#32

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #32 | 2974 words |

AKU MENDENGAR Seli sesekali, bertanya dengan gemetar apakah aku ingin buang air atau tidak. Sepertinya dia cari teman. Sudah dua kali minggu itu ada Sepatu Bot yang memarahinya karena mengompol dalam kurungan.

Meski aku tak menjawab, Seli tetap bicara. Bukannya tak mau menjawab, tetapi belakangan, aku seolah lupa cara menyuarakan kata-kata—saat aku berusaha mengeluarkannya, tidak ada seorang pun yang tampaknya mendengar.

Bahkan saat Mama mengucapkan ulang tahun yang ke-10 untukku minggu lalu, aku tidak bisa bertanya dia tahu dari mana. Sejak itu juga, dia tidak pernah datang lagi ke ruangan kami.

"Erion ..." bisik Seli setelah empat Sepatu Bot menjauh. "Kau lapar, nggak?"

Gara-gara dia bertanya, perutku jadi berbunyi. Kami belum makan karena tadi pagi melancarkan aksi merajuk besar-besaran—tidak ada yang mau makan kalau tidak diberi daging ayam. Sudah bertahun tidak ada daging lagi. Jatah air minum kami juga dikurangi. Orang-orang bersepatu bot sudah bilang tidak ada kiriman lagi dari pusat, tetapi tidak ada yang mengerti dan peduli. Jadi, kami mogok makan.

Sebenarnya, aku hanya ikut-ikutan. Yang lebih dulu mengambek minta ayam adalah anak gendut besar—kami memanggilnya Brutus karena dia mirip musuhnya Popeye .... Sebenarnya, aku yang memulai panggilan itu. Aku ingat Brutus dan Popeye dari salah satu kartun yang dulu diputar Ayah agar aku berhenti menangis. Anak lain yang tidak tahu apa itu Brutus ikut-ikutan memanggilnya Brutus. Brutus sendiri tidak tahu apa itu Brutus, jadi dia oke saja.

"Aku lapar ..." desah Seli. "Lapar sekali ...."

Bunyi keriut pintu terbuka membuat Seli kaget. Aku juga kaget. Biasanya bunyi keras tapak kaki bakal terdengar mendekat dulu kalau ada Sepatu Bot, tetapi yang ini tidak. Tahu-tahu pintu terbuka saja. Seli pun tersedu-sedu, "Maaf ... laparnya nggak jadi .... Maafkan aku ...."

Namun, yang datang bukan Sepatu Bot. Cahayalorong menyoroti enam kaki—Sepatu Kotor Bertali, Sepatu Kotor Tidak Bertali,dan Kaki Sungguhan. Kuputar roda di alat telingaku, lalu suara Brutus terdengarjelas, "—yang ini, Om."

"Jangan panggil om, sudah dibilang berapa kali!" sahut suara lain.

"Burut ..." panggil Seli dengan suara serak. Hidungku mekar karena menahan tawa. Burut itu penyakit yang kalau isi perut turun sampai bawah—Ayah bilang, turun berok atau hernia. Entah siapa yang pernah kena burut, pokoknya Ayah pernah bilang begitu. Seli tidak tahu apa itu Burut. Kadang, dia memanggil Brutus dengan 'Berutus' atau 'Burutus'. Kadang cuma Burut.

Aku memicingkan mata dan menyadari kalau kaki yang telanjang itu montok-montok jarinya—kaki Brutus. Padahal, seharusnya dia masih dihukum karena memulai pertengkaran saat sarapan.

"Buat apa kita melepas Arka di ruangan-ruangan ini?" tanya seseorang. Aku tidak tahu suara itu punya sepatu yang mana. Aku cuma bisa mengintip sampai lutut mereka dari celah kawat. "Kita tidak punya waktu menyelamatkan siapa-siapa!"

"Kita tidak menyelamatkan mereka!" balas suara lain. Suaranya jelek. "Kita hanya akan menggunakan kericuhan yang mereka hasilkan untuk kabur!"

Sepatu Kotor Tidak Bertali berjalan ke ujung ruangan. Setelah mereka berpisah seperti itu, barulah aku bisa membedakan suara mana yang keluar dari sepatu siapa. Suara selanjutnya keluar dari Sepatu Kotor Bertali yang masih berdiri di depan pintu. "Memanfaatkan kericuhan? Dari anak-anak ini?"

"Sejak kapan kau peduli pada anak-anak?" tanya Sepatu Kotor Tidak Bertali yang naik ke atas kurungan kosong.

Sebagian kurungan di sini sudah kosong. Aku tidak tahu kenapa, selalu ada anak yang hilang setelah pengecekan. Pertama kali aku diantar Ayah kemari, ada sekitar ... banyak anak. Di ruangan ini, dulu ada 50 kurungan yang terisi. Sekarang, kurungan yang terisi hanya sebelas. Ada aku, Seli, I'in (cara dia mengatakan namanya seperti itu, ada tekanan di antara huruf i), Brutus, Lana, Subjek 362, Subjek 383, Subjek 388, Subjek 389, Subjek 390, dan Subjek 394. Iya, aku ingat. Aku ingat banyak hal, meski aku masih berusaha mengingat apa kiranya yang dulu Tuhan iming-imingi sampai aku setuju dilahirkan. Aku tidak mungkin setuju kalau tahu bakal dikandangi seperti sekarang.

"Bukannya peduli," sanggah Sepatu Kotor Bertali. "Gadis itu ... pasti kecewa."

"Gadis yang baru kau selamatkan itu? Buat apa juga kau jatuh hati padanya, Yos?!" Sepatu Kotor Tidak Bertali mendecak, seperti decakan ayah dulu kalau aku mengajaknya bicara. "Bantu aku melepaskan Arka keparat ini! Kalau permaisuri itu ngambek, bilang saja ini ideku!"

"Giok," kata Yos si Sepatu Kotor Bertali. "Ada yang datang."

"Bereskan saja," kata Giok si Sepatu Kotor Tidak Bertali. Dia berjinjit dan mulai mengerang kesusahan. "Aku sibuk di sini, Yos. Habisi petugas itu di lorong."

"Kalau seragamnya dilengkapi Arka?"

"Mereka cuma Pengawas! Yang seragamnya pakai Arka hanya orang-orang markas pusat! Nah, lain cerita kalau wacana peningkatan produksi Arka sudah terlaksana. Tapi, kau, 'kan, bawa pistol."

Yos si Sepatu Kotor Bertali pun berjalan menjauhi pintu, meninggalkan Brutus.

"Om," panggil Brutus pada si Giok.

"Jangan panggil om."

"Om tidak ada sesuatu untuk dimakan? Aku benar-benar lapar."

Mendengar itu, Seli cepat-cepat menyahut, "Aku juga!"

"Hmm," jawab Giok sekenanya. Dia melompat turun dari kurungan kosong, lalu berjalan ke pintu. Di saat bersamaan, Yos datang. "Kau menembaknya?"

"Tidak. Suara pistol bisa membuat yang lain datang. Untungnya, tidak ada Arka di seragam pengawas itu."

"Bagus, ayo!"

Mereka pun pergi, diikuti oleh Brutus yang masih merengek, "Om, lapar."

Di sebelahku, kurungan Seli berguncang. Biasanya dia begitu—bergerak-gerak gelisah karena capek duduk, ingin buang air, atau berusaha mengajakku bicara. Satu-satunya yang masih senang bicara di sini tinggal dia.

Aku terkejut saat Seli berhasil memutar kurungannya menghadapku. Dalam kegelapan, aku melihat matanya yang menyala. Katanya, "Aku ... melihat sesuatu. Kau melihatnya, Erion?"

Aku beberapa kali melihat Seli dengan rambut pendeknya yang kusut karena kami selalu bersisian saat dibariskan menuju pengecekan, jam ke toilet, dan jam makan. Matanya tidak menyala saat itu. Namun, sekarang matanya menyala ungu.

"Kau tidak seram," kata Seli. "Karena suaramu aneh, kukira kau seram."

Aku memutar badan dengan susah payah agar duduk membelakanginya. Namun, dia berkata lagi, "Aku masih melihatmu. Hidungmu lucu. Matamu juga bagus. Mirip mata Mama. Cokelat."

Aku mendengus, tetapi aku tahu dia tidak bisa mendengarnya.

"Tidakkah kau melihatnya, Erion?" racau Seli lagi. "Ada langit ... dan bintang. Ada matahari juga. Ah, matahari ternyata juga bintang."

Aku mengernyit, lalu menoleh ke arahnya. Mata Seli menerawang ke langit-langit. Aku tahu dia seorang X, tetapi bukankah kami tidak bisa menggunakan kekuatan di dalam kurungan?

"Besar, panas ... lebih hebat daripada saat kita disinari." Seli berkedip lagi. Makin sering dia berkedip, cahaya ungu itu makin menyebar ke wajahnya. Kepalanya jadi mirip anggur besar yang menyala. "Ada aku di sana, Erion. Kau tahu, Mama menamaiku Selena karena dia menyukai bulan? Apa kau melihatnya juga? Bulan ternyata bagus, tapi seram. Aku takut."

Aku lebih takut sama kamu. Kurasa, dia tidak mendengarku.

Dan lagi, bagaimana caranya dia bisa melihat sampai bulan? X-ku saja hanya bisa melihat dalam gelap.

"Ada aku ..." kicaunya lagi. "Aku ... dipeluk ibuku. Ada papaku juga. Itu saat mereka menamaiku. Aku masih dibungkus kain hangat. Dan ... sekarang aku meringkuk. Aku masih di dalam Ibu. Kepalaku di bawah, kakiku di atas .... Oh! Sekarang, aku tidak punya kaki, Erion! Kau melihatnya? Aku ... aku menggumpal."

Dia ngomong apa?

Cahaya ungu menyebar sampai ke badannya. "Kita bebas. Tak lama lagi."

Suara Sepatu Bot terdengar. Perutku terasa melilit saat empat Sepatu Bot muncul, bertanya kepada satu sama lain mengapa pintu ruangan kami terbuka.

"Ini dia," bisik Seli. Cahaya ungu di badannya hilang.

Dua pasang Sepatu Bot memasuki ruangan, melewati kurungan-kurungan, dan pergi ke ujung. Salah satunya bertanya dengan gugup, "A, apa hanya mataku atau Arka memang tidak ada di tempatnya?"

Pintu terbanting menutup dengan sendirinya, meninggalkan kami dalam kegelapan total dan keheningan yang mencekam.

Ada rasa takut, tetapi ia tak datang dariku. Datangnya dari suara gemelutuk badan yang gemetaran dan Sepatu Bot di ujung ruangan. Lalu, suara dentang pun terdengar, mirip suara besi yang berbenturan. Apakah alat di telingaku rusak lagi?

Tubuh Seli menyala ungu lagi, menerangi seisi ruangan dengan warnanya. Tiba-tiba saja dia sudah berada di luar kurungannya, berdiri menatap dua pria bersepatu bot yang kini merapat ke sudut. Kurunganku sendiri sudah terbuka—atap kurunganku hilang. Dengan perasaan lega yang membuatku ingin menjerit keras-keras, aku berdiri dan meloncat keluar kurungan.

Satu per satu anak berdiri dari kurungannya. Sebagian besar dari kami bungkuk dengan bahu yang maju ke depan karena terlalu lama dikurung. Di dekatku, seorang anak laki-laki—Lana—merentangkan satu tangannya ke kurungan terakhir, dan tercabutlah atap dari kurungan itu. Subjek 394 pun berdiri.

Phantom memanggil-manggil dalam diriku seperti teman lama yang mengajak bermain, begitu pula Peredam. Dan, begitu aku berkedip, X memancar hingga aku bisa melihat seisi ruangan dengan lebih jelas. Namun, Teleporter masih hening. Sinar-sinar jahat dan proses pengecekan telah membunuh Telepoter-ku.

Kulihat Lana masih memiliki Steeler-nya. Seli juga masih memiliki X, tetapi aku tak tahu apa yang terjadi kepada Relevia-nya—aku ingat Fervor apa saja yang ada di sini karena di hari pertama kami masuk kurungan, ada sesi pengenalan.

Kedua pria bersepatu bot memandangi kami dengan horor, sekujur tubuh mereka bergetar. Mereka memejamkan mata, mengangkat tangan, dan melakukan gestur yang dulu kuingat untuk berdoa kepada Tuhan. Aku sudah lama tidak melihat gestur itu lagi sejak Mama Asli dikubur, dan sekarang aku melihatnya dari orang dewasa bersepatu bot tepat sebelum Subjek 394—Phantom—merentangkan tangannya dan merobek jalinan tubuh keduanya.

Lana menarikku dan Seli—mungkin karena aku dan Seli yang paling kecil, dan Lana yang paling besar, jadi dia merasa harus mendahulukan kami. Lana menyentuh pintu, lalu besinya terhempas ke luar. Dia mendorongku dan Seli ke lorong, sementara dia sendiri menghadap ke ruangan gelap untuk terakhir kali, lalu membuat gestur yang sama seperti mendoakan dua pria bersepatu bot yang masih dicabik-cabik oleh teman-teman kami di dalam.

"Ayo!" ajak Lana seraya menarikku dan Seli, tetapi Seli menepisnya. Alih-alih, anak perempuan itu malah masuk kembali ke dalam ruangan.

Lana menarikku sehingga aku tidak bisa melihat apa yang Seli lakukan di dalam sana. Aku tak pernah mengerti kenapa Relevia begitu menyukai mayat.

"Erion," kata Lana menggebu. Dia panik dan takut. Aneh. Seharusnya tidak perlu takut lagi. Kami sudah bisa pakai kekuatan. Lagipula, dia yang paling besar—umurnya sudah 12. Dia lebih tinggi dariku. Dia, mungkin, lebih pintar juga dariku. Namun, suaranya malah terdengar gemetaran saat dia mengguncangkan bahuku. "Kau ikut aku, ya?"

Kenapa? Aku menunjuk kedalam ruangan, menirukan gestur berdoanya, lalu memiringkan kepala sebagai isyarat bahwa aku mempertanyakan perbuatannya.

"Mereka orang jahat, tapi mereka tetap orang!" jawab Lana sambil membelalak ngeri. Matanya biru di kanan, merahdi kiri—aku baru memerhatikannya. Sebelum ini, kami selalu berjauhan saat dibariskan. "Kita jangan seperti mereka yang jahat!"

Tidak boleh membalas?

Namun, Lana tidak memahamiku. Dia langsung menarikku berlari menyusuri lorong, meninggalkan kurungan kami. Meninggalkan Seli dan yang lainnya. Begitu kami berbelok, lorong sudah dipenuhi anak-anak dan mayat-mayat berseragam hitam. Lorong jadi merah karena darah. Lana menyempatkan diri untuk mengupas salah satu pintu besi, lalu menaungi kami dari benda-benda aneh yang beterbangan.

Setelah berbelok beberapa kali, kami harus merangkak di antara darah dan tubuh-tubuh berseragam hitam dan sepatu bot yang tidak lagi bergerak. Aku membuka mulutku dan mencoba mengeluarkan apa yang ada di dalam, tetapi aku belum makan apa-apa, jadi tidak ada yang keluar kecuali liur pahit dan ingus.

"Ayo, terus, Erion!" teriak Lana di atas kepalaku. Dia melingkupiku dengan segenap badan dan besinya. Dia tampak keren.

Begitu kami mencapai pintu yang terbuka lebar menuju rumput terhampar, Lana menarikku berdiri. Kami berlari keluar, menyongsong udara dan kegelapan yang sesekali disoroti lampu-lampu. Puluhan anak Icore mengamuk di sekitar pagar listrik. Anak-anak Steeler—kecuali Lana—merubuhkan tiang-tiang besi. Ada yang meledak di seberang, dan ada yang terbakar hebat di seberang satunya.

Aku tidak peduli. Aku tersenyum lebar saat merasakan rumput lembap di kakiku. Ada ranting tajam yang menggores kakiku. Aku harus cari sepatu.

Di atas, pesawat berbaling-baling—namanya helikopter—menyorotkan cahaya terang ke tanah. Saat cahaya itu jatuh ke seorang atau dua anak, sesuatu melesat dan membuat anak-anak itu rubuh. Aku mendongak, menyaksikan beberapa orang yang mengarahkan pistol besar panjang ke anak-anak yang mereka soroti. Mereka membidik banyak Steeler dan Phantom.

Lana menarikku lagi. Kami berlari menyebrangi tanah berumput. Bunyi desing riuh di udara. Dinding demi dinding terkoyak di belakang kami seperti kertas yang dirobek—aku sebenarnya kepengin ikut merobek-robeknya. Brankas-brankas berisi tabung beterbangan bersama rak-raknya. Beberapa mayat tersangkut di sana. Karena penasaran, aku mengangkat tanganku untuk menarik satu mayat wanita dengan Phantom. Aku bertanya-tanya apakah itu Mama, tetapi setelah kulihat-lihat lagi mukanya beda.

"Hentikan itu!" Lana memukul tanganku sampai tubuh wanita itu jatuh. "Tidak boleh! Kita tidak boleh menjadi monster seperti yang NC harapkan!"

Bertahun-tahun hidup di dalam kurungan, sering kali aku mendengar itu—NC—tetapi aku masih tak tahu apa itu persisnya. Di antara Fervor, Ferventorang-orang jahat berseragam dan bersepatu hitam, kata 'NC' juga seperti cerita hantu di antara kami yang hanya bisa mengobrol dalam kegelapan saat orang-orang bersepatu bots tidak ada.

Siapa NC?

Lagi-lagi, Lana tidak mendengarku. "Cepat! Aku sudah tidak bisa membelokkan peluru lagi! Terlalu banyak!"

Kami baru berlari beberapa meter di lapangan saat bunyi aneh merambat di udara. Ada bola api besar yang terbentuk di ujung lahan dekat menara yang menyorotkan lampu. Begitu ledakan terjadi, menara itu roboh, dan orang-orang yang terlalu dekat pun terdorong oleh hawa panas—termasuk aku dan Lana. Kami terpelanting cukup jauh. Lana mengerang di tanah seraya memegangi punggungnya yang terhempas. Aku juga berguling kesakitan.

"Dia akan meledak lagi." Lana mencoba berdiri. "Kita harus menjauh—"

Anak Corona di bawah menara itu lagi-lagimenguarkan cahaya dari seluruh badannya. Dia seperi tidak peduli jika ada anak lainatau dirinya sendiri ikut mati.

Jangan! Aku menjerit di dalam kepalaku. Tanganku melibas ke arah anak itu. Awalnya, aku hanya berniat mengempaskannya dengan Phantom, tetapi ada keinginan lain di dalam diriku: aku ingin ledakannya berhenti.

Dan berhentilah ledakan itu.

Secara bersamaan, anak-anak di sekitarnya pun kehilangan kekuatan. Para Phantom yang tengah menerbangkan dinding-dinding kebingungan karena kekuatan mereka tak berfungsi.

Lana tercengang. Padahal dia baru berdiri, tetapi malah terduduk lagi. Diseretnya pantatnya menjauhiku.

"Kau Peredam?" tanyanya dengan suara bergetar yang malah diisi lebih banyak kengerian daripada saat seorang Corona akan meledak di dekat kami.

Helikopter melintas di atas kami. Cahaya-cahaya itu membunuhi lebih banyak anak. Suara tembakan berturut-turut mendesing. Alat di telingaku mendenging. Mungkin karena kasihan atau apa, Lana memutuskan untuk melupakan ketakutannya terhadapku. Dia berdiri dan menarikku, tetapi tidak lagi memegangi tanganku. Dia lebih memilih mencengkram lengan bajuku seolah itu bisa menjauhkannya dari Peredam kecil ini.

Sambil terseok, aku mengikuti Lana. Dia pun menyeret kakinya sekuat tenaga sambil melihat-lihat pagar mana yang masih bisa kami lalui saat tiba-tiba sorot cahaya muncul di depan kami.

Lana berbalik dengan panik dan mendorongku, lalu menjatuhkan badannya di atasku. Itu adalah saat di mana dia benar-benar melupakan bahwa aku adalah Peredam.

Aku tidak melihat jelasnya karena badanku telungkup. Kurasakan badan Lana berkedut, seperti dikejutkan sesuatu. Saat aku berbalik dan berusaha mendorongnya dari atasku, belikat kirinya sudah memerah sampai menyebar di punggung bajunya. Bau darah.

Lana? Aku menggoyangkan badannya yang tidak kunjung bangun dari tanah. Matanya membelalak seperti kaget.

Lana? Aku masih memanggil dan mengguncangkan badannya. Kurenggut bajunya, memaksanya bangun. Tanganku jadi merah terkena darahnya. Lana!

Desing terdengar lagi, jadi aku memeluk Lana. Phantom melingkupi kami berdua. Desing-desing itu menabrak dinding Phantom, pilar-pilar berdebum di sekitar kami, dan api membakar sampai segalanya terang. Kucengkram baju Lana lebih erat, berharap dia merasa sakit dan memukul tanganku lagi. Aku ingin dia bangun, jadi kami bisa lari ke sana—ke pohon-pohon.

Kepalaku sakit. Aku menangis sampai terbatuk-batuk.

Lama sekali aku melingkupi badan Lana sampai, sepertinya, aku ketiduran.

Begitu aku bangun, mataku sembab dan wajahku lengket. Darah Lana menempel di pipiku. Ingus mengering di atas bibirku.

Sepi. Orang-orang menghilang. Helikopternya sudah pergi. Hanya ada orang mati, benda-benda hangus, dan remah-remah bangunan yang mirip kue kering retak-retak. Kuputar lagi alat di telingaku, tetapi yang terdengar hanya retih api.

Retih api mengingatkanku pada api unggun saat kami sekeluarga berkemah. Mama Asli memelukku dalam tenda dan mendongeng tentang peri hutan. Mataku menelusuri asap api unggun itu, yang meliuk ke atas, lalu pandanganku jatuh pada bintang-bintang. Aku bertanya kepada Mama Asli, bintang apa yang disukainya. Dia bilang: Erion.

Atau Orion?

Arion?

Aku ingat persis bagian 'rion'nya, tetapi saat itu aku tidak mendengar dengan jelas huruf awalnya. Kusimpulkan bahwa dia bilang Erion—pokoknya sesuatu yang mirip itu. Bintang yang namanya berasal dari seorang raksasa pemburu dalam mitologi. Aku memang ingin menjadi kelinci, tetapi aku tidak mau diburu. Aku tidak mau jadi mangsa. Aku ingin menjadi kelinci yang berburu.

Sekarang tidak ada bintang. Yang ada hanya api, langit hitam, dan badan-badan orang mati. Ada besi-besi juga dan percikan kembang api dari pagar. Ada semen. Ada pecahan kaca yang berkilat. Namun, tidak ada bintang. Hanya ada aku—satu-satunya yang masih hidup di antara yang lainnya. Bahkan, bintang-bintang di atas tidak hidup.

Mama bohong. Mama yang menyanyi tentang bintang—dia bohong.

Ataukah, saking kecilnya, bintang itu tidak kelihatan? Tapi, aku X—aku bisa melihat hal sekecil apa pun ..., 'kan? Lagi pula, Seli juga melihat bintang saat masih di kurungan tadi.

Sekarang aku harus ke mana? Ayah akan menjemputku tidak, ya? Ataukah Mama Asli yang akan mengajakku pergi bersamanya?

Bau! Bau darah. Bau mayat. Bau pesing. Bau gosong. Kepalaku sakit lagi, jadi kulepaskan alat di telingaku. Aku jadi tuli.

Kutemukan brankas yang masih utuh, lalu menyapu beling dari dalamnya dengan Phantom. Aku masuk ke dalam dan meringkuk seperti saat aku masih ada dalam kurungan. Aku seperti ayam. Kata Mama, ayam akan berkokok kalau melihat cahaya. Mungkin ayam itu merasa takut sepertiku.

Langit hitam .... Dasar pembohong. Tidak ada bintang di sini.

Aku bergelung. Aku merasa kecil. Sebelumnya, aku juga kecil, tetapi kurunganku juga kecil. Jadi, aku tidak pernah merasa kecil-kecil amat.

Bintang kecil .... Lagu itu terngiang dalam kepalaku.

Aku jadi berharap, seandainya saja aku ikut ditanam bersama Mama Asli bertahun-tahun lalu. Mungkin, kami akan jadi akar, lalu menumbuhkan sesuatu seperti kecambah atau cabai. Atau kami akan jadi cacing. Jadi tikus tanah juga tidak apa-apa. Setidaknya, kami tidak sendirian.

Ayah, kapan mau menjemputku? Kalau aku berhenti mengeluh tentang istri baru Ayah, apakah Ayah akan menjemputku? Dijemput istri baru Ayah juga tidak apa-apa.

Kalau bisa, aku mau dijemput Mama Asli saja.

Aku terisak sebentar sampai sadar bahwa tidak ada yang mendengarku. Sekeras apa pun aku menangis, tidak ada yang tahu. Tidak ada yang dengar.

Bintang kecil .... Kupandangi pepohonan dan api, lalu mendongak ke langit, lalu bergelung lagi ke dalam naungan besi seolah sedang berada di bawah lindungan Lana. Di langit yang biru ....

Karena saya lagi kepengin jahad, untuk hari ini tidak ada double updet dulu

Tapi, kalau dipikir lagi minggu kemaren juga udah double updet ....

Hmm ....

Ternyata saya tidak jahat



Song: You'll Be Okay by Michael Schulte

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro