yang melayu terbelah dengan cepat. Jayvyn terpaku di tempatnya, tidak mampu bergerak untuk menghindari setengah bagian pohon yang bergerak menimpanya.

"Lailie...." desis Aaron marah. Ia menusuk tubuh Lailie dengan ribuan pisau daunnya, hanya untuk memastikan tidak ada lagi nyawa pada tubuh itu.

Ketika kepalanya menoleh pada Jayvyn, semua sudah terlambat. Matanya terbelalak. "JAYVYYNNN!!!"

"Mungkin, ini karmaku karena sudah meninggalkanmu, Chiara. Setidaknya aku berhasil menyelamatkanmu, untuk terakhir kalinya...." batin Jayvyn. Ia memejamkan mata, menunggu pohon itu mencapai dirinya dan memutus ajalnya.

Sesuatu terlempar ke pangkuannya. Jayvyn membuka mata dan terbelalak karena Chiara yang tertidur ada di pelukannya. Ketika ia mendongak, ia melihat punggung Aaron di depannya. Sang elf susah payah menahan batang pohon itu secara manual.

"Sihirku mulai melemah," kata Aaron. "Pergilah, Jayvyn. Aku akan menggunakan sihir terakhirku untuk membukakan jalan hutan bagimu."

"Tapi kamu?"

Aaron tersenyum, meski Jayvyn tak bisa melihatnya. "Hiduplah sebagai kakak yang baik setelah ini. Jangan jadi seperti aku, yang gagal melindungi adikku sendiri," ucapnya. Kenangan akan Leora membanjiri ingatannya, membuat hatinya semakin pedih.

"Aku tidak bisa meninggalkanmu!" kata Jayvyn bersikeras.

"Kau harus!" Aaron mulai kehilangan kesabarannya. Tangannya juga mulai kram karena mencoba menahan pohon sebesar itu sendirian. "Walaupun tidak bisa, kau harus, Jayvyn! Demi Chiara...."

Kalimat terakhir itu menyentakkan Jayvyn. Dia menatap wajah Chiara lekat. Dengan mengumpulkan seluruh sisa tenaganya, ia berdiri dengan Chiara di gendongannya. Untuk terakhir kali, ia menatap punggung Aaron. Punggung seorang kakak yang sampai saat terakhir pun terus melindungi seseorang, demi adik tercintanya.

Jayvyn berbalik dan berlari sekuat tenaga. Memacu kakinya dibantu rerumputan yang bekerja atas sihir Aaron.

Aaron melepaskan tangannya. Ia membiarkan pohon itu menimpa tubuhnya. Ia tidak menolak ketika maut menjemputnya.

"Leora.... Kita akan segera bertemu lagi...."

Kemudian, ribuan debu keemasan bergerak menuju langit saat batang pohon berdebum mencium bumi. Di ufuk timur, cahaya kemerahan merayap perlahan menerangi punggung cakrawala.

Cahaya mulai tampak di ujung jalan di depan Jayvyn. Sinar fajar menerangi hutan yang gelap gulita itu. Jayvyn memaksakan kakinya berlari. Tetapi kekuatannya sudah sampai batasnya. Sihir Aaron juga sudah sirna.

"Mungkin inilah batasku...." batin Jayvyn. Lututnya terjatuh dan kesadarannya lenyap.

***

Ketika matanya terbuka, berkas sinar mentari langsung menyilaukannya. Jayvyn mengerjapkan mata, mencoba membiasakan diri dengan cahaya itu. Ekor matanya menangkap sosok sang nenek yang duduk di ujung tempat tidur. Wanita tua itu tampak seakan tidak percaya Jayvyn membuka mata. Memaksakan diri, pemuda itu bangkit duduk.

Baru saja ia duduk, Feryal langsung memeluknya sambil menangis. Pada awalnya Jayvyn bergeming. Namun ia lantas membalas pelukan mereka.

"Sudah seminggu kamu baru bangun, Jay," kata neneknya lirih ketika melepaskan pelukannya.

Jayvyn tercekat, tak menyangka akan selama itu ia tertidur.

"Kamu dan Ara ditemukan pagi hari seminggu yang lalu di dekat hutan. Chiara tidak tahu apa yang terjadi pada diri kalian berdua. Dia hanya menceritakan permulaannya saja. Apa yang terjadi sebenarnya saat itu, Jay?"

Air mata Jayvyn meleleh. Seluruh kenangannya akan malam itu berputar di benaknya. Ia ingat dengan jelas bagaimana pertemuannya dengan Leora, pertarungannya dengan Lailie, bahkan ketika Aaron menolongnya untuk lari bersama Chiara.

Dia membenamkan wajah pada kedua belah tangan dan tersedu. "Semuanya salahku, Nek. Seandainya aku tidak meninggalkan Chiara. Seandainya aku tetap di sisinya. Maka Chiara takkan terluka, lalu Aaron dan Leora tak perlu mati. Semuanya salahku...."

Hati Feryal teriris melihat cucu angkatnya yang biasanya tegar dan kuat kini tampak amat sangat rapuh. Ia merengkuhnya ke dalam pelukan dan mengusap punggungnya menenangkan.

"Sshh.... Semua sudah berlalu, Jay. Jangan menyalahkan dirimu sendiri!" hibur Feryal.

Tapi tangisan Jayvyn semakin menjadi. Bahkan meski berhasil menyelamatkan Chiara dari Lailie, penyesalannya tak juga sirna. Justru perasaan itu semakin dalam menenggelamkannya.

Saat itu pintu terbuka. Langkah Chiara terhenti di ambang pintu ketika melihat kakaknya terduduk sambil menangis di pelukan Feryal. Mata anak itu berkaca-kaca. Ia menutup mulut dengan tangannya.

"Kakak...." ucap Chiara tertahan.

Isakan Jayvyn berhenti dan ia menoleh. Matanya melebar. Belum sempat bereaksi, Chiara sudah menghambur ke pelukannya dan menangis kencang. Jayvyn membatu dalam keterkejutannya sedangkan Feryal tersenyum melihat kelakuan cucunya.

"Jay.... Jay.... Akhirnya kau bangun juga.... Aku sangat.... sangat merindukanmu...." isak Chiara dengan suara parau.

Jayvyn terhenyak. "Kau tidak marah padaku, Ara?"

Chiara memukul dada kakaknya sambil tetap menangis di sana. "Dasar bodoh! Aku marah karena kamu lama sekali tidak bangun! Aku, kan, kesepian!"

"Maksudku.... Kau tidak marah aku sudah meninggalkanmu waktu itu?"

Sang adik mengangkat kepalanya dan menatap sang kakak bingung. "Kenapa aku harus marah? Itu, kan, sudah lama!"

"Tapi aku lalai dalam tugasku sebagai seorang kakak yaitu melindungimu," kata Jayvyn.

"Tidak, kok!" Chiara menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi waktu itu kecuali satu hal. Aku yakin kau sudah melindungiku, Jay."

Tatapan Chiara yang berkaca-kaca memancarkan kehangatan dan kasih sayang yang tulus. Entah mengapa, mendengar Chiara berkata seperti itu sedikit menyembuhkan luka hati Jayvyn. Tiba-tiba saja ia terdorong untuk memeluk adiknya erat.

"Aku berjanji untuk seterusnya akan selalu melindungimu, Ara. Sampai suatu saat kau menikah dan aku tak bisa lagi ada di sisimu," ujar Jayvyn.

Chiara melepaskan diri dari pelukan kakaknya dan menatap pemuda itu heran. "Kalau begitu aku tidak mau menikah."

"Chiara!" tegur Feryal yang sedari tadi menutup mulutnya.

"Habisnya kalau aku menikah Jayvyn takkan lagi ada di sisiku," bantah Chiara seraya menoleh pada neneknya. Feryal menatap Jayvyn meminta bantuan. "Ah, aku tahu!" seru Chiara dengan air muka yang berubah cerah. "Kalau aku menikah dengan Jayvyn, maka kita akan selalu bersama, kan?"

Hampir saja Jayvyn tersedak ludahnya sendiri. "Jangan bercanda, Ara!"

"Aku tidak bercanda!" tukas Chiara.

Menghela napas, Jayvyn menyerah. Ia kembali memeluk adiknya itu. "Baiklah, baiklah! Aku akan selalu di sisimu, Ara. Dan aku akan selalu melindungimu, selamanya."

Chiara tertegun. Tak lama ia balas memeluk kakaknya dengan senyuman puas menghiasi bibirnya. Di sisi lain, Feryal hanya tersenyum. Wanita itu tahu pilihannya untuk mengadopsi dan mempertemukan mereka berdua tidak pernah salah. Karena dirinya yang kesepian merasa hatinya menghangat saat menyaksikan eratnya hubungan kakak beradik itu.

Dalam hatinya, Jayvyn bertekad untuk memenuhi kata-katanya. Sampai maut memisahkan, ia takkan pernah pergi dari sisi Chiara. Jayvyn tidak mau kejadian waktu itu terulang. Dia tak mau kembali menyesal. Sebagai seorang kakak, dia akan selalu melindungi adiknya. Demi Aaron dan Leora juga, kakak beradik yang tidak punya kesempatan untuk saling melindungi.

END


tory by : Zerubia_Rahmiza

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro