• Lost In Remember (Because You) •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Tema No. 4 – HILANG]

Lost in remember (Because you)
oleh ArZhoE

Pria itu menatap kopi panas yang digenggamnya sejak tadi. Udara di pergantian musim, membuatnya tak sabar untuk beranjak dari bangku taman itu. Syal warna marron yang melilit di lehernya, tak lagi mampu menghalau hawa dingin yang membuat tangan juga bibirnya seringkali kebas dan kaku. Itu adalah tanda awal kalau sebentar lagi akan turun salju.

Di Seoul, terkadang temperatur cuaca menurun drastis meski musim dingin belum benar-benar tiba.

"Hei, apa kau sendirian?"tanya seorang gadis berjaket bulu. Senyumnya seperti rubah betina yang membawa jebakan untuk menangkap seseorang.

Pria itu terkejut dan hampir menumpahkan kopinya. Rupanya sejak tadi ia tengah asyik melamunkan sesuatu hingga tak sadar ada seorang gadis yang berniat mendekatinya.

Tergagap bingung dengan kopi yang masih mengepul, pria itu buru-buru berdiri sambil melempar pandangannya ke arah lain.

Kemana dia? Biasanya di jam seperti sekarang, ia sudah datang, pria itu mengeluh dalam hati.

"Maaf, aku sedang menunggu seseorang,"timpalnya menggaruk rambutnya dari balik topi rajut warna coklat.

Mendengus kesal mendengar jawaban yang terdengar menolak, gadis itu berbalik pergi. Meninggalkan itu sambil menggumamkan sesuatu.

Waktu menunggu pria itu hampir selesai, jika gadis yang ditunggunya tidak juga datang, setahun lagi mungkin mereka baru bisa bertemu. Besok ia akan terbang ke pulau Jeju, menyelesaikan study alamnya bersama para petani kerang.

Semenit, setengah jam, kemudian akhirnya satu jam. Pria itu sudah tidak sabar. Kembali ia berdiri untuk merapikan ujung sweaternya yang kusut karena terlalu lama duduk.

Diliriknya kopi dingin dengan beberapa bekas minuman lain yang ia lempar ke dalam tempat sampah. Sudah cukup ia menunggu, mungkin tahun depan adalah waktu yang paling tepat untuk pertemuan mereka.

Sesaat kemudian, ia berjalan menuju pintu bus tujuan Gangnam yang berhenti di halte sudut taman itu.

Sregh!
Begitu pintu bus terbuka, pria itu terkejut saat melihat gadis yang ditunggunya ternyata ada di sana. Kemungkinan besar, pria itu salah menebak tempat tinggal atau sebuah kunjungan ke tempat lain membuat sang gadis tidak berjalan di jalur yang sama seperti biasanya.

Apapun itu, ia senang karena gadis yang tadi ditunggunya hampir dua jam, kini duduk tak seberapa jauh dari tempatnya berdiri.

"Min hoo? Itu kau kan?"
Sebuah suara lain mengusiknya. Pria itu--Min hoo, mendongak, mencari orang yang memanggil namanya.

"Baek hyun? Apa kabar? Sudah lama ya?"
Senyum Min hoo mendadak terbit, ia sedikit bergeser mundur untuk menepuk bahu Baek hyun yang duduk di dekat gadis incarannya.

Diam-diam gadis itu melirik, tapi tatapannya masih datar dan tidak peduli. Terlihat ia begitu tenang dengan musik yang mengalun dari earphone kecil di kanan kiri telinga.

Tenggelam dalam obrolannya dengan Baek hyun, membuat Min hoo terkejut saat mendapati gadis itu mendadak turun di halte lain.

Sedetik saja ia terlambat untuk melompat keluar, bajunya pasti terjepit di pintu bus dan tentu saja itu akan menjadi tertawaan banyak orang. Bahkan Baek hyun, mantan teman SMAnya, berteriak kaget saat Min hoo tiba-tiba berlari layaknya pencuri tanpa mengatakan apapun padanya. Lewat jendela mobil yang bergerak itulah Baek yun akhirnya mengerti apa yang sedang dikejar temannya hingga seperti orang gila.

"Hei, kau! Tunggu!"
Min hoo dengan lantang berseru, berlari menuju gadis itu.

Sosok semampai itu tak segera menoleh, ia berhenti, membelakangi Min hoo.

"Maaf, bisakah aku bicara denganmu sebentar?"tanya Min hoo menghirup udara dingin yang mulai menusuki jemarinya.

Hari mulai beranjak sore, minum beberapa botol soju ditemani sepiring kimchijjim, bisa membantu menaikkan suhu tubuh. Namun, meski menginginkannya, Min hoo sadar akan sangat tidak sopan mengajak gadis yang baru ia sapa minum soju bersama.

Perlahan, gadis itu akhirnya menoleh, menurunkan satu earphonenya ke bawah leher.

Tatapan yang begitu lurus dan datar, membingkai matanya yang seperti bulan sabit.

Min hoo tersenyum cerah, sekian tahun hanya berpapasan dan kadang duduk bersebelahan di bangku bus, hari ini ia akhirnya bisa bertatapan langsung--dan hatinya bergetar begitu hebat.

Ia ingin mendengar suara gadis itu.

"Kenalkan, aku Min hoo. Senang bisa menyapamu."
Tangan pria menjulang itu terulur, menyentuh sebutir salju yang turun untuk pertama kalinya di musim dingin.

Tak lantas menyambut, gadis itu mengintip sesuatu dari kelopak mata Min hoo, seperti mencari hal lain yang mungkin tidak terlihat.

Jika gadis lain selalu berusaha mendekatinya, untuk kali ini Min hoo harus rela mengabaikan itu semua. Ia lelah menunggu untuk disapa, hari ini ia telah menyerah akan perasaannya.

Tak kunjung merespon, yang terlihat selanjutnya adalah rona kemerahan yang menyemut di pipi gadis itu lalu sebuah tangisan--tanpa suara.

Sungai kecil membelah pipinya, bersamaan dengan salju yang perlahan turun satu-satu.

Min hoo terkejut dan seketika menarik tangannya mundur. Sebisa mungkin ia mencoba mencari tahu dimana letak kesalahannya. Tapi, itu bukanlah tatapan kebencian. Setiap gadis yang pernah ia patahkan, selalu memberinya pandangan seperti itu.

"Apa aku membuatmu takut? Bicaralah agar aku tahu dimana letak kesalahanku."

Gadis itu menggeleng kuat, menyeka air matanya buru-buru. Sejenak, matanya berlarian bingung.

"Sebentar lagi, salju pasti akan turun lebih lebat. Apa kau mau minum teh bersamaku?" Min hoo berkata sembari menunjuk sebuah kafe kecil di persimpangan jalan.

Tak lama, sebuah anggukan setuju, memancing kelegaan kecil pada diri Min hoo. Ia pikir, sebuah penolakanlah yang akan ia dengar.

Menyusuri trotoar dan berpapasan dengan belasan manusia yang juga sibuk mencari tempat berlindung, mereka akhirnya sampai dan cukup beruntung karena mendapatkan kursi terakhir.

Saat kopi datang, bersamaan dengan itu salju turun begitu lebat, menutupi wajah jalanan kecil di pinggiran kota Seoul.

"Aku belum tahu siapa namamu."Min hoo berkata sambil meniupi tehnya yang mengepul tebal.

Gadis itu menarik bibirnya ke sudut. Itu bukanlah senyuman, tapi mirip sesuatu yang dipaksakan.

"Bicaralah."

Masih diam dan menatap minumannya, gadis itu menampakkan kegelisahan dan tetap mengatupkan bibirnya.

"Han yora, itu namamu kan?"

Menatap tak percaya pada Min hoo, ia menyatukan alisnya seakan berpikir keras tentang ribuan kemungkinan.

Min hoo menghela nafasnya keras. Di tariknya sebuah lembaran kertas dari balik saku sweaternya.

Sketsa wajahnya. Itu, adalah milik Han yora yang pernah terjatuh dan tanpa sengaja di temukan olehnya.

"Kau melukisku? Sejak kapan kau melakukannya Han yora?" bisik Min hoo, menatap tajam pada gadis itu--Han yora.

Gugup, sebuah gelengan kuat melengkapi kernyitan sedih di wajah Han yora.

Rona kemerahan juga tangisan yang sempat ia perlihatkan, bagai memudar dan berganti menjadi binar ketakutan.

Lembaran itu adalah bukti bahwa ia memendam perasaannya pada Min hoo selama bertahun-tahun. Sikap acuhnya ternyata berbanding terbalik dengan apa yang terlihat.

"Bicaralah, Han yora. Karena aku selalu ingin mendengar suaramu."

Suara? Hati kecil Han yora berbisik, memandang wajah pria yang ia impikan setiap detik.

Lagi, air miliknya jatuh--tanpa suara.

"Han yora. Apa aku pernah menyakitimu? Aku..."

Potongan adegan di menit berikutnya, sangat mengejutkan.

Bukan bibir Han yora yang seharusnya bergerak untuk bicara. Namun, tangannya.

Bahasa isyarat? Jadi apa aku jatuh cinta pada gadis bisu?

Diluar, butiran es yang menghujani langit lambat laun mulai berhenti. Hanya tersisa angin kencang yang menerbangkan penggalan salju terakhir.

---1113.

Lima tahun silam, Seoul, musim semi.

Gadis itu--Han yora, menyusuri petak terakhir taman Samcheong, Heungchung-ro, distrik kecil yang berada tepat di utara kota Seoul.

Sendirian, ia terus berjalan sambil sesekali meraih helaian bunga Cherry Blossom yang di terbangkan oleh angin musim semi.

Sebuah kanvas berisi sketsa, easel mini dan sekotak pewarna terlihat ia tenteng tanpa menghiraukan lalu lalang semua orang.

Han yora hanya perlu meletakkan easelnya di sudut, melindungi tatapan setiap mata yang mungkin saja tertarik dengan apa yang sedang ia gambar.

Setiap reaksi, membuat hasil akhir yang tidak ia inginkan.

"Apa itu pacarmu?"

Belum lama Han yora duduk untuk memberi sentuhan akhir pada sketsanya, seorang anak kecil, tiba-tiba muncul, menganggetkannya dengan wajah belepotan es krim. Bola matanya, bersinar polos penuh kekaguman.

Han yora berkedip dan hampir menumpahkan cat warna merah dalam genggamannya. Menggeleng kikuk, ia tersenyum kecil,"Apa dia terlihat pantas untuk menjadi pacarku?"

"Tentu saja, kau cantik."

Pujian seorang anak kecil, tidak bisa dianggap sebuah omong kosong. Dan itu sukses membuat rona pada pipi Han yora menebal, seperti bayangan daun musim gugur dibawah sinar hangat musim semi. Menyala tipis dan tidak bisa disembunyikan.

Jatuh cinta?  Entahlah, sejak melihat pria itu, jarinya tak  ingin melukis apapun. Ia hanya ingin mengikuti kata hatinya sendiri.

Lima menit kemudian, setelah anak kecil itu pergi untuk menghampiri ibunya lagi, Han yora mengalihkan pandangan pada jam di pergelangan tangannya.

Datang, sebentar lagi, pria itu datang. Aku harus menyelesaikan lukisanku ini untuk menyampaikan perasaanku.

Mulai menyiapkan segalanya dengan baik, gadis itu menggoreskan sentuhan akhir pada lukisannya. Membuat sebuah sketsa kasar menjadi sesuatu yang terlihat hidup, seakan sebuah jiwa telah tertanam pada kanvas kecil itu.

Senyuman, tatapan dan butiran salju sebagai backgroundnya seolah ikut menggerakkan isi lukisan.

Min hoo? Apa kau tahu? Sudah lama aku memperhatikanmu dari jauh.

Tak mau larut dalam perasaannya sendiri,
Han yora buru-buru berdiri, membereskan sisa cat, kuas kotor dan menekan easel menjadi lebih kecil. Bus itu akan segera datang, tidak ada waktu lagi.

Menunggu di sebuah bangku sebelum menaiki tangga menuju halte bus, mungkin akan terlihat memalukan, tapi Han yora tidak punya pilihan lebih baik dari itu. Masa SMA akan segera berakhir, kuliah di tempat berbeda bisa saja jalan yang mereka lalui tidak sama.

Akhirnya, sepuluh menit kemudian, sosok pria yang di tunggunya muncul.

Rasa gugup langsung melandanya hingga Han yora merasakan jantung, tangan juga tengkuknya berdesir kemudian mendingin dalam waktu bersamaan.

Ia berdiri, menatap sosok Choi Min hoo, pria yang digilai puluhan gadis dari SMA Daeguk. Tinggi, pintar dan punya banyak uang. Segala yang ia punya membentuk karakter buruk.

Yang --mampu menghancurkan perasaan siapapun.

"Min hoo, bisakah kita bicara sebentar?"
Suara bergetar dari lidahnya, tak mampu membuat Min hoo berhenti. Pria itu terus melenggang pergi tanpa meliriknya sedikitpun.

Han yora tak tahu, di balik topi rajut yang tengah dipakai Min hoo, sebuah earphone tempel, menutupi telinganya.

Kesalahpahaman itu, ternyata berakibat fatal.

Masih berusaha mengikuti dari arah belakang, Han yora mencoba untuk bersabar, mungkin Min hoo hanya perlu pengakuan yang lebih keras--batin Han yora mengambil jarak yang tidak terlalu jauh di belakang.

Setelah turun di halte berikutnya. Aku akan menyapanya lagi. Han yora menghibur dirinya sendiri sambil menatap lukisan yang akan ia berikan.

Tapi, rencananya hanya tinggal kenangan pahit. Hari itu sebuah kejadian besar telah merubah hidupnya.

Bersama puluhan orang, Han yora terlibat kecelakaan besar.

Sebuah truk yang hilang kendali, melaju dengan kecepatan penuh, menerobos lampu merah dimana semua orang sedang menyeberang jalan.

Di saat terakhir itulah, Han yora secara reflek, mendorong Min hoo ke seberang jalan. Ia membiarkan dirinya sendiri menghantam batang spion dari truk itu. Tubuh kecilnya terpelanting jatuh, dengan kepala lebih dulu.

Sedang di seberang, Min hoo yang jatuh tersungkur,
menjerit kebingungan. Ia tidak tahu siapa yang telah menyelamatkan nyawanya. Yang ia lihat saat menoleh adalah pemandangan mengerikan.

Semua orang terkapar tak berdaya dengan darah dimana-mana. Di sudut lain, terlihat truk itu telah berhenti karena menghantam dua pohon Chery sekaligus. Asap kemudian keluar, menyelimuti kepanikan semua orang.

Min hoo mencengkeram bahunya sendiri, bibirnya bergetar hebat, menggambarkan perasaan luar biasa syok yang mengaliri sekujur sendi.

Di atas jalanan yang bau darah, Han yora berkedip. Dengan kesadaran separuh, ditatapnya bayangan Min hoo yang kemudian berangsur-angsur menghilang dari pandangan matanya.

Lukisan itu juga telah hancur bersama puluhan pecahan kaca yang berserakan. Tanpa menyisakan apapun.

Bersamaan dengan itu, Bunga Chery Blossom tiba-tiba berjatuhan, memberi warna lain diantara jeritan semua orang.

Menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, Han yora malah merasakan tenggorokannya yang sempat terhantam spion, remuk, terasa patah hingga akhirnya, gadis itu  sadar, ia mengalami pendarahan dalam.

Darah itu bahkan terus keluar, mengaliri mulutnya meski kesadarannya telah menghilang.

______

Kini, setelah lima tahun berlalu,  Han yora yang divonis mengalami kerusakan pita suara, dihadapkan pada seseorang yang tidak pernah ia ingin ingat.

Bertahun-tahun, gadis itu larut karena mengalami kecacatan permanen di usia muda.

Sempat depresi hingga tak lagi peduli dengan sosok cinta pertamanya, di akhir penantian yang tidak pernah bisa ia ucapkan lagi, perasaan itu kembali berkuasa.

Setahun belakangan ini, kebiasaannya melukis kembali datang dan yang lebih menyedihkan, penyebab utama dari semua itu adalah Choi Min hoo.

Pria yang sempat lenyap setelah kecelakaan tragis itu, suatu hari tiba-tiba muncul dengan setelan kantor di taman Samcheong, tempat terakhir mereka bertemu.

Entah lupa atau kenangan itu terlalu sederhana untuk diingat, yang pasti saat pandangan keduanya bertemu setelah sekian lama, tak ada reaksi apapun.

Sakit hati dan jelas terluka, tidak membuat Han yora merasakan kebencian.

Kerinduan yang mendera hati juga jantungnya, malah membuat air mata itu tidak lagi bisa dibendung. Hatinya tetap sama, berdesir hebat seakan tidak berubah.

Tapi, untuk mencoba mendekati Min hoo seperti dulu, ia sudah tidak punya nyali.

Tidak ada yang menyukai gadis cacat, meski--itu adalah hasil dari penyelamatan yang mulia.

Setiap hari, ia hanya duduk, melakukan kebiasaan lamanya. Menunggu pria itu untuk menghasilkan sebuah sketsa yang berbeda setiap harinya.

Entah itu sebuah takdir atau keadilan Tuhan, Min hoo kini justru berbalik untuk mendekatinya.

Wajah yang lebih dewasa dan pemikiran yang jauh lebih matang, membuat Han yora justru merasakan kepedihan.

Kenapa baru sekarang? Di saat aku tidak lagi punya apapun untuk kubanggakan? Min hoo? Bagaimana mungkin kau tertarik padaku hanya karena sebuah sketsa? Dulu, aku memberikanmu sebuah lukisan tapi tidak kau pedulikan.

"Bicaralah, aku ingin mendengar suaramu."

Kembali Min hoo mengatakan hal yang sama. Mengusik kenangan buruk Han yora.

Salju di luar kafe kecil itu, mungkin telah berhenti, tapi tidak dengan hati gadis itu.

Melawan rasa takut, Han yora mulai menggerakkan tangannya untuk menjawab, itu adalah hal pertama yang akhirnya membuat Min hoo sadar, gadis itu tak bisa bicara.

Han yora tak peduli, ia tidak akan menyesal meski Min hoo akan mematahkan harinya untuk kedua kali.

---1105.

Min hoo masih terpaku, menatap tajam pada mata bening gadis bisu itu.
Air mata Han yora yang seharusnya terasa asing, entah bagaimana mampu mengusik hatinya.

"Apa aku mengenalmu?"
Min hoo berbisik menggenggam ujung cangkir yang mulai dingin.
Sejak kecelakaan itu terjadi, ingatannya menumpul karena rasa traumatis.

Kembali tangan Han yora bergerak, menunjuk sketsa yang tergeletak diam di atas meja. Ia
lalu beralih lagi untuk menepuk dadanya.

Bahasa isyarat yang membingungkan, tapi Min hoo mengerti, Han yora sedang mengatakan hal lain. Itu bukanlah jawaban atas pertanyaannya.

Mendesah lambat dan membasahi tenggorokannya dengan teh hijau hangat, Min hoo mengambil sketsa itu. Terlihat kusut, kotor dan sedikit robek.

"Aku kembalikan padamu."

Kenapa? jadi apa maksud dari semua ini? Han yora menelan kelu salivanya yang mengering.

"Aku ingin sebuah lukisan. Yang lebih bagus, mendetail dan penuh warna. Seperti cahaya kehangatan yang tertangkap lensa kamera, aku ingin kau melukisku Han yora. Mari berbisnis."

Tersendat tak percaya, buru-buru Han yora meneguk seluruh isi cangkirnya. Jadi? Itukah maksud awal Min hoo menemuinya? Haruskah ia kecewa? Mengharapkan sebuah permata sekian tahun, yang ia dapatkan hanya serpihan perak imitasi.

Tak lagi mau terlihat lemah, Han yora mengangguk, menyilangkan dua tangannya ke depan wajah. Ia harus kuat, dengan begitu pengorbanannya tidak akan berakhir menyedihkan.

"Kau setuju kan? Jadi aku bisa menunda kepergianku ke pulau Jeju."

Senyuman kecil di kedua sudut bibir Han yora, mengisyaratkan ketidaksinkronan dengan isi hatinya.

Tatapan Min hoo perlahan meredup, mengisyaratkan hal berbeda dengan ucapan pertamanya.

Sungguh? Apakah benar hanya demi menawarkan sebuah bisnis sederhana, Min hoo rela menunggu sekian jam?

Jawabannya ada dalam senyuman yang sengaja ia sembunyikan begitu Han yora berakhir pergi setelah meninggalkan nomor ponselnya di coretan tissu.

Han yora, berikan aku sedikit waktu untuk memahami perasaanku sendiri. Ingatanku memang telah melemah sejak hari itu, tapi setelah lima tahun berlalu, aku seperti merasa ajaib begitu menatap sinar di matamu.

Han yora berjalan menjauh, mengambil sketsanya sambil menggerutu dalam gerakan bibir. Tak lama, gadis bermata bulan sabit itu berhenti di sudut pintu masuk. Tepat di depan tempat sampah besar.

Emosinya terlihat terkumpul di jemari, tempat di mana sketsa itu berakhir menjadi sebuah remasan tanpa bentuk.

Min hoo tanpa sengaja memergoki Han yora, saat gadis itu membuang sketsa miliknya begitu saja.

Berusaha tidak terpengaruh, nyatanya perasaan Min hoo kini ikut hancur. 

Jika salju di luar adalah pucuk dari bunga Cherry Blossom, apakah ingatan Min hoo akan membawanya pada kenyataan pahit? Entahlah. Ini adalah musim dingin.

Bayangan Han yora yang lambat laun menjauh, kini telah berbaur dengan lalu lalang orang di jalanan.

Min hoo tertunduk, menertawai dirinya sendiri. Jatuh cinta? Mustahil!

Di tatapnya bayangan gadis itu. Sosok kecil yang tengah menembus butiran es itu kini sudah benar-benar tidak terlihat.

Han Yora? Apa kau akan berbalik dan menghampiriku besok?

----

Tidak--- saat keesokan harinya, Min hoo menunggu di taman Samcheong, Han yora belum juga muncul meski dua jam sudah terbuang percuma.

Min hoo menatap kesal pada  dua cangkir aluminium foil yang berisi teh. Sudah terlampau dingin dan jika didiamkan hingga tengah malam, pasti minuman itu akan membeku.

Selama hidupnya, baru kali ini ada seorang gadis yang berani mempermainkan perasaannya.

"Min hoo? Apa itu kau?"

Entah darimana datangnya, tahu-tahu Baek hyun muncul. Ia tiba-tiba berhenti tepat di depan bangku Min hoo. Terkejut dan tak percaya, Baek hyun duduk, meletakkan beberapa botol soju di tengah-tengah mereka.

"Kau tinggal di sekitar sini?"tanya Min hoo melirik jamnya--sedikit tidak peduli.

Bukannya menyahut, Baek hyun malah terusik dengan gaya berpakaian temannya,"Kau sedang kencan?"

Min hoo mengernyit bingung.
"Kenapa? Kau mau memberiku tambahan uang saku?" selorohnya menirukan kebiasaan Baek hyun yang suka pinjam uang saat SMA.

Dulu, bagi Baek Hyun, itu adalah konsekuensi. Ia punya banyak pacar yang memaksanya berhutang sana-sini.

"Kau tidak mengencani Han yora kan?"

"Apa?" Min hoo terkejut mendengarnya,"kau mengenal gadis itu?"

Baek hyun mengangguk ragu,"Dia tetanggaku, tapi kau tidak berkencan dengannya kan? Karena  kulihat kemarin kau mengejarnya seperti orang gila,"ucap Baek hyun melempar ingatannya pada kejadian di hari itu. Seisi bus bahkan menertawai Min hoo yang terlihat sangat payah.

Kembali menatap jamnya, Min hoo menghela nafasnya kecewa,"Tidak jadi. Dia sudah terlambat hampir satu jam."

"Jadi--apa itu artinya kau mengencaninya?"

Menangkap hal tak beres, Min hoo mengeryit bingung,"Apa masalahmu? Dia pacarmu?"

Baek hyun tidak segera menyahut, pandangannya  teralih pada jemarinya yang diselimuti sarung tangan rajut,"Apa benar, kau tidak ingat? Kudengar setelah kecelakaan itu, ingatanmu sedikit bermasalah."

Min hoo menoleh, mencari hal lain yang tengah disembunyikan oleh Baek hyun. Pria itu terlihat gugup, seakan kebingungan ingin mengatakannya atau tidak.

Membuang wajahnya ke tepian jalan di mana kecelakaan itu pernah terjadi, Baek hyun menghela nafasnya keras.
"Aku ada di sana saat itu. Han yora adalah salah satu dari sekian orang yang mengalami kecelakaan. Pita suaranya rusak dan ia sempat mengalami kelumpuhan selama beberapa bulan."

Sinar kosong seketika membias di mata Min hoo. Bibirnya terkatup, ingin bergerak untuk mengatakan sesuatu, tapi tertahan di tenggorokan.

Ia terlalu terkejut hingga hanya jantungnya lah yang mampu bergerak.

"Entah kau mengingatnya atau tidak. Tapi aku mengenalmu. Min hoo? Kau sebenarnya saat itu tahu kan? Han yora adalah orang yang menyelamatkanmu dari kecelakaan itu? Kau --membohongi dirimu sendiri karena perasaan bersalah."

Bibir Min hoo kini bergetar hebat, menampakkan rasa syok yang kemudian menjadi butiran air mata kepedihan.

Di saat pria itu berusaha menatap hal lain di taman Samcheong, ingatannya seketika terlempar ke peristiwa lima tahun silam.

Helaian Chery Blossom, teriakan, bau darah juga tubuhnya yang sakit. Seperti film dokumenter hitam putih.

Ia melihat dirinya sendiri terduduk dengan lutut gemetar. Menatap tak berdaya saat seluruh kekacauan juga asap pekat dari truk, memenuhi jalanan. Semua tetap sama dengan apa yang selama ini ia ingat.

Tapi, sesuatu dari seluruh ingatan itu tiba-tiba muncul. Hal yang selama ini tanpa sadar ia hapus dari ingatan.

Ia melihat dirinya, tiba-tiba berlari ke tengah jalan, menghampiri Han yora yang tergeletak dengan mulut dipenuhi darah. Min hoo
berteriak histeris pada petugas ambulans yang baru saja datang.

"Ahjungssi, dia masih hidup. Gadis ini menyelamatkanku! Bawa dia lebih dulu, aku mohon, Ahjungsi! Aku mohon!"

Teriakan di masalalunya tiba-tiba membuat telinga Min hoo berdengung hebat. Kepalanya seketika sakit, serasa ditusuk ribuan jarum dalam satu waktu.

Baek hyun terkejut, menahan tubuh temannya yang kemudian ambruk, menimpa sandaran bangku.

Di alam bawah sadarnya, terdengar suara Min hoo,"Han yora? Apa kau sedang menghukumku? Lima tahun aku berusaha melupakanmu karena rasa egois, kini kau datang dengan kenangan yang lebih kuat, lebih dalam dan lebih menyakitkan. Cinta ataupun rasa bersalah, aku tak lagi peduli. Karena... Aku ingin menebusnya dengan seluruh cinta yang aku miliki..."

Tak berapa lama setelah itu, butiran salju mewarnai langit Seoul. Awan gelap yang mulai merapat, memunculkan sisi lain dari seorang Choi Min hoo.

____1111.

Han yora duduk di tepian bangku rumah sakit dengan Baek hyun di sisi lain.

Gadis bermata bulan sabit itu membisu, membuang pikiran buruknya bersama suara badai kecil di luar jendela.

"Apa yang kau harapkan?"tanya Baek hyun, meneliti wajah kemerahan Han yora. Di sapunya butiran salju yang terselip di ujung syal merah milik gadis itu.

Han yora menoleh, menunduk dan terlihat bingung.

Ia juga tidak habis pikir kenapa nekad keluar hanya karena Baek hyun mengabarinya tentang keadaan Min hoo. Selain itu bukan urusannya, hatinya pun sudah menolak.

Membuat beberapa gerakan untuk mengungkap isi pikirannya, di akhir, Han yora terlihat sedikit membungkukkan punggungnya, seperti mengucapkan terimakasih.

Baek hyun menghela nafasnya, sejak kecil mengenal Han yora, bukan berarti ia bisa selalu menebak jalan pikiran teman masa kecilnya itu.

"Aku akan pulang sebentar lagi, apa kau mau tetap di sini?"tanya Baek hyun perlahan beranjak dari duduknya.

Han yora mengangguk, menatap cemas pada kamar rawat Min hoo. Pria itu sudah sadar dari rasa syoknya, tapi belum mau bicara.

"Kalau kau ingin menemuinya, temui saja. Dapatkan jawaban dari pertanyaanmu lima tahun silam. Aku yakin, Min hoo sudah siap mengatakan sebuah kejujuran,"Baek hyun menepuk bahu Han yora,"aku mengenal kalian berdua. Hari dimana kau berdiri dan menatapnya tanpa bicara, saat itulah aku menyadari perasaanmu."

Gadis itu membuang wajahnya, sepintas, kenangan memalukan itu muncul, mengais ingatannya yang tak sedikitpun memudar.

Itu adalah saat Han yora bertemu Min hoo untuk pertama kalinya. Di sebuah halte pinggiran kota Seoul, selepas upacara kelulusan SMP.

Waktu itu, Han yora yang berusia 15 tahun, mengejutkan semua orang dengan berlari keluar dari tempat persembunyian.

Dengan segenggam tepung di tangan, ia mengejar Baek hyun yang kemudian berteriak terkejut saat tahu apa arti di balik serangan itu.

Sekian lama menghindar, Han yora akhirnya menemukannya.

Baek hyun benci hari ulang tahun karena jika waktu itu datang, teman masa kecilnya itu akan membuat harinya berantakan penuh kotoran.

Seluruh teman Baek hyun yang baru saja muncul dari arah lain, ikut panik dan mengira Han yora adalah gadis gila.

Apalagi, tak lama kemudian sebungkus besar tepung warna merah ditarik dari dalam tasnya.
"Han yora! Berhenti kubilang! Aku akan memberikan uang sakuku selama seminggu!"teriak Baek hyun berlari histeris menghindari kejaran gesit Han yora. Gadis itu terkekeh nyaring,"Tidak mau!"

"Kalau begitu dua minggu!" pekik Baek hyun berhenti tepat diantara bangku taman yang memisahkan mereka.

"Tidak! berhenti menyuapku!"tawa gadis itu mulai mengepalkan isi tangannya lagi. Terlihat, ia sungguh menikmati ketakutan di wajah Baek hyun.

Bught!
Saat kumpulan tepung itu kembali terlempar, Han yora sudah menyiapkan sebuah senyum kemenangan, tapi apa yang di tunggunya, tidak pernah terjadi.

Yang datang, malah sebuah kesialan.

Tepung penuh pewarna itu---sukses mendarat di wajah orang lain yang berjalan bertepatan ketika Baek hyun berlari kearahnya.

Suasana heboh langsung berganti sunyi.

Han yora menjerit, mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menepuki seragam pria itu.

"Maaf, maafkan aku."

Tapi terlambat, Baek hyun yang semula ingin mencegah Han yora agar tidak mendekat, terlanjur di dorong ke belakang. Dengan kasar dan sedikit frontal.

"Pergi!"teriak pria itu marah. Seluruh wajahnya terlalu penuh dengan pewarna hingga hanya mata juga bibirnya yang terlihat.

Seperti patung porselen yang dipenuhi debu.

Han yora terkejut, ia tidak pernah menyangka ada pria yang berani berbuat kasar pada wanita di depan umum.

Itu, Choi Min hoo, umurnya juga baru menginjak 15 tahun saat setiap peristiwa membuatnya sadar , hampir semua gadis mulai menginginkannya.

"Min hoo, apa kau tidak bisa berbuat yang lebih baik dari ini?"Baek hyun menarik tangan Han yora agar gadis itu bisa bangkit dari atas tanah. Bukannya menanggapi serius, pria itu malah menggumamkan sesuatu yang kasar.

"Aku tidak suka berdebat, Baek hyun. Dia yang salah. Apa aku harus mengalah karena dia seorang wanita?"ucapnya menunjuk Han yora yang masih terdiam menatapnya.

Baek hyun menggeleng,"Kalau begitu, jangan mengatakan apapun lagi. Maafkan dia."

Sejenak terdiam sambil berlalu, Min hoo berkata kesal,"Aku sudah memaafkannya, sebelum kau minta."

Membelah kerumunan anak SMP dari sekolahnya, Min hoo pergi sambil berteriak kalau gara-gara ulang tahun Baek hyun, ia yang juga lahir di tanggal yang sama ikut kena sial.

Bayangan punggung pria kasar itu, ternyata menyisakan sesuatu di hati Han yora.

"Kau  tidak apa-apa?"
Bisikan Baek hyun saat mendudukkan Han yora di atas bangku taman, membuat gadis itu terbangun dari lamunannya.

"Tidak--tapi, apa benar itu Choi Min hoo yang sering dibicarakan oleh banyak gadis akhir-akhir ini?"

Binar bening dari mata Han yora, berhasil memaku pertahanan Baek hyun.

Ya, semua gadis bisa dipastikan tertarik pada Min hoo --kecuali jika wajahnya bersih dan tidak dipenuhi tepung seperti tadi. Ini adalah kali pertamanya mereka bertemu, sungguh konyol bagi  Baek hyun jika Han yora langsung jatuh cinta itupun di saat Min hoo malah mengasarinya.

Namun, tidak untuk Han yora. Walaupun peristiwa itu, telah lama pergi, masih banyak yang membekas di ingatannya hingga sekarang.

Itu hanyalah secuil kenangan dimana Baek hyun ikut mengingatnya. Namun, bongkahan besar cuplikan masa lalu, hanya dia dan Min hoo lah yang seharusnya tahu.

Sepuluh menit selepas kepergian Baek hyun, Han yora berdiri, mengintip kecil dari celah pintu ruang perawatan Min hoo.

Pria itu masih terpejam dan tidak bergerak sama sekali dari tempatnya.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan dari punggung tangannya, ternyata tidak mampu mengusik tidur pria itu.

Menatap ragu, hati-hati Han yora melangkah masuk.

Tak ada apapun di meja pasien. Hanya sebotol air mineral yang mungkin ditinggalkan Baek hyun.

"Kau datang?"

Suara parau Min hoo yang tiba-tiba memecah keheningan,
hampir membuat Han yora menumpahkan sekotak jus yang baru saja ia ambil dari tasnya.

Benar, pria itu telah terjaga. Kini bibirnya terlipat, mengamati gerakan tangan Han yora.

Seperti menemukan magnetnya, begitu mata mereka bertemu, darah gadis itu berdesir lalu seketika menguat, mengingatkan kepingan kecil di masa lalu mereka.

Uap rasa sesal, berangsur hilang---berganti kelegaan.

Ia tahu, Min hoo tidak bisa memahami bahasanya dan Han yora benci hal itu.

Apa aku harus mengutuk takdirku? Sedangkan apa yang telah terjadi, telah membuatnya melihatku. Batin Han yora merasa bisa memanfaatkan keadaan.

"Aku memutuskan--untuk menebus semua kesalahanku, kau bisa meminta apapun padaku. Aku akan memenuhinya, tapi hanya dalam waktu seminggu. Katakan, apa yang kau inginkan, Han yora?"

Menatap tajam mata gadis itu, Min hoo tenggelam dalam kebiasaan lamanya yang kasar dan tidak suka berhutang budi.

Ia tidak membenci gadis itu. Selain kecantikannya juga bakat melukisnya yang mengagumkan, sungguh Han yora terlahir tanpa cela.

Min hoo tidak suka dijadikan alasan untuk kecacatan seseorang.

Jadilah asistenku selama satu minggu. Ada tiga proyek lukisan di Busan.

Menulis rapi di sebuah kertas,  Han yora mengangkatnya tepat di wajah Min hoo.

Asisten? Kupikir ia akan memintaku untuk menjadi pacarnya!

Pandangan keduanya bertemu, sama-sama terdiam, lalu senyuman kecil terbit di antara keduanya.

Baiklah. Ayo, kita buktikan. Kau atau aku yang akan pergi lebih dulu. Batin Min hoo, menatap suasana di luar kaca jendela.

Mulutnya, mungkin dilapisi banyak duri, tapi hatinya mengatakan lain.

Min hoo, berjanji untuk melakukan banyak hal hingga Han yora tahu---ia tidak pernah sengaja untuk menghilangkan memorynya.

---1089.

—°●°●°●°—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro