Day 12 -(Kurma-kurma di pohon, mana magismu?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kurma-kurma di pohon, tunjukkan aku kekuatan magismu. Kurma-kurma di pohon-"

Kalimatnya terhenti. Tubuhnya sudah ambruk di depan batang serupa palm. Dia mendongak ke atas, menatap daun memanjang dengan duri pada tangkai pohon. Tidak berbuah, bahkan hanya berdaun dengan duri-duri di tangkai.

"Kurma-kurma di pohon, tunjukkan, tunjukkan kekuatan magismu. Tunjuk-"

"Dara!" Suara itu menyahut, menyela mantra yag berulang kali dia ucapkan dari mulutnya. Suara sepatu beradu dengan tanah mendekatinya. Gedebuk sepatu dengan tanah semakin mendekat, dan menarik lengannya untuk berdiri tegap. Namun, dia sama sekali tidak mampu. Tubuhnya telah sekonyong-konyong tanpa daya.

"Jangan gila kamu!" Dia mendumal di dekat telinganya. Jemarinya telah menusuk ke dalam kulitnya, menyakitinya. "Jangan kayak orang syirik memuja pohon!" Ibu menendang pohon itu.

Dara melirik wanita di sampingnya. Sekonyong-konyong kekuatan itu kembali merasuk tubuhnya. Kakinya mampu menyanggah seluruh tubuhnya yang lemas berdiri seharian di depan pohon. Bahkan, tangannya dengan cepat menepis erat genggaman wanita ini.

"Syirik, Bu? Ibu lebih syirik ketimbang Dara!" Dia menegas. Uratnya mengencang dengan darah mengalir ke seluruh otaknya. Dia tidak habis pikir. Bahkan, otaknya sedang tidak mau mengikuti akal. Atau mungkin, Dara sudah tidak memiliki akal.

"Jaga mulut kamu! Bapak nggak akan pernah sembuh dengan pohon ini, Dara! Pohon kurma nggak akan pernah tumbuh di sini! Nggak akan!" Ibu tak kalah tegas. Nadanya meninggi, tidak sekalipun melepas kerutan di keningnya. Tidak sekalipun menurunkan satu oktaf nada suaranya.

Ibu marah. Dara bahkan lebih marah dari Ibu. "Ibu pengecut! Ibu adalah wanita paling pengecut dengan dunia! Mana kepercayaan ibu Hah!"

Refleks, dia mengangkat tangannya, bersiap menampar pipi perempuan di depannya. Sampai, berita itu menamparnya sendiri. Bahkan, tangan itu belum mampir di pipi anaknya. Dia sudah tertampar menyakitkan oleh berita yang lalu lalang dari seorang pria bertubuh tambun, yang berlari-lari kecil ke arah Dara dan dirinya.

"Mas Bowo meninggal, Mbak." Dia menjadi satu-satunya pengirim kabar akhir mengenai kondisi suaminya. Walaupun dia baru saja mendampingi suaminya selang 20 menit yang lalu. Dengan sekejap, 20 menit itu berakhir tanpa kabar, tanpa ada satu tanda untuknya.

"Bapak?" Suara ini terdengar dari Dara, anak semata wayangnya, anak pertamanya dengan Bowo. Suara itu melemah, bergetar tanpa tenaga. Wajahnya memucat. Tubuh anaknya mulai sempoyongan saat berjalan ke arah adik bungsunya. Dengan sigap, adik bungsunya menangkap tubuh anak semata wayangnya. "Bapak nggak mungkin.  Nggak. Bapak nggak mungkin. Seharusnya bapak bisa bertahan. Pohon kurma Dara tinggal sehari lagi berbuah. Bapak nggak mungkin pergi, Paklek."

Anaknya merancau dalam pelukan adik bungsunya. Dia melemah tanpa tenaga. Kedua matanya menatap kosong lurus ke pohon kurma yang hanya tumbuh beberapa senti.

"Bapak..." Dia menangis, mengeras dengan segala sakit yang dia keluarkan. Anaknya kesakitan. Dia juga kesakitan. Dia kehilangan cinta pertama dan terakhirnya. Dia kehilangan suaminya. Dan dia melihat anaknya menangis tanpa akal.

Sebelum kejadian ini, suaminya lekas masuk ke dalam rumah. Tangannya membawa bibit besar dengan plastik hitam menyelimuti akar pohon. Pohon kecil itu membuat lantainya kotor, sebab plastik itu berlubang, membiarkan tanah dari akar pohon berjatuhan mengenai lantainya.

"Bapak ada hadiah buat kamu." Suaminya berucap senang, menyembunyikan sesuatu dari balik tubuhnya.

"Apa, Pak? Baju, ya? Sepatu? Atau bapak belikan Dara boneka?"

Bapak menggeleng, tidak melepas senyum bahagianya. Dia melihat kejadian menyenangkan itu di kedua matanya. Tidak seperti ini. Dia bahagia, suaminya bahkan tersenyum  tanpa melemah.

"Ini dia." Suaminya memgeluarkan pohon itu dari balik tubuhnya. "Pohon kurma."

Bibir anaknya mengerucut. Seperti tidak suka dengan hadiah dari bapaknya. Dia menghampiri mereka, ikut menimbrung dengan suami dan anaknya.

"Kok pohon?" protes Anaknya.

"Alhamdulillah dong." timpalnya, mengelus rambut anaknya yang memulai memanjang.

"Loh kamu nggak tahu apa keistimewaan kurma ini?" Suaminya ikut menyahut. "Banyak. Bisa menumbuhkan kebahagiaan."

"Kebahagiaan?" tanya Dara. "Tapi, 'kan Dara cuma mau boneka kayak teman Dara."

"Ehh... ini lebih dari boneka Dara." Suaminya menangkis. Dia masih mengulas senyum itu. "Kalau sampai tumbuh besar di sini, kamu bisa membeli apapun."

"Kebahagiaan itu apa?" Dara dengan polos bertanya.

Bowo dan istrinya tergelak.

"Kebahagiaan itu nggak bisa dibeli. Tapi bisa kita buat." Suaminya menjawab, ikut mengelus kepala anaknya. "Kamu mau membuat kebahagian?"

"Tapi Dara nggak tahu caranya."

"Cuma perlu pohon kurma ini."

"Dara sudah bisa membuat kebahagiaan?" tanya Dara mulai antusias.

Suaminya mengangguk. "Bahkan kamu bisa membaginya dengan orang lain."

"Keren." Dara tersenyum. "Caranya, Pak?"

"Kemari."

Dan peristiwa itu masih terakam jelas di pikirannya. Pohon ini masih tetap berdaun, memanjang, tetapi tidak berbuah. Bahkan, anak semata wayangnya telah kehilangan akalnya, terambil oleh pohon kurma ini. Dia ingin menebang, karena pohon ini yang membawa malapetaka dalam hidupnya.

Dara mulai sadar setengah jam kemudian. Dia menatap ke sekitar. Ada Ibu yang duduk di sampingnya, menggenggam erat tangan kanannya.

"Bu." Dara memanggilnya.

"Iya, Sayang?" tanyanya, membelai wajah pucat Dara.

"Ibu tahu kenapa kurma Bapak nggak tumbuh?"

Dia menahan kecamuk kemarahannya. Dia membenci semua hal  berbau kurma. Dia benci. Anaknya bahkan sudah kecanduan dengan pohon, menggila setiap saat, selalu melontar mantra-mantra dari mulutnya, seakan buah itu akan tumbuh besar dengan mantra yang selalu dia ucapkan.

"Ternyata, Bapak nggak menginginkan kurma tumbuh dengan buah."

Dia mengerutkan keningnya. Anaknya benar-benar sudah dirampas akalnya oleh pohon itu.

"Bapak punya sesuatu untuk Dara. Kurma itu mengajarkan Dara banyak hal, Buk." Dara dengan susah payah mencoba menegakkan tubuhnya. Ibu membantunya, dengan menambah dua bantal sebagai alas penyanggah punggung belakangnya. "Bapak membuat kebahagiannya kepada kita, Buk. Kurma itu kebahagiaan Bapak."

Dara menghentikan laju kalimatnya. Ibu menatapnya semakin bingung. "Ibu nggak paham apa yang kamu bicarakan."

Dara mengulurkan jemarinya, menyentuh lembut keriput yang dimiliki ibu. "Buk, kenapa kurma masih tegap di tanah kita. Walaupun tanpa buah, tapi dia berdiri tegap. Karena, bapak menanam kebahagiaannya kepada kita di sana. Ingat, Buk. Dara tersenyum, kita tersenyum saat memasukkan akar pohon itu ke dalam tanah."

Ibu memeluk Dara, mengeratkan pelukannya.

"Jangan katakan syirik ke pohon kurma itu, Buk. Tanpa tiga buah kurma, tanpa pohon itu, nabi nggak mungkin bisa menahan dahaga dan laparnya, Buk."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro