#30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam chapter ini, flashback-nya akan berbeda.

Semua chapter genap memang adalah flashback, tetapi saya tidak pernah bilang bahwa semua flashback itu berasal dari Leila

Karena Leila adalah Brainware, yang bisa menelusuri ingatan siapa pun yang paling 'dekat' dengannya

Semoga kalian tidak bingung
(。' A '`。)

________________________________

| RavAges, #30 | 2303 words |

KEGELAPAN ADALAH teman.

Dengan memeluk kaki dan menunduk rendah-rendah, aku berusaha menjadi tak terlihat saat sepasang sepatu bot melewati kurunganku. Kekuatan super yang biasanya kugunakan tidak bisa keluar lagi sejak aku dijebloskan ke sini.

Katanya, tempat ini bernama Pusat Karantina. Aku lebih suka menyebutnya kurungan. Karena di sinilah aku tidur—kotak sempit berjeruji yang kalau besinya dicengkram membuat tanganku kotor. Aku kesulitan mendongak dan tidak bisa duduk tegak. Padahal aku ingin berdiri. Kurungan ini sempit dan kecil. Selain punyaku, ada banyak lagi kurungan di ruangan ini, berbaris dalam kegelapan.

Sebelum masuk ke sini, aku ingat Nenek pernah punya ayam yang ditaruhnya dalam kurungan. Mila—cucu nenek yang lain—pernah memelihara kelinci, yang ditaruhnya juga dalam kurungan. Padahal aku bukan ayam atau kelinci, tetapi aku masuk kurungan.

"Subjek 377," gumam Sepatu Bot yang berhenti di depan kurunganku. Jantungku berdetak keras karena takut, membuat dadaku sakit. "Skala Fervor melampaui batas normal, fleksibilitas di atas rata-rata, dan punya fungsi majemuk. Kau yakin umurmu masih 8?"

Aku diam saja. Atap kurungan menekan ubun-ubunku, dan rasanya tidak enak.

"Anak tengik." Si Sepatu Bot mencengkram jeruji dan mengguncang kurunganku. "Kau dengar, 'kan?! Alat bantu dengarmu baru diperbaiki kemarin!"

"Erion," seru suara lain—suara perempuan. Namun, aku tidak melihat sepatu botnya. "Dia tidak akan menjawab kecuali kau memanggilnya Erion."

Sepatu Bot di depan kurunganku terkekeh. Satu tangan penuh bulu meraih ke dalam melalui celah jeruji. "Kau pilih nama? Buat apa? Mommy tidak ada buat memanggilmu, Papa juga sudah melupakanmu. Kau Subjek 377."

Jarinya hampir mencolokku di mata. Aku berjengit, lalu kugigit telunjuknya.

Sepatu Bot mengaum kesakitan. Dia berusaha menarik kembali tangannya, tetapi gigiku menancap kuat di sana. Kurunganku terguling jatuh sampai kepalaku terbentur. Jarinya menyodok ke kerongkonganku. Aku terbatuk dan mengeluarkan bubur benyek yang tadi pagi mereka berikan sebagai sarapan. Tanganku tertindih badanku sendiri, tetapi kurungannya sempit, aku tak bisa bangun. Sepatu Bot menendangi kurunganku, jadi aku menangis dan menjerit lebih keras.

"Sersan!" Suara perempuan tadi datang, lalu Sepatu Bot berhenti menendangi kurunganku. "Jaga sikapmu! Ini jam jagaku, jadi jangan seenaknya!"

Aku terisak sambil menaikkan lutut untuk menyeka ingus yang jatuh ke bibir. Setelah berkedip beberapa kali, barulah aku melihat wajah Sepatu Bot perempuan yang barusan berteriak. Kukenali wajahnya dalam keremangan—oh, itu Mama.

Dia bukan Mama sungguhan. Mama asliku sudah ditanam dalam tanah saat aku berumur tiga tahun. Ayah menikah lagi dengan Mama baru, lalu mereka memberikanku ke orang-orang ini supaya aku masuk kurungan.

Di tempat penuh kurungan ini, hanya ada satu perempuan baik hati di antara semua Sepatu Bot yang sering berkeliaran dan membuat kami takut. Perempuan baik hati itu kami panggil 'Mama'. Sayangnya, Mama tidak bisa di sisi kami tiap saat. Para Sepatu Bot menjaga kurungan kami secara bergiliran.

Para Sepatu Bot tidak suka menyalakan senter mereka. Mereka tidak suka kalau kami yang di dalam kurungan ini bisa melihat mereka. Jadi, tempat ini selalu gelap. Cuma Mama yang selalu menyalakan senter di bahu seragamnya saat menjaga kami. Meski bajunya serba hitam dan menyerupai orang jahat lainnya di sini, Mama tidak jahat. Dia sering menenangkan kami dan menyelundupkan sepotong—kadang dua—roti ke kurungan. Dia tahu bubur di sini tidak enak.

"Anak itu mengambil tabung kosong di laboratorium semalam." Si Sepatu Bot mengadu. Karena kurunganku miring dan aku terbaring gara-gara guncangan barusan, aku bisa melihatnya yang jauh lebih besar dari Mama. Lengan seragamnya tergulung, memperlihatkan otot tangannya yang gembung-gembung seperti balon.

"Biar aku yang ambil," kata Mama seraya mendorong laki-laki itu, lalu berjongkok di samping kurunganku. Dia membenarkan posisi kurunganku sambil membisikkan, "Sudah, sudah," sampai aku tenang. "Erion," panggil Mama lembut. Matanya mencari wajahku karena aku menunduk. "Erion, kudengar kau mengambil tabung saat jadwal pengecekan semalam. Apa itu benar?"

Ada yang nyeri di perutku setiap kali mendengar kata 'pengecekan'. Rasa sakitnya juga begitu kalau mendengar kata 'laboratorium', 'jatuhkan', dan 'mulai'. Kami dibawa ke ruangan terang, disuruh berbaris untuk dimandikan pakai asap. Setelahnya, lipatan tanganku ditusuk jarum lama sekali. Mataku ditutup.

Dulu, saat aku masih sering ke taman kota, aku melihat kuda yang menarik delman dan matanya ditutup. Kata Ayah, itu supaya kudanya berjalan lurus. Padahal aku sedang berbaring dan bukannya berjalan. Lagi pula, aku bukan kuda.

"Erion?"

Aku tersentak sampai kurunganku miring lagi, tetapi Mama menahannya.

"Kelamaan!" hardik Sepatu Bot.

Mama menjerit saat punggungnya ditendang. Dia berdiri, lalu mereka bertengkar. Mereka bertinju juga. Ayah pernah nonton acara tinju di tv, dan aku menangis keras-keras sampai dia mau mengembalikan kartun di tv. Namun, itu dulu, saat Mama Asli belum ditanam dan Ayah belum memberikanku ke kurungan.

Kucuil lipatan celanaku yang lembab dan bau, lalu menggelindingkan tabung kosong keluar kurungan melalui celah jeruji. Suara tinju berhenti.

Sepatu Bot mengatakan sesuatu saat mengambil tabungnya, tetapi kepalaku pusing, jadi aku tidak mendengarnya. Aku kepengin tidur, tetapi ini belum jamnya. Kalau kami tidur sebelum jamnya, biasanya kurungan akan disemprot air.

Lalu, aku teringat kalau sampai ada yang mengotori kurungan dengan air kencing atau muntahan, semprotan air juga akan datang. Kutatap sisa bubur yang tadi kumuntahkan di lantai, merembes ke luar kurungan.

"—jangan menipu dirimu sendiri!" Aku menegak saat mendengar Sepatu Bot. Kukira, dia akan menyiramku, tetapi rupanya dia sedang memarahi Mama. "Mereka bukan anakmu! Anakmu mati! Anak-anak ini memanggilmu Mama karena itulah yang mereka lakukan kalau mamanya menghilang—semua perempuan dianggap ibu! Ingat, mereka ini bahkan tidak bisa disebut anak-anak! Mereka iblis! Kau lihat apa yang dilakukan anak Calor di fasilitas pengembangan bulan lalu? Apa kau lihat apa yang tersisa dari pengawasnya? Mereka bukan manusia!"

Bukan manusia? Jadi, aku sungguhan kuda? Atau ayam? Kalau boleh, aku ingin jadi kelinci saja ....

Begitu Sepatu Bot menjauh, Mama berjongkok lagi dan mengintip ke dalam kurunganku. "Kenapa kau mengambilnya, Erion?"

Nada suaranya sedih, jadi aku menjawab sambil menotol-notol langit-langit kurunganku, "Hubaya herhenti dihinari."

"Supaya berhenti disinari?" ulangnya. Hanya ada empat orang di dunia yang bisa memahamiku saat aku bicara: Mama Asli, Kakek, Nenek, dan Mama yang ini.

Aku mengangguk. "Hadi, hoatha hag mu ... hat."

"Jadi, obatnya tak muat?" ulangnya lagi.

Aku terlahir begini. Tidak seperti anak lain yang cadelnya berhenti di umur tertentu, suaraku akan selamanya begini. Selain suara yang susah keluar, aku juga terlahir hanya dengan sedikit pendengaran di telinga kiri.

"Sayang, tabungnya ada banyak," lirih Mama. "Meski kau mencuri satu tabung, obatnya tetap akan diproduksi." Mama menggeleng, sepertinya tahu bahwa aku tidak paham apa yang dia maksud. Ada sesuatu di ujung matanya, tetapi aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Senternya dia redupkan agar tidak silau ke arahku. Tangannya yang kecil masuk ke celah jeruji dan membelai wajahku. "Kau masih benci dengan obatnya dan takut disinari, ya?"

"Hagid," jawab. Tanganku menunjuk-nunjuk badanku agar dia paham bahwa aku merasa sakit. "Hus ... sing ...."

"Pusing?" Mama kedengarannya terkejut. Tangannya meremas pipiku lembut. "Telingamu—apakah kadang masih mendenging? Atau ... pernahkah kau tidak mendengar apa-apa sama sekali beberapa waktu ini?"

Aku mengangguk semangat sampai ubun-ubunku terantuk atap kurungan.

Mama terdiam sebentar. Dia menarik tangannya, dan aku pun jadi ingin menangis lagi. Aku ingin dipegangi.

"Erion, coba bilang 'a'," pintanya.

Aku membuka mulutku. Suaraku tambah sengau. Suaraku jadi mirip kambing yang dulu dipelihara Nenek. Kambingnya sudah disembelih, lalu dibuat sate. Aku menangis keras sekali saat Junaidi mengembik dengan suara aneh di tanah. Ayah melingkupi wajahku, tetapi katanya 'lehernya sudah putus', jadi tangisanku tambah keras. Sampai Junaidi disate, aku terus menangis. Bahkan sambil memakani satenya, aku masih menangis. Aku sering menangis.

Orang dewasa tidak mengerti apa yang kuinginkan kecuali aku menangis.

Mama menambah terang senternya, lalu mengarahkannya ke mulutku, jadi aku buru-buru mengatupkannya lagi dan terhentak mundur.

"Tidak, ini tidak akan sakit," bujuk Mama, tetapi aku menggeleng kuat-kuat. Mama berkedip lagi, lalu sesuatu di ujung matanya menghilang. Suaranya bergetar saat bertanya, "Bagaimana dengan alat bantu dengarmu? Sudah lebih jelas?"

Aku mengangguk sembari menyentuh alat di telingaku. Saat mengantarku kemari, Ayah sudah membekaliku dengan alat itu, tetapi alatnya sering rusak karena beberapa kali aku lupa melepasnya saat disinari. Kalau disinari sambil memakai alat itu di telinga, kepalaku jadi sakit dan alatnya mendesis, tetapi aku harus memakainya karena, kalau tidak, suara semua orang terdengar seperti hukh nguuh zzzzzz ssssssss hwek mweh hwek mweh.

"Kau ingat lagu yang dulu kuajarkan?" tanya Mama lagi.

Aku mengangguk.

"Bintang kecil ...." Mama mulai bersenandung. Kudengar anak dari kurungan sebelah ikut menggumamkan liriknya, tetapi salah. Mama sering menyanyikannya setelah kami disinari, tetapi tidak ada anak yang menghafalkannya sebaik aku.

Aku meneruskan lagunya, tetapi aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Mama menunduk, lalu bahunya berguncang. Ketika dia mengangkat kepala lagi, dia mengusap matanya. Sepertinya Mama menangis.

"Anak pintar," puji Mama. Kurungan di sebelahku berguncang, jadi Mama pun berseru sambil tertawa, "Kau juga pintar Seli!"

Mama mengeluarkan sesuatu dari balik jaket hitamnya. Kotak. Penuh warna. Mereka menyebutnya rubik. Aku suka sekali benda itu. Rubik dibagikan kepada kami di hari pertama kami di kurungan. Anak yang tidak bisa cepat-cepat menyamakan semua warnanya dipisahkan dengan anak-anak yang bisa cepat menyamakan semua warnanya. Aku tentu saja bisa menyamakan semua warnanya dengan cepat. Namun, benda itu diambil begitu kami sudah dipisah-pisah.

Mama mengajakku bermain sebentar. Karena kawat ini tidak muat untuk rubik, jadi Mama yang bermain dan aku yang menunjukkan caranya. Aku menunjukkan mana yang mesti diputar. Tidak sampai dua menit, Mama mendengus kesal karena aku membuatnya meninggalkan satu warna berlainan di tengah.

Dia memutuskan untuk mengajakku bicara lagi, "Apa kau ingat—"

"Hingat," potongku. Mama selalu saja bertanya begitu. Saat dia ingin tahu apa yang kulakukan di rumah sebelum dijebloskan ke kurungan, saat dia ingin tahu apa aku punya saudara. Apa kau ingat? Aku selalu ingat. Saat aku baru bisa berjalan, saat Mama Asli mengajakku berkemah dan kami melihat bintang, saat Ayah membangunkanku subuh-subuh dan mengemasi bajuku—aku ingat semuanya.

"Kau ingat saat masih di dalam perut ibumu?" Kali ini aku terdiam. Jadi, Mama tertawa. "Nah, tidak ingat, 'kan."

Aku merengut. "Hingat!"

"Benarkah?" Mama tersenyum. Suaranya serak lagi. "Erion, pernahkah kau mendengar bahwa, sebelum diberi nyawa, para bayi selalu ditanyai oleh Tuhan: apakah kau bersedia terlahir ke dunia?"

Aku terdiam lagi.

"Bayi itu akan diberi tahu bagaimana dia akan hidup, bagaimana dia akan tumbuh besar, bagaimana dia akan mati. Lalu, bayi dan Tuhan akan membuat kesepakatan. Bayi pun lahir. Tapi ...." Mama berhenti sebentar. Sepertinya dia menelan sesuatu. Sesuatu yang berat. "Tapi, ada bayi yang memilih untuk tidak hidup di dunia. Maka, bayi itu akan pergi ke sisi Tuhan, bahkan saat masih di dalam perut ibunya. Kenapa seperti itu, Erion? Kenapa bayi itu tidak ingin hidup?"

Aku berpikir sebentar. Setelah menimbang-nimbang, aku menjawab, "Mungin, hi-up-a hagan hama henganggu."

Mama mengerutkan keningnya. Kupikir, dia tidak mengerti apa yang kukatakan, jadi kuulangi sampai dua kali: Mungkin, hidupnya akan sama denganku. Mungkin karena itu dia menolak lahir. Mungkin si bayi tidak mau tinggal di dalam kurungan kayak ayam. Aku juga sebetulnya tidak mau. Jadi, kenapa aku dulu malah setuju untuk dilahirkan?

"Lalu, kenapa kau memilih lahir, dan bayi itu tidak?" tanya Mama lagi.

Aku berpikir sebentar, lalu menjawab. Jawaban itu mesti kuulangi sampai tiga kali karena Mama tidak kunjung merespons. Aku menjawab: Mungkin, aku matinya bagus, dia tidak. Lalu, aku menambahkan, Bisa juga bayi itu tahu hidupnya bakal lebih banyak sengsara dan menyengsarakan orang ketimbang bahagianya.

Aku tidak tahu kenapa dulu aku bisa setuju untuk dilahirkan, tetapi pasti ada alasannya. Mungkin suatu hari, aku akan keluar dari sini. Mungkin suatu hari, Mama Asli akan kembali dan menjemputku. Pasti ada sesuatu yang menungguku di luar sana. Harus ada. Aku saat bayi tidak mungkin sebodoh itu untuk setuju dilahirkan kalau aku hanya akan jadi kelinci buruan di sini seumur hidup.

Banyak sekali yang ingin kusampaikan, tetapi Mama berhenti mendengar.

Dulu, orang-orang bersepatu bot itu pun seperti Mama—mereka tidak menendangiku. Mereka senang mendengarku berbicara meski lelet dan tidak jelas, mereka mau menunggu dan mendengar dengan saksama, lalu memujiku dan bertanya-tanya bagaimana anak 4 tahun tahu nama-nama planet dan gugus bintang. Aku tahu itu semua dari Mama Asli. Mama Asli menggunakan istilah 'menstimulasi' supaya aku tidak bisu total.

Orang-orang bersepatu bot akan menyimak ceritaku tentang Mama Asli. Dulu, mereka juga sempat mengajari kami berhitung, menemani kami main rubik, dan ikut bercerita. Dulu, kami makan bubur hanya untuk sarapan. Ada sayur dan buah saat siang dan malam. Ada camilan di antaranya.

Lalu, beberapa hal buruk terjadi—beberapa anak kelepasan menggunakan kekuatannya, melukai seseorang dan merusak barang-barang. Orang-orang bersepatu bot itu mulai menjaga jarak dari kami. Kemudian, mereka berkasak-kusuk cemas tentang pergantian komandan atau apalah. Tak lama setelahnya, orang-orang yang mengurus kami diganti, penerangan makin sedikit, dan jatah makan berkurang. Para Sepatu Bot itu berhenti menyimak ceritaku. Mungkin mereka capek, kayak Ayah. Ayah menggunakan istilah 'muak' karena dia tidak mengerti perkataanku sama sekali.

Suara alarm tiba-tiba bergaung, air memercik dari lubang-lubang di lantai dan melarutkan muntahanku ke lubang-lubang lain. Kegelapan lenyap sedikit demi sedikit saat lampu-lampu menyala. Aku pun melihat wajah Mama yang lebam. Bibirnya ungu dan benjol. Saat gelap, mudah sekali menganggapnya Mama.

Mama buru-buru berdiri saat suara aneh berdenging terdengar, "Jatuhkan."

Aku mulai panik. Perutku sakit. Kakiku ngilu. Tanganku juga. Aku ingin pipis, tetapi aku harus menahannya. Kupeluk lututku dengan satu tangan, lalu menyangga kepala dengan tangan lainnya saat kurungan kami dimiringkan serentak. Sesaat yang singkat, akhirnya aku melihat Mama yang berjalan keluar, masih terisak-isak.

Kenapa Mama menangis?!

"Mulai."

Aku ingin menjerit, tetapi suaraku sudah tidak bisa keluar. Aku kesulitan bernapas, jadi aku membuka mulut lebar-lebar. Degup jantungku cepat dan seperti ada banyak—di kepala, di leher, di pipi. Jantungku ada di mana-mana.

Kenapa Mama menangis ...?

Saat kurungan dijatuhkan dan jeruji yang renggang menghadap ke atas, lampu-lampu kuning menyorot. Segalanya makin terang dan terus menerang. Terdengar jeritan lain di kurungan sekitarku, tetapi kian hari jumlahnya makin sedikit saja.

Jangan menangis! Kamilah yang seharusnya menangis!

Aku gemetaran dengan posisi tubuh miring, berusaha keras menutup mata. Kulepaskan alat di telingaku, lalu kugenggam erat-erat. Cepatlah gelap lagi.

Kegelapan adalah temanku.

Panas. Rasanya seperti ditusuk. Kutendang kurunganku sampai kakiku sakit. Kubentur-benturkan badan ke jeruji dan kepala ke atap kurungan.

Mama—jangan menangis! Tolong kami!

Setiap kali disinari, selalu terpikir olehku bahwa barangkali Mama juga sama jahatnya dengan orang-orang berseragam hitam lainnya. Dia tak ada bedanya dengan para Sepatu Bot. Dia berada di luar. Dia bisa mematikan lampunya. Atau mengeluarkan kami sekalian. Kami yang seharusnya menangis, bukan dia.

Setelah selesai disinari, kami kembali ditemani gelap, lalu Mama akan datang dan menyanyi, dan aku kembali menginginkan bintang-bintang yang dijanjikannya, dan memanggilnya Mama lagi, dan mengemis kasih sayang palsunya lagi.

Karena, kalau tidak, aku akan mulai menyesali persetujuanku dengan Tuhan untuk dilahirkan. Aku tidak mungkin setuju kalau tahu bakal dikandangi seperti sekarang.

Tidak enak rasanya meninggalkan Erion dalam keadaan macam ini, jadi ....

.

.

.

.

.

.

.

.

Double updet? (◍•ᴗ•◍)❤ 

.

.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro