#99

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #99 | 2829 words |

BERNAPAS, LEILA! Bernapas!

Aku megap-megap mencari udara, tetapi tanah dan batu berjatuhan masuk ke mulutku. Sempit. Gelap. Dingin. Aku terimpit. Apakah seseorang mengira aku sudah mati dan memutuskan untuk menguburku tanpa persetujuanku?!

Aku menggerakkan lengan, tetapi siku tergores dan lenganku tertusuk sesuatu. Darah mengalir dari luka itu. Di punggungku, aku merasakan sesuatu yang tajam, jumlahnya banyak sekali. Kakiku tidak bisa digerakkan.

Klaustrofobia terkutuk!

Aku menarik napas lagi sampai rasanya ribuan jarum menghinggapi paru-paruku, mataku berair. Dengan segenap kekuatan yang kupunya, aku berteriak meminta tolong.

Habislah sudah.

Lalu, dari kudengar suara gesekan. Kedengarannya jauh sekali, tetapi suara itu mendekat. Kian dekat ... suara tanah digali.

Secercah cahaya masuk menemui korneaku, pupilku mengecil, memaksaku menyipitkan mata. Kutahan napasku saat tanah berjatuhan ke wajahku. Serpih kayu menancap ke pahaku, tetapi kutangkupkan tangan ke mulut untuk meredam jeritan.

Tanah terkikis oleh sepasang tangan. Orang itu memasukkan separuh tubuhnya ke dalam lubang demi menarikku. Sebuah senter kecil terapit di giginya, tetapi saat melihatku dia menjatuhkan senter itu. Sebongkah besi jatuh di atas kepalanya, dan semestinya itu menewaskannya seketika. Namun, tidak. Dia menerima bobot itu seolah-olah hanya sehelai kertas yang singgah di ubun-ubunnya.

"Akhirnya." Alatas tersenyum kepadaku. Matanya yang bengkak dipenuhi kelegaan. Wajahnya cemong oleh tanah dan tergores-gores, rambutnya tersibak ke satu sisi seperti orang bangun tidur, tetapi bagiku dia tidak pernah setampan ini sebelumnya. Dia merengkuhku, menarikku, dan aku menendang tanah di bawahku untuk bisa keluar.

Aku menahan napas untuk yang terakhir kali seraya memejamkan mata rapat-rapat saat Alatas menarikku hingga kami keluar menerobos terowongan tanah yang sempit itu. Kami ambruk berdua; Alatas dengan posisi telentang dan aku di atasnya, memeluk lehernya kuat-kuat. Di belakangku, tanah amblas di atas terowongan itu, setengah bagian papan reklame dengan batangan besi kecil-kecil yang peretel menimpa tempat di mana sebelumnya aku berada.

Longsoran kembali menutup tepat ketika kakiku bebas. Sepatuku hilang sebelah, barangkali tertinggal di bawah longsoran—aku tidak peduli. Aku tidak peduli apa pun juga—bagaimana caraku masih hidup, bagaimana Alatas bisa selamat dan menemukanku, apa yang terjadi pada Kompleks Sentral ... bodo amat. Segala hal di dunia ini boleh minggat meninggalkan kami berdua.

Selama beberapa lama, kami berdiam seperti itu—terkapar, tersengal, berselubung tanah dan serbuk besi.

"Hei," kata seseorang. Aku mendongak dan Alatas membuka matanya. Kami pun melihat Neil si Teleporter, menciduk kami dengan sorot cahaya senter. "Kita harus lanjutkan evakuasi. Lanjutkan bulan madu kalian di tempat yang lebih layak nanti, bisa?"

"Eh ...." Alatas terdengar kebingungan, dan aku sungguh-sungguh merindukan suara bimbangnya yang khas. Tangannya mencoba mengangkat wajahku, tetapi aku menolak. Kurekatkan diriku lebih erat padanya sampai Alatas berujar pada Neil, "Anu, 5 menit lagi."

Neil menggerutu dan berjalan menjauh.

Aku masih hidup.

Kami hidup.

Namun, rasanya sakit sekali ... apakah hidup memang sesakit ini. Bahkan saat menarik napas pun isi perutku seperti ditarik keluar. Lama-lama, kurasakan sekujur tubuhku mengejang.

Kudengar suara langkah kaki mendekati kami. Ketika aku memiringkan kepala di dada Alatas, kulihat beberapa kaki bercelana putih dan tandu-tandu.

"Leila ...." Alatas mengangkat daguku dengan jarinya. "Kau mesti bangun. Lihat lukamu."

Aku bahkan tidak menyadarinya. Saat Alatas menggulingkanku ke tanah dan membantuku berbaring dalam posisi miring, aku nyaris tidak bisa bangkit. Dari perutku, darah terus merembes, lalu kusadari apa sebabnya saat Alatas menarik seutas kawat dari perut bawahku. Aku terbatuk, memercikkan darah ke bajunya. Tanganku yang lecet dan berdarah mencengkram bahunya kuat-kuat sampai dia mengeluarkan logam itu.

Di balik punggungku, seorang wanita dengan masker medis mulai menggunting sisi-sisi bajuku dan menggunakan penjepit untuk mencabuti serpihan kaca dari punggungku.

"Tidak apa-apa." Alatas memegangi pipiku sementara aku merasakan sakitnya. "Kau akan baik-baik saja."

"Erion ...?" lirihku. "Truck?"

Bahu Alatas melorot. "Mereka ada, tapi ...."

"Tapi?" desakku.

Pemuda itu mengecup keningku. "Neil muncul dan meneleportasikan mereka tepat waktu sebelum semuanya hancur, tapi mereka luka-luka. Kau bisa lihat sendiri nanti, tapi sekarang kita harus mengurusi luka-lukamu."

Wanita medis memberiku obat penghilang rasa sakit, lalu memberiku bius yang membuatku senewen. Penglihatanku jadi berkunang-kunang. Kunang-kunang yang indah ....

Wanita itu mulai mengurus kakiku. Rupanya ibu jari kakiku mencoba memisah dirinya, entah dia tidak menyukai keempat anaknya atau apa aku tak tahu. Si wanita medis mengatakan sesuatu tentang membawaku ke tenda, padahal aku tidak suka berkemah. Aku lebih suka diantar pulang ke rumah.

Tunggu, tapi rumahku di mana?

Lalu, semuanya buram. Samar-samar, aku ingat mereka membawaku. Samar-samar aku merasa dibaringkan. Alatas memegangi tanganku—yang ini aku ingat. Aku dibaringkan di sebelah Erion—yang ini aku sangat ingat. Ada muka Truck yang memberengut dan dia mengatakan betapa hebatnya aku masih hidup—aku tak begitu ingin mengingat yang ini, tetapi sialnya aku ingat.

Erion kesulitan bangun hampir selama 48 jam setelah aku ditemukan. Namun, dua hari kemudian dia membuka mata. Seperti ada yang hilang di sana, di sorot matanya yang kecokelatan ... aku tidak bisa menemukan binar-binar yang dulu dipancarkannya. Anak itu terus menerawang ke kakinya saat bangun, tidak bisa makan dan minum dengan benar, diam saja saat diinfus, dan tidak merespons apa pun. Bahkan saat aku mengajaknya bicara dengan Brainware.

Truck ... saat aku sudah cukup baikan dan melihat keadaannya dengan benar, hal pertama yang kuperhatikan adalah tangan kirinya, karena aku tidak bisa melihat di mana tangan kirinya. Dia mengenakan baju lengan panjang, menolak menggulungnya, jadi aku tidak tahu di mana tangan kirinya berhenti, tetapi dari kain bajunya, tampaknya sampai siku. Dia berjalan dengan tongkat selama beberapa hari karena lututnya sempat retak.

"Bagaimana bisa?" tanyaku. "Saat Neil meneleportasikan kalian—"

"Erion mencoba terjun mengejarmu," ujarnya, "aku mati-matian menahannya. Kakiku terperosok, lantai terus retak dan hancur, lalu entah apa yang terjadi tanganku terjepit. Saat Neil muncul, hampir tidak ada pijakan yang tersisa. Dia hampir terperosok juga. Jadi ...." Matanya meratapi tangan kirinya. "Aku tidak punya pilihan. Aku menangkap Neil pakai tangan kanan, menggigit Erion di kerah baju belakangnya, lalu kami berteleportasi dalam keadaan tanganku masih terjepit. Kau tahu, 'kan, kelemahan Teleporter seperti itu? Dalam keadaan terdesak ... bisa saja ada yang tertinggal. Yah, setidaknya cuma tangan kiri, bukan kepalaku."

Pertanyaanku mungkin tidak sopan, tetapi aku penasaran .... "Bagaimana rasanya?"

Truck memandangiku sebentar, lalu dia meregangkan jari-jari tangan kanannya. "Kau mau coba? Dengan satu tangan pun aku bisa—"

"Tidak, terima kasih. Mari kita bicara hal lain."

Untuk beberapa lama, aku tidak bisa telentang, tiarap, atau duduk. Di dalam tenda pengungsian, aku hanya berbaring miring memandangi Erion. Aku juga tidak bisa makan dan minum tanpa dibantu selama tiga hari karena tanganku sempat mengalami tremor parah. Saat Alatas membantuku, aku senang-senang saja. Namun, saat Truck membantuku, dia tampak seperti nenek sihir yang mencoba menggemukkan mangsanya—"Makan ini! Buruan! Tidak usah dikunyah, telan saja! Ah, lama! Kenapa yang tangannya satu harus membantu yang tangannya dua?!"

Namun, Truck secara mengejutkan segera terbiasa dengan satu tangannya.

Dia tidak pernah membutuhkan bantuan siapa-siapa untuk ganti pakaian, makan, atau ke toilet. Dia bahkan bisa menghajar Alatas dengan baik saat pemuda itu berkelakar tentang cebok pakai tangan kanan. Lututnya sembuh dengan cepat, dan dalam waktu singkat Truck sudah bisa menendangi brankar tempatku tidur.

Erion ... kataku di hari ketiga sejak Alatas menemukanku. Saat itu aku sudah bisa duduk tanpa merasakan perutku akan meluncur ke kaki. Kusentuh-sentuh pipinya. Matanya terbuka, tetapi dia masih tidak mau menjawab. Er, sekarang kita bisa melihat bintang kecil.

Kabarnya, langit sudah terbuka, tetapi aku belum melihatnya. Kami masih terjebak di tenda pengungsian. Sejak Kompleks Sentral ambruk, tanah tandus di bawahnya berubah jadi ... yah, neraka. Tidak ada yang berani mendekat. Beberapa orang mengirim drone dan helikopter untuk mengecek, dan mereka mendapatkan gambaran-gambaran mengerikan. Sisa bangunan yang hancur seperti mainan lego, mayat, kolam darah. Tim evakuasi tidak bisa mendekat karena radiasinya yang membunuh. Maka, sekeliling tempat itu masih diberi garis pembatas dan dalam tahap pembangunan pagar kawat.

Di saat seperti ini, tanggung jawab dilemparkan kepada dua nama: Komandan Binta Ramlan dan Sir Timothy Edison. Ada sekitar 200 orang penduduk Kompleks Sentral yang selamat karena terlempar ke dalam Limbo yang ambruk, dan mereka terpencar ke sepenjuru Kompleks lain. Lebih sedikit lagi yang ditemukan masih hidup karena mereka muncul di tempat-tempat aman seperti di atas meja makan rumah seseorang di kawasan sub-urban ketika keluarga itu tengah menyiapkan makan malam, atau di dalam tong sampah, atau di dalam alat pemanggang besar di restoran yang untungnya tidak menyala. Sekitar 30 orang—dan orang-orang yang selamat inilah yang memberi kesaksian tentang apa yang terjadi.

Pencarian terhadap Komandan Binta dan Sir Ted masih dilancarkan besar-besaran. Kami tidak tahu di mana Komandan, tetapi kami tahu di mana Sir Ted ....

Dia di sini, di dalam tenda. Ryan menyarankan agar pria itu memanjangkan rambut dan menumbuhkan kumis serta jenggot supaya wajahnya tidak dikenali nantinya. Namun, Sir Ted bersikeras akan menyerahkan dirinya begitu keadaan kami membaik.

"Kudengar dari Neil, Seli tidak bergerak dari sisi Rav." Sir Ted mengajakku bicara suatu malam. "Kurasa anak itu sudah melihat segalanya yang akan terjadi. Dan yang dilakukannya itu sudah tepat."

"Tepat?" tanyaku. Tanganku membelai rambut Erion karena anak itu tampaknya tertidur lebih mudah jika kepalanya dipegangi. "Aku tidak bermaksud menyalahkan Seli, tapi Giok sudah menyusun rencana dengan asumsi anak itu akan meneleportasikan kami semua keluar segera setelah aku mengambil kancing Raios."

"Leila, jika Raios dan Binta meledak di sana, kerusakannya akan parah sekali. Ledakan Relevia akan memusnahkan lebih dari satu Kompleks. Kompleks Sentral hanya akan jadi salah satu korban saja. Radiasinya akan mencapai belasan Kompleks terdekat. Lagi pula, Rav masih terkurung di sana. Dia mungkin takkan terluka, tapi dia akan hilang lagi dari pandangan kita. Ada alasannya Binta mengurung Rav menggunakan energi ratusan Fervent seperti itu. Rav ... tidak bisa diprediksi. Dia bisa saja pergi ke daerah lain, mengambil orang lain ... Seli ingin menghentikan itu. Dia pasti sudah melihat bahwa dialah yang akan pergi bersama Rav."

Aku terdiam, berusaha menyerap itu.

"Saat Seli mengatakan kalau yang hilang tidak ketemu, maka akan ada yang mati ...." Aku tercenung. "Kurasa maksudnya memang Alatas dan aku. Jika Alatas tidak ada, tidak akan ada yang menemukanku di bawah reruntuhan itu. Maksudku, kau pasti sudah tahu, 'kan, Detektor-nya spesial ...."

Sir Ted mengangguk. "Aku menduganya. Dia bisa mendeteksi Fervent yang sudah mati dan Fervent yang baginya akrab atau sering berada di dekatnya."

"Atau," kataku lagi, "ini mungkin tentangku dan Erion."

Kami memandang Erion yang mulai memejamkan mata perlahan.

"Tim medis bilang, Erion harus terus diajak bicara. Kedua telinganya sudah tuli total, jadi satu-satunya cara dia berkomunikasi sekarang hanya bahasa isyarat dan Brainware. Sedangkan Brainware yang tersisa ...." Kupejamkan mataku, membayangkan andai Alatas tidak menemukanku, aku masih akan ada di sana, dan Erion tidak akan bisa merespons apa-apa lagi seumur hidupnya. "Jika aku tetap berada di reruntuhan itu, tidak ada seorang pun yang mengajak Erion bicara. Aku ... aku bersyukur aku memilih untuk bertahan."

"Apa dia mulai merespons?"

"Sedikit. Kemarin, aku samar-samar mendengarnya menyanyikan lagu Abang Tukang Bakso saat Truck melintas lewat dengan semangkuk bubur. Aku sempat membisikkan ke dalam kepalanya kalau itu artinya Truck tukang bubur, bukan tukang bakso, dan dia tertawa sedikit."

"Syukurlah." Sir Ted mendesah, tampak lega sungguhan. "Satu lagi yang harus kita apresiasi dari Seli, kurasa anak itulah yang membuat kita semua terkumpul di sini, di Kompleks 6."

Aku mengangguk. "Kalau yang itu ... kurasa iya. Entah ini dari kekuatan yang didapatnya dari Rav atau memang dia mampu melakukan ini sejak awal, semua orang yang kita kenal, yang hilang di Limbo, semuanya ditemukan di sekitar sini."

Belakangan, kuketahui Alatas betul-betul tersangkut di menara. Tepatnya menara SUTET. Warga sekitar mengira dia anak badung yang main panjang. Butuh sekitar dua jam untuk mereka menurunkan Alatas tanpa kesetrum. Begitu dia berhasil turun, salah satu teman Neil yang mengenalinya segera membawanya kemari. Dan mereka mulai menjalankan evakuasi ke sepenjuru Kompleks menggunakan Detektor Alatas.

Yang pertama kali Alatas temukan adalah mayat Giok. Pemuda itu terbenam di hilir sungai dekat rumah ayahnya di pinggiran Kompleks 6, seolah mencoba pulang untuk terakhir kali. Setelah memberi kabar kepada ayahnya, mereka menguburkan pemuda itu di halaman belakang.

Lalu, Alatas menemukan Raios.

Raios muncul di ruang tamu ayahnya Giok, linglung dan nyaris tidak bisa berdiri. Maka si pria tua memandikannya, memberinya makan, dan memberinya baju bekas Giok. Sampai sekarang, kami belum menerima kabar terbaru dari mereka, tetapi Sir Ted terus mengirim seorang Teleporter untuk mengawasi Raios di sana karena ayahnya Giok bersikeras untuk merawat pemuda itu.

Tidak ada yang tahu kenapa Raios bisa jadi kehilangan ingatan, kecuali orang-orang tertentu dan Sir Ted, tetapi kami semua memilih diam.

Lalu, Alatas menemukanku.

"Cintamu padaku menyengat sekali baunya." Alatas merayuku suatu malam, saat aku masih terbaring miring tidak berdaya dan tidak bisa memukul wajahnya. Jari-jari tangannya memainkan jari tanganku. "Aku langsung tahu kau di bawah sana seolah ada baliho besar di atasnya yang tulisannya menyala-nyala Alatas, pacarmu di sini!"

"Memang ada baliho besar mencoba membunuhku waktu itu."

Yang terakhir kami temukan adalah Embre.

Saat itu aku sudah mampu berjalan keluar tenda. Rumput di bawah kakiku terasa dingin, langit berbintang dan cerah sekali sampai aku merasa pedih.

Embre tidak akan bisa lagi melihat langit ini.

Saat aku berlari keluar, mereka sudah menutupi jenazahnya dengan kain. Iris dan Cybra menangisinya.

Saat aku berlutut di sisinya, kulihat wajah Embre dipenuh luka yang sudah mengering, matanya terpejam seperti tidur nyenyak, jejak darah tampak dari sudut bibirnya yang sedikit terbuka, kain putih menyelimutinya sampai dada, choker apinya sudah terlepas dan dipegangi oleh Cybra.

Mataku menelusurinya, mencari-cari apa yang telah merenggut nyawa pria tangguh sepertinya. Lalu, kusadari kain yang menyelimutinya mengempis ke bawah ... dari pinggang sampai kaki.

Hanya ini yang tersisa dari Embre—pinggang sampai kepala.

"Siapa yang bersamanya—" Iris terisak-isak. "Di saat terakhirnya ... adakah dari kalian yang melihatnya? Bagaimana bisa dia—jadi ... se-seperti ini?"

Semua orang terdiam.

"Kita terkepung dan mendorong paksa untuk masuk saat itu." Neil angkat bicara. "Dan pria ini di garis depan. Kita kalah jumlah, kalah teknologi ... pria ini maju lebih dulu. Andai saat itu dia tidak membuka jalan, Specter tidak akan bisa masuk sebagai pengalih perhatian."

Tidak ada yang bicara lagi. Malam itu, kami memakamkan Embre di samping kuburan Pascal yang kosong karena hingga detik ini pun kami tidak bisa menemukan sisa-sisanya.

"Op kukubur dekat koloni di pinggir pantai," kata Neil saat aku bertanya. Lalu, kutanyakan apakah ada bagian dari jasadnya yang berhasil mereka temukan, Neil menjawab, "Mulanya sepotong kaki ... kami mengenali celana pendeknya karena dia sudah seminggu tidak ganti celana."—Neil terkekeh pelan, lalu dia mendadak terdiam. "Lalu sisanya. Tubuhnya hangus."

Ibuku mengunjungiku tiap hari dan tiap malam. Alatas mengambil kesempatan tiap pagi untuk mengobrol dengannya, menanyakan masa kecilku, apa yang kusukai dan tidak kusukai .... "Betul-betul cari muka," kataku padanya, dan dia menyengir seraya mengecupku.

Hari ke-20 setelah kami yakin bahwa kami sudah menemukan dan merawat semua orang—kecuali Binta, entah di mana dia, barangkali Seli tidak ambil pusing memikirkan posisi pria itu—kami mulai membereskan barang-barang. Dan ... yah, bersiap untuk memulai kehidupan masing-masing lagi esoknya.

Di dalam tenda, kami tidur berkumpul untuk terakhir kali. Sebelum tidur, kami menghirup sup hangat dan teh panas, menceritakan kisah heroik masing-masing karena barangkali takkan ada seorang pun di luar sana yang percaya bahwa kamilah yang membuka langit. Mereka hanya peduli pada fakta bahwa kami telah menghancurkan Kompleks paling maju, pusat dari semua Kompleks, hingga segala arus perekonomian sempat tersendat. Walau demikian, tak satu pun dari kami menampik bahwa apa yang kami lakukan sama seperti kejahatan perang pada umumnya—genosida. Kami menghancurkan sumber energi terbesar, membuat ambruk Kompleks itu ... menewaskan sekitar 97% populasinya.

Dan kami harus siap jika orang-orang mulai melacak, mencari tersangka di balik itu semua. Yang jelas, Sir Ted akan keluar lebih dulu untuk mengambil tanggung jawab utama—dia masih tidak mengatakan itu pada siapa pun dan hanya mengungkapkannya padaku. Ryan masih menduga bahwa Sir Ted setuju untuk menumbuhkan rambut gimbal serta kumis.

Berkumpul menyeruput teh, Mo bersemangat sekali menceritakan tiap detail sebelum dia jadi semaput di koloni Teleporter. Dia mengisahkan betapa kerennya Neil mengajak anggota koloninya—atau mengancam, dari sudut pandang teman-temannya—untuk berderap ke Kompleks Sentral, membalaskan kematian Op.

Di sisiku, Erion sudah tidur lebih dulu. Masih tidak begitu responsif. Hatiku pedih jika teringat betapa dia tidak mendengar keramaian di sekitarnya.

Lalu, malamnya, saat semua orang tidur, aku menyanyikan lagu bintang kecil ke kepala Erion. Tanganku menepuk-nepuk perutnya.

Entah sejak kapan aku ketiduran.

Aku terbangun. Langit masih gelap. Semua orang masih tertidur kecuali Alatas yang menepuk-nepuk tanganku. Di sisiku, Erion tidak ada di dalam selimutnya

Aku buru-buru bangun dan tanpa sengaja menyepak kaki Truck. Sebelum pria itu melolong, Alatas membekapnya dan menjelaskan duduk perkaranya. Aku keluar lebih dulu karena permintaan maaf ke Truck bisa menunggu.

Saat aku keluar, Erion tengah berdiri di tengah-tengah hamparan rumput. Kepalanya mendongak. Matanya mengerjap ngerjap ke arah langit malam tanpa awan. Tanpa cahaya lampu di bawah sini, bintang terlihat jelas.

Perlahan, tetapi pasti, binar di matanya kembali. Cahaya yang sama saat aku melihatnya pertama kali, saat dia mengeluarkanku dari reruntuhan dengan Alatas, saat dia mengetahui aku Brainware, saat dia meraih tanganku dan mengajakku untuk ikut bersama mereka.

Ini binar mata yang sama.

"Melihat bintang kecil?" Aku berlutut di sisinya, memegangi tangannya. Kusuarakan kata-kataku ke dalam kepalanya.

Erion butuh waktu untuk menjawab, tetapi akhirnya dia menoleh padaku. Saat Alatas dan Truck tiba di sisi kami, Erion menuding ke langit.

Ternyata itu rasi Orion, ujarnya sambil menyengir usil. Kukira Erion.

Chapter berikutnya,
Senin, 19 April 2021
akan menjadi episode terakhir
R a v A g e s


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro