• Album Masa Depan •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Tema No. 19 - ALBUM]

ALBUM MASA DEPAN
by: HalfBloodElf


"Pondok Ramalan?" Jimmy menaikkan kedua alisnya tidak percaya ketika mendengar jawaban dari Dennis tentang tujuan mereka selanjutnya. "Maksudmu, setelah kita berputar-putar di udara, dilempar ke sana kemari, isi perut dikocok, dan menakuti diri sendiri, setelah itu mencoba mencari tahu masa depan kita di pondok konyol?"

"Cih," cemooh Henry sambil memandang Jimmy dengan tatapan merendahkan. "Kalau kau tidak mau, pergi saja sana. Memang tidak pernah ada yang mengajakmu sejak awal."

Memang benar. Geng Henry tidak pernah mengikutsertakan Jimmy lagi dalam setiap kegiatannyaentah itu baik maupun burukmungkin sudah sejak beberapa bulan yang lalu, ketika mereka naik kelas sembilan dan Jimmy sempat terlambat masuk seminggu karena mengalami kecelakaan. Hanya Dennis, satu-satunya temannya yang paling baik dan masih memperhatikan Jimmy sampai sekarang, dan diam-diam mengajaknya keluar bersama gengnya setiap ada kesempatan.

Jimmy tahu Henry sengaja menyisihkannya, tapi ia tidak mengerti apa sebabnya. Ia pernah menanyakan alasannya pada Dennis, tapi cowok yang paling pendek dalam kelompoknya itu tidak bisa memberi jawaban yang jelas. Oleh karena itulah, biarpun harus menelan harga dirinya sendiri, dengan bantuan bocoran informasi dari Dennis, Jimmy tetap muncul tanpa diundang kapan pun geng Henry keluar bersama.

Dia ingin tahu kenapa semua teman dekatnya, geng yang paling kompak sejak mereka kelas tujuh, mendadak menjauhinya.

"Jimmy akan ke Pondok Ramalan bersama kita, iya kan?" Dennis melirik Jimmy dengan gelisah, setengah membujuk.

"Yeah, ke mana pun kalian pergi," jawab Jimmy, berusaha tidak terdengar malas.

"Mungkin kau perlu berhenti menempel pada kami seperti parasit," cetus Anna tanpa memandangnya.

"Parasit?" ulang Jimmy, agak sakit hati. "Jadi itu yang Ucapannya terhenti ketika seseorang mencengkram lengannya. Jimmy menoleh untuk menatap Giselle, gadis paling manis dalam geng mereka, yang sudah ditaksirnya entah sejak kapan. Kedua mata cokelat Giselle melotot, memberi peringatan pada Jimmy untuk segera diam, tapi anehnya tetap terasa menyenangkan, dan Jimmy menyukainya. Jimmy tidak sadar kalau Henry meliriknya tajam sekilas sebelum melangkah lebih cepat, seolah ingin memperjauh jarak mereka.

Henry, Dennis, Anna, Giselle, dan Jimmy. Seharusnya mereka adalah geng yang solid. Tapi kenapa sejak kelas sembilan semuanya berubah?

"Halo, Anak-anak Muda," sapa seorang wanita tua yang duduk di belakang meja rendah bertaplak beludru merah. Ia menyeringai dengan gigi-gigi kekuningan yang mulai rusak. "Selamat datang di Pondok Ramalan."

Wanita itu berambut abu-abu muda, nyaris putih, dan terlihat kusut seolah tidak pernah disisir sejak lahir. Bintik-bintik gelap menghiasi wajahnya yang keriput, sebagian tampak timbul secara mengerikan. Ditambah jubah polos hitam panjang, walau tanpa topi kerucut, mustahil Jimmy tidak menghubungkan sosok wanita itu dengan nenek sihir.

"Apa yang kalian cari di sini?" tanya si Nenek Sihir.

"Ramalan?" cetus Jimmy tanpa sengaja, yang langsung membuat Anna mendeliknya seolah dia telah bersikap tidak sopan.

"Aku ingin diramal," kata Anna sambil duduk di hadapan Nenek Sihir. Ia menyibakkan rambut panjangnya dengan semangat sebelum bercerocos, "Bagaimana rupaku ketika dewasa nanti? Apa aku akan terkenal seperti Anna Kendrick? Apa aku akan menikah dengan CEO tampan? Apakah diam-diam Willy menaksirku sekarang? Maksudku, dia sering mengirim SMS setiap malam."

"Di sini aneh," gumam Giselle.

"Setuju," timpal Jimmy, walaupun sebenarnya jika Giselle bilang tempat ini menyenangkan pun ia juga akan menyetujuinya.

"Mengetahui masa depan itu menarik," kata Dennis sambil tersenyum antusias ketika si Nenek Sihir mulai mengatakan kalau Anna akan menikah di usia 30 karena dia terlalu pemilih hingga cewek itu terkesiap.

"Aku ingin meramal kematianmu," dengus Henry pada Jimmy. Setahun yang lalu, ia akan mengira kalau Henry bercanda dan meninju lengannya, tapi kali ini dia tahu kalau kepala gengnya sedang serius.

Menggertakkan giginya karena merasa tidak mampu melawan, Jimmy membuang mukanya dan berpura-pura terlalu tertarik pada ornamen di dinding kanvas, hingga akhirnya ada sesuatu yang benar-benar menarik perhatiannya.

"Apa ini?" tanya Jimmy sambil mengambil salah satu buku yang dipajang di tingkat teratas rak berisi benda-benda aneh---berbagai ukuran kristal, botol penuh cairan berwarna-warni, pecahan piring, toples berisi organ entah apa yang diawetkan, dan campuran semuanya berbau tidak enak.

"Jangan dibuka!" seru si Nenek Sihir. Dennis yang baru saja mendapat giliran diramal berikutnya ikut tersentak kaget.

Jimmy kembali memandang buku bersampul hitam di tangannya. Buku itu seberat kamus besar, tapi tidak setebal itu. Mungkin bahan sampul kulitnya yang sedikit berdebu lah penyumbang massa terbesar. "Yeah, aku hanya mengambilnya dan tidak terjadi apa pun. Jadi apa ini?"

Semua orang menatap Jimmy sekarang, dan berbagai ekspresi yang dia terima tidak bagus. Si Nenek Sihir menyipit padanya bagai singa yang siap menerkam seandainya Jimmy mengintip sedikit saja buku itu, Henry dan Anna tidak usah ditanya lagi---tentu saja tatapan kebencian yang merendahkan---bahkan Dennis menatap cemas padanya sekarang. Hanya Giselle yang berwajah datar. Tapi akhir-akhir ini gadis itu memang jarang menunjukkan ekspresi.

"Itu Album Masa Depan," kata si Nenek Sihir pelan, seakan takut suaranya mengguncang seisi tenda. "Kau tidak boleh sembarang membukanya, Nak."

Untuk pertama kalinya, Jimmy mulai tertarik. Bahkan semua orang di tenda juga mulai mengendurkan ekspresi mereka dan ikut tertarik seperti Jimmy. "Buku yang tidak bisa dibuka sembarangan," gumam Jimmy.

"Album," ralat si Nenek Sihir.

"Yeah, album," kata Jimmy. "Bagaimana cara kerjanya?"

"Kau hanya perlu mengukir namamu di sampul. Hanya si pemilik album yang boleh melihat isinya, atau masa depannya akan hancur berantakan."

"Kau pemiliknya?" Jimmy mengangkat sebelah alisnya.

"Album itu belum ada pemilik."

"Boleh aku jadi pemiliknya?" tanya Jimmy lagi.

Si Nenek Sihir mulai menyunggingkan senyuman tipis. "Tentu saja bisa. Benda itu dijual, Nak."

Bahu Jimmy mulai merosot. Dia tidak bisa tertarik pada apa pun yang berbayar.

"Aku mau," cetus Dennis.

Henry, yang paling kaya di antara mereka, mulai mengeluarkan dompet. "Berapa pun untuk album itu. Juga untuk teman-temanku."

"Nak." Nenek itu tertawa kecil dengan suara yang semakin mirip nenek sihir. "Album itu harganya dua ratus dollar."

Henry meletakkan enam lembar seratus dolar di atas meja rendah. "Nek," balasnya. "Aku punya uang. Aku membayari semua temanku kecuali Jimmy."

Buku jari Jimmy terkepal, ia menghentakkan kakinya ke luar tenda dengan marah. Henry benar-benar membencinya, dan Jimmy bahkan tidak tahu kenapa.

Jimmy sudah berjalan mengitari taman bermain berkali-kali karena tersesat, dan ketika ia sudah menemukan pintu keluar dari kejauhan, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya.

"Jimmy!" Dennis menghampiri Jimmy sambil terengah. Di pelukannya terdapat dua buah album bersampul hitam.

"Apa?" tanya Jimmy ketus, kemudian menyesal karena sadar kalau tidak seharusnya dia menyalahkan Dennis.

"Aku menyesal dengan apa yang terjadi tadi," kata Dennis. "Aku tahu kau tidak bawa uang, jadi aku membeli satu untukmu." Dia menyerahkan salah satu album kepada Jimmy.

"Kau yang membayarinya?" tanya Jimmy tidak percaya. "Ini mahal."

Dennis mengangguk. "Aku punya tabungan."

"Apa kau bermaksud mengatakan kalau kau membawa celengan bebek plastikmu ke mana-mana?"

Akhirnya Dennis menunduk malu. "Aku meminjam uang Henry."

"Kembalikan," kata Jimmy, amarah kembali menguasai dirinya. "Aku tidak butuh album konyol itu."

"Jim," panggil Dennis ragu-ragu. "Jika aku mengembalikannya, aku tetap harus membayar Henry nanti."

Jimmy melirik Dennis dengan perasaan bersalah. "Baiklah," katanya sambil mengambil salah satu album yang belum diberi nama dari tangan Dennis. "Aku janji akan membayarmu juga."

Dennis tersenyum senang. "Ingat ukir namamu dengan benda tajam di halaman sampul."

***

Malam harinya, Jimmy melakukan apa yang dikatakan Dennis. Dia mengambil gunting, menulis namanya di sudut sampul menggunakan ujung tajam gunting dengan ukiran kecil agar tulisannya yang jelek tidak terlalu mencolok.

Jimmy membuka sampul album dengan dada berdebar kencang. Dennis bilang halaman pertama akan menunjukkan wajahnya ketika dewasa nanti. Halaman kedua menunjukkan karir dan kesuksesannya, kemudian selanjutnya pasangan hidup, dan seterusnya.

Halaman pertama album tersebut kosong.

Mengerjap mata tidak percaya, Jimmy melanjutkan membalikkan halaman-halaman album berikutnya. Kosong. Tidak ada apa pun selain halaman putih bersih dengan tulisan antik kecil di sudut atas seperti 'Dewasa', 'Menikah', 'Pekerjaan', dan lain-lain.

Semuanya kosong.

Sial, mereka semua telah ditipu Nenek Sihir.

Jimmy menelepon Dennis sesudahnya dengan napas memburu. Ia bertaruh kalau sekarang cowok itu juga sedang mengutuk ketololan mereka dan meratapi uang yang telah mereka habiskan---tunggu, hanya Henry yang mengeluarkan uang. Uang yang Dennis keluarkan untuknya tetap ditanggung Jimmy.

Sialan!

"Kita ditipu, Den," kata Jimmy tanpa basa-basi setelah Dennis mengangkat telepon. "Si Nenek Sihir menipu uang kita. Besok kita harus ke pondok sialan itu dan meminta ganti rugi. Mungkin menelepon polisi."

"Bicara apa kau, Jim?" tanya Dennis bingung. "Maksudmu soal Album Masa Depan?"

"Album tolol biasa," dengus Jimmy. "Yang dibeli mahal oleh sekelompok orang tolol."

"Kau yakin, Jim?" Suara Dennis terdengar ragu. "Maksudku, aku baru saja membuka albumku---tunggu, aku tidak yakin apakah kita boleh menceritakan isinya, tapi pokoknya aku melihat sesuatu pada masa depanku. Dan itu membuatku cemas. Jim, bisakah masa depan berubah?"

"Maksudmu, album itu benar-benar bekerja padamu? Kau tidak bercanda?" tanya Jimmy tidak percaya.

"Yeah ... aku tahu, jika bukan sihir, entah apa lagi namanya. Tapi foto-foto itu terlihat sangat meyakinkan. Aku tidak bisa menyangkal wajahku versi dewasa."

Jimmy mengerutkan dahi, kembali membuka album miliknya sekali lagi. Isinya tetap kosong.

"Jim," panggil Dennis ketika Jimmy hanya terdiam.

"Ya?"

"Apa kau akan terus menjadi sahabatku?"

"Dennis, kau satu-satunya teman terbaik yang pernah kumiliki, bahkan ketika Henry menjadi sangat brengsek."

"Jadi kita akan bersahabat sampai tua? Saling mempercayai apa pun yang terjadi?"

"Oke, kau terdengar seperti orang yang melakukan kesalahan besar sekarang," kata Jimmy. "Ayo mengaku, apa yang sudah kaulakukan?"

"Aku serius," jawab Dennis muram.

"Bercanda," kekeh Jimmy. "Kau terlalu memikirkan albummu ya? Sudahlah, lupakan album konyol itu. Itu semua hanya tipuan."

"Kuharap begitu."

Hal yang membuat Jimmy heran, ternyata album masa depan itu tidak hanya bekerja pada Dennis. Keesokan paginya, Giselle menghampiri meja Jimmy dan membicarakan album tersebut.

"Aku tahu kau juga punya album. Jadi kedatanganku ke sini bukan untuk pamer," kata Giselle sambil duduk di depan meja Jimmy dengan tubuh menghadap belakang. "Jadi begini, semalam aku membuka albumku."

"Ada isinya?" tanya Jimmy.

"Tentu saja," jawab Giselle sambil mengerutkan dahi seolah pertanyaan Jimmy aneh. "Maksudku, ada foto. Foto-foto. Er, bermacam foto." Mendadak wajah pucatnya memerah. "Oke, sebaiknya kukatakan saja langsung."

"A-apa?" Jimmy menganga seperti orang bodoh, bukan hanya karena ucapan gadis itu yang aneh, tingkah gugup Giselle membuat jantungnya berdetak kencang.

"Aku melihat jodoh masa depanku di album," bisik Giselle. "Benar-benar luar biasa. Kau mau tahu?"

Wajah Jimmy seketika berubah menjadi datar. "Kau sedang bermaksud untuk menceritakan isi albummu pada orang lain?"

"Peramal itu hanya mengatakan kalau kita tidak boleh membiarkan orang lain melihat isi album itu, bukan berarti aku tidak boleh menceritakannya, bukan?" Giselle mengangkat bahu. "Ayolah, Jimmy, kau mau tahu tidak?"

"Ya," jawab Jimmy dengan suara tercekat, walaupun sebenarnya ia tidak ingin tahu. Bagaimana bisa ia menerima fakta masa depan Giselle ternyata bersama pria lain sementara albumnya sendiri kosong?

Giselle mendekatkan wajahnya yang cantik hingga tinggal beberapa senti dari wajah Jimmy. Cowok itu semakin gugup. "Aku melihatmu," bisiknya dengan nada rendah. "Kau adalah pasanganku, Jimmy."

-°●°●°●°-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro