Biru - Sylvanyx - [1/2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengabaikan pandangan bertanya dari teman-temannya, Jayvyn menyeret Chiara menjauh dari keramaian. Sang adik meringis lantaran tangannya dicengkeram erat oleh sang kakak. Keduanya berjalan meninggalkan keramaian festival dan sampai di pinggir hutan yang sepi.

"Jangan mengikutiku lagi!" desis Jayvyn marah. Pemuda berusia lima belas tahun itu tak habis pikir tentang tingkah adik yang selalu membuntutinya.

"Tapi kau kan kakakku, Jay!" rengek Chiara manja.

"Kita ini cuma saudara angkat, Ara!" kata Jayvyn frustrasi. Kata-katanya berhasil membungkam Chiara. "Pokoknya, kamu tunggu aku di sini! Kalau sudah beres festival, aku akan menjemputmu!"

Jayvyn melemparkan tatapan memperingatkan pada Chiara, lalu meninggalkan gadis kecil berusia sebelas tahun itu. Chiara berdiri terpaku di tempatnya, menatap punggung sang kakak yang semakin menjauh. Ingin Chiara berlari dan memeluknya, tetapi dia sangat sadar itu hanya akan memperburuk keadaan.

"Aku akan menunggumu, Jay!" teriaknya disertai lambaian tangan. Namun, Jayvyn bahkan tidak repot-repot menoleh padanya. Dengan sedih, Chiara menurunkan tangannya. Segaris senyum tipis penuh kepedihan menghiasi wajahnya yang pucat. Manik biru gelapnya menyiratkan luka.

Chiara menjatuhkan dirinya duduk menyandar pada sebatang pohon. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tanpa rasa takut atau cemas. Padahal, dia sedang berada di tepi hutan pada malam hari yang gulita.

Chiara menengadah, membiarkan matanya terpuaskan oleh kerlip ribuan bintang. Di kejauhan, kembang api warna-warni mekar di langit gulita. Ada sendu pada netranya. Chiara memang sedih karena tidak bisa menikmati festival bersama Jayvyn. Tetapi ia lebih sedih karena kata-kata Jayvyn.

"Langit musim panas selalu indah," kata sebuah suara tiba-tiba.

Terkejut, Chiara menoleh. Pemilik suara itu duduk di samping Chiara. Dia seorang pria dengan mata paling hijau yang pernah dilihat Chiara. Rambutnya secoklat kayu eboni. Sekilas dia tampak seperti manusia biasa, tetapi telinganya runcing. Kalau dilihat dari penampilannya, dia hanya sedikit lebih tua dari Jayvyn. Tapi kaum elf biasanya awet muda.

"Elf?" Chiara menahan napas. Pikiran gadis berambut keperakan itu teralihkan dari kekecewaannya beberapa saat yang lalu.

Elf di sampingnya menatap Chiara datar dan hanya mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa dengan elf?"

"Aku baru lihat," jawab Chiara jujur.

"Aaron," Chiara menerima uluran tangan itu canggung.

"Chiara."

"Kenapa ada elf di sini? Kudengar elf tidak pernah meninggalkan jantung hutan ini," ujar Chiara.

"Aku diperintah mencari seseorang," sahut Aaron dengan pandangan menerawang. "Seseorang yang harus kudapatkan malam ini juga."

Chiara tertegun. Ia bingung harus bereaksi bagaimana dengan jawaban Aaron yang tidak dipahaminya. "Oh, semoga berhasil," ucapnya kaku.

Aaron bertanya, "Kau sendiri, kenapa sendirian duduk di tepi hutan saat malam?" tanya Aaron, menerbitkan sendu pada air muka Chiara. Gadis kecil itu diam seribu bahasa. Aaron kembali mengalihkan pandangannya, berpikir Chiara tidak mau menjawab.

Setelah itu, keheningan menguasai keduanya cukup lama. Mereka memandang langit yang memukau dengan pikiran masing-masing. Keduanya terlalu hanyut sampai tidak menyadari ada sesosok elf yang mengamati mereka dari balik pepohonan.

"Kakak angkatku," kata Chiara tiba-tiba, membuat perhatian Aaron teralih padanya. "Aku sangat menyayanginya dan menganggap dia seperti saudara kandungku sendiri. Tapi dia tampaknya hanya melihatku sebagai pengganggu. Dia menyuruhku menunggunya di sini sementara dia sibuk dengan teman-temannya."

Mendengar itu, sekeping kenangan terbersit di benak Aaron. Kepalanya sedikit berdenyut sakit karena tidak mengenali ingatan itu. Entah dorongan dari mana, dia merengkuh Chiara ke dalam pelukannya.

"Kakakmu beruntung memilikimu," kata Aaron dengan suara bergetar.

Chiara tidak bertanya kenapa sikap lelaki itu berubah aneh. Dia memilih untuk merapatkan tubuhnya pada Aaron. Kehangatan yang dirasakannya mirip dengan sensasi ketika Jayvyn dulu memeluknya. Penuh kasih sayang seorang kakak. Perasaan itu membuatnya merasa aman dan damai, membuatnya mengantuk.

"Bangunkan aku kalau Jayvyn datang, ya!" kata Chiara.

Belum sempat Aaron menjawab, dia sudah mendengar napas Chiara yang teratur dan lembut. Diperhatikannya anak itu tanpa emosi. Aaron memahami karakter kekanakan pada diri Chiara yang dengan mudahnya memercayai orang lain.

Dibaringkannya kepala Chiara pada pangkuan. Sementara jemarinya menyingkirkan poni keperakan Chiara dari dahinya. Tiba-tiba Aaron terperanjat. Pada dahi Chiara, terdapat sebuah tanda kecil. Kalau diperhatikan dengan seksama, tanda itu berbentuk bintang segi delapan.

Jantung Aaron berdebar keras. Dia tidak pernah mengira orang yang dicarinya adalah Chiara. Tanpa berpikir dua kali, dia menggendong Chiara dan melesat bagaikan anak panah ke dalam hutan.

***

Tubuh Jayvyn rasanya letih sekali saat sudah sampai rumah. Semalaman ini dia menikmati festival bersama teman-teman sekolahnya. Sama sekali tidak terbersit di benaknya tentang janjinya pada Chiara. Jayvyn pikir, Chiara pasti sudah pulang karena bosan.

"Jay, kau tidak bersama adikmu?" tanya neneknya saat berjalan keluar dari dapur. Feryal adalah wanita tua yang ramah dan hidup sendirian. Sampai dia memutuskan mengadopsi Jayvyn dan Chiara dari panti asuhan.

Pemuda berambut pirang dan bermata biru kehijauan itu terkejut. "Lho? Dia belum pulang?"

Sang nenek mengerutkan kening heran. "Apa maksudmu? Tadi kan dia keluar bersamamu."

Seketika Jayvyn melupakan seluruh rasa letihnya. Dia berdebar karena takut dan panik. Seharusnya Jayvyn ingat bagaimana penurutnya Chiara pada dia. Kalau Jayvyn menyuruh Chiara terus menunggu di tepi hutan sampai ia menjemput, maka Chiara pasti akan melakukannya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Feryal heran saat Jayvyn buru-buru mengenakan sepatunya kembali.

"Aku mau menjemput Chiara!" jawab Jayvyn. Dia meninggalkan rumah dengan berlari seperti kesetanan. Feryal ingin mencegah, tetapi dia hanya bisa memandang punggung yang semakin menjauh itu.

"Ada apa dengan cucu-cucuku? Biasanya mereka selalu bersama," gumam Feryal.

Tidak ada sesosok manusia pun di tepi hutan itu. Kepanikan Jayvyn berlipat ganda. Sungguh ia menyesal karena telah mementingkan emosinya saat tadi memarahi Chiara.

"CHIARA!!!" panggil Jayvyn berulang kali. Dia masuk ke dalam hutan dan mencoba mencari menembus gelap. Sekarang yang ada di pikiran Jayvyn hanyalah Chiara. Jayvyn yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi pada Chiara karena anak itu sudah tidak ada di tempatnya menunggu tadi.

Kecemasan yang menghantuinya membuat Jayvyn melupakan rasa letihnya. Kini perasaannya campur aduk. Dia tak tahu lagi ke mana harus mencari Chiara. Langkah kakinya terus berlari dalam kegelapan hutan dan keputusasaan.

Ingatannya melayang pada Chiara. Biasanya, setiap kali Jayvyn ingin menyerah, Chiara selalu menyemangatinya. Chiara selalu mampu membuatnya tersenyum dan nyaman. Chiara adalah cahayanya yang selalu menuntunnya dalam kegelapan.

Tapi sekarang tidak ada Chiara yang akan menghapuskan rasa putus asanya. Di sisinya tidak ada Chiara yang selalu menjadi penerang gulita dalam hatinya.

Tanpa sengaja, ia tersandung dan jatuh terjerembap. Bukannya bangkit berdiri, Jayvyn malah berbaring telentang dan memandangi langit berbintang di balik rimbunnya dedaunan. Air matanya meleleh dan menghangatkan pipinya yang dibasahi keringat dingin.

"Aku gagal sebagai seorang kakak," ucapnya di sela isak tangis.

Jayvyn ingat ketika untuk pertama kalinya bertemu Chiara. Saat itu mereka diadopsi oleh seorang janda tua kesepian. Untuk pertama kalinya, Jayvyn merasakan memiliki sebuah keluarga. Keceriaan Chiara dan tawa anak itu adalah api unggun bagi Jayvyn. Chiara tidak hanya penerang, dia juga adalah yang memberi Jayvyn kehangatan.

Sekarang, setelah putus asa mencari Chiara, ia merasa sepotong hatinya lepas. Jangan tanya sebesar apa penyesalan yang dirasakannya. Jayvyn baru menyadari, seharusnya waktu itu dia tidak meninggalkan Chiara sendirian. Seharusnya dia terus melindungi Chiara, karena itulah tugasnya sebagai seorang kakak.

"Jangan menangis."

Suara seorang perempuan yang jernih dan merdu itu menyentakkan kesadaran Jayvyn. Dia mengusap air matanya lalu bangkit terduduk. Perempuan yang tadi berbicara duduk di sampingnya. Bahkan dalam kegelapan, ia tampak jelas berkat cahaya yang melingkupi tubuhnya.

Jayvyn tercekat. Perempuan itu seorang gadis yang mungkin hanya sedikit lebih tua dari Jayvyn. Tetapi tubuhnya mungil dan telinganya yang lebar dan panjang memikiki ujung runcing. Surainya cokelat pekat, membingkai wajah rupawan dengan sepasang mata hijau cemerlang.

"Elf?" ucapnya menahan napas.

"Kenapa dengan elf?" tanya gadis itu seakan menguji Jayvyn.

"Aku baru lihat," jawab Jayvyn seraya mengedikkan bahunya.

Tawa gadis itu meledak, membuat Jayvyn mengernyit heran. "Maaf, maaf," katanya sambil berusaha menghentikan tawa. "Kau sangat mirip dengan adikmu. Anak kecil itu juga reaksinya sama persis denganmu saat kakakku mendekatinya."

Tubuh Jayvyn menegang. "Kau tahu di mana Chiara?"

"Aku mencuri dengar pembicaraannya dengan Kakak. Ya, aku tahu di mana dia. Kakakku membawanya ke tempat Lailie."

Secercah harapan menyala pada sorot mata Jayvyn. Dia merasa kembali bertenaga dan tak sabar untuk bertemu lagi dengan Chiara.

"Di mana Chiara sekarang?"

Elf di sampingnya menatap Jayvyn lama. "Berbahaya untukmu ke tempat Lailie tanpa tahu apa-apa. Karena itu, maukah kamu mendengarkan ceritaku?"

Jayvyn naik pitam karena kesabarannya sudah habis. "Kalau begitu cepat ceritakan! Aku harus segera menemukan Chiara!"

"Kau memang harus segera menemukannya. Baiklah, aku akan menceritakan tentang Lailie, Aaron, dan aku, Leora."

***

Sekuat tenaga, Jayvyn berlari memacu langkahnya. Kegelapan di sekelilingnya semakin pekat, tak tertembus oleh sinar rembulan. Namun tujuan Jayvyn hanya satu: jantung hutan di depan sana.

Sementara kakinya terus berlari kencang melupakan kata lelah, benaknya memutar kembali percakapannya dengan elf itu, Leora.

"Lailie adalah elf hutan yang menjual jiwanya pada elf kegelapan demi kekuatan yang tak terbatas," demikian kata Leora. "Elf lainnya yang berada di pihak elf cahaya marah pada tindakan Lailie, jadi mereka semua menyatukan kekuatan untuk mengalahkan Lailie. Kekuatan Lailie itu mereka segel dalam tubuh seorang manusia.

"Untuk mendapatkan kembali kekuatannya, satu-satunya cara yang ia punya adalah dengan membunuh manusia itu. Tetapi sebelumnya, ia membutuhkan sekutu. Dan ia memilih kakakku, Aaron, sebagai sekutunya.

"Dengan kekuatan kegelapan yang tersisa, Lailie berhasil menjadikan kakakku sebagai bonekanya. Aku adalah kunci yang bisa mematahkan mantra Lailie pada Kakak. Karena itu, Lailie juga memantraiku hingga aku takkan bisa mendekati jantung hutan dan Kakak melupakanku.

"Ketahuilah, Jay, adikmu itu keturunan manusia yang memiliki kekuatan Lailie dalam tubuhnya. Sampaikan salamku pada Kakak. Dia takkan mengingatku, tetapi dia akan selalu ada dalam ingatanku.

"Selanjutnya, aku akan memberitahumu tentang kelemahan Lailie. Kau harus mengetahuinya kalau ingin merebut adikmu."

Sekarang Jayvyn semakin menyesali perbuatannya. Ketika Leora menceritakan tentang takdir yang memisahkannya dengan Aaron, Jayvyn bersyukur dia dan Chiara masih saling mengingat. Mereka juga masih bisa berbagi tawa dan tangis. Jayvyn berjanji, dia pasti akan menyelamatkan Chiara dan tidak lagi meninggalkannya. Rasa gengsi tidak berarti dibandingkan ketidak inginannya bernasib seperti Aaron dan Leora.

Langkahnya terhenti ketika sampai di depan sebuah pohon yang tinggi besar. Tampak puncaknya menjulang menembus awan karena Jayvyn bahkan tidak bisa melihatnya. Pohon itu rimbun dengan daun-daun hijau pada puncak batang yang mencapai seperempat tinggi Jenderal Sherman. Ratusan peri mungil terbang mengitari pohon, terutama di bagian akarnya. Sinar mereka membuat Jayvyn bisa melihat sekelilingnya.

Jayvyn menelan ludah. Hatinya sedikit gentar karena ia datang tanpa rencana. Namun ia tak bisa mundur lagi sekarang. Bertarung atau mati. Hanya dua itu pilihannya.

Dari balik pohon, keluar seorang elf pria yang melangkah mendekati Jayvyn. Elf itu menatap Jayvyn datar, nyaris tanpa emosi. Karena kemiripannya dengan Leora, Jayvyn langsung mengenalinya sebagai Aaron.

"Di mana Chiara?!" tanya Jayvyn marah.

"Jika yang kau maksud adalah Gadis Bintang, maka dia ada di atas sana," kata Aaron seraya menengadah.

Jayvyn ikut melihat ke atas pohon yang tidak begitu jelas tampak di matanya. Tepat di bawah rimbunnya dedaunan di titik percabangan dahan-dahan, ada sebuah bola raksasa transparan. Bola itu tampak seperti selaput amnion yang mengurung sesosok bayi di dalamnya.

Amarah Jayvyn memuncak membuatnya tanpa sadar mengepalkan tangan. Terutama ketika melihat seorang elf wanita berjubah hitam berdiri di salah satu cabang pohon. Jayvyn tahu itu adalah Lailie, elf jahat dalam cerita Leora.

"Bunuh pengganggu itu, Aaron!" perintah Lailie lantang, namun terasa jelas nada dinginnya.

Jayvyn bersiap di tempatnya. Ia terpaku ketika Aaron mengangkat tangan kanannya. Tiba-tiba saja angin di hutan itu terasa berhembus semakin kencang. Pepohonan bergoyang seakan diliputi amarah. Dedaunan berguguran dan berputar di udara. Tepat ketika Aaron mengarahkan telunjuknya lurus pada Jayvyn, daun-daun yang gugur berdesing bagai peluru.

Bahkan Jayvyn tak sempat mengedip, tetapi pisau-pisau daun melesat bagaikan angin menuju dirinya. Sesaat otak Jayvyn berhenti bekerja. Hanya mengeluarkan satu perintah: lari.

***

Jenderal Sherman : julukan untuk pohon Sequoia, salah satu pohon tertinggi dan terbesar di dunia dengan tinggi 80 m-an sedangkan lebar 30 m-an

_To be Continued_

Story by: Zerubia_Rahmiza

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro