Chap 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mbah Haryo, kenapa duduk disini sendirian?" tanya Rangga sambil menghampirinya.

"Oh nak Rangga. Mbah hanya duduk saja." katanya.

Rangga duduk di sebelah mbah sambil ikut terdiam kemudian ia putuskan untuk berbicara.

"Oh iya mbah, saya sudah baca buku mbah tadi. Jadi ini saya kembalikan lagi ke mbah."

Rangga mengembalikan buku catatan yang diberikan mbah tadi siang namun mbah malah menolaknya.

"Tidak usah nak Rangga, mbah memang ingin memberikannya kepadamu."

"Tapi saya tidak berhak memilikinya mbah, lagipula membaca kisah hidup orang lain itu sangat tidak sopan kan mbah?"

Mbah Haryo tersenyum kemudian mengelus kepala Rangga dengan lembut, "Nak Rangga, dengar. Mbah memberikannya kepadamu bukan karena cerita hidup mbah ingin dibaca orang lain, melainkan mbah ingin memberikan sebuah pelajaran hidup mbah kepada orang lain. Itu saja."

Rangga hanya mengangguk kemudian mengangkat kepalanya sambil tersenyum, "Baiklah kalau begitu, Rangga akan simpan buku ini baik-baik."

"Bagus, nah sekarang pulanglah. Hari sudah larut."

Rangga mencium tangan mbah lalu pamit, "Assalamualaikum mbah."

"Waalaikumsalam, hati-hati."

Keesokan harinya saat Rangga sedang menjahit di rumah bersama adiknya, ibunya meminta tolong kepadanya untuk mengantarkan pesanan Bu Karin. Rangga dan adiknya bergegas menuju rumah Bu Karin yang berada di kampung atas dengan menggunakan motor, dengan jalanan yang menanjak itu Rangga berkendara dengan kecepatan yang cukup tinggi. Jalanan cuku sepi sehingga aman dilalui oleh kendaraan yang melintas dengan cepat, sampai di rumah Bu Karin ia langsung memberikan pesanan tersebut pada pemiliknya.

"Assalamualaikum Bu Karin, ini pesanannya."

"Waalaikumsalam, nak Rangga. Terima kasih ya sudah diantarkan."

"Sama-sama bu, mari."

"Eh tunggu sebentar nak Rangga."

"Ada apa bu?"

"Nanti sore ibu mau ngadain pengajian, ibumu bisa datang tidak?"

"Ah maaf bu, tapi ibu saya sore ini mau pergi ke Tanubayu buat ngantar pesanan."

"Oh begitu ya."

"Iya, tapi kalau ibu mau saya bisa kok wakilin ibu saya buat pengajian nanti sore."

"Terima kasih ya nak Rangga."

"Sama-sama bu, ya sudah kalau begitu saya pamit dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sepulangnya Rangga dari kampung atas, ia dan adiknya kembali menyelesaikan beberapa pekerjaan di rumahnya. Sementara itu Dimas yang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya di ruang tamu sudah tampak kelelahan hingga akhirnya dia berhenti sejenak. Pandangannya menatap ke arah langit-langit rumahnya yang langsung menampakkan genteng dan kayu, bila musim hujan memang suka bocor, dinding kayu yang sudah lama jadi pelindung rumah mereka pun juga sudah sedikit berlubang karena dimakan waktu. Dimas berpikir dirinya ingin sekali merenovasi rumahnya agar lebih bagus lagi, namun dirinya belum mempunyai cukup uang karena harus fokus menyelesaikan kuliahnya.

Biaya kuliahnya juga dari hasil bapak bekerja di pabrik kertas di Semarang, dengan gaji yang sudah cukup memenuhi kebutuhan harian mereka bapak menabung sisanya untuk biaya kuliah Dimas. Awalnya Dimas tak ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, namun karena bapak tak ingin menyia-nyiakan kecerdasan yang dimiliki anak semata wayangnya itu akhirnya Dimas dikuliahkan di Jakarta. Tujuannya satu agar Dimas menjadi orang yang sukses di kota besar seperti Jakarta.

Dimas yang masih duduk-duduk di ruang tamu memutuskan untuk keluar sambil berjalan-jalan, mengistirahatkan matanya yang dari tadi melihat layar komputer. Ia melihat pemandangan sawah yang terbentang luas dengan indahnya, Gunung Merapi dan Gunung Merbabu bisa dia lihat jelas dari depan rumahnya, ia ingin melihat pemandangan itu dari tempat yang lebih tinggi lagi, karenanya Dimas berjalan menuju perumahan yang ada di bagian atas lalu dia melihat pemandangan tersebut.

Udara sejuk yang berhembus itu membuat hati tenang, sudah lama sejak ia kuliah di Jakarta yang sibuk itu. Pemandangan di sana hanyalah jalanan hiruk-pikuk dan udara yang sangat menyesakkan, berbeda dengan di sini, di kampung halamannya yang masih asri dengan pepohonan yang menjulang tinggi ke langit.

Supri yang melihat Dimas sedang menikmati pemandangan dari atas sana menyapanya sambil melambai-lambaikan tangannya.

"Oi Dimas!" teriaknya.

"Supri? Sini Pri!"

Supri menghampirinya lalu naik ke tangga dimana Dimas berada.

"Kamu ngapain disini?"

"Tuh lihat gunung."

"Gunung kok dilihatin, dipanjat dong."

"Didaki kali, kalau dipanjat mah pohon namanya."

"Oh iya juga ya. Kalo boleh tahu kenapa ngelihatin gunung?"

"Yah buat ngilangin stress aja. Tugasku banyak banget."

"Tugas kuliah?"

"Iya."

"Aku jadi pingin kuliah juga." katanya sambil menopang dagunya.

Dimas hanya melihatnya sejenak, terlihat bahwa Supri ingin sekali kuliah seperti Dimas. Entah karena dia ingin sukses seperti temannya itu atau ingin bertemu dengan kakaknya untuk melepas rasa rindunya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro