#98

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #98 | 3113 words |

"UNTUK MENIPU Raios, kau harus menipu dirimu sendiri dan orang-orang di sekitarmu. Jadi, hanya ada satu cara." Giok mengacungkan jari telunjuknya. Ini saat kami bicara di atas atap bangunan bekas kantor keluarganya di Kompleks 18. "Memori manusia bisa ditipu. Untuk sementara, memori jangka pendekmu mungkin bakal hilang karena kau mesti menghapus percakapan kita ini dari kepalamu. Meski begitu, tubuhmu bakal mengingat, jadi ikuti saja refleks yang diinginkan tubuhmu, dan biarkan kepalamu sendiri menipumu dengan membuat ingatan palsu."

Aku mengerjap bingung. "Bagaimana caranya?"

"Kau punya ingatan Meredith?"

"Ya."

"Kau tahu cewek itu—pasti sudah putus akal sehatnya—sungguhan mencintai Raios?"

Bibirku mengerut seolah membayangkan Meredith jatuh cinta pada sekarung cerpelai mati. "Ya."

"Jadikan ingatan gadis itu milikmu."

"Tunggu, ma-maksudmu ... ih! Aku ogah punya perasaan macam itu ke Raios—"

"Cuma sementara." Giok mengibaskan satu tangannya. "Hanya untuk meyakinkan Raios bahwa kau tidak bakal mengkhianatinya. Cepat atau lambat, dia bakal memeriksa isi kepalamu. Saat dia mendapati sedikit saja keraguanmu, kau tamat. Sedikit saja dia sadar kau punya rencana lain, kau habis. Satu-satunya harapanmu hanya memori Meredith—pakailah simpati yang gadis itu miliki untuk Raios. Pandang Raios dari mata gadis itu. Cintai Raios seperti Meredith mencintainya." Giok memutar-mutar pistol di tangannya. "Aku bakal jadi faktor penentu untuk menguak ingatan aslimu. Kita harus tentukan kata kuncinya untuk membuka ingatan aslimu."

"Kenapa kau percaya sekali padaku untuk rencana bodohmu itu?"

"Aku tahu kau bukan orang bodoh yang bakal sudi berlarut-larut dalam ingatan dan simpati yang bukan milikmu sendiri."

"Lalu apa?" tanyaku. "Melenyapkan Artificial Night?"

"Jika limbo yang dielu-elukan itu memang ada," kata Giok seraya menunjuk ke langit gelap, "dan para Teleporter tidak membual, maka semua yang pernah hilang ke dalam sana akan kembali lagi ke bawah sini kalau kita bisa menghancurkan sumber Artificial Night. Cahaya, satelit yang hilang, pesawat, dan ... yah, semuanya."

"Tapi, bukankah itu artinya bakal banyak sekali yang jatuh dari langit?" tanyaku dengan ngeri.

"Mereka tidak persis jatuh dari langit." Giok menggeleng. "Semua yang masuk ke dalam lubang dimensi di atas situ, akan dimuntahkan keluar seperti cara Teleporter berteleportasi. Semuanya yang pernah hilang bakal muncul begitu saja di tempat-tempat random, dan itu malah lebih berbahaya lagi. Kita bakal melihat pesawat-pesawat tersangkut di atas menara, atau muncul di bawah air hingga membuat pusaran air besar, atau terkubur di bawah pondasi bangunan tanpa pernah bisa ditemukan—aku tidak tahu bagaimana koordinatnya bekerja. Aku hanya berharap keberuntungan bakal meminimalkan korban."

"Dengan risiko seperti itu kau tetap ingin membuka langit?"

"Pilihan apa yang kupunya." Giok membelakangiku. Tangannya bersandar pada pagar langkan di pinggiran atap. Matanya menerawang ke cahaya drone dan api-api unggun dari pemukiman Kompleks 18. "Ayahku tidak bisa hidup di tempat gelap seperti ini."

"Aku iri padamu," kataku seraya bergabung dengannya di sisi langkan. "Sampai akhir, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk ayahku."

"Aku iri padamu," balasnya. "Sampai akhir, ayahku bukan orang perkasa yang bisa melempar dirinya untuk menghadang peluru demi anaknya."

Kusandarkan pipiku ke pagar langkan, menyadari bahwa keluhan-keluhan iri ini takkan ada habisnya. "Kita manusia serakah."

Ingatan itu menghilang.

Kusadari aku masih hidup.

Namun, sekujur tubuhku seperti ditarik ke segala arah yang berlawanan. Dadaku seperti dicabik, kulit-kulitku dikelupas, rambutku tercerabut, dan aku tidak yakin apakah bola mataku masih ada di rongganya. Rasa sakit menumpuk di fisik dan benakku, membawaku pada titik di mana aku tidak lagi mampu menjerit atau menangis. Yang kulakukan hanya diam dan menunggu, menyambut ketiadaan.

Gelap.

Tidak ada apa-apa di sini.

Bergerak. Aku membisiki diriku sendiri. Bangun.

Bagaimana? Sudut lain benakku merengek. Aku tidak tahu punggungku di mana atau apakah aku masih punya kaki! Jempolku mana?!

Pokoknya bergerak!

Aku memulai dari menarik napas. Lalu, aku merasakan ujung-ujung jariku—tampaknya mereka memutuskan untuk kembali padaku.

Ayo, badan! Lekas menyatu! Aku memarahi diriku sendiri seperti orang tolol. Sini! Aku harus bergerak!

Lalu, aku menggerakkan kelopak mata.

Seketika itu pula, seluruh kenangan masa kecilku melintas di depan mataku. Saat badanku masih sebesar dua karung gula mungil dan ibuku membuaiku. Saat tanganku yang kecil dan montok-montok menyentuh wajah mendiang nenekku di kursi goyang. Saat kaki-kakiku yang pendek melompat-lompat, mencoba terbang dengan tangan terulur ke atas karena ayahku mengambil cokelatku dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalaku.

Baiklah. Sepertinya aku memang akan mati. Orang-orang bilang, banjir kenangan macam ini cuma terjadi kalau seseorang bakal mangkat.

Siapa bilang? Benakku yang rewel masih berpegang teguh pada kehidupan. Kau Brainware, dan sejak awal yang kau lakukan cuma bolak-balik mengunjungi ingatan masa lalumu. Sekarang tidak ada bedanya. Ini hanya salah satu dari sekian banyak flashback yang sudah pernah kau alami. Sebentar lagi kau akan bangun dan menemukan Alatas, barangkali tersangkut di atas menara. Dia akan melambai padamu dari atas sana seperti orang bodoh.

Mau tidak mau aku tertawa pada pemikiran itu. Itu Alatas banget.

Ya, 'kan? Sudut benakku yang keras kepala menarikku bangun. Jadi sekarang, ulangi setelah aku, diriku: aku masih hidup.

Aku

"Masih hidup." Kubuka mataku dan melihat Sir Ted tengah menggendong sebuntelan kain berisi bayi yang menangis. Di langit di belakangnya, bulan tampak penuh dan keperakan. Tanpa awan sedikit pun, bintang gemintang berserakan di sekelilingnya. Di ujung tanah luas di balik pagar beton, kulihat puncak atap bangunan setinggi tiga atau empat lantai.

Sir Ted menyerahkan buntelan bayi itu pada seorang pria berjanggut pendek dan berambut ikal kemerahan. Mata pria itu amat biru, nyaris ungu. Dia menyambut si bayi dari tangan Sir Ted dengan wajah lega dan penuh syukur.

"Istrimu benar, mereka menunda pelayaran karena air sedang pasang malam ini." Sir Ted tersengal dan menyeka titik peluh di keningnya. "Tapi kabar penundaan itu belum sampai ke telinga penjaga. Jadi, aku bisa mengambilnya, berpura-pura sebagai orang yang bakal mengirimkan anakmu ke Kompleks Sentral."

Si pria berjanggut pendek seperti akan menangis. "Bagaimana aku harus berterima kasih, Pak?"

Sir Ted melambaikan tangannya singkat. "Hal terbaik yang bisa kau lakukan adalah membiarkan ibunya merawatnya dulu, setidaknya dua atau tiga tahun. Kau bekerja saja seperti biasa dan awasi sekelilingmu. Jika tiba saatnya, kita harus memalsukan Fervor-nya. Barangkali X—untuk menutupi warna matanya yang mencolok. Jika suatu hari ketahuan, hal paling buruk yang akan terjadi pada anak ini adalah masuk Herde atau Pusat Karantina. Tapi dia tidak akan diserahkan ke NC untuk dimusnahkan." Sir Ted mengerjap. Pandangan matanya mendadak kosong. "Aku ... entahlah ... aku seolah merasa dia akan punya peranan penting nanti."

Pria berjanggut menepuk-nepuk bayinya yang menangis. Matanya menatap cahaya bulan purnama di atas kepalanya. Lalu, saat dia menunduk untuk mengintip wajah bayinya, pria itu tersenyum. "Selena. Aku akan memanggilmu Seli."

Aku mengedip, dan memori itu lenyap. Kali ini, aku berada di kamar lamaku saat umurku 9 tahun. Poster karakter kartun kesukaanku tertempel di dinding-dinding dekat kasur dan meja belajar. Buku-buku yang tidak pernah kubaca tersusun tak beraturan di rak. Seragam sekolahku tergantung di gantungan dekat pintu. Ransel merah muda polkadot teronggok di tengah-tengah.

Aku yang masih begitu kecil (ya ampun aku dulu pendek dan ceking sekali) berlari masuk kamar begitu saja, lalu tersandung tas dan jatuh tengkurap di karpet. Aku memekik, "Siapa, sih, yang menaruh tas ini di sini?!" Kemudian aku terdiam malu sendiri. "Oh, aku yang menaruhnya."

"Leila?" panggil ibuku di ambang pintu kamar. "Mana gelang karetnya?"

"Tunggu! Aku menyimpannya di sini!" Diriku mengubek-ubek laci, mengeluarkan berbagai bentuk jepitan rambut, sisir, bando .... "Nah, ini!"

Aku berlari lagi sambil menggenggam gelang karet, menyandung tali tas, lalu jatuh untuk kedua kalinya. Normalnya, hidungku harusnya bonyok, atau berdarah. Namun, aku selalu baik-baik saja sehabis jatuh. Atau, kalau pun lecet, semua bekas luka itu tidak pernah menetap lebih dari dua detik di mukaku. Kurasa, gara-gara itulah aku merasa leluasa mengikuti gaya hidup Ryan yang berbahaya, menonjoki anak laki-laki, sampai mementung kepala Raios pakai senapan—bukan karena aku jago berkelahi, tetapi aku memang jarang terluka lama-lama.

Di ruang tengah, aku duduk di lantai membelakangi ibuku yang duduk di sofa. Dia menyisir rambutku, mengepangnya kecil-kecil.

"Lihat, Leila." Ayah masuk dan duduk bersila di depanku. Di kedua tangannya, dia memencet-mencet bola-bola karet seukuran kepalan tangan. "Ayah dapat mainanmu waktu bayi."

Ibuku berjengit. "Bukannya itu sudah Ibu buang?"

"Ayah menyelamatkannya. Kenapa juga kau buang? Benda ini banyak kenangannya. Banyak bekas kunyahan gusi Leila di sini."

"Ih!" Aku memekik jijik pada bekas kunyahanku sendiri. "Buang!"

Ayah memberengut. Dia menjumput tiga utas gelang karet dari tanganku, melingkarkan dua di antaranya ke masing-masing kedua bola karet di tangannya, lalu melingkarkan gelang karet ketiga ke kedua bola sampai mereka menyatu. Lalu, dia menarik-nariknya. Ayah melakukan itu seperti gerakan spontan untuk membunuh waktu.

"Big crunch." Aku menunjuk pola bola dan gelang karet tersebut.

Ayahku mengernyit, melirik ibuku sebentar, lalu kembali menatapku. "Kau dengar itu dari mana, Leila?"

"Sir Ted," kataku. Kurebut bola-bola dan gelang karet dari tangannya, lantas menarik-nariknya. "Karena alam semesta berkremasi—"

"Ber-eks-pan-si." Ibuku mengoreksi dengan geli.

"Karena alam semesta berekspresi." Aku membetulkan. "Dua karet ini menarik planet-planet saling menjauh. Tapi, karena gaya amputasi—"

"Gravitasi." Ibuku mengoreksi lagi.

"Biar saja, Bu." Ayah menyengir. "Ya, Leila? Ada apa dengan gaya amputasi?"

"Karena gaya gra-vi-ta-si—" Ayah memberengut saat aku bisa mengucapkannya dengan benar. "Planet-planetnya jadi saling menarik. Big crunch artinya kalau gaya gra-vi-ta-sinya lebih kuat dan menang, jadi eks-pa-na-si alam semesta berhenti. Planet-planet dan bintang-bintang saling tarik, berkumpul, memadat—semuanya jadi tambah panas dan gra-vi-ta-si makin kuat. Sampai akhirnya alam semesta menyusut, mengecil, dan memadat. Pokoknya sampai nyaris lenyap. Lalu, dari sana, alam semesta yang kecil dan padat itu meledak lagi jadi Big Bang, ber-eks-pan-si lagi, dan begitu terus—"

Gelang karet yang mengikat kedua bola di tanganku putus, mencambuk bagian bawah mataku.

"Aw."

Bisa kulihat ibuku memasang tampang ngeri. "Aku akan bicara ke Ed supaya tidak cerita yang aneh-aneh lagi ke Leila."

"Ed suka teori-teori dan skenario yang liar begitu. Dulu dia berusaha sekali meyakinkanku perihal ujung semesta dan sebagainya." Ayah mengangguk setuju. "Dengar ibumu, Leila. Yang dikatakan Sir Ted itu menurut Ayah tidak benar. Yang benar adalah Big Rip, di mana energi gelap yang akan mengalahkan gravitas dan kita semua nantinya bakal tercabik-cabik lalu meledak ...." Ayah melirik ibuku, yang kini menatapnya dengan dingin. Ibu tidak punya muka galak, tetapi bukan berarti dia tidak punya muka seram. "Mari kita mengepang rambutmu saja."

Sekali lagi, aku mengedip. Kenangan masa kecil itu pun lenyap.

Segalanya serba putih di sekelilingku sekarang. Tidak ada lantai, dinding, langit-langit—hanya ruang kosong ... dan seseorang di hadapanku. Seorang pria dalam balutan setelan serba hitam. Tubuhnya tinggi besar, bahunya lebar, rahangnya kokoh, matanya sangat biru, tetapi meninggalkan kesan gelap. Bibirnya menyunggingkan senyum, dan aku merasa silau gara-gara itu.

"Rav ...." Aku menaungi wajah dengan tanganku.

Oh, tanganku ... tubuhku sudah kembali. Fisikku utuh lagi.

"Kalian membuka langit lagi." Pria itu membungkuk sopan, seperti gestur berterima kasih. "Sekarang, aku bisa pergi."

Aku hampir berkata, Baguslah—pergi sana. Namun, kuputuskan aku untuk lebih bijaksana. "Yah ... bagaimana pun juga, langit buatan itu menahanmu gara-gara di kaum kami ada seorang Komandan idiot serakah." Aku menarik napas dan berpikir-pikir apa lagi yang mesti kuucapkan. "Kau yang memodifikasi DNA kami atau apalah—jika kau pergi, apa kami bakal kembali jadi manusia normal lagi?"

"Tidak. Aku khawatir kalian akan tetap seperti ini sampai akhir karena kekuatan itu sejak awal memang ada di diri kalian, aku hanya membantu untuk membangunkannya." Ra menangkup satu tangannya dengan tangan lainnya, memandangi buku jarinya seolah ini pertama kalinya dia melihat jari. "Tapi, tentu saja di generasi selanjutnya, akan lebih sedikit yang memiliki kekuatan karena aku tidak ada. Jumlah kalian baru akan membludak lagi kalau aku datang."

"Tidak perlu buru-buru balik ke sini," kataku. "Santai saja."

Rav melebarkan senyumnya. Satu tangannya terulur. "Kalau begitu, ayo kita pergi."

"Eh?" Aku melongo. Kukerjap-kerjapkan mataku.

Oh, tidak. Ini dia. Seperti yang pernah terjadi pada Rav si pria gagak, wanita aneh bernapas asap, wanita yang menyanyi bintang kecil, juga ayahku. Dia menawarkan keabadian. Dia menawarkan seorang manusia untuk ikut bersamanya, menjadi dirinya—di mana konsep individu tidak akan lagi ada dan segalanya menyatu jadi satu energi besar si bintang jatuh. Ayahku menolak.

Aku memutar otak, mencoba memikirkan alasan pintar untuk menolak juga.

Aku harus bilang apa? Aku berpikir. 'Aku tidak boleh pulang malam-malam'? 'Air keran di rumahku menyala'? 'Jemuran belum kuangkat'? Itu bukan alasan bagus untuk menolak ajakan bergabung dengan entitas asing.

"Rav, aku—"

"Ayo!" Seli menyeruak muncul dari sisiku—entah sejak kapan dia di sana.

Aku makin melongo saat Seli menepuk-nepuk telapak tangan Rav yang terbuka, dan pria itu tersenyum saja seolah hal itu sudah lumrah.

"Tunggu," kataku, "jadi kau bukannya mau mengajakku?"

"Aku sudah mengajakmu tadi, tapi kau menolak, bukan?" kata Rav seraya tersenyum meminta maaf, menyiratkan, Yah, aku bisa apa.

Oh. Gambaran-gambaran acak-adut itu. Suara-suara aneh yang menawariku keabadian dan kekuatan mengembalikan segalanya, menghidupkan orang mati dan sebagainya—jadi ... aku sudah menolaknya ....

"Jadi," kataku, merasa begitu kecil dan sendirian, "sekarang bagaimana? Apa aku akan mati di sini?"

"Seperti segala hal yang sempat tertelan ke dalam—apa kalian menyebutnya? Limbo?" Rav tersenyum geli. "Yah, semua yang masuk, akan keluar lagi ke suatu tempat. Saat kalian berjatuhan, Limbo itu sedang ambruk dan berada di banyak tempat di saat bersamaan, bukan? Limbo itu menelan tubuh kalian. Tapi, begitu ia menghilang, semuanya akan dimuntahkan keluar lagi ke suatu tempat. Boleh jadi tubuhmu sudah berada di suatu tempat itu sekarang. Mungkin kau tenggelam di laut. Mungkin kau tertanam di bawah pohon. Mungkin kau masuk ke dalam lubang tikus. Mungkin kau terlalu sekarat .... Saat ini, hanya kesadaranmu yang tersisa, dan kita sedang bicara menggunakan Brainware-mu. Tidakkah kau menyadarinya?"

Kupandangi kedua tanganku sendiri yang mulai gemetaran. Perutku mulas memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu.

"Jadi, apakah aku masih hidup? Dan yang lainnya? Maksudku ... Erion, Truck, dan ... dan—"

"Kau takkan tahu kalau tidak membuka mata." Rav mengedikkan kepala, seperti mempersilakanku untuk pergi. "Tentu saja aku tidak bisa menjanjikan apa pun. Aku di sini hanya singgah dan melakukan barter dengan kalian. Kau bisa saja langsung mati begitu kau membuka matamu. Atau kau bisa saja masih hidup kalau kau berhasil bertahan sedikit lebih lama. Kau memiliki kekuatan penyembuh itu, bukan? Maka, semua tergantung pada dirimu. Apakah kau masih ingin berjuang lebih lama atau berhenti di sini."

Aku menatap Seli, yang tengah memandangiku dengan kepala ditelengkan. Matanya penasaran.

"Kakak mau ikut dengan kami saja?" tawarnya. "Kalau Kakak terdampar di tempat aneh, sudah pasti Kakak bakal mati. Dan, seperti yang kubilang, Kalau yang hilang tidak ketemu, akan ada yang mati lagi. Karena keempatnya berhubungan."

"Jadi?" Rav menunggu. "Kau berubah pikiran?"

"Tu-tunggu sebentar." Kucengkram bahu Seli erat-erat. "Seli, kau yakin kau ingin ... pergi? Maksudku, kalau kau pergi kau akan menjadi ...."—Mataku melirik Rav, yang masih tersenyum kaku, seolah hanya itu ekspresi wajah yang dihafalnya. "Kau ... kau Relevia. Kesempatanmu untuk hidup lebih besar daripada aku. Kau bisa pulang—"

Lalu, aku teringat. Pulang ke mana? Ibu dan ayahnya sudah tidak ada. Anak ini menghabiskan waktunya sebagai balita dengan dibuai ibunya di tanah pemakaman, masa kecilnya habis di Pusat Karantina di dalam kurungan, dan belakangan ini dia terjebak di Kompleks Sentral dalam pengawasan NC.

Erion hanya Multi-fervent, dan orang-orang masih butuh waktu untuk menerima anak itu. Seli ini Relevia. Takkan ada yang peduli meski umurnya 10 tahun. Bahkan jika dia kembali, apa yang bisa kujanjikan buatnya?

Aku sendiri ragu apakah aku bisa keluar hidup-hidup dari sini.

"Aku sudah lama ingin jadi bintang kecil." Seli menunjuk Rav dengan semangat. "Ibuku bilang, kalau aku jadi bintang kecil, kami mungkin bisa bertemu lagi meski hanya sebentar."

Aku terdiam. Dadaku mencelus.

"Kakak ...." Seli menarik-narik tanganku penuh simpati. "Aku akan dengan senang hati mengajakmu kalau kau mau pergi sama kami. Kalau kau mau kembali lagi ... aku mungkin bisa lakukan sesuatu. Tapi, jika kau tetap hidup,"—matanya berpendar keunguan—"suatu hari, apa yang kau lempar akan kembali kepadamu. Anak perempuan itu akan tahu siapa yang menghabisi ayahnya, dan dia akan datang untukmu." Matanya kembali normal. "Kau yakin, masih mau bertahan? Bahkan dengan kemungkinan lelaki yang hilang itu tidak akan kembali?"

"Aku ...." Kuedarkan pandanganku. "Aku harus ... mencari—Alatas ...."

Lalu, aku terpikir ... bukankah ini sudah selesai? Alatas memang keluar dari lubang intradimensi itu, tetapi kemungkinan besar dia muncul di tempat berbahaya juga—suatu tempat yang bisa saja membunuhnya seketika. Alatas telah hilang dan takkan ditemukan, maka akulah yang mati, sesuai perkataan Seli. Namun, Truck dan Erion masih hidup. Seharusnya aku bersyukur. Bukan Truck atau Erion yang berada di posisiku. Bukan mereka yang mati.

Jika aku menjadi keras kepala dan bertahan hidup ... bagaimana kalau Alatas masih hilang? Bagaimana kalau setelah aku bangun, Truck atau Erion yang akan menggantikan posisiku untuk—

Iya .... Lebih baik seperti ini saja. Aku tidak perlu bangun. Truck dan Erion bisa tetap hidup ....

Mereka hidup, 'kan?

Jantungku berdegup lebih kencang. Terakhir kali aku melihat mereka, keduanya tengah bergelantungan di ujung nasib. Neil tidak tampak. Hanya ada Seli yang mengalami trans karena pikirannya berada di sini, di ruang benak yang kosong bersama Rav.

"Kak?" Seli menelengkan kepalanya. "Bagaimana? Kakak hidup atau mati?"

"Aku ...." Dengan sedikit dorongan lagi, aku siap berkata bahwa diriku sudah mati. Hanya sedikit dorongan lagi ....

"Siapa yang tega-teganya melakukan itu ke kucing?" Kudengar suara Alatas di sisiku. Memori ini ... memori yang diberikan oleh Sir Ted kepadaku, didapatnya dari kepala Alatas. Ini saat kami di bungker Raios.

"Schrödinger memikirkan kalau dia mengurung kucingnya dalam kotak, bersama suatu bom yang 50% bakal meledak, maka kucing itu dalam keadaan hidup dan mati secara bersamaan selama kotaknya tidak dibuka, alias berada dalam superposisi, seperti halnya sistem dalam skala kuantum." Truck menjelaskan dengan sia-sia karena penjelasannya masuk ke telinga kiri Alatas dan keluar lewat telinga kiri lagi. "Jika kotaknya dibuka, maka dia akan melihat: kemungkinan pertama, bomnya meledak dan kucingnya mati; atau kemungkinan kedua, bomnya tidak meledak dan kucingnya hidup. Tapi selama kotaknya tidak dibuka, kucing itu hidup dan mati bersamaan."

"Kalau kotaknya tidak dibuka ...." Aku mengernyit. "Aku takkan tahu."

Seli mengangguk-angguk. "Kalau kotaknya tidak dibuka, Kakak tidak bisa mengasumsikan kucingnya sudah mati. Saat ini kucingnya sedang berjuang pada superposisi. Hidup dan mati."

Alatas dalam kenangan itu menatap Truck dengan pandangan hampa. "Aku masih tidak mengerti kenapa ada orang yang melakukan itu ke kucing."

"Tapi ...." Aku mulai menggigil lagi. "Bagaimana kalau dia sudah mati ...? Bagaimana kalau Binta dan Raios yang bertahan hidup? Bagaimana kalau—"

"Jadi, Kakak ingin mati saja?" Seli mengulurkan tangannya padaku. "Katakan saja kalau Kakak ingin mati."

Lututku lemas. Seluruh tubuhku seperti ditimpa bobot tak kasat mata hingga akhirnya aku jatuh berlutut di depan anak itu.

"Aku—" Berlinangan air mata, menyedot ingus dan membiarkan rambutku berjatuhan menutupi wajah, aku mencengkram bagian depan baju Seli. "Aku masih ingin hidup ...."

Aku tidak peduli jika saat ini aku kelihatan menyedihkan. Aku merengek pada anak 10 tahun, menangisi nasib dan menolak kematianku.

"Aku harus pulang pada ibuku," kataku sesenggukan. "Aku harus memastikan keadaan Erion—apakah dia baik-baik saja, apa yang dia makan, sudahkah dia mandi dengan benar, dan apakah lagi-lagi dia dipaksa menggunakan kekuatannya untuk melindungi orang-orang yang malah lebih tua darinya.

"Aku harus melihat Truck sekali lagi. Aku masih ingin melihat matanya dan memastikan tidak ada kebencian lagi di sana. Aku ingin dia tahu bahwa merelakan adiknya tidak sama dengan melupakannya sama sekali.

"Teman-temanku menungguku pulang. Embre, Neil, para Calor dan Teleporter masih di bawah sana—mereka masih berjuang.

"Sir Ted menghabiskan bertahun-tahun ini menyiapkan segalanya hanya agar aku bisa punya rumah lagi. Ayahku menghabiskan sisa hidupnya agar aku bisa hidup dengan normal. Ibuku melepasku agar aku bisa kembali padanya. Hingga hari ini aku merasa tidak melakukan cukup banyak untuk mereka bertiga, jadi aku harus kembali dan menebus itu semua. Orang seperti Raios pun masih punya kesempatan menebus dosanya—aku akan menjadi orang paling menyedihkan kalau aku menyerah di sini. Dan aku ... aku—"

Kurasakan Seli memegangi tanganku di bajunya. Tangannya begitu kecil.

Tangisanku pecah lebih keras. "Aku masih ingin percaya bahwa Alatas masih hidup ...."

"Baiklah."

Seli tersenyum lebar. Tangannya menarikku, memaksaku mengangkat wajah. Di balik tirai air mata, kulihat Seli mengangkat dua jari tangannya, lalu menyentuhkannya ke keningku. Bola mataku bergetar di rongganya.

"Aku menitipkan sedikit ingatanku padamu." Seli tersenyum, memamerkan giginya yang kecil-kecil dan tidak rata. "Bahkan setelah aku pergi, aku ingin seseorang tetap melihat bintang kecil buatku. Jika kau bangun, bertahanlah sampai seseorang menemukanmu."

"Nah." Rav melengkungkan sebelah tangannya, menawarkannya pada Seli untuk digandeng. "Mari."

Seli berpaling dariku, lantas mengait lengan pria itu. Kakinya melonjak-lonjak. Sorakannya terdengar lepas. "Langsung ke bintang kecil?"

"Tentu." Rav tersenyum. "Tapi, sebelum itu ...."

Rav menoleh padaku.

"Aku harus bertanya sesuatu," ujarnya. "Kenapa kau menolak keabadian?"

Air mataku bahkan belum kering. Jadi, saat bicara, aku terdengar seperti orang pilek. "Aku ... samar-samar mendengar suara ayahku. Dia memberitahuku bahwa manusia tidak bisa abadi. Bahkan mendekati pun tidak. Kalau manusia jadi abadi, kami justru bakal berubah ... menjadi sesuatu yang lain. Bukan lagi manusia. Dan aku masih ingin jadi manusia, normal atau tidak, aku tetap ingin jadi manusia."

"Ayah dan anak ternyata sama saja ...." Rav melempar pandang dengan tatapan mengenang. "Kurasa, ayahmu mengatakan hal yang sama dulu sekali, saat pertama kali aku memberinya kekuatan itu. Dia bilang, dia teringat ibunya—ah, Magenta ... orang pertama yang menolakku. Ayahmu bilang, ibunya bakal memukulinya dengan sandal jepit jika dia berani-beraninya menjadi makhluk abadi."

Di sekitarku, kenangan masa kecilku lagi-lagi diputar.

Saat Ayah memegangiku yang baru lahir, mempertahankanku dari gapaian para perawat suruhan NC, dia mirip anak kecil yang tidak mau berbagi mainannya dengan anak lain.

Saat aku baru memulai belajar bersepeda, dan dia kukuh memegangi jok belakang sepedaku meski aku berteriak minta dilepas.

Saat ibuku menyisir rambutku, dan Ayah berbaring di depanku, membiarkanku mengikat rambutnya kecil-kecil.

Hanya dengan berpegangan pada memori-memori sederhana itulah aku yakin ayahku tetap manusia, terlepas dari segala dosanya.

"Bagi beberapa orang, ayahku mungkin bukan orang baik." Kutatap kenangan Ayah yang menggendongku di atas bahunya, menyemangatiku untuk menggapaikan tangan sampai langit. "Tapi, dia membesarkanku dengan baik."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro