Day 18 - Kembang Desa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bu! Kata Bapak, Ibu dulu kembang desa dari Trenggalek, ya?"

Guratan keriputnya nampak kentara saat Beliau sedang berpikir sejenak mengenai kalimatku. Lalu, Beliau tersenyum malu-malu kearahku.

"Terus... Terus..." Senyumku tidak kalah mengembang darinya. Beliau pun bercerita bagaimana kisah cintanya yang tak kalah romantis dari Habibi dengan Ainun, Romeo dengan Juliet, dan Utari dengan Soekarno.

Ahhh ibu... Kenapa rasanya panggilan itu begitu indah saat itu. Bahkan kelakarmu saat mengarang cerita cintamu, telah membuat senyumku mengembang begitu lebar.

"Bu... Ada Ustadzah!" Seruanku membuat beliau tergesa-gesa melepas mukena berwarna putih tulang itu. Kembali, Buk, aku masih tersenyum seketika melihat kaki kecilmu berlari-lari di atas keramik, hanya untuk menemui sosok perempuan yang mengajarimu kalimat Allah.

Kemudian, suara nyaring, tegas, renyah dan indah terdengar memenuhi rumah kami. Suara-suara yang di cintai para Malaikat dan para Nabi. Lebih indah ketimbang penyanyi-penyanyi Internasional yang memecahkan rekor dari ajang American Music Awards.

Kata Beliau, "Ibu iku wes seneng ngelihat anak loro e ibu wes isok ngaji."

Bukankah itu hanya masalah sepeleh buk? Semua orang Islam di dunia ini bisa membaca al- quran. Maaf bu, aku lupa jika Ibu masih di bacaan Iqro. Tapi Ibuku tersayang, suara mengajimu, lantunan baca alif, ba, ta, sha, mengiringiku, membuatku terus-menerus tersadar tentang syair-syair indah dari Allah, tentang kewajiban yang harus aku jalani, dan larangan yang harus kujauhi dari hidipku.

Beliau berdiri di depanku setelah tas di punggungku terlepas. Mataku menilik kearahmu, menatap sebagian rambut yang telah beruban, pandangan mata yang mulai lamur, dan kerutan cantik yang tertinggal di bawah matamu, "Ora usah di hafal. Lapo di hafal! Nggak ilok! Seng bener iku di pahami!

Di jadiin pedoman kayak pancasila! Lek isok, jadi tulang rusuk mu!" Kali ini Ibu berseru di depanku dengan kening berlipat, alis yang hampir menyatu, dan tatapan mata yang tajam.

Lalu, aku di hantarkan Beliau ke kota yang amat tidak kusukai.

Ke Jalanan yang terpal, tidak seperti kotaku. Bahkan, setelah iringan hujan berhenti, jalanan ini berubah menjadi lumpur, berjejak menelan hingga tumitku. Listrik yang hanya menerangi setengah jalur desa, tidak seindah gemerlap kotaku. Siaran televisi yang tidak tertangkap sinyal, hanya menayangkan satu stasiun yang tidak aku sukai sama sekali.

Hanya terdengar sahut-menyahut taqmir berkumandang, melafalkan titah-titah Tuhan ke seluruh dunia.

Ini kota kelahiranmu, tapi kenapa tidak kusukai?

Saat aku ada di sana, aku berteriak kencang, sebagai anak perempuan berumur 15 tahun, merengek penuh amarah dengan menyepak segala benda di dalam rumah, yang di pandangi oleh beberapa adik-adikmu.

Satu pertanyaan yang meringkuk di kepalaku, Ibu,"Tidakkah kamu malu dengan perilaku yang telah kubuat saat itu, Ibu?"

Beliau tidak serupa dengan ribuan perempuan di luar sana. Dia marah saat aku berbuat salah. Dia dingin bahkan saat aku menunjukkan puisiku. Tapi, tidak sekalipun roman wajahnya terlontar kebencian untukku.

Bulan Desember lalu, seharusnya kami ingat jika perempuan secantik ini, kembang desa Trenggalek, telah terlahir di dunia, yang telah membuka jalan cerita aku dengan kakak perempuanku di dunia, membuat kami menjalani lika-liku hidup yang serupa romansa terbaik yang tertulis dari tinta penyastra. Sepuluh hari kemudian, gegap gempita dari para perempuan merayakan tentangmu, mereka menyebutnya"Hari Ibu". Berlomba-lomba mencari kemuliaan untuk merayakan hari yang terpusat padamu.

Lalu... Dua bulan kemudian, setelah gegap gempita ribuan namamu diserukan, tinta milik sastrawan itu menilik hidup kami dengan selembar lara.

Dua bulan kemudian, Ibu. Kami melihat tubuhmu menggunakan serupa kain putih yang begitu cantik, terikat tali di beberapa bagian. Lima lembar kain menutupi tubuh cantikmu.

Lalu, kenapa aku masih menderu deras melihat sekelebat memori itu? Bahkan kamu berada di posisi telah bertemu dengan atma pria yang membesarkanmu.

Aku lupa satu hal. Hal yang membuatku tak bisa melupakan tentang kamu yng tergulung lima lembar kain itu.

Tubuhku yang berumur 20 tahun, sedang berdiri tergagap melihatmu tergelatak tak sadarkan diri di hadapanku. Nggak. Kedua penglihatanmu masih menangkap sosok tubuhku, karena aku masih melihat airmukamu berkata padaku.

Lalu, aku tidak terduduk di sampingku, melainkan melangkahkan kaki menjauh, berlari sekencang-kencangnya keluar rumah.

"TOLOOOONGGGG!!! IBUKU, TANTE. TOLOOONG!" Aku beteriak, terus memanggil nama Beliau. Di jalan, dan menangis.

*****

Puisi untuk kembang desaku, yang sempat terlupa dari hippocampus-ku, malah beralih menjadi amygdala-ku.

Serumpun angin meliuk, menampar-nampar dedaunan yang jatuh.

Tali perahu yang tertambat di atas dermaga kecil, bergoyang, meliuk-liuk karena ombak kecil.

Gerimis berupa arsiran terasa halus menerpa pesisir pantai.

Pun

Aku melihat tautannya

Mendengar selisik daun.

Merasakan gerimis daun.

Pun.

Aku juga melepaskannya.

Berlambai dengan lara yang telah terurai dengan menampar dedaunan, melepas sematan tali, dan membiarkan arsiran itu menghapus jejak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro