#31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #31 | 3858 words |

KUREGUK UDARA dengan susah payah. Mataku bengkak karena, sebanyak Erion menangis, sebanyak itu juga air mataku tumpah. Setiap kali menarik napas, aku merasakan sesak yang mengimpit Erion.

Di sisi lain, Truck tengah menyembuhkan luka di leher Alatas—ada bekas cekikan dan luka parut di sana. Dia mencoba membangunkan Erion sebelum ini, mengguncang-guncang badannya dan menggendongnya tanpa arah, bolak-balik seperti orang gila, tetapi anak itu tidak merespons. Setelah pipinya ditampar Truck, barulah Alatas mau duduk diam untuk diobati dan membaringkan Erion di sampingku.

"Dia masih hidup," kataku untuk menenangkan Alatas. Pemuda itu mengangguk, tetapi matanya menolak lepas dari Erion.

Aku kembali berbaring menyamping dan menelungkupi badan Erion yang dingin. Kuletakkan tanganku di dada kirinya, mengais ketenangan hanya dengan degup jantung kecilnya.

Beberapa Detektor pergi dan membawa serta dua senjata yang kami curi dari Raios, satu Brainware mati. Alatas bilang, ada empat Detektor yang dia bunuh di balik puing-puing dan kegelapan, tetapi kami putuskan untuk tidak mengeceknya. Kami biarkan jasad mereka tetap di tengah-tengah kehampaan peradaban.

Keheningan pecah saat terdengar langkah kaki dari kejauhan. Segera saja kami mundur serentak. Kudekap Erion dengan sikap protektif. Namun, Raios sudah keburu menghampiri sebelum kami bisa mengumpulkan tenaga untuk berdiri.

"Bagaimana keadaan kalian?" tanyanya.

Nah, itu kecemasan yang sama sekali tidak kusangka-sangka akan muncul pada orang yang baru kami khianati.

"Masih hidup," Truck menjawab dengan raut heran, tetapi terdengar defensif.

"Ayo, cepat. Aku meninggalkan Meredith di lorong bungker."

Kami bertiga berpandangan. Keheranan.

"Aku tidak marah kalian asal rampok senjata," kata Raios lagi. "Kalau kalian gagal mengusir para Pemburu itu, tentu aku bakal murka. Tapi, berhubung kalian berhasil mengusir mereka ... yah, terima kasih."

Cowok ini salah paham, kujeritkan itu ke masing-masing kepala Alatas dan Truck. Keduanya mengangkat alis bak orang bodoh, nyaris menyengir. Jangan senyum! Nanti ketahuan!

Buru-buru Alatas menunduk, sedangkan Truck mampu memasang wajah tenang palsunya. Bahkan, Truck nekat membubuhi kebohongan, "Alatas rupanya terbukti sebagai Detektor andal, ya, 'kan? Dia mendeteksi mereka sebelum para Pemburu sialan itu menyerang."

Aku menahan tanganku agar tidak menepuk kepalanya.

"Yang mana agak aneh," kata Raios. "Setahuku tingkat akurasi Detektor-nya rendah—"

"Para Pemburu sudah lama mengintai," tukas Truck seraya mengangguk-angguk sok. "Sejak kita dalam perjalanan menuju ke sini, sepertinya. Tapi, Alatas baru mendeteksinya malam ini—hanya beberapa menit sebelum mereka beraksi."

"Benarkah?" Raios mengernyit. "Jadi, ini penyerangan terjadwal? Kupikir mereka menyerang karena kalian sengaja keluar untuk memancing mereka."

Bodohnya, kau, Truck.

Truck mendelik tajam ke arahku usai aku berbisik ke benaknya. Dia kembali menatap Raios dan menjawab, "Tidak. Tentu saja tidak. Para Pemburu memang berencana menyerang kalian. Kau dengar, 'kan, ledakan di bawah tanah tadi—"

"Ledakan itu dariku. Sengaja." Raios bertambah curiga. Dobel bodoh, Truck! "Aku terbangun dan melihat pintu terbuka—kupikir, kalian kabur. Aku hampir menyusul kalian saat melihat, dari ujung lorong yang satunya, ada gerombolan Pemburu yang menyerbu. Jadi, aku dan Meredith meledakkan bungker dan mengurung mereka dengan longsoran."

"Jadi, mereka terkurung di sana?" Kualihkan pembicaraan. "Brilian!"

"Ya." Raios masih tampak curiga. Garis wajahnya mengeras, matanya memicing. "Jadi, kalian sebenarnya berencana—"

"Kami berencana bertarung sendiri," kataku akhirnya. Dengan rasa bersalah sungguhan, kuteruskan bukit kebohongan Truck sampai ke puncak. "Kami terbiasa bergerak berempat dan aku belum memercayaimu, jadi kuberikan ide tolol itu kepada mereka untuk menyerang Pemburu duluan. Maaf."

"Mencuri senjata itu ideku," tambah Alatas dengan suara serak agar kesalahan kami terbagi rata. "Maaf, Raios."

"Oh." Raios menatapku datar. "Kau lebih persuasif dari yang kusangka—caramu menanamkan ide super gegabah itu kepada Truck yang sekeras batu kali. Itu bisa jadi acuan untuk memperkuat Brainware."

Dia percaya. Ya, Tuhan. Ampuni kami bertiga.

Mata Raios beralih kepada mayat Brainware. "Siapa yang membunuh ini?"

Truck menepuk bahu Alatas, yang masih mendekap senjatanya seakan benda itu adalah boneka beruang, antara menenangkannya dan memberikan Raios jawaban.

"Kau ada bakat," kata Raios. Ujung kakinya menyundul kepala si Brainware. "Tepat di tengah. Kudengar, kau juga pernah kena masalah di Herde karena menembak kaki seorang Agen?"

Alatas menggeleng kuat-kuat. "Aku hanya bermaksud menggertak."

Raios mengedikkan kepala ke Erion di pelukanku. "Kalau yang itu kenapa?"

"Sinkop," jawab Truck lesu. "Brainware itu ... melakukan sesuatu kepadanya."

Aku memeluk Erion lebih erat. Biasanya, saat dia tidur sekali pun, aku masih merasakan aktivitas otaknya walau samar hingga aku tahu apakah tidurnya nyenyak. Kini, Erion begitu hening, padahal baru beberapa menit yang lalu emosinya meledak-ledak.

Raios kemudian mengedikkan kepalanya ke arah dia datang, menyuruh kami mengikutinya. Dia bahkan tidak marah meski kami menghilangkan dua senjata lainnya.

Kami mengikuti Raios dalam jarak aman. Truck membawa Erion di punggungnya, jadi aku membawa tas selempang dan senter Erion serta ranselku sendiri. Sedangkan Alatas menahan bobot ransel Truck serta ranselnya sendiri sekaligus di satu bahu, dan senjata yang terselempang di bahu satunya.

Kembali masuk ke dalam ceruk, kami berbelok ke lorong lainnya dan menghindari jalur yang menuju bungker. Di ujung tikungan lorong, Meredith menunggu kami. Baik dia mau pun Raios tidak membawa apa-apa, yang artinya mereka pergi begitu saja tanpa sempat menyelamatkan apa pun.

Raios menoleh untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi karena tatapannya malah tertumbuk ke tasku. "Apa saja yang kalian bawa itu? Ransel kalian tampak lebih gemuk dari sebelumnya."

Oh, tidak. Setelah sekian banyak kebohongan, masih mungkinkah untuk berkata, Kami mencuri dari dapurmu?

"Tas kami memang sepenuh ini habis menjarah mall," tukasku sebelum Alatas atau Truck sempat menjawab. "Untuk apa kau mengawasi tas kami?"

"Ya sudah," gerutunya, masih skeptis.

Raios dan Meredith membawa kami menyusuri lorong dalam diam dan jarak aman. Makin jauh, lorong itu makin menyempit—dinding beton melengkung di satu sisi, dan longsoran tanah di sisi lain. Kami sampai harus memepet dinding pipa dan berjalan menyamping seperti kepiting untuk melaluinya. Erion bahkan harus berpindah ke gendongan Alatas karena Truck saja sudah seperti dua orang—akan sulit baginya melewati lorong sempit ini kecuali dia ingin menggencet Erion di punggungnya.

Aku menahan napas karena longsoran tanah amat dekat dengan wajah. Beberapa bangkai tikus terselip di dalam gundukan, bau gosong tercium begitu dekatnya. Sekilas, kudengar bunyi dengung di balik longsoran. Baru kemudian aku sadar, "Kita sedang mengitari bungker?"

"Yang kuledakkan? Ya," jawab Raios.

"Maksudmu, yang pacarmu ledakkan?" tanya Truck.

Raios berdecak. "Ya."

"Aku selalu tahu bahwa Corona berbahaya," cibir Truck seraya menyikut dinding tanah agar bisa bergerak maju. "Tapi, aku tak pernah memperkirakan seorang Peledak bisa meluluh-lantakkan bungker baja."

"Tidak, hanya tanah sekitarnya saja," jawab Meredith. "Bungker masih utuh di dalam. Yang meledak hanya lorong yang mengitarinya, seperti parit raksasa."

"Jadi, para Pemburu masih hidup di dalam sana?" tanyaku seraya mendorong Alatas agar dia bisa bergerak maju.

Raios terkekeh. "Ya. Sampai mereka kehabisan udara. Aku sudah merusak Pemicu. Sebentar lagi mereka takkan punya cahaya di sana."

Begitu kami terbebas dari lorong sempit, Erion kembali digendong Truck. Truck sesekali melepaskan pegangan dari sebelah kaki Erion untuk memencet pangkal hidung seperti orang mengantuk. Alatas di sampingku terus menegakkan lehernya dengan sengsara—melihatnya seperti itu, aku seolah ikut merasakan sakitnya dicekik.

Udara terasa lebih lembap saat kami makin dekatdengan saluran pembuangan. Menyusuri pipa raksasa yang penuh jamur dan lumutyang membuat mata berkaca-kaca, aku melihat beberapa bintik cahaya pada lorongpipa, seperti cat-cat menyala kemerahan di Garis Merah. Namun, cat-cat ini birudan hijau.

Alatas yang menyadari ke mana arah mataku pun berkata dengan suaranya yang masih kesat dan serak, "Cat fosfor. Kau bisa mematikan senternya kalau mau."

Kumatikan senter Erion, meninggalkan kami dalam temaramnya cat menyala yang menyerupai bintang-bintang. Aku masih bisa melihat lumut di sekitar pipa, tetapi tidak lagi melihat bangkai tikus atau hewan merayap lainnya. Semuanya berkat bintang-bintang buatan ini.

Bintang dalam got. Apakah wajar jika aku merasa senang melihat pemandangan macam ini? Setelah sekian lama hidup di bawah atap hitam kubah malam abadi, aku merindukan cahaya langit.

"Apa itu fosfor?" tanyaku. "Siapa yang membuatnya di sini?"

"Mungkin Fervent lain? NC selalu memakai warna merah. Dan, masalah apa itu fosfor ...." Alatas menyengir dalam remang-remang, jarinya menunjuk Truck. "Tanya Truck saja."

"Diamlah kalian," kata pemuda itu di depan kami. Nada bicaranya lebih dingin daripada biasanya saat bertanya kepada Raios, "Sebenarnya kita akan ke mana?"

Raios menjawab tanpa menoleh, "Ada markas Steeler di dekat sini."

"Steeler?" ulang Alatas. Wajahnya masih kehilangan rona, jadi aku nyaris tak yakin kalau dia sedang terkejut atau apa.

"Kenapa?" tanyaku seraya berjalan lebih dekat dengannya.

Dia menggeleng. Selama beberapa lama, Alatas tidak bicara, jadi kupikir dia tidak mau menjawab. Namun, kemudian dia berbisik, "Aku tidak suka di antara para Steeler. Mereka ... congkak."

Aku terkejut. "Kau, 'kan, Steeler?"

"Karena dia bodoh sebagai Steeler," kata Truck di depan kami. Tangannya membenarkan kaki Erion di sisi tubuhnya. "Jadi, Steeler lain malu mengakuinya sebagai spesies sejenis."

Aku hampir tertawa, tetapi aku berusaha menjagaperasaan Alatas saat dia mengeluh, "Mereka tukang pamer! Suka seenaknyadan sok berkuasa di Herde."

Truck mendelik dari balik bahunya. "Memang kau tidak?"

"Oh, ya—masih ada yang dendam masalah septic tank, hah? Tenang saja. Kau masih rajanya orang congkak, Truck."

Aku tidak tahu apa kesalahan penampung tahi dan urin itu sampai dibawa-bawa, tetapi Alatas dan Truck seperti ingin tonjok-tonjokan sungguhan. Aku terkesiap ketika Truck berbalik dan Alatas mengebelakangkan selempang senjatanya. Secara refleks, aku berdiri di antara keduanya.

"Kita sedang lelah," bisikku di antara kedua pemuda itu. "Kita belum tidur, dihantui rencana Raios, dikacaukan oleh sekelompok Pemburu, dan sedang bernapas di dalam saluran got. Jangan biarkan itu semua meracuni emosi kalian."

Keduanya masih menolak untuk menyingkir dari satu sama lain.

"Ayolah," bujukku seraya mendorong Alatas pelan—karena aku tidak punya tenaga untuk mendorong mundur Truck.

Saat aku menghadap Alatas, ranselku menyenggol Truck tanpa sengaja, membuatnya tersaruk mundur. Aku berbalik untuk meminta maaf, tetapi tas selempang Erion yang menggantung di bahuku malah menampar paha Alatas. Aku berbalik lagi kepada Alatas, bertepatan dengan Truck yang menggeram maju, jadi ranselku menghantamnya lagi. Tidak jera, aku berbalik dan kembali menghantam Alatas dengan tas selempang Erion—tidak sengaja!

Meski pucat dan lelah, mereka tetap bisa memasang tampang sebal kepadaku.

"Ei," kataku seraya menunjuk keduanya yang mengerut-ngerut muka sedemikian rupa, "tidak boleh menonjok anak perempuan. Itu hukum alam. Wanita selalu benar."

Aku melupakan betapa Truck pernah melayangkan tangan ke wajahku cuma untuk membuktikan bahwa aku Cyone. Aku juga sempat lupa bahwa, saat emosinya tidak terkendali, Alatas bisa memanggili logam untuk menyatai kami semua tanpa sengaja. Kepanikan membuatku meracau seadanya. Aku berada di antara dua anak lelaki yang bisa meremukkanku kapan saja, tetapi yang kucemaskan kini hanya satu: Erion, tergolek lemas di punggung Truck, yang entah bagaimana nasibnya kalau dua lelaki ini berkelahi.

"Tolong ...." Aku gagal menyembunyikan rasa takut dalam suaraku yang gemetaran. "Jangan bertingkah seperti anak 5 tahun. Erion bocahnya di sini. Bukan kalian."

Setelah beberapa detik keheningan yang mencekam, Truck akhirnya balik badan dan berjalan. Alatas sendiri mengekor dengan kepala tertunduk dan mengedepankan kembali selempang senapan untuk memeluk popornya.

"Maaf," bisik Alatas. "Kami membuatmu takut."

Raios dan Meredith menjaga jarak dengan kami di depan, tetapi aku bisa merasakan tatapan mereka yang terarah kepada kami melalui lirikan sesekali.

"Erion," lirihku untuk mencairkan suasana, "dia kenapa? Sinkop itu apa?"

"Pingsan," jawab Truck, masih terdengar seperti anak-anak yang merajuk. "Dia tidak akan apa-apa."

Aku menelan ludah. "Apa yang Brainware itu lakukan?"

Truck mengangkat bahu hingga pipi Erion mengerut di sana. "Membangkitkan traumanya? Menanamkan ketakutan baru? Entahlah. Kau Brainware. Apa yang kau lakukan kepada anak Phantom yang mematahkan lenganmu jadi tiga?"

Aku menggeleng ngeri. "Aku tidak akan melakukan itu semua."

Entah bagaimana aku merasakan ketakutan dan kemarahan semua orang. Dengan heningnya pikiran Erion, pemikiran lain justru lebih jelas. Aku bukan hanya mendengar kali ini. Aku merasakan mereka. Aku ingin berteriak dan menangis, lalu duduk mengerut di pojok terowongan tanpa ingin diganggu siapa pun. Di saat bersamaan, aku ingin meninju orang-orang. Aku ingin membenturkan kepalaku ke kening seseorang, lalu menjerit di wajahnya. Masalahnya, aku tidak bisa membedakan emosi mana yang milik siapa. Semuanya tercampur.

Aku menggeleng dengan histeris sampai Alatas mengerutkan alisnya heran.

"Bagaimana kalau Erion tidak bangun lagi?" tanyaku cemas. Dengan fokus hanya kepada Erion, sedikitnya aku menghalau campuran emosi itu dari meracuni akal sehatku. "Aku ... sempat merasakan ledakan emosinya tadi, dan sedikit kenangan tentang Pusat Karantina. Setelahnya, dia pingsan."

Truck mendelik dari balik bahunya, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Alatas yang akhirnya bertanya, "Leila, apa kau tahu kami menemukan Erion di mana?"

Aku menggeleng pelan.

"Di dalam brankas besi," jawab Alatas. "Di antara kobaran api saat Pusat Karantina yang menampungnya mengalami kerusuhan. "

"Pusat Karantina adalah tempat di mana NC menjalankan beberapa percobaan terhadap anak-anak yang belum puber," jelas Truck. "Setelah serangkaian percobaan dilakukan, ditarik kesimpulan bahwa pubertas adalah faktor utama yang mengaitkan fungsi Fervor dengan PF13. Agar PF13 bisa berkerja dengan efektif terhadap anak-anak, Pusat Karantina berfokus kepada anak-anak di bawah umur sebagai objek penelitian. Mereka mengambil anak-anak yang sudah tidak punya keluarga, yang dibuang oleh orang tua mereka. Banyak hal mengerikan terjadi di dalam sana. Tidak heran jika Erion menumbuhkan trauma di tempat itu."

"Herde itu seperti penjara, tapi Pusat Karantina adalah neraka. Saat aku dan Truck menemukannya, Erion agak ... kacau." Alatas menuturkan. "Dia tidak menyukai cahaya. Phantomnya tidak terkendali hingga membuat badai dan pohon-pohon tercabut dari akarnya."

"Dulu ini sering terjadi," sambung Truck seraya mengedikkan kepalanya ke arah Erion yang masih tak bergerak di bahunya. "Selain amukan Phantom, dia juga sering kejang dan pingsan jika kami mengarahkan senter ke wajahnya."

"Karenanya kami biarkan senter itu dipegang olehnya," jelas Alatas. "Erion selalu lebih tenang saat dia yang mengarahkan cahaya senter itu, bukan sebaliknya. Tapi .... Sejak kau ada, dia tidak pernah begitu lagi. Dia tidak pernah pingsan lagi."

"Kau Brainware. Seharusnya kau yang paling memahami tentang trauma itu sendiri," timpal Truck.

"Aku tidak tahu. Kadang, aku memang menangkap sesuatu dari Erion. Sesuatu yang liar. Seperti insting ... entahlah. Tapi, aku tidak memahaminya. Aku .... Maaf."

"Kenapa minta maaf?" tanya Alatas. Suaranya lembut sekali, dan itu membuatku makin mengantuk.

"Karena, setelah berlagak menyusun rencana untuk mengakali ...."—Kukedikkan kepala ke arah punggung Raios. "Rupanya Brainware-ku sama sekali tidak berguna, bahkan hanya untuk memahami seorang anak yang otaknya paling akrab denganku selama ini."

"Ini otak manusia," sanggah Truck. "Aku justru lebih khawatir kalau kau langsung memahami Erion sedalam-dalamnya. Itu artinya, aku atau Alatas yang bakal jadi objekmu selanjutnya."

Alatas malah membungkuk di sisiku dan berbisik, "Aku mau saja. Toh, jiwa ini seutuh-utuhnya sudah jadi milikmu, Leila."

"Moncong senjatamu mengarah ke wajahku," keluhku. Alatas pun menegakkan kembali badannya sembari menggaruk tengkuknya malu-malu.

"Lagi pula," lanjut Truck lagi, "kurasa, kau sudah cukup menjalankan tugas sebagai Brainware terhadap Erion. Tahu, 'kan, salah satu fungsi otak manusia adalah proteksi diri. Ada tiga kondisi fisiologis fundamental yang diatur untuk aktif oleh sistem saraf otonom berdasarkan tingkatan bahaya yang mengancam individu—" Truck tampak tak peduli jikalau kami meneteskan air liur dengan pandangan mata hampa. Dia tetap melanjutkan, "Kau mungkin baru merasakannya sekilas. Tapi nanti kau akan menyadari prosesnya bahwa stimuli itu berasal dari luar, diperoleh dari indra dan berkumpul di thalamus, lalu informasi itu diturunkan ke amygdala di sistem limbik, dan ke atas di lobus frontalis agar disadari—"

"Truck," sela Alatas. "Jangan pakai bahasa alien."

Aku putus sekolah saat SMP, tetapi aku masih memiliki orang tua dan belajar di rumah setelahnya. Truck menghabiskan waktunya dikejar dan dihantui Agen Herde. Rasanya masih seperti sebuah penghinaan melihat Truck yang lebih pintar dariku. Padahal, kalau boleh jujur, wajahnya tidak mirip orang pintar. Atau mungkin itu karena badan besarnya yang selama ini kuidentikkan dengan tempurung gigantis tanpa otak di dalamnya.

Truck mendengus. "Barusan hanya gambaran besarnya."

"Langsung ke intinya—kau bilang, aku sudah berguna," tuntutku. "Jangan harap bisa menutupi itu dengan penjelasan panjang lebar."

Dia berdecak, "Maksudku, seseorang punya tiga tahap perlindungan diri saat dihadapkan pada kejadian traumatis. Pertama, dia akan berteriak meminta tolong, secara sosial mencoba melibatkan orang lain. Kedua, adalah upaya primitif—lawan atau lari. Jika gagal, tahap ketiga adalah menjadi pasif." Kepalanya mengedik ke arah wajah Erion di bahunya. "Kondisi freeze atau collapse."

Alatas mengangguk paham. "Erion tidak bisa berteriak. Dia tidak bisa membagi ketakutannya kepada siapa pun. Tapi, tidak setelah ada Leila. Karena Leila mendengarnya."

"Itu sudah seperti semacam jaminan bagi alam bawah sadarnya, bahwa tidak akan ada yang membahayakannya lagi. Setidaknya, seseorang mendengar teriakan minta tolongnya," pungkas Truck.

Mataku berkaca-kaca. Kurasakan keinginan kuat untuk mengambil alih Erion dan menggendongnya sendiri, tetapi aku tidak akan kuat.

Lalu, aku menyadari dua pasang mata yang mengamati kami di depan.

Hanya karena bertemu mata sesaat dengan Raios, aku langsung teringat pin yang kucuri di atas nakasnya. Aku sendiri tak mengerti dorongan apa yang membuatku ingin mengambil benda itu di kamar Raios dan Meredith—mungkin karena ia sempat berkedip memantulkan cahaya lampu. Refleks, kumasukkan tanganku ke saku celana, meraba pin curian itu dan merasakan teksturnya. Bundar seperti manik-manik, licin, dan—

Aku menekan sesuatu yang membuat benda bundar itu mengerucut sesaat sebelum kembali membulat. Sesuatu mencuat keluar seperti pengait dan menggores tanganku. Saku celanaku robek.

Matilah aku matilah aku matilah mampus mampus mampusmampusmampus!

Aku menahan napas dan mencengkram lengan Alatas. Dia menoleh, lalu membelalak begitu melihat lengkungan logam sepanjang 3 inci dari saku celanaku.

"Apa ini?" bisiknya, dengan panik menunjuk-nunjuk saku celanaku.

Suaraku tidak mau keluar karena adrenalin. Kalau Raios tahu, tamatlah aku.

Alatas memasang tubuhnya di depanku sebagai penghalang dari orang-orang di depan. Saat Truck bertanya apa yang kami lakukan, Alatas berteriak, "Kalian duluan saja! Aku, uh—em ... Leila berdarah!"

"Tidak apa-apa!" Kudongakkan kepala melampaui Alatas yang membungkuk. "Hanya tergores sesuatu! Kalian duluan saja!"

Truck mencoba menghampiri kami, tetapi aku memelototinya. Tentu saja tidak mempan. Pelototannya lebih seram. Namun, begitu dia sampai di belakang Alatas dan pandangannya jatuh pada benda yang merobek saku celanaku, dia buru-buru berbalik dan meyakinkan Raios untuk terus berjalan meninggalkan kami.

"Kita tidak bisa berpisah!" tolak Meredith. "Bagaimana kalau mereka tersesat?"

"Kalau begitu, kita cari lorong yang sempit untuk istirahat sejenak," desak Truck. "Aku butuh tidur, setidaknya setengah jam."

Meredith masih tampak cemas saat Truck mendesak mereka maju.

"Kenapa ini?" tanya Alatas lagi setelah yang lainnya menghilang dalam gelap di depan.

"Benda yang kucuri dari Raios. Aku menekan sesuatu, lalu ini terjadi!"

"Mengenai kakimu?"

"Hanya jari tangan!"

Alatas mengorek dan menarik perlahan logam itu. Meski gelap, mataku menangkap peluh yang mengucur dari pelipisnya. "Aku tidak bisa mengendalikan logamnya." Namun, dia tetap berhasil menarik kail itu bersama pinnya. Alatas mendongak menatapku. "Kau yakin, tidak mengenai kakimu?"

Aku memperlihatkan luka gores di jariku, yang perlahan-lahan mengecil. Setelah tadi aku bertingkah seperti orang yang akan mati, kini hanya tersisa rasa ngilu dari selapis kulit tipis yang menutupi luka itu.

"Sementara ini mungkin tidak infeksi," katanya, masih gemetaran sepertiku. "Tapi kita tidak tahu kait ini untuk apa dan pernah menusuk apa saja."

"Bisa infeksi?" cicitku ngeri.

"Nanti kita tanya Truck," jawabnya. "Lagi pula, ada antibiotik di ranselku—Truck mencurinya dari bungker Raios."

Aku tidak tahu Cyone pun masih membutuhkan obat-obatan seperti itu, tetapi aku mengangguk saja dan mengekori Alatas.

"Biar aku yang simpan dulu," katanya seraya memasukkan pin curian kami ke saku depan ranselnya. Seraya menuntunku menyusuri lorong, Alatas berbisik, "Kurasa, kita kena karma karena membohongi Raios."

"Dia yang membunuh orang," kataku, "kenapa kita yang kena karma?"

Aku tercekat saat menyadari omongan macam apa yang baru terlontar dari mulutku.  "Alatas, maaf—"

"Sudahlah," lirihnya. "Aku memang membunuh Brainware dan Detektor itu."

Kueratkan peganganku pada tangannya. "Alatas, mereka orang jahat. Mereka membunuh lebih banyak orang."

"Jadi, apa bedanya aku dengan mereka sekarang?" tanyanya.

Aku membuka mulut, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Alatas tidak pernah pandai menyembunyikan apa yang dirasakannya. Semua ucapan dan tindakannya merefleksikan apa yang ada di kepalanya—sesederhana itu. Namun, aku malah lebih susah lagi untuk memahaminya. Aku terbiasa menyimpan isi pikiranku untuk diriku sendiri, mungkin karena itulah aku seperti menatap cermin besar saat melihat isi pikiran Truck dan Erion. Namun, saat melihat benak Alatas, aku menyaksikan sesuatu yang sama sekali baru.

Alatas berhenti di depanku tiba-tiba. Di depan, lorong bercabang jadi dua.

"Mereka ke mana?" gumamnya seraya mengamati kedua lorong bergantian.

Aku mendengar sesuatu di lorong kiri. Sesuatu yang menetes. Mungkin, ada air, dan orang-orang yang sedang berjalan di arah sana. Lagi pula, Truck tadi bilang ingin mencari jalur yang lebih sempit untuk mereka beristirahat, 'kan? Jalur kiri juga lebih gelap, kemungkinan besar mereka memilih tempat gelap untuk beristirahat. Jadi, kukatakan, "Kiri?"

Aku berjalan mendahului Alatas. Dia mengekor dan meraih tanganku.

"Kukumu lepas," celetuknya.

"Jangan ingatkan aku tentang itu."

Kami meraba-raba dinding pipa yang begitu dingin di bawah telapak tangan. Pupil mataku membesar seiring dengan kegelapan yang menelan. Lalu, cat-cat biru itu kembali terlihat. Bunyi air yang tadinya samar, sekarang terdengar mengalir deras. Yang kulakukan hanya berjalan lurus sampai Alatas menarik tanganku.

Aku tidak menyadari sama sekali bahwa pijakan kami sudah berganti menjadi tanah yang menurun. Jalur pipa berakhir, dan hanya ada becek yang masuk ke sepatu. Aku melakukan kesalahan dengan mengambil satu lagi langkah ragu-ragu. Tumitku menggelincir ke bawah dan tubuhku jatuh.

Kepanikan menguasaiku. Aku bahkan tidak bisa berteriak—hanya mampu mengeluarkan suara ringkikan ngeri saat Alatas dan aku jatuh terperosok.

Kami terguling sampai Alatas berhasil mengaitkan selempang senjatanya ke bebatuan yang mencuat. Ranselnya merosot dari tangannya, tetapi aku berhasil menangkapnya. Tidak selesai sampai sana, kancing samping tasnya ternyata terbuka, menjatuhkan beberapa gulung perban dan obat-obatan curian dari bungker Raios ke aliran gorong-gorong. Pin curian kami menyembul keluar.

Dengan ketololan luar biasa, aku melepaskan peganganku untuk menahan pin tersebut. Aku merosot jatuh lebih jauh sampai Alatas menangkap pergelangan tanganku. Karena bobot berantai ini, batu keropos tempat tali senjatanya menyangkut pun menyerpih dan memutuskan untuk melepaskan kami.

Akhirnya, pecahlah jeritanku.

Kudengar gerungan kasar dari Alatas saat dia melepaskan senapannya dan menangkap pinggangku, menukar posisi kami. Terguling dengan posisi kepala yang menuju ke dasar jurang, Alatas menggunakan siku dan menekuk kakinya untuk bergesekkan dengan tanah, menahan laju jatuh kami. Kami merosot sekitar empat meter lagi sebelum Alatas berhasil menghentikan kami dari menjemput ajal menuju WC raksasa di bawah sana.

Selama beberapa saat, yang kami lakukan hanya bernapas keras-keras sambil mengumpulkan nyawa.

Aku mendongak, mengamati dasar ceruk di belakang kepala Alatas. Air kotor mengalir deras di bawah sana, diterangi cat-cat biru yang menyebar tidak beraturan. Di atas, mulut pipa tempat kami jatuh begitu jauh di atas sana. Ceruk ini cukup dalam, tetapi tidak terjal. Jadi, kami tersangkut di tengah-tengah.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku sambil masih tersengal.

Kuamati wajah Alatas di antara keremangan, dipenuhi tanah dan banjir keringat. Matanya terpejam, wajahnya mengerut kesakitan. Jantungnya berdenyut makin cepat di bawah tanganku, dadanya naik-turun sama cepatnya.

"Kakiku mungkin patah," bisiknya lirih.

Aku nyaris menjatuhkan kami lagi saat mencoba bangkit dari atasnya, tetapi sebelah tangan Alatas menahan punggungku. Wajahku jatuh membentur dadanya.

"Jangan bergerak," katanya, benar-benar lirih. Aku mungkin tidak akan mendengarnya jika bukan karena kesunyian, hanya dengan bunyi aliran air pembuangan di kejauhan dan gema. "Kita baru saja membatalkan kematian kita di lubang toilet—jangan minta pesan ulang."

Aku bersikeras mengangkat kepalaku. Kuamati Alatas, yang keringatnya makin banyak. Matanya setengah terpejam. Napasnya panas menerpa wajahku.

"Aku akan coba mencari Truck," kataku seraya meraba-raba dalam ingatanku sendiri, mengenali seluk beluk pikiran Truck yang sekeras baja dan serumit jalinan akar serabut, lebih pelik daripada otak siapa pun yang pernah kuselami. Namun, kali ini Truck terasa begitu tenang dan damai. Sangat hening.

Sialan. Apakah dia sudah tertidur lelap? Cepat sekali!

Baru terlintas sebentar di pikiranku untuk meminta bantuan pada Raios, tetapi kemudian kurasakan sedikit aktivitas dalam kepala Erion.

ERION!

Dengan kelegaan luar biasa, aku memasuki alam bawah sadarnya. Ini semacam fase di mana biasanya dia hampir terbangun, masih setengah sadar, tetapi pikirannya mulai terbuka. Kukira, dia sudah sadarkan diri.

Tak kusangka, aku malah disambut oleh mimpi buruk dan rasa resahnya yang lain.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro