#0

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #0 | 3993 words |

MIMPI BURUK itu dimulai dengan suara dengung, gemuruh, letusan senjata, langkah kaki yang tergesa, dan banyak teriakan di antara keheningan malam abadi.

Awalnya selalu sama bagi kami semua. Selalu di tempat gelap, di mana keempat indera menguat saat penglihatan dibutakan. Kecuali Erion yang matanya terus melihat.

Dari sana, Erion akan mulai berlari keluar dari kurungannya, berusaha menyusup di antara ratusan Sepatu Bot raksasa yang berusaha menyorotkan cahaya mematikan ke tubuhnya. Seorang anak Steeler menuntunnya keluar. Bongkah besi menyimpannya sampai Alatas dan Truck menjemputnya.

Dari sana, Truck akan berjalan gontai tanpa mampu mengendalikan kakinya, menjauhi tangisan dan teriakan adiknya; lalu berbalik dan berlari mati-matian, untuk mendapati bahwa bak mobil truk itu telah kosong. Malam itu merobeknya, membuat luka menganga besar di hatinya yang sudah mati separuh. Ratusan Agen Herde menyergapnya. Di penjara itulah dia bertemu Alatas.

Dari sana, Alatas akan menggali reruntuhan yang dilalap api hingga tangannya gosong, terlambat menyelamatkan adik kecilnya. Seluruh keluarganya menghilang di belakang punggungnya, tidak lagi mengingat eksistensinya. Namun, Alatas tidak terus-terusan terpuruk memeluk lutut. Dia berdiri, mengulurkan tangan. Dia menarik Truck, mengambil Erion, lalu mengeluarkanku.

Dari sana pula, aku akan meringkuk, berteriak, menangis, dan memohon. Aku menjeritkan kata maaf untuk ayahku yang tidak akan lagi mendengarnya. Badanku menekuk, tanganku menggedor, kakiku menendang dengan sia-sia di bawah impitan. Histeria di mana-mana. Hidungku tidak memiliki udara untuk dikais. Di bawah tanah, tanpa cahaya atau pun ruang untuk sekadar mengangkat badan, aku telah berada di dalam kuburanku sendiri, bahkan di saat aku belum mati. Pikiranku memekik: Ibu, Ayah, maafkan aku!

Aku akan terbangun lebih dulu setiap malam, menyibak selimut dengan panik seolah kain itu adalah dinding beton yang mencoba menggencetku. Aku akan melirik jendela, memastikan tidak ada sepasang mata yang mengintai dari kegelapan. Aku akan memasang telinga, meyakinkan diri sendiri bahwa letusan senjata dan hening malam tidak akan lagi menyakiti kami semua.

Aku keluar dari kamarku dan menghampiri kamar mereka, di lantai atas—kamar sementara yang awalnya ibuku siapkan jika aku pulang bersama Ayah, tetapi kini kamar itu harus kosong karena salah satu dari kami takkan pulang.

Aku menghampiri Erion lebih dulu, yang seluruh tubuhnya mengejang di bawah selimut, banjir keringat, tidak berdaya bahkan untuk sekadar menjerit.

Setelah membangunkan Erion dan menenangkannya, biasanya Truck akan terbangun sendiri, terguling jatuh dari atas dipan, lalu debumnya membangunkan Alatas.

Alatas paling mudah terbangun di antara kami. Baru seminggu belakangan ini saja dia dapat benar-benar tertidur meski sudah satu bulan lebih menjalani terapi. Namun, menurut Sir Ted, kondisi Alatas yang lebih mudah menerima terapi barangkali disebabkan oleh waktu yang dihabiskannya di dalam Limbo.

"Bukan berarti itu hal yang bagus," tampik Sir Ted, "harus dijalankan pemeriksaan lebih mendalam sampai kita tahu tidak ada kerusakan fatal pada jaringan otaknya, atau apakah ada perubahan lagi dalam gen RPPN-nya."

Biasanya, saat terbangun tengah malam, kami akan terjaga dan berbicara melantur untuk menenangkan saraf satu sama lain sampai senyap menelan. Erion akan pulas lagi, memimpikan segala jenis makanan yang bisa didapatnya. Truck melamun dengan pandangan melayang ke luar jendela sebelum mulai mengorok. Alatas selalu terlelap belakangan.

"Aku pasti tambah nyenyak kalau dipangku bidadari," keluhnya sembari berbaring miring membelakangiku. "Seperti saat kakiku patah dulu."

"Kakimu patah lagi?" tanyaku seraya berbaring di sebelahnya.

"Tidak, mungkin hatiku." Alatas berbalik menghadapku. Dia meraih tanganku dan mengecup buku-buku jariku. "Tapi sekarang sudah menyatu lagi."

Dengan kontak fisik seperti ini, aku merasakan kondisi pikirannya dengan lebih jelas. Alatas selalu melalui vertigo berat sebelum dia bisa benar-benar tertidur. Dia butuh beberapa jam lebih lama dari sebagian besar orang.

Namun, saat dia lelap, mimpinya selalu yang paling indah.

Alatas berumur 14 tahun lagi dalam mimpinya, mengumpulkan kerang dan menjaga adiknya agar tidak bermain terlalu jauh dari garis pantai. Dia dan kakak sulungnya pulang membawa ikan untuk makan malam. Ibu Alatas tersenyum, bapaknya memuji hasil tangkapan anak-anaknya.

Kalau dipikir lagi, Alatas memiliki masa kecil paling normal di antara kami semua, bahkan lebih normal dariku. Dia sempat merasakan keadaan Nusantara sebelum NC datang. Ayahnya bukan personel NC, hanya warga sipil yang menikmati masa tua sambil memandangi laut lepas. Ibunya masih hidup dan berjuang dengan penyakit asma, tetapi tidak meninggalkannya bersama seorang ayah yang kawin lagi dan meletakkannya dalam kurungan kejam bernama Pusat Karantina. Dan Alatas memiliki hubungan yang amat sederhana dengan semua saudaranya, tanpa ada perasaan cinta yang lebih yang membebaninya.

Memori-memori sederhana itulah yang melatarbelakangi mimpi indahnya.

Dalam mimpi Alatas, NC yang kami kenal sekarang tak pernah ada. NC dalam mimpinya hanyalah perusahaan remeh yang menjadi label pada karung beras.

Dalam mimpi Alatas, dia berkemas untuk merantau ke kota, kuliah, dan satu asrama dengan seorang adik tingkat berbadan besar dengan wajah yang lebih tua darinya. Tim—tetapi dia dipanggil Truck karena perawakan dan sifatnya, bukan karena pemuda itu telah meninggalkan adiknya di dalam bak truk. Alatas dan Tim kemudian magang di Sekolah Luar Biasa, dan bertemu salah satu murid tunarungu yang malah lebih pintar dari mereka berdua.

Sering kali, aku melihat diriku sendiri dalam mimpinya. Di sana, aku berada di sisinya. Satu tangannya terus memegangi tanganku, sementara tangan lainnya memegangi roda kemudi. Alatas menyetir mobil yang dulu kami curi dari pameran di Kompleks 12. Mobil yang kami tinggalkan di jalan, dan beberapa menit kemudian aku menciumnya untuk pertama kali.

Dia membawaku melaju, menyusuri jalan kecil beraspal yang dikepung perkebunan. Garis pantai nyaris terlihat. Kami kemudian memasuki pekarangan sebuah rumah di mana orang tua dan semua saudaranya menunggunya. Bahkan Awi, adiknya yang sudah tidak ada, masih hidup di sana, melambai pada kami.

Dalam mimpinya, Alatas merangkulku.

"Ini pacarku," dia akan berkata dengan senyuman tolol itu, mengabaikan godaan kakak-kakaknya. "Namanya Leila."

Seolah tertarik ke dalam mimpinya yang sempurna, aku pun akan mulai tertidur. Kaki Erion menimpa wajahku, suara mengorok Truck menenangkan tidur kami, dan tangan Alatas selalu berada di atas punggung tanganku.

Ayah, aku berpikir ke diriku sendiri, aku bersyukur aku tidak jadi abadi.

Meski kami masih dihantui mimpi buruk dalam lelap, ketakutan saat malam turun, dan mengulang memori mengerikan, setidaknya kami selalu bisa membuat memori baru. Ketakutan akan selalu ada, dan tangisan memang tidak bisa dihindari, tetapi setidaknya kami memiliki satu sama lain.

Aku sendiri masih kesulitan ketika terjebak di tempat yang sempit dan gelap. Dan, setiap kali mendengar suara yang mengejutkan; misal, balon meletus, aku kembali menyaksikan sosok ayahku dengan lubang peluru di kepalanya.

Lagi pula ini belum berakhir. Rav berjanji dia akan datang lagi. Barangkali, selanjutnya dia akan datang dalam wujud anak kecil, gadis berumu 10 tahun, atau bisa juga tetap menjadi Rav yang kukenal. Namun, aku berharap, kami semua sudah mampus saat dia datang. Aku tidak tertarik menyambut tamu merepotkan dua kali.

Dia akan terus terulang seperti itu. Tak peduli zaman berganti, sejarah akan terus mengulangi dirinya sekali lagi.

Walau demikian, yang bisa kukatakan cuma, "Kita akan baik-baik saja."

Erion mengerucutkan bibirnya. Tangannya bergerak, menyentuh implan koklea di telinganya, lalu jari-jarinya membentuk bahasa isyarat yang kurang lebih mengatakan, Aku nggak akan baik-baik saja.

"Aku bisa saja menendang bokongmu, Er," kata Truck, "lalu melemparkanmu ke seberang sungai. Dan kau akan selalu baik-baik saja."

Erion memelotot sengit. Pipinya memerah, entah karena marah atau karena gugup. Cahaya fajar menambah jelas semburat warna di wajahnya.

"Maksud Truck, kau adalah bocah kuat yang sudah melalui banyak hal." Kutepuk-tepuk bahunya. "Kau sudah pernah dibom, kelaparan, dehidrasi, mengemudikan kapal pesiar, dan mengahajar sekumpulan Calor. Demi Tuhan, kau menyeret Komandan diktator paling keji di NC pakai telekinesis. Kau sudah pernah nyaris terbakar hidup-hidup dan meledakkan sebuah institusi terbesar sepanjang sejarah. Sekarang, kau harus menghadapi ini—tidak bisa lari lagi."

"Ayolah!" gerung Truck tidak sabar. "Itu cuma SEKOLAH!"

Sejujurnya, kata Erion sambil menodong bangunan sekolah baru di seberang jalan. Aku mending disuruh terjun ke laut api lagi saja daripada ke tempat itu!

"Mau tidak mau, cepat atau lambat, kau harus sekolah." Kesabaranku hampir habis, tetapi aku berusaha keras untuk terus membujuknya.

Aku dan ibuku menghabiskan setengah jam untuk menyeretnya dari atas tempat tidur ke kamar mandi, 25 menit memaksanya bergegas saat sarapan, dan satu jam untuk memaksanya berpakaian dengan benar—Erion terus-terusan bertingkah untuk memperlambat segalanya. Dia mengenakan kemejanya sebagai celana, memasang celananya di kepala, dan mencoba menghilangkan kaus kaki berlambang sekolah itu ke dalam bak sampah. Perjuangan itu mesti terbayar.

"Aku tidak mungkin membiarkanmu dididik Truck terus—jangan tersinggung Truck."

Pemuda itu melambaikan tangannya saja untuk menepis ucapanku.

Erion mengerutkan alis dan menatapku lurus-lurus, mencoba menembus pertahanan terakhirku dengan suara memelasnya yang langsung masuk ke kepalaku: Kau akan biarkan aku terisolasi dalam kurungan lagi dan dikepung oleh 30 anak tak dikenal?

"Itu ruang kelas, Erion, bukan kurungan—agak mirip, tapi bukan," janjiku. "Dan 30 anak tak dikenal itu nantinya akan menjadi temanmu. Teman sungguhan. Teman sepantaranmu yang tidak bakal memberi pengaruh buruk tak sesuai umur, yang tidak bakal memperlakukanmu seperti cowok 29 tahun, yang tidak bakal—"

Truck terbatuk dramatis untuk menyelaku.

Kugandeng Erion menyebrangi jalan dan mengantarnya sampai depan gerbang.

Dia menanyakan apakah aku bakal menjemputnya dan jam berapa Alatas kembali malam ini untuk mengulur waktu. Untunglah saat itu Mo melihat kami. Anak itu berteriak gembira dari tengah lapangan. "Erion! Sini! Ayo, cepat—kau harus lihat! Ash membakar toilet guru!"

Begitu Erion menghampirinya dan membaur di antara anak-anak lain, kegugupannya malah berpindah padaku.

Dia akan baik-baik saja, aku meyakinkan diriku sendiri.

Sir Ted menepati janjinya. Dia keluar dari persembunyian dan hampir mengarahkan semua perhatian kepada dirinya. Yah ... hampir.

Karena tak lama kemudian, Binta ditemukan.

Di gudang penyimpanan PF13 yang terbengkalai di Kompleks 1, di mana tak seorang pun mendekat atau tertarik mengurus bangunan serta tanahnya, warga terdekat mengeluhkan suara-suara aneh dari dalam lingkungan angker itu. Gudang itu berdiri di samping bekas reruntuhan Herde lainnya—satu lagi situs berhantu dan lahan penyakit yang tidak ingin didekati siapa pun.

Para Teleporter dan Detektor diutus untuk masuk ke dalam dengan pakaian anti radiasi, dan Yohannes—Detektor si penjaga makam—menjadi orang pertama yang menemukan sang Komandan.

Komandan masih berseragam lengkap, kulitnya penuh bintik-bintik ungu dan hidungnya bengkak sampai sebesar bola biliar, dia tampak kelimpungan dan terus mengoceh, "Anakku menembakku."

"Dehidrasi," kata tim medis yang menanganinya saat dimintai keterangan. "Dan dia terkurung di tempat penuh obat-obatan yang sekarang terlarang. Kita semua tahu apa yang obat itu lakukan terhadap para Fervent."

Dari sana, Yohannes memanfaatkan hak bicaranya untuk menceritakan kisah tentang nasib adiknya yang mati diburu NC. Tentang Aria. Tentang para gadis Fervent. Kurasa tidak begitu banyak yang peduli, tetapi setidaknya tekanan terhadap Fervent mulai berkurang.

Satu kali, aku mengunjungi Sir Ted di sel tahanan penjara khusus Fervent. Dia masih diadili, tetapi semua orang telah memperkirakan hukuman mati buatnya.

"Lagi pula, Relevia sudah mulai menggerogotiku." Sir Ted berucap kepadaku dan ibuku yang tidak berhenti menangis. "Jadi, kuharap ... ini terakhir kali kalian mengunjungiku. Aku tidak mau kalian melihat saat-saat seperti ini—"

"Kami di sini bukan untuk melihat," kataku, berusaha terdengar segalak mungkin meski hatiku bak disayat-sayat belati. "Kami di sini buat menemanimu. Jadi, jangan rewel. Kami tidak akan membiarkanmu sendirian hingga akhir."

Sir Ted membuang pandang sebentar, sebelum kembali menatap kami sambil mengerjap-ngerjap dan punggung tangan menggosok hidungnya. Senyum yang terulas di wajahnya bergetar. "Leila, aku belum sempat mengatakan padamu ... andai aku dulu memilih menikah seperti ayahmu, andai aku bisa memiliki anak ... jika aku memiliki anak perempuan, aku berharap dia secantik dan sekuat dirimu."

Kegalakanku sirna. Sir Ted memang curang. Dia selalu membuat orang lain menangis duluan sebelum dirinya sendiri.

Sebelum kami meninggalkan penjara itu, kami melewati lorong yang terhubung dengan sel Binta. Bahkan dari sini, aku bisa mendengar menjerit dan menangis, terabaikan dalam kegelapan. Salah satu sipir menyuruh kami jalan terus—"Tahanan berbahaya," ujarnya, "tidak pernah ada yang menjenguknya."

"Leila ...." Ibuku mencengkram lenganku karena aku tak kunjung bergerak.

Kupejamkan mataku, mencari-cari keinginan untuk berlari menyusuri lorong, meledakkan pintu sel, dan mencekik Binta sampai mati dengan tangan kosong.

Tidak ada. Tidak ketemu. Alih-alih keinginan untuk menghabisinya, yang kudapati hanya keinginan untuk angkat kaki dari sini. Yang kutemukan adalah keengganan menghirup udara yang sama dengannya. Mendengar jeritan pilunya, aku teringat pada sosoknya di bawah tirai hujan, menunggu untuk dibukakan pintu, lalu masuk hanya untuk mendapat tendangan dan aniaya verbal dari ayahnya.

Lalu, aku teringat anak kandungnya yang dia perlakukan serupa. Aku teringat semua orang yang pernah menjalin kontak dengannya dan menderita karena itu.

Sekarang aku memahami arti tatapan Harun padaku malam itu. Juga alasannya yang kehilangan minat membunuhku.

"Leila?" Ibuku mendesak. "Kau ... tidak ingin berbuat yang aneh-aneh, 'kan?"

Aku menoleh padanya dan tersenyum menenangkan. Kuberi tahu dia melalui tatapan mata bahwa aku tidak lagi berminat membunuh Komandan. "Tidak. Tidakkah Ibu dengar? Dia sedang dihukum. Siapalah aku mengakhiri hukumannya?"

Meski anak-anak Calor kini menetap di Kompleks 6, para Calor dewasa lebih memilih untuk kembali ke koloni mereka. Koloni itu mulai menjalin hubungan diplomatis dengan perkampungan Steeler tetangga mereka. Bendera putih mesti dikibarkan untuk mempertahankan rumah lantaran Garis Merah mulai dibuka dan sedikit demi sedikit pembukaan lahan mulai digalakan. Tanpa Pyro atau pun Embre, Iris menangani segala tetek bengek kepemimpinan di sana.

Aku hampir tak pernah melihat Neil dan kawanan Teleporter-nya ... tetapi kadang Mo mengunjungi mereka. Begitu dia pulang, gadis itu memamerkan tiap kilometer yang kini bisa dicapainya tanpa jadi teler. Menurutnya, koloni Neil baik-baik saja dan mereka mengajari gadis itu berkelahi ... kurasa, ada baiknya aku membatasi jumlah kunjungannya ke sana.

"Lalu, dia melompat dan berubah jadi komet, wush!" Kudengar Ash mengoceh pada teman-temannya, manusia normal seumurannya, dan mereka nyaris tidak ada bedanya saat berkumpul seperti itu. "Semuanya meledak! Pascal berubah jadi kembang api! Lalu, Om Op menghilang! Pecahan pesawatnya juga! Sampai sekarang, dia masih lenyap—misterius! Mitos mengatakan, kalau kau menyebut namanya 3 kali sambil mengetuk gelas berisi es teh manis di depan pintu WC guru—"

Di sisinya, Erion mencengkram kepalanya. Keluarkan aku dari sini!

"Truck," kataku kala itu, "kau ingat saat kau bilang pahlawan super itu tidak ada?"

Truck mengangkat alisnya. "Hm?"

"Kurasa pahlawan super itu ada," kataku sembari mengamati anak-anak yang terkagum-kagum, menelan cerita Ash bulat-bulat, "tetapi tampaknya mereka harus mati terlebih dulu untuk diakui sebagai pahlawan."

Kami mencoba mengembalikan Daile, salah satu dari segelintir Brainware yang tersisa selain aku, seperti sedia kala. Kami juga berusaha memberi terapi pada Cliquoz. Minimal, agar mereka bisa berinteraksi dengan manusia secara normal, alih-alih memasukkan kepala orang ke mulut mereka. Daile mungkin sedikit menunjukkan kemajuan ketika aku memperlihatkan kepadanya memori-memori sederhana. Namun, Cliquoz ... akan butuh waktu lama mengubah gaya hidup-nya. Kami tidak punya pilihan selain menempatkannya di kamar tersendiri yang tertutup dan berpengamanan ketat, tetapi kami selalu memastikannya punya teman bicara.

"Masih banyak sekali pekerjaan kita." Truck menggaruk kepalanya. "Tanganku cuma satu!"

"Tapi kau Cyone-nya di sini." Kuberikan setumpuk berkas pasien baru kami terima. "Berhentilah mengeluh. Otakmu pintar, sia-sia kalau tidak dipakai." Kukerutkan mukaku sedemikian rupa. "Jangan-jangan kau tidak mau menangani mereka karena sebagian besar dari mereka perempuan? Kau tahu, 'kan, mayoritas korban Herde memang perempuan?"

Truck mendengkus. "Tentu saja bukan. Aku juga tahu diri. Beberapa dari mereka diselamatkan oleh Aria ...." Suaranya memelan. "Sudahlah. Kau mau membantuku atau cuma mau jadi bawel?"

Hampir empat bulan setelahnya, kesatuan NC yang dibawahi pimpinan baru—seseorang bernama Zohrah—berhasil mengendus namaku sebagai salah satu yang terlibat dalam insiden Kompleks Sentral (kini dikenal sebagai Kejatuhan Kompleks Sentral karena sistem pendidikan butuh menebalkan buku sejarah lagi).

Ryan, lagi-lagi, menyarankan padaku untuk menumbuhkan rambut gimbal dan menumbuhkan kumis. Dia akan membantuku lari, katanya. Dia bisa mencarikan tempat persembunyian yang cocok.

"Tidak," kataku. "Aku bakal menerima apa yang datang saja. Aku tidak suka kumis."

Ryan mengangkat bahu. "Cuma saran."

Perbuatanku mengacau di Kompleks 4 dan 12 masih menimbulkan cemoohan, dan seseorang bersaksi bahwa dia melihatku menembak mati seorang pria di Kompleks 18. Aku diminta mendeskripsikan ciri-ciri pria yang kutembak agar keluarganya bisa mendapatkan keadilan, dan mereka masih berusah mencarinya.

Namun, aku masih di bawah 18 tahun. Maka, aku dimasukkan ke program penyuluhan serta rehabilitasi (yang katanya untuk membimbingku agar mampu mengendalikan emosi dan sebagainya), dan aku resmi dijadikan tahanan kota. Aku dilarang meninggalkan Komplek 6 tanpa izin.

Berbeda dengan Truck yang belum pernah membunuh seseorang, Erion yang masih 10 tahun, dan Alatas yang tersohor karena menyelamatkan Kompleks 1 dari Specter, hidupku bernoda catatan kriminal sekarang.

Tidak apa-apa. Aku membisiki diriku sendiri. Ini namanya pertanggungjawaban.

Namun, kadang aku bermimpi buruk tentang perkataan Seli: apa yang kau lempar akan kembali kepadamu. Anak perempuan itu akan tahu siapa yang menghabisi ayahnya, dan dia akan datang untukmu.

Barangkali kau berpikiran, Leila, kau menolak keabadian. Dasar konyol. Tentu saja kau bakal mati suatu hari. Menyesal, tidak? Menyesal 'kan?

Begini, ya, Teleporter terbaik saja takut mati. Aku menolak keabadian bukan berarti aku akan berbaring di jalan dan menunggu sebuah truk molen cor beton menggilas badanku jadi empat. Bukan berarti mendadak aku jadi senang mati.

Tentu saja aku takut mati.

Namun, jika suatu saat gadis itu datang padaku ... apa yang akan dilakukannya?

Aku memejamkan mata dan mengingat wajah Pascal malam itu—hancur lebur, menyangkal ingatannya sendiri. Lalu, aku mengingat wajah Harun yang melepaskanku, membiarkanku hidup meski dia pasti benci setengah mati padaku.

Apa pun yang nanti akan terjadi, terjadilah. Aku tak tahu apakah aku akan pernah siap, tetapi aku harus menerimanya andai suatu saat apa yang kulempar memantul ke wajahku sendiri.

"Ayah ... bagaimana rasanya mati?" Aku membelai nisannya di sisiku. Tentu saja kuburan ini kosong. Jasad aslinya masih di suatu tempat di Garis Merah, barangkali ditumbuhi rumput liar dan pohon, barangkali menjadi salah satu areal pembukaan lahan, barangkali bangunan baru malah sudah berdiri di sana.

"Kak," kata Mo di sisiku. Wajahnya ditimpa bayang-bayang dedaunan. "Kenapa senang sekali nongkrong di kuburan?"

"Di sini tenang," kataku. "Kau sendiri kenapa kemari?"

"Ash menceritakan padaku tentang legenda pohon yang kau sandari." Mo menunjuk ke belakangku. "Katanya, ada malaikat jatuh di sini—orang-orang melihatnya. Dan dalam semalam, pohonnya tumbuh begitu saja. Lalu lahan ini, yang tadinya gersang, malah dipenuhi bunga dan rumput dan anak pohon."

"Hmm." Aku mengangguk-angguk. "Legenda yang bagus. Apakah aku harus mengetuk gelas es teh manis juga di bawah sini?"

"Tentu saja tidak." Mo cemberut. "Kata Ash, cukup menumpahkan segelas teh yang masih panas ke akarnya—"

"Mo, Erion kabur." Aku memberitahunya tepat saat Erion berlari menuruni jalan berkelok.

"Er!" Mo berteriak, lalu berteleportasi untuk mengejar anak itu. "Kita sudah janjian ke tempat Ash dan yang lainnya sore ini."

Sehelai daun jatuh ke wajahku. Aku memungutnya, menatapnya di bawah cahaya matahari. Meski beberapa nisan tertajak di beberapa sudut, bagiku tempat ini tetap menakjubkan dengan ilalang yang mulai tumbuh di sisi-sisi kanannya.

"Meredith," kataku seraya memandangi pada daun itu. "Kau punya taman yang menakjubkan

Beberapa orang masih tidak terbiasa dengan langit terang. Erion contohnya. Anak itu masih senang menepi ke bawah kanopi atau pepohonan. Dia selalu berjalan di emperan jalan yang kurang terkena siraman matahari.

Beberapa orang mulai terbiasa.

Mulanya, saat Kejatuhan Komplek Sentral (ada di bab 4 halaman 201 buku sejarah cetakan terbaru), orang-orang panik dan terjaga semalaman lantaran langit yang runtuh di atas kepala mereka—secara harfiah. Namun, Limbo tidak mencapai tanah seperti Kompleks Sentral yang jatuh dan membentuk kawah raksasa di permukaan bumi. Limbo atau lubang langit—tampaknya buku sejarah berpendapat kalau Artificial Night kepanjangan—yang terbentuk 10 kilometer dari permukaan itu meluruh, turun perlahan dan membuat orang-orang berpikiran bahwa kiamat sudah dekat, tetapi kemudian ia lenyap dengan sendirinya pada ketinggian 5 kilometer.

Dan langit malam yang sesungguhnya pun muncul.

Barangkali ada yang menangis. Barangkali ada yang langsung buta. Entahlah, aku tak ada di sana saat orang-orang menyaksikan peristiwa tersebut. Yang jelas, saat fajar menyongsong, orang-orang takut keluar dan memandang langit.

Mulanya, mereka menggunakan kacamata khusus yang diproduksi NC besar-besaran. Setelah mata manusia menyesuaikan, kacamata itu jadi tren semata. Orang-orang beradaptasi, menyusun kembali jadwal siang-malam mereka yang kacau, mencoba mengembalikan keteraturan hidup. Kesibukan inilah yang justru membantu kami, para Fervent, masuk ke dalam masyarakat.

Lagi pula, tidak semua manusia normal membenci Fervent. Beberapa dari mereka memiliki sanak-saudara yang memiliki kekuatan super juga.

Tak semua Fervent kepingin membunuh manusia normal. Beberapa dari kami memiliki keluarga yang merupakan manusia normal juga.

Segalanya tidak terjadi sekaligus, tetapi berangsur-angsur membaik.

Malam ini contohnya. Erion baru saja menghampiriku, memberi tahu bahwa Alatas sudah kembali. Di belakangnya, Truck memberengut kepadaku. "Kenapa kau suka sekali di sini?"

Aku hanya melempar senyum.

Begitu mereka keluar dari area pemakaman, segalanya jadi hening lagi.

Sampai kemudian, seseorang menghampiriku.

Langkahnya berisik, bergemerisik di rerumputan. Kakinya pernah patah, jadi kurasa karena itulah caranya berjalan akan selalu seperti itu, tidak bisa hening. Di bahunya terselempang senjata laras panjang baru karena aku menghilangkan miliknya yang lama. Namun, senapan itu kosong—tak ada pelurunya. Steeler tidak perlu amunisi karena dia bisa memanggil logam apa pun yang diinginkannya dari bawah tanah.

Lagi pula Alatas membawa senjata itu hanya untuk dipeluk. Dia bilang, saat rindu padaku, dia akan memeluk senapan itu dan menganggapnya diriku, karena sama-sama cantik dan berbahaya ujarnya—aku tak tahu apakah dia ini pacar yang romantis atau kurang ajar.

Matanya yang biru-hijau bercahaya sendirian dalam kegelapan di sekitar kami. Senyumannya, yang satu sudut bibirnya selalu lebih tinggi dari yang lain, tampak menjengkelkan seperti biasa. Namun, selama hampir setahun ini, Alatas tampaknya tambah tinggi—harusnya tidak boleh. Umurnya 20. Pertumbuhannya seharusnya berhenti.

"Hai, Cewek," godanya. "Aku bawa oleh-oleh."

Dia menaruh sebuah boneka kudanil ke pangkuanku.

"Alatas," kataku. "Kau mesti berhenti berusaha membawakan oleh-oleh setiap pulang—kau dalam misi pembukaan lahan ke Pulau Lama yang nyaris mati, dan bukannya dinas ke luar kota!"

Alatas mengangkat bahunya. "Kapten timku bilang, keduanya sama saja."

"Kenapa kudanil?!" kataku lagi.

Alatas mengedikkan bahu dan duduk di sampingku. "Aku teringat Truck pas menguap."

Kucengkram hidung besar boneka itu. "Bagaimana di seberang pulau itu?"

"Masih cemar." Alatas menjawab seraya melepaskan selempang senjatanya. "Dan ada beberapa Fervent ... yah, mereka tidak senang karena ditinggal saat semua orang dievakuasi. Upeti damai biasa tidak cukup. Lalu, aku sempat singgah ke rumah ayahnya Giok sesuai saranmu. Raios masih di sana. Seram sekali—dia jadi tukang tebang kayu. Tapi, sejauh ini, dia tidak tampak bakal membunuh siapa-siapa. Lagi pula, ayahnya Giok tidak takut sama Raios—itu nilai tambah buatnya. Malah, aku sempat melihat Raios dan Ryan berburu di hutan berdua dan tampaknya tidak ada yang mati di antara mereka. Ah, ya, Ryan dipindahkan ke timku. Dia bilang, kau tidak mau menurutinya menumbuhkan kumis. Apa maksudnya?"

"Maksudnya, Ryan ingin punya kumis sendiri, tapi tidak kesampaian," jawabku asal. Kucubiti seragam serba hitamnya. "Aku tidak percaya kau bergabung dengan orang-orang yang pernah kita benci."

"NC yang sekarang sama seperti kita, Lei, mereka ... berusaha. Setidaknya kita tidak dieksploitasi lagi. Yah, dieksploitasi sedikit, tapi mereka sudah memperbaiki beberapa peraturan. Tidak boleh eksekusi di tempat. Tidak boleh memenjarakan Fervent di bawah umur. Tidak boleh menyemai Fervent yang masih hidup. Tidak boleh menyemai Fervent mati tanpa persetujuan keluarganya. Tidak boleh mendeskriminasi Fervent dengan manusia normal."

Tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur. Yah, aku bisa menerima itu.

Kusandarkan kepalaku ke bahunya. Alatas menunduk dan berbisik, "Lihat mereka, menyedihkan sekali, mengintip kita pacaran."—Aku mendongak dan mendapati Erion serta Truck masih berdiri di luar pagar pemakaman. Alatas berseru, "Kami lagi pacaran! Jangan ganggu!"

Truck menguap. Erion duduk ke atas pagar dan mulai mengeluarkan keripik singkong dari tasnya.

"Eh." Alatas menyenggol bahuku saat aku tengah membandingkan kuap Truck dengan boneka kudanilnya. "Apa aku tidak bakal dapat ciuman dan sebagainya?"

"Kau pasti sudah dapat banyak ciuman dari cewek Fervent lokal di Pulau Lama."

"Kalau kau cemburu, Lei, ayo ikut bersamaku." Dia mengetuk gelang logam di pergelangan kakiku yang menandakan aku tahanan kota. "Aku bisa akali ini."

"Hanya sampai tahun depan, kok," kataku, lalu menjulurkan kepala untuk menciumnya di pipi. "Tahun depan aku bisa melepaskan pelacak ini dan mungkin masuk ke tim yang sama denganmu. Lagi pula, aku masih punya banyak utang ke masyarakat."

Alatas berdecak. Lalu, seperti mendapat ide, cengirannya tersungging. Lelaki itu memanggil logam entah dari mana, membentuknya seperti gelang, dan memasangnya kek kakinya sendiri.

"Kita kembaran," katanya seraya menyampukkan kaki kami.

Aku tertawa.

"Jadi ..." kata Alatas dengan sorot mata gundah ke sekitar kami, "aku sebetulnya tidak mau menghakimi selera tempat nongkrongmu. Tapi, Truck dan ibumu cemas. Kenapa kau senang di sini?"

Bahkan dengan senyum lebar itu, dia gagal menyembunyikan kegugupan di matanya.

"Seli menitipkan sedikit ingatannya padaku, jadi kurasa itu memengaruhiku. Banyak hal yang bisa dilihat di sini."

"Wah ... begitu." Kedua mata berbeda warnanya mengamati tanah pemakaman.

"Tidak di sini, Konyol." Kuangkat dagunya sampai dia mendongak. "Tapi di sana."

Terhampar tanpa hambatan atap rumah, pepohonan, atau pun gedung tinggi: langit malam dan segala gemerlapnya. Bukan hanya kegelapan, tetapi juga cahaya kecil-kecil yang menjanjikan kedamaian walau cuma sesaat. Titik yang menjadi penuntun Ra saat matahari terbenam. Titik yang ingin dicapai Erion, Seli, Lana, dan anak-anak Fervent lainnya di Pusat Karantina. Dan barangkali, beberapa dari mereka telah sampai di sana.

Di sisi lahan, kulihat Erion menunjuk ke rasi Orion yang tampak di mata. Dia memperlihatkannya pada Truck, tetapi pria itu malah berkata, "Apa? Pesawat? Burung? Hantu terbang? Kita di dekat kuburan, Erion, jangan macam-macam!"

"Wow," desah Alatas, kedengarannya terpukau. Mata hijaunya menyerap semua warna tumbuhan di sekitar kami, dan mata birunya memantulkan cahaya langit. Tangannya jatuh di atas tangan kiriku. "Jadi, ini yang Seli ingin lihat?"

"Seli bilang—" Kusandarkan kepalaku ke bahu Alatas. Jariku tangan kananku mengikuti garis bintang Orion yang Erion ajarkan padaku. "Ingin lihat bintang kecil."

RavAges - Selesai
Terima kasih, Pembaca Tersayang
Telah mengikuti cerita ini sampai akhir

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro