#33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #33 | 4350 words |

"LEILA?" ALATAS mengangkat sebelah tangannya dan menyeka air mata yang jatuh di bawah mataku.

"Erion ..." isakku. "Aku melihat masa lalu Erion lagi."

Alatas memegangi wajahku sementara aku terus terisak-isak. Dia menyeka pipiku dengan lengan bajunya, tetapi air mataku terus keluar. Aku merasa seperti anak kecil lagi. Saat umurku 5 tahun, tangisanku yang paling keras disebabkan oleh kaki yang terjepit roda sepeda. Ibu menenangkanku dan menggeret sepedanya dengan aku yang masih duduk dengan kaki menggantung di atas sadel. Melihat darah yang menyecer di jalan gang, tangisanku makin kencang, mungkin terdengar sampai ke jalan raya. Aku menangis sampai wajahku merah.

Dari kebingungan di mata Alatas untuk menyikapiku, barangkali aku tengah menangis seperti itu—seperti anak 5 tahun.

"Iya, sudah—cup, cup. Sudah, ya. Hei, hei." Alatas mengangkat daguku. Tutur katanya persis seperti caranya mengajak Erion bicara. "Lihat kakiku. Bengkok. Aku tidak bisa mengangkat kita ke atas. Bagaimana kalau kita panggil Truckey?"

Masih sesenggukan, aku berdiam sebentar di atas dadanya, mengatupkan bibir rapat-rapat dan mencoba menenangkan diri. Sesuatu meleleh dari hidungku. Lalu, aku membuat Alatas syok dengan membuang ingus dan menyeka ujung hidungku di dada bajunya.

"Maaf," kataku tanpa punya daya lagi untuk menatap matanya.

"Eh, iya. Nggak apa-apa. Kuanggap itu jejak cintamu untukku."

Untuk sejenak, pikiranku kosong dan terasa seperti bukan pikiranku sendiri. Aku lupa bagaimana cara meraba ke dalam otak orang lain. Sepintas, aku sempat ingin mengangkat kami berdua dengan telekinesis ... sampai aku teringat bahwa aku bukan Phantom.

Truck! Aku meneriakkan nama itu keras-keras dalam hati. Truck!

Butuh waktu lebih lama daripada biasanya sampai aku benar-benar merasa masuk ke dalam kepala pria itu. Seperti sebelumnya—hening. Truck begitu tenang. Namun, semua itu hanya berlangsung selama beberapa menit sampai kemudian aku merasakan otot-ototnya meregang dan jantungnya berdegup cepat. Transisinya hampir sekejap. Gambaran-gambaran itu kulihat begitu saja—acak dan gelap. Baru kemudian aku sadar dia sedang bermimpi. Di alam bawah sadarnya, pria itu tengah berlari mengejar sesuatu.

"Aria." Kusuarakan nama itu. "Ari—"

"Jangan dilihat," bisik Alatas seraya mengeratkan tangannya di pipiku. "Truck tidak akan suka."

Keningku mengerut. Bagian dalam mataku terasa sakit dan kepalaku pening. Jika bukan karena suara Alatas, aku tidak akan bisa mengembalikan diriku lagi. Perlahan, sisa kesadaran Leila-ku mengambil alih. Segera saja aku menyentakkan diriku dengan satu teriakan: TRUCK!

Aku merasakan Truck terbangun. Wajahnya membentur dinding logam karena, sepertinya, dia sedang berbaring dalam posisi miring. Untuk sesaat, aku nyaris merasakan sakitnya di wajahku sendiri. Buru-buru aku menarik diri darinya.

Bangsat! Kudengar Truck menjerit di dalam kepalanya.

Truck, panggilku. Dia masih menyumpah dalam pikirannya. Dia baru berhenti mengabsen segala jenis kosakata yang buruk saat aku menyela, Kaki Alatas patah.

Hening sesaat. Kupikir, dia marah—aku tidak berani masuk lagi untuk mencari tahu. Begitu kesadarannya sungguh mengemuka, barulah Truck bersuara, Kalian di mana?

Aku mengerjap, mencoba mengatur penglihatan di kegelapan. Gotnya longsor di sini. Saat ada pipa yang bercabang, kami masuk ke jalur kiri.

Kenapa kiri? gerungnya. Itu lorong paling gelap! Kau sama tidak berotaknya dengan Alatas?

Penggerutu, keluhku. Di saat aku berpikiran kalau kadar menyebalkanmu tidak mungkin bisa lebih tinggi lagi, kau malah mengejutkanku—kau naik level hanya karena kurang tidur.

Kami berkelahi sebentar secara telepatis sampai Alatas memanggil namaku dengan suara rendahnya. Dia bernapas makin keras. Bajunya basah oleh keringat.

Kau mau menolong kami atau tidak?! bentakku. Alatas sudah seperti akan pingsan di sini!

Truck tidak membalas lagi. Kurasa, dia menuju ke arah kami ... kuharap.

Kuseka peluh di kening Alatas dengan lengan bajuku, persis seperti saat dia menyeka air mata serta menahan darah dari hidung dan mulutku sebelum ini.

"Jangan mati dulu," bisikku dalam kegelapan. Kumajukan tubuhku di atasnya untuk mendapatkan pencahayaan dari cat menyala di dasar jurang sana. "Kau tidak pernah tidur gara-gara PF13, berarti kau juga tidak bisa pingsan, 'kan?"

Dia menggerakan kepalanya sedikit. Sepertinya itu gelengan—entahlah.

"Kalau habis ini aku jadi cacat," bisik Alatas lemah, tetapi bibirnya masih menyunggingkan senyum miring, "kau harus tanggung jawab, Lei. Kau harus menyuapiku setiap hari, membantuku duduk dan berbaring, memandikanku—"

"Seperti seorang istri?" tanyaku, yang dibalasnya dengan gerakan kepala kecil lagi—sangat jelas bahwa itu anggukan. "Kalau aku jadi istrimu, aku akan meracuni kopimu setiap pagi."

"Kalau aku suamimu, aku akan meminumnya." Perlu beberapa detik bagiku untuk mencerna ucapannya, lalu terkekeh, setengah sebal karena dia rupanya sudah bisa membalas sarkasme.

"Aku senang mendengarmu tertawa, Lei," bisiknya lagi, "tapi kakiku tambah sakit kalau kau banyak bergerak."

Aku buru-buru menutup mulut. "Maaf."

"Tidak. Tidak apa-apa," lirihnya lagi. Keringatnya makin banyak. "Bisa kau ... terus bicara? Mataku mulai berkunang-kunang."

Kutahan keinginan untuk menggigiti kuku jari tangan yang sudah tidak ada. Apa yang akan terjadi kalau dia benar-benar tidak sadarkan diri? "Ka—kalau kau pingsan, aku harus bagaimana? Cyone-ku hanya bekerja untuk diriku sendiri .... Cyone-mu bekerja untuk orang lain. Aku tidak tahu apa-apa masalah patah tulang."

"Kudengar," sengalnya, "harus diberi napas buatan."

"Mari kita bahas tentang Truck dan septic tank," tukasku untuk mengalihkan pembicaraan. "Tadi kalian sempat bertengkar tentang itu. Aku penasaran."

"Oh, ya! Itu!" Cengirannya melebar. "Saat kami dapat tugas membersihkan septic tank di Herde. Aku diajak dua anak lain untuk bolos dan menyeberang ke tempat anak perempuan. Aku mengajak Truck."—Wajahnya mengerut sebentar, napasnya menderu sebelum melanjutkan—"Jadi, setelah memereteli Arka dari seragam Agen, aku dan Truck baru sadar kalau dua anak lain itu Teleporter. Kedua Teleporter itu mengerjai kami. Kami nyaris terperosok masuk ke dalam septic tank. Truck masih suka menyalahkanku tentang itu."

Aku ingin tertawa, tetapi aku menahannya. Selanjutnya, akulah yang bicara—tentang cahaya indah di belakang kepalanya dan arus air kotor yang mengalir di sana. Alatas hanya melenguh beberapa kali sebagai tanda bahwa dia masih sadar.

Satu kali, kucoba masuk ke kepala Alatas, sekadar ingin memastikan apakah dia masih sanggup bertahan. Awalnya tidak terasa apa-apa, lalu penderitaan itu datang pelan-pelan. Seperti ada sembilu yang bergerak mengendap-endap di dalam kaki, lambat laun menyayat. Buru-buru kusentakkan diriku keluar.

Terbebas dari rasa sakitnya, kutangkup wajah Alatas erat-erat. "Jangan mati," bisikku panik. Warna kelopak dan kantung matanya menggelap. "Jangan mati."

Truck menemukan kami saat mata Alatas sudah hampir terpejam.

Truck berbicara di atas sana, entah dengan siapa—mungkin Raios—dan memberi tahu bahwa dia akan turun lebih dulu untuk memeriksa kaki Alatas. Dia memanjat turun pada bagian tanah yang lebih padat, perlahan meraba-raba jaraknya dengan kami. Begitu sampai, hal pertama yang dilakukannya adalah memisahkanku dari Alatas. Aku berusaha untuk tidak banyak bergerak di sisi Alatas setelahnya agar tanah tidak makin longsor. Dengan hati-hati, kujangkau senapan Alatas yang selempangnya masih tersangkut di batu, lalu mengambil alih ransel-ranselnya.

Hal kedua yang dilakukan Truck adalah menggulung celana Alatas. Aku memeluk ransel Alatas saat melihat bengkak di kakinya. "Parahkah itu?"

"Aku butuh seorang X untuk benar-benar memindainya. Setidaknya, tulangnya tidak keluar. Kau tidak mencoba membenarkan kakinya, 'kan, sebelum ini?"

Aku menggeleng kuat-kuat.

Truck merebut ransel di tanganku, mencari-cari sesuatu, lalu menggeram rendah karena tidak bisa menemukan perbannya. Kuberi tahu bahwa sebagian besar jarahannya jatuh ke got di bawah, jadi Truck tidak punya pilihan selain mengikat kaki Alatas menggunakan tali ransel. Setelah memastikan posisi kaki Alatas aman, Truck mendongak ke atas dan berteriak, "Sudah!"

Lalu, kurasakan sebentuk bidang familier itu di bawahku—padat, agak menyetrum, dan tak kasat mata. Kami pun terangkat ke permukaan, di mana Erion telah menunggu dengan tangannya yang terentang ke depan.

"Erion," desahku senang. Segera saja aku melompat dan memeluknya.

Aku melupakan Truck yang masih berusaha menyeret Alatas ke tengah-tengah lorong pipa. Yang diseret mengerang-erang, yang menyeret mengeluarkan bunyi deguk dari tenggorokannya karena mengalami turbulensi seperti biasanya sehabis diangkat oleh Phantom Erion.

Maaf, ya. Suara Erion menelusup lembut ke dalam kepalaku. Aku gagal menyelamatkan kita dari monster mata putih itu. Dan, kau mesti membenturkan wajah Truck dulu ke dinding untuk meminta bantuan.

Aku menggeleng. "Setidaknya sekarang kau baik-baik saja."

Erion menggebuk dadanya sendiri, memberi isyarat bahwa dia tidak secengeng itu. Kuacak rambutnya dengan gemas. Kasar. Kapan terakhir kali dia keramas? Apakah kedua pemuda di ujung itu bahkan membantu Erion membasuh dirinya?

Kami menghampiri Alatas yang masih merintih-rintih. Rambutnya basah oleh keringat. Jakunnya naik turun menahan sakit saat Truck meletakkan tangan di atas kakinya yang membengkak. Aku bertanya kepada Erion apakah Cyone Truck bisa menyembuhkan patah tulang, tetapi Erion hanya mengangkat bahu.

Truck mendapati kami berdua yang berjongkok di sampingnya dan menontoni aksinya menyembuhkan kaki Alatas. Dia pun menyalak, "Daripada jadi tidak berguna seperti itu, lebih baik kalian ambil perban ke Meredith saja! Perban di tasku jatuh, 'kan? Carikan juga sesuatu untuk menyangga kaki Alatas!"

Aku berdecak, tetapi tetap bangkit dan menarik Erion bersamaku. Kutinggalkan semua ransel dan senapan di samping Truck. Erion meninggalkan senternya agar Truck tidak khilaf memperlakukan tulang kaki Alatas dalam gelap.

Memanduku menyusuri pipa, Erion memberi tahu, Raios sudah tahu kita mencoba kabur. Tadi dia mencegat kami yang akan ke tempat kalian. Dia pikir, kita mau kabur lagi. Kalau Meredith nggak memisahkan kami, Truck sama Raios sudah bertinju.

Jadi, bagaimana kami akan meminta perban sekarang?

Kuminta Erion menunjukkan arah mana saja yang mesti kulalui, lalu kusuruh dia menunggu di ambang cabang lorong. Aku melanjutkan dari sana sendirian, sama sekali tidak bisa ambil risiko jikalau Raios ingin mencegatku juga. Jika itu terjadi, Erion masih bisa lari kembali ke Alatas dan Truck.

Namun, bukan Raios yang mencegatku, melainkan Meredith. Aku sempat kaget dalam temaramnya lorong karena menyangka Raios mencoba memiting tanganku, tetapi kemudian kusadari tangan itu terlalu kecil untuk Raios.

"Jangan masuk," larang gadis itu. Matanya melirik ke lubang gelap di dinding pipa seukuran Erion. Rasa gugup membuat lidahku kelu. Meredith juga Corona; jika kami berkelahi di sini, entah siapa yang mati duluan. Namun, gadis itu seolah melihat kengerian yang terpancar di mataku, lantas berkata, "Ini bungker darurat. Hanya ada *)MRE dan kotak P3K di sana. Apa yang kau butuhkan?"

______________________________________

*)Meals-Ready-to-Eat adalah ransum atau makanan siap santap untuk keadaan darurat

______________________________________

"Perban." Suaraku mengecil. "Dan sesuatu untuk menyangga kaki yang patah."

Meredith mengangguk. Dia tak bertanya lebih jauh dan merangkak masuk kembali ke dalam bungker daruratnya. Dengan jantung berdebar, kutunggu gadis itu keluar.

Satu menit.

Dua .... Tiga ....

Meredith merangkak keluar dengan kotak P3K dan sebuah tas jinjing berukuran sedang yang di dalamnya terdapat beberapa bungkus ransum beserta bidai. Setelah memberikan semua itu kepadaku, dia berbisik, "Jangan masuk untuk sementara. Aku masih mencoba menenangkan Raios."

"Dia semarah itu?" tanyaku dengan isi perut yang terasa diaduk-aduk. "A, aku minta maaf. Ini gara-gara aku. Semuanya karena—"

"Sudahlah, Leila. Tidak apa-apa. Kalau sudah marah, Raios tidak bisa diapa-apakan lagi. Pokoknya, jika nanti dia sudah tenang, bersikaplah seperti biasa. Bilang pada teman-temanmu juga. Jangan diungkit lagi."

Ingin kuberi tahu kepada Meredith bahwa kami kabur karena Raios membunuh temannya sendiri. Namun, karena itu semua terjadi di dalam bungker mereka, bukan tidak mungkin Meredith pun mengetahuinya. Aku tak bisa membayangkan gadis itu selama ini tahu dan tutup mata saja atas semua perbuatan Raios.

"Nanti," bisik Meredith lagi, "jangan pernah mencoba kabur lagi. Percuma. Raios ... memiliki sekutu di mana-mana. Percayalah, ke mana pun kalian mencoba kabur, dia akan selalu menemukan kalian."

Aku mengangguk lagi, merasakan kengeriannya lantaran gadis itu berkata seolah-olah dia telah mengalaminya sendiri.

Terbirit-birit, aku kembali kepada Erion, lalu menariknya ke tempat Alatas dan Truck. Mereka masih di tempat yang sama dekat ceruk. Alatas tersandar pada dinding cekung pipa seraya menggigiti lengan bajunya. Kakinya sudah lurus, tetapi bengkaknya begitu besar dan merah di bawah cahaya senter.

Saat melihatku membawa kotak P3K dan makanan darurat, Truck mengernyit. "Dia masih mau memberikan itu?"

"Meredith," jelasku. Lalu, aku menyampaikan yang gadis itu katakan.

Jadi, kami memutuskan akan tidur di dekat pipa yang longsor—lebih baik jatuh ke sungai kotoran di bawah sana ketimbang berdekatan dengan Raios.

Sementara Truck membidai kaki Alatas, aku dan Erion menonton dengan saksama, sesekali bertukar pikiran tentang kaki yang patah. Erion iseng menggunakan X-nya untuk memindai patahan tulang Alatas, lalu dia kaget sendiri. Truck sadar apa yang dilakukan anak itu dan mengomelinya.

Kami sempat lengah hingga terlambat memerhatikan Alatas yang tengah mencengkram sesuatu ....

"Truck!" jeritku seraya menunjuk tangan Alatas yang mengepal di samping sepatu Truck. Tangan itu tengah menggumpal bagian lantai pipa yang berhasil dicuilnya sampai berasap dan menyala kemerahan.

Kami lupa kerangka pipa ini berada di bawah kekuasaan Fervor Alatas.

Truck melompat mundur, terlalu syok untuk menyumpah. "A, ambil tangannya."

Aku hanya menggenggam siku Alatas, tetapi dari sana saja sengatan panas yang dihasilkan tubuh Alatas menerpaku. Kukepak-kepakkan tangannya, memaksanya melepaskan bubur logam itu.

"Steeler sialan!" bentak Truck setelah Alatas berhasil mengendalikan dirinya. "Ubah saja seisi gorong-gorong ini bersama semua tahinya jadi emas!"

Kok, keren, celetuk Erion. Dia mencoba mendekati pelat logam yang kembali memadat, tetapi Truck menarik kerah baju anak itu.

Selama Truck membidai kakinya, Alatas mulai tenang dan berhenti membanjiri dirinya sendiri dengan keringat. Matanya terpejam. Kedua tangannya masih kusatukan di genggaman tanganku, kepalanya terbaring di atas kakiku.

"Apakah dia tertidur?" tanyaku.

"Aku.." kata Alatas sebagai jawaban. "Masih ... mendengarmu."

"Aku tidak bisa menyembuhkan kakimu secara total," kata Truck. Peluh menyebar di keningnya. Tangannya membuka bungkusan ransum yang diberikan oleh Meredith, lalu membagi isinya dengan Erion. Bersandar di samping Alatas, Truck mulai menginterogasiku. Tatapannya menghujam. "Kenapa jadi begini?"

Aku menggigit bagian dalam pipiku, mempersiapkan mental akan bentakan-bentakannya. Namun, malah Alatas yang menjawab, "Kami pacaran di luar sini, Truck. Saking memanasnya keadaan, kami terguling jatuh. Itu saja."

Aku memutar bola mataku. Padahal baru semenit yang lalu dia bertingkah seperti nyawanya sudah di pangkal tenggorokan. Sekarang, lelaki itu sudah melebarkan senyumnya lagi walau matanya masih setengah terpejam. Kuberi tahu Truck apa yang terjadi. Tentang pin curian yang melubangi saku celanaku, percakapan singkat kami, lalu aku menginjak tanah yang salah; Alatas menyelamatkanku, kami terguling jatuh, dan satu kaki pun patah. Tamat.

Truck melirik kepala Alatas yang berada di atas pangkuanku. "Kau sadar, kau benar-benar jatuh ke pelukannya? Secara harfiah?"

Aku berdecak, enggan mengakuinya. "Kalau kakimu sembuh nanti," bisikku pada Alatas, "akan kupatahkan sekali lagi."

"Boleh." Alatas terkekeh, masih tidak mau mengangkat kepalanya. Matanya yang sendu melirikku, menatapku dengan cara yang ... meluluhlantakkan. Sebelah matanya yang biru kehijauan seperti memantulkan cahaya cat semprot di sekitar kami. Kuyakinkan diriku, bahwa dada yang berdebar saat ditatapnya ini bukan apa-apa melainkan rasa bersalah semata: kakinya patah karena aku, itu saja. Jantungku juga melompat-lompat saat akan menghadapi Raios barusan, 'kan? Walau dengan cara yang agak berbeda ... keduanya tetap merupakan rasa bersalah ..., 'kan?

"Jadi, di mana pin curian itu?"

Aku tersentak oleh pertanyaan Truck. Gelagapan, aku mencoba mengangkat badan untuk meraih ransel Alatas yang tergeletak agak jauh dari jangkauan, tetapi pemuda itu menekan kakiku dan menolak mengangkat kepalanya.

"Bisakah pemuda yang tak pernah tidur dan patah kaki ini istirahat dengan benar?" keluhnya. Alatas menggeser kepalanya, dengan begitu nyaman memperlakukan kakiku seperti bantal. "Terima kasih."

Truck menggertakkan rahangnya. Akhirnya, dialah yang berdiri untuk mengambil ransel-ransel kami. Ekspresi wajahnya menunjukkan betapa besar usahanya menahan diri untuk tidak menonjok pasien patah tulang.

Erion bergeser ke sampingku untuk melihat pin curian milik Raios sementara Truck berbisik di telinga Alatas, "Kita tidak punya antibiotik sekarang. Saat kakimu infeksi, aku yang akan mengamputasinya."

Alatas melirik Truck dengan alis bertaut. Tangannya mencengkram tas di sampingku—karena kalau dia berani meletakkan tangannya di pahaku, aku akan mematahkan kakinya yang satu lagi. Pemuda itu bertanya dengan resah. "Infeksi?"

Kulirik mereka berdua sesekali sembari mengawasi Erion memainkan pin milik Raios—menekan-nekannya di satu sisi sampai kailnya menyembul keluar dan masuk silih berganti. Truck masih bersemangat membuat Alatas waswas. Katanya, "Paling-paling tetanus."

Alatas menelan ludah. "Kau bisa menyembuhkan tetanus?"

"Entahlah," sahut Truck. "Nanti juga ketahuan bisa atau tidak."

"Kau mendoakan aku benar-benar tetanus?"

"Kalau kau masih menyebalkan, aku akan mengamininya."

Aku berbisik kepada Truck yang mengambil tempat di sampingku, "Benar-benar bisa tetanus?"

"Kalau fraktur terbuka—ya." Sembari mengamati kaki Alatas yang sudah dibidai olehnya, Truck berdecak. "Sayangnya yang ini tidak."

Dengan mata terpejam, Alatas mengerutkan dahinya. "Kenapa kau kedengaran kecewa? Kalau tulangku keluar, kau harus menggendongku sepanjang jalan."

"Kalau tulangmu keluar, kau akan kami tinggal di sini."

"Kalau tulangku keluar—"

"Tidak ada tulang yang keluar dari tempatnya," tukasku. "Sudah—"

Kalau tulang Alatas keluar, sahut Erion seraya mengembalikan pin milik Raios ke dalam ranselku. Aku bisa main lempar tangkap sama Truck.

"ERION!" Suaraku menggema di gorong-gorong. Truck terperenyak di sampingku. Badan Alatas yang terbaring pun bahkan seperti terambung ke atas. Erion sendiri melebarkan matanya, kaget kubentak.

"Kakiku berdenyut," lirih Alatas seraya mencengkram pahanya sendiri. "Kau kenapa, Leila?"

Aku memelotot bergantian ke arah Alatas dan Truck. "Pertengkaran aneh kalian merusak selera humor anak 10 tahun! Patah tulang bukan untuk candaan!"

Truck memasang ekspresi tidak terima. Tangannya tertadah ke arah Erion. "Bukan salah kami kalau anak-anak sekarang sudah tidak seperti anak-anak lagi! Mereka berasal dari tempat-tempat mengerikan seperti Pusat Karantina—apa yang kau harapkan?!"

"Tapi, setidaknya kau tidak perlu tambah merusaknya, 'kan?!"

"Kita semua memang rusak! Cewek bahagia sepertimu, yang selama ini tinggal di Kompleks, mana mengerti?!"

"HEI!" Kali ini Alatas yang berteriak. Suaranya memantul dalam lorong. "Aku yang patah tulang, kenapa kalian yang kesetanan?!" Setelah menggelegarkan teriakannya, dia meringis lagi. "Tulang kakiku bisa keluar sungguhan kalau begini."

Aku menggeleng lemah sambil mengatur napas untuk meredakan emosi. Truck melakukan hal yang sama, lalu berkata, "Berada di dalam gorong-gorong terlalu lama membuatku senewen."

Aku menyetujuinya.

Kutolehkan kepalaku kepada Erion. Dia masih menatapku dengan mata membesar dan alis yang terangkat tinggi seperti seorang bocah yang habis melihat hantu dalam lemari bajunya.

"Maaf aku membentakmu," ucapku seraya meraih kepalanya dan merebahkannya ke dekapanku.

Aku kepengin ngambek, keluhnya. Dari tadi aku kena marah terus.

"Ngambek saja," kataku. "Tapi, jangan lama-lama."

Erion mengangguk. Kepalanya menumbuk kepala Alatas di pangkuanku. Tidak lama kemudian dia bangkit dan menghirup napas dalam-dalam. Rambut Alatas bau.

Rambutmu juga. Mendengarku terkekeh jail, Erion melayangkan kepalan tangannya ke arahku, tetapi mengenai kepala Alatas.

Beberapa menit setelahnya kami habiskan dengan berdebat sebentar mengenai fungsi pin milik Raios dan apakah lebih baik mengembalikannya. Namun, karena keadaan sudah kian panas di antara kami dan Raios, Truck memutuskan untuk menyimpan pin itu sementara waktu.

"Bisa saja ini alat pembunuh atau semacamnya," kata pria itu. Kecurigaannya selalu mengesankan. Di saat kupikir Truck tidak bisa lebih berburuk sangka lagi terhadap seseorang, dia selalu berhasil mengejutkanku.

Kami tidak membagi waktu jaga kali ini. Erion bilang dia sudah cukup tidur, begitu juga Truck. Mereka menyuruhku tidur, tetapi aku tidak bisa terlelap dalam keadaan seperti ini. Jadi, kami mengobrol, sesekali aku menjadi penerjemah antara Erion dan Truck. Alatas tidak bicara, tetapi sepertinya ikut mendengarkan.

"Aku hampir mengira Alatas adalah Calor tadi," kataku seraya mengingat-ingat denyar panas menyengat dari tangannya. "Kalau Steeler bisa memancarkan panas sampai logam meleleh begitu, apa yang membedakan mereka dengan Calor?"

Aku menerbangkan benda-benda, termasuk logam, celetuk Erion. Apa bedanya aku dengan Steeler?

Kusampaikan pertanyaan Erion. Alatas tak memiliki jawaban, sedangkan Truck terdengar ragu-ragu saat menjawab, "Semua Fervor berkaitan. Mungkin."

"Kau punya dugaan tentang asal Fervor?" tanyaku kepada Truck, yang sebenarnya berasal dari Erion. Anak itu bilang, Truck sempat punya teori sendiri. Anak itu tidak pernah bisa menanyakannya sendiri kepada Truck mau pun Alatas.

Truck pernah menerangkan kenapa Giok menyangkut-pautkannya sama antimateri, tapi aku nggak ngerti, Erion memberi tahu, yang kemudian kusampaikan lagi kepada Truck. Sebelum ada aku, bagaimana selama ini mereka berkomunikasi dengan Erion?

"Kalian tidak akan paham," tukas Truck.

Aku mengangkat bahu. "Coba saja jelaskan. Aku tidak bodoh-bodoh amat."

Truck melirikku sebentar, lalu menjelaskan, "Barangkali, Giok hanya menganalogikan Fervor dengan ledakan antimateri. Dia bukannya bilang Fervor berasal dari ledakan itu. Anak-anak lain di Herde yang sok tahu menyangkut-pautkannya dengan antimateri dari Teori Dentuman Besar."

Perlu beberapa detik bagiku untuk mengingat-ingatnya. Teori keadaan tetap, teori mengembang dan memampat, teori alam semesta kuantum, dan big bang—dentuman besar. Ibu pernah mengajariku tentang itu saat kami pindah ke Kompleks 3. Masih ada perpustakaan yang belum dibakar NC di sana.

Erion menarik lengan bajuku, mempertanyakan apakah Truck masih bicara masalah Fervor atau pria itu sudah mabuk oleh bau got.

Kusampaikan itu kepada Truck. Truck bisa saja mengambil pelat-pelat logam yang tadi dileburkan Alatas, lalu melemparkannya ke wajahku. Untungnya, dia sedang tampak malas berkelahi fisik. Yang dilakukannya hanya menggerutu, lalu lanjut menjelaskan. "Materi. Sesuatu yang tampak. Kau, aku, pipa ini, bebatuan, benda-benda—segala sesuatu yang memiliki massa. Antimateri persis seperti materi, tetapi kebalikannya. Jika proton bermuatan positif, antiproton bermuatan negatif, tetapi keduanya setara. Materi dan antimateri yang bersentuhan akan saling menihilkan dan melepaskan energi. Itulah kenapa pembuatan antimateri begitu mahal—ada tempat penyimpanan khusus kedap udara di mana antimateri tidak bersentuhan dengan materi apa pun, termasuk tabung penyimpanannya sendiri."

Erion mengangguk. Matanya menerawang ke ujung lorong sebagai bentuk dari proses pencernaan informasinya.

Truck melanjutkan, "Dari teori dentuman besar tadi, ada atom materi dan atom antimateri yang bertabrakan dan menihilkan satu sama lain, menghasilkan energi berupa ledakan besar. Pertanyaannya, jika dari dentuman besar itu seharusnya menghasilkan materi dan antimateri dengan jumlah yang sama, dan mereka terus bertabrakan dan saling menihilkan, kenapa sekarang hanya ada materi—yaitu kita dan seluruh alam semesta yang kita lihat sekarang? Ke mana semua antimateri tadi? Dari sanalah ada teori lagi mengenai mirror universe—artinya ada dunia lain yang terbentuk dari antimateri, sama persis dengan dunia kita, tetapi segalanya berkebalikan—dunia yang merupakan kembaran dari dunia kita sekarang. Orang-orang Herde yang salah mengerti analogi Giok menganggap dari dunia itulah semua Fervor ini berasal." Truck mendelik ke arah temannya, yang masih memejamkan mata dengan damai. "Kau menelan mentah-mentah teori mereka mengenai Fervor berasal dari dunia paralel itu, 'kan, Al?"

Yang tersindir pun menyunggingkan cengiran, lalu mengangguk samar.

"Tapi, jika itu benar, dunia yang satu lagi tidak akan jauh berbeda dengan dunia yang ini," tukasku. "Jadi, Fervor yang berasal dari sana pun tidak akan masuk akal."

Truck mendengkus. "Sekarang kau paham kenapa aku menganggap semua itu omong kosong."

"Jadi, kekuatan ini berasal dari mana?" tanya Alatas dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

"Kurasa, sejak awal manusia memiliki kekuatan-kekuatan ini," jelas Truck. "Muatan listrik, kemampuan regenerasi—semuanya sudah tersedia dalam diri kita, tetapi manusia memiliki batasan. Tubuh manusia normal tidak dibuat untuk menahan sengatan listrik jutaan voltase seperti Icore. Jantung manusia pun tidak dirancang untuk bertahan dalam hibernasi. Dan, tidak ada manusia yang bisa bergerak dalam kecepatan cahaya tanpa melenyapkan eksistensi fisiknya sendiri karena reaksi fusi yang timbul. Ledakan Fervor menghilangkan keterbatasan itu."

Aku tidak akan pernah terbiasa dengan sisi lain Truck. Dari pria berpenampilan tukang jagal di peternakan, menjadi sosok yang hanya bisa kau temukan di balik rak-rak di perpustakaan. Aku ingat saat pertama kali Alatas mengeluarkanku dari reruntuhan, Truck memang sempat menjelaskan cara kerja Cyone dengan kalimat yang nyaris membuat mataku berputar ke belakang. Namun, saat itu Truck masih membatasi dirinya karena cemas kalau aku adalah monster wanita sekelas Amy si gadis Icore.

"Yang Giok coba sampaikan," lanjut Truck, "adalah bahwa Fervent bersikap seperti energi murni sampai kita sudah tidak menyerupai manusia lagi. Calor menjadi api. Icore menyerupai medan magnet pada inti bumi."

"Itu sebabnya Icore bisa membuat gempa," lirihku.

Truck mengangkat bahunya. "Mungkin saja. Dulu, Icore tidak dikenal sebagai penghasil listrik, baru belakangan saja mereka mengembangkan kemampuan itu. Pernah ada ketakutan bahwa kehadiran Icore bisa membuat kontinen bergeser, medan magnet bumi hilang, kutub kembali tertukar. Itu menjelaskan kenapa sekarang kompas tidak bekerja di Garis Merah. Sekarang, mereka—maksudku, para Icore—tidak sekuat dulu. Seperti sifat medan magnet bumi yang melemah. Makin berkembang variasi dari kekuatan itu, tingkat akurasinya justru menurun."

"Jadi, nama-nama itu diambil dari sifat objek lain yang memiliki energi lebih besar? Seperti ... X, yang bekerja seperti sinar X?"

"Awalnya begitu," kata Truck. "Tapi Fervor ini berkembang. Penglihatan beberapa Fervent X malah tidak lagi terbatas pada menembus objek padat."

Temanku di Pusat Karantina, tutur Erion. Namanya Seli. Katanya dia bisa melihat menembus semesta.

Kurasakan anak rambut di tengkukku meremang. "Jadi, kita ini mutan yang berkembang?"

Truck mengangkat bahunya. "Bukan kita yang berkembang, tapi Fervor kita. Tidakkah kau pikir aneh, semua kekuatan super ini tidak punya efek samping? Mutasi genetika bukan hal simpel. Ubah satu kode saja, kau jadi orang yang sama sekali berbeda. Tapi, satu-satunya efek samping hanya muncul melalui PF13 yang mencoba menihilkan Fervor."

"Hm." Alatas mengangguk. "Seperti warna mataku berubah karena obat itu."

Erion menarik lengan bajuku lagi. Kalau nama X berasal dari sinar x, Phantom itu dari apa?

Kusampaikan pertanyaannya kepada Truck. Jawabannya hanya: "Tidak tahu."

"Bagaimana dengan Brainware?" tanyaku. Erion yang juga tak puas dengan jawaban Truck ikut mendesak dengan mengajukan lebih banyak pertanyaan.

"Aku tidak yakin, oke? Kenapa Brainware begini, kenapa Cyone begitu .... Kenapa pula Icore bisa menyalin Fervor?! Ada 12 Fervor yang perlu dipertimbangkan! Itu hanya teoriku sendiri, ingat? Lagi pula, teori bukan teori jika belum terbukti. Kau bisa menyebutnya hipotesis saja, seperti kehadiran antiuniverse yang juga masih hipotesis."

Erion mematikan senternya, meninggalkan kami dalam keremangan dari cahaya cat fosfor. Katanya, Kalau di sini aku Erion berkekuatan Phantom, di dunia lain aku mungkin Phantom berkekuatan Erion. Jadi, di dunia satunya aku nggak punya wujud, kayak hantu, tapi tetap cakep seperti aku yang ada di sini.

Kusuarakan kata-kata Erion. Truck dan Alatas lantas terkekeh. Namun, suara tawa Truck jelas sekali terdengar goyah. Dalam temaram cahaya cat hijau-biru metalik, kusadari wajah pria itu mengeruh karena mendengar ucapan Erion.

Truck masih menyembunyikan sesuatu.

Aku ingin masuk ke dalam kepalanya dan melihat apa yang disembunyikannya, tetapi, seperti yang pernah kubilang, pikiran Truck serupa jalinan akar serabut kokoh yang mesti disibak satu-satu untuk menggali kejujurannya.

Setelah beberapa percakapan melantur—tentang ransum yang hambar, bau got, tikus-tikus yang menurut Erion bermutasi diam-diam menjadi Phantom seperti dirinya—aku pun tertidur. Hanya sebentar, mungkin setengah atau satu jam penuh.

Begitu aku bangun, kulihat Truck dan Erion sedang duduk di pinggir ceruk. Kuperhatikan punggung Erion, yang memang agak bungkuk karena terlalu lama terkurung dalam sangkarnya di Pusat Karantina. Entah bagaimana aku ikut merasakan sakitnya seolah semua memori itu milikku sendiri.

Kita semua rusak. Suara Truck sebelum ini mengiang dalam ingatanku.

Kudengar Truck dan Erion mengobrol meski tidak nyambung. Truck berpendapat bahwa cat semprot di sekitar kami mungkin dibuat oleh para Steeler yang menghuni gorong-gorong. Erion menggerakkan jari-jari tangannya, menirukan pijar api kompor, untuk memberi tahu Truck bahwa bisa saja ada Calor gila di sini yang membuat cat-cat semprot itu. Namun, Truck malah menjawab, "Tidak ada cacing mutan di sini, Erion."

Erion mengibas-ibaskan tangannya, mengepal-ngepalkannya, sebisa mungkin mencoba membuat isyarat bahwa dia tidak sedang membicarakan cacing.

Kesalahpahaman berlanjut manakala Truck menyahut, "Apa? Kipas? Sesuatu yang dikipasi ... dan dibakar? Hm ... aku kangen makan sate. Dulu, ayahku pernah menyembelih sapi besar, dan kami menyatenya."

Erion mengembuskan napas berat dan memutuskan untuk mengalah. Ya, Truck, sate memang enak.

Kubiarkan percakapan mereka berlangsung meski makin tidak nyambung.

Kakiku terasa kebas, tetapi Alatas masih memakainya sebagai bantalan. Kakinya sendiri terbujur kaku, dibalut perban dan melintangi lorong. Tangannya memegangi sebelah tanganku yang jatuh di atas bahunya. Matanya terpejam.

"Alatas," panggilku dengan suara berbisik. Napasnya menerpa wajahku saat aku membungkuk di atasnya. Jarak hidungku dan hidungnya hanya terpaut selapis tipis udara. "Kau tidur?"

Ibu jarinya bergerak di punggung tanganku. Tanpa membuka matanya, Alatas mengangguk pelan. "Ya. Aku sedang bermimpi tidur di pangkuan bidadari. Jangan ganggu."

Terima kasih untuk Christine3099 yang saia gangguin tengah malam untuk bantuin jadi pembaca trial :'D

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro