Chap 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sore hari setelah sholat ashar, para anak-anak kecil berdatangan ke rumah mbah Haryo yang sederhana itu. Tempat mereka mengaji hanya di depan teras yang lumayan besar dengan dialasi oleh kain terpal yang membentang dari ujung ke ujung. Mbah Haryo dan Bu Karin yang sudah menunggu kehadiran para murid pun segera bersiap untuk mengajar, mulai dari membaca iqro, menulis huruf hijaiyah dan membaca surat-surat pendek beserta doa sehari-hari.

Namanya juga anak kecil tentu saja mereka selalu bermain-main saat belajar, ada yang bermain dengan temannya di sekitar rumah ada juga yang hanya bermain di tempat mereka mengaji tadi. Dimas dan Rangga yang sedang duduk sambil menunggu anak-anak mengaji pun mulai membicarakan tentang acara buka bersama yang diadakan oleh teman SMA nya itu.

"Jadi gimana, kita buka bareng di sini?" tanya Rangga.

"Iya. Si Ahmad sih setuju, yang lain belum pada jawab." kata Dimas.

"Ya kalau begitu bagaimana jika kita bilang ke mbah Haryo dulu? Biar gak kerepotan juga."

"Tapi ini kan belum pasti, takutnya gak jadi gimana?"

"Tenang Mas. Aku sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau mereka gak datang."

Dengan perasaan bimbang Dimas pun menyetujui pendapat Rangga, akhirnya mereka berdua pun menghampiri mbah Haryo yang sedang mengajari anak kecil yang sedang mengaji. "Permisi mbah, saya Dimas sama Rangga mau ngomong sama mbah, boleh?"

"Nanti ya, setelah ini selesai."

"Iya mbah."

Mbah Haryo mengajarinya hingga selesai. Setelahnya mereka berdua duduk di depan mbah Haryo, "Memang mau bicara apa?"

"Ini mbah, jadi teman-teman SMA kami ingin buka bersama di sini. Jadi boleh atau tidak mbah?"

Mbah tersenyum lalu menjawab sambil menganggukkan kepalanya pelan, "Tentu saja boleh. Kalau begitu biar mbah yang siapkan makanan ya."

"Biar saya bantu mbah."

"Terima kasih Rangga, kalau begitu tolong mbah siapkan alat memasaknya ya."

"Baik mbah."

Sementara mbah Haryo ke dapur, Rangga mengambil kayu bakar dan beberapa daun kelapa yang sudah tua kemudian ia masukkan semuanya ke dalam tungku hingga penuh. Tak lupa ia menyalakan api Untuk memasak, mbah membuat beberapa makanan dan minuman hangat sedangkan Rangga menyiapkan beberapa piring dan gelas untuk dibawa ke depan. Tak lama banyak mobil yang berdatangan dan terparkir di depan rumah mbah Haryo, satu persatu dari mereka turun dari sana sambil melihat-lihat sekeliling. Sambil agak berlari, Rangga menyambut mereka.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Eh sudah datang."

"Iya, oh iya. Kami juga ngajak guru, boleh kan?"

"Tentu saja boleh. Ayo semuanya duduk dulu sebentar lagi makanannya siap."

"Iya."

Semuanya duduk di tempat yang sudah beralaskan terpal lebar itu. Rangga kembali ke dapur untuk membantu mbah Haryo menyiapkan hidangan berbuka.

"Mbah, tamunya sudah banyak yang datang."

"Oh begitukah? Kalau begitu ini tolong dibawa ya makanan sama minumannya."

"Iya mbah."

Rangga mengambil beberapa hidangan tersebut dengan nampan yang cukup besar, dirinya berjalan menuju tempat para tamu dan meletakkannya di samping untuk kemudian dibagi-bagi ke para tamu yang hadir. Tak terasa adzan Maghrib dari arah masjid pun berkumandang. Semuanya sudah bersiap untuk berbuka puasa dengan dipimpin oleh mbah Haryo.

"Selamat berbuka semuanya. Silahkan dimakan." kata mbah Haryo.

"Alhamdulillah, terima kasih mbah." kata Ahmad sambil meminum air hangatnya.

Saat sedang asik berbuka dan berbincang bersama, seorang lelaki tinggi menghampiri mbah Haryo sambil menepuk punggungnya.

"Bapak." kata orang itu.

Rangga, Dimas, Yandi dan Supri menengok ke arah mbah Haryo yang sedang bersama orang asing itu.

"Bapak?" kata Yandi.

"Apa itu anaknya mbah Haryo ya?" tanya Supri.

Di tengah mereka berpikir, mbah Haryo pergi dengan orang tersebut. Meninggalkan sebuah tanda tanya besar pada diri mereka.

"Aku penasaran sama orang itu, apa coba kita ikutin aja ya?" kata Dimas.

"Sebaiknya jangan. Gak sopan kalau kita nguping pembicaraan mereka." kata Rangga.

"Tapi Ngga, aku penasaran." kata Supri.

Rangga hanya menggelengkan kepalanya sambil memasang wajah seriusnya, "Aku sudah menyarankan kalian agar tidak menguping, tapi kalau kalian memaksa ya silahkan saja. Toh, tidak ada urusannya denganku."

"Ya sudah, ayo teman-teman." kata Yandi yang kemudian disusul oleh yang lain.

Sementara itu mbah Haryo yang kini berada di bagian ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana bersama orang yang tadi memanggilnya bapak itu.

"Anakku Bagas, bagaimana pekerjaanmu di luar sana?"

"Alhamdulillah pak, lancar."

"Bagaimana kabar saudaramu yang lain. Apa mereka baik-baik saja?"

"Saya tidak tahu pak."

Raut wajah mbah Haryo mulai berubah menjadi sedih dan menitikan air mata, namun Bagas mulai mengelap air mata. Mbah Haryo terkejut melihat perlakuan sang anak yang tiba-tiba menjadi sangat perhatian padanya. Bagas hanya melihat wajah ayahnya yang sudah renta itu dan mulai memeluknya, tanpa sadar sang anak malah menangis dengan tersedu-sedu.

"Sudahlah Bagas, kenapa jadi kamu yang menangis."

"Bapak.... maafkan Bagas... Bagas sudah mengecewakan hati bapak..."

"Tidak Bagas, kamu tidak mengecewakan hati bapak kok."

"Bagas tidak bisa jadi anak yang baik untuk bapak.... Bagas memang dulu tidak peduli sama bapak.... Tapi...." katanya sambil mengelap air matanya dan tak bisa melanjutkan kata-katanya.

Mbah Haryo mengelus punggung anaknya dengan lembut sambil berkata, "Jangan menangis anakku, bapak senang kamu sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Bapak harap saudara-saudaramu yang lain juga merubah sifat buruknya itu."

Bagas hanya mengangguk sambil terus memeluk bapaknya itu, sementara Dimas dan temannya yang masih mengintip dari balik jendela belakang pun malah ikut-ikutan menangis saking terharunya.

"Syukurlah anak mbah Haryo sudah jadi orang yang lebih baik." kata Yandi.

"Iya. Lagipula kasihan mbah, sudah tua tapi anak-anaknya tak ada yang peduli. Baru kali ini aku melihat anak mbah berubah sifatnya." kata Supri.

"Kalau begitu ayo kita bereskan halaman depan. Sebentar lagi kita harus sholat maghrib kan?" kata Dimas.

"Iya."

Ketika ketiganya akan pergi dari acara mengintipnya kaki Yandi tanpa sengaja menyenggol kaleng cat kosong yang berada di bawah jendela menyebabkan mbah dan anaknya yang sedang berada di ruang tamu pun terkejut dan langsung berjalan keluar untuk memeriksanya.

"Kamu ngapain sih?" tanya Supri.

"Maaf aku gak sengaja." kata Yandi.

"Siapa di sana?"

Ketiganya terkejut saat mendengar suara sang empunya yang sudah berada di daun pintu, mereka hanya menoleh sambil ketakutan dan tak bisa berkata-kata.

"Kalian siapa dan apa yang kalian lakukan disini?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro