#34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #34 | 1973 words |

AKU MENGGELIAT bangun dengan kepala yang masih terasa berat. Punggung dan perutku sakit karena tidur dalam brankas yang dingin. Biasanya di kurungan ada pengatur suhu serta panas tubuh dari orang-orang berseragam hitam, tetapi yang kurasakan sekarang malah angin malam yang masuk ke dalam brankas.

Kenapa malamnya lama sekali?

Lapar ....

Kuputar alat di telingaku. Suaranya masih agak mendenging.

Aku merangkak keluar dengan niat mencari Mama atau makanan saat kulihat ada dua orang datang dari arah hutan.

Buru-buru aku masuk kembali ke dalam, lalu menarik pintu brankas sampai tertutup. Gelap, pengap, dan bau karat. Aku duduk memeluk lutut, berharap dua orang itu, siapa pun mereka, lekas pergi dan tak menyadari aku di sini. Kuaktifkan X, berusaha melihat ke luar, tetapi pandanganku lebih dulu jatuh pada pintu brankas yang rata. Tidak ada pegangannya. Lalu, aku terpikir ....

Pintu brankas tidak bisa dibuka dari dalam, ya?

Kakiku menendang-nendang dengan panik. Keringat dingin meluncur menuruni dahi.

Tolong! Aku memekik, tetapi suaraku tidak kedengaran. TOLONG!

"—semuanya mati." Suara seseorang terdengar samar-samar, teredam dinding brankas. Langsung kupeluk kedua kakiku, berusaha duduk sediam mungkin. Panas. Keringat membuat mataku perih. "Apa Raios tidak mencoba membantu mereka?"

"Bagaimana kalau Raios yang menyebabkan ini?" sahut suara lain. Aku memejamkan mata, berusaha lebih fokus agar bisa membedakan suara mereka.

"Kenapa Raios mesti merusuh di sini? Dia membawa Meredith. Itu tidak mungkin. Dan lagi, semua yang ada di sini masih anak-anak."

"Kau kira, dia peduli kalau mereka ini anak-anak? Sejak awal melihat Raios, aku tahu ada yang salah dengan orang itu. Kau tidak lihat pandangan matanya?"

"Buat apa kau memandangi matanya, Truck?"

Suara mereka bersahut-sahutan lebih cepat sampai aku tidak bisa konsentrasi lagi. Alat di telinga kananku mendengung lebih keras.

Jangan rusak lagi! Jangan rusak lagi!

Bahuku naik-turun. Pengap. Tidak bisa bernapas. Akhirnya, kakiku menendang-nendang lagi. Kucakari pintu brankas dengan panik. Aku mengerahkan Phantomku, tetapi yang kulakukan hanya merenggangkan sedikit engsel pintu dan membuat penyok atap brankas. Saat Phantom membesar, badan brankas doyong ke sisi.

"Apa itu?"

"Apanya?"

"Kau Steeler, dan kau tidak bisa melihat ada besi besar bergerak di depan matamu?"

Phantom mulai tidak bisa kukendalikan. Ada pusaran udara kecil yang memantul-mantul dalam brankas. Saat pusaran udara itu melesat dan menyayat kulit lenganku, aku berhenti mengaktifkan Phantom.

Bernapas. Aku membisiki diri sambil membuka mulut lebar-lebar karena hidungku mulai susah mencari udara. Kepalaku masuk ke antara celah lutut. Badanku menggeliat karena panik merasakan sesak. Tolong!

Terdengar bunyi keriut di sekitarku. Saat itulah alat di telingaku mendenging lebih keras, lalu yang sebelah kanan pun mati. Aku berjengit saat merasakan sengatannya. Hanya tersisa sedikit pendengaran di telinga kiriku.

Saat aku mengangkat kepala, pintu brankas sudah terbuka lebar, tetapi aku tidak bisa keluar. Ada siluet tinggi yang menghadangku di mulut brankas.

"Ada apa di dalam?"

"Entahlah. Truck, pinjam senter."

Gemetaran, aku merangkak ke pojok brankas. Ada cahaya kuning yang datang. Kutarik kakiku yang hampir tersorot. Itu mereka! Orang-orang berbaju hitam—para Sepatu Bot! Aku nggak mau disinari lagi!

"Apa itu?" Orang itu berjongkok mendekat di mulut brankas, tetapi dia masih tampak menjaga jarak. Siluet badannya sedikit lebih ramping dari orang-orang berbaju hitam. "Itu ... kayak anak kucing."

"Tinggalkan saja kalau begitu. Ayo, pergi, Alatas!"

"Ayo, pus, kemari," ajak orang yang memegang sinar kecil itu. Jari tangannya menjentik-jentik ke arahku. "Keluar sini."

"Kita tidak butuh hewan peliharaan di saat seperti ini!"

"Truck! Jarang sekali ada kucing yang masih hidup sekarang! Ayolah!"

"Oh, ya? Kau yang menyusuinya kalau begitu!"

"Urusan makanannya nanti saja dipikirkan! Yang penting selamatkan dulu!"

"Kau bahkan tidak bisa menyelamatkan dirimu sendiri!" Telinga kiriku makin kebas mendengar teriakannya.

Muncul siluet lain yang lebih besar, mendorong yang kurus ke sisi. Aku terperenyak. Badanku sudah sangat rapat ke ujung brankas, tetapi masih kucoba untuk menarik diri saat yang besar itu mengintip ke dalam.

"Kau sudah buta, Al? Itu terlalu besar untuk anak kucing! Yang di dalam itu pasti anjing hutan dan sebangsanya!"

"Ha-ha," sahut si Al. "Kalau kau yang di dalam situ, okelah dibilang anjing hutan."

Mereka mulai bertengkar sesamanya. Aku mulai berpikiran untuk lari menerobos mereka. Kalau mereka mengejar, aku bisa mendorong mereka pakai Phantom. Lagi pula, sepertinya mereka tidak punya alat-alat untuk meredam kekuatan itu.

Namun, saat aku mengambil ancang-ancang untuk lari ke antara mereka, seberkas cahaya yang dari tadi mereka perebutkan menyorot ke mukaku. Aku kaget.

Sinar! batinku menjerit. Phantom meledak dan membebaskan pusaran udara yang mendorong kedua orang itu, terpelanting beberapa meter dari brankas. Cahaya kecil mereka jatuh menghadapku dan menyinari seisi brankas. Seluruh badanku terasa mati rasa karena takut. Aku membelakangi cahaya, lalu mulai membenturkan diri ke dinding belakang brankas untuk lari dari sinar itu.

"Itu ...." Suara mereka mendekat lagi. Lari! Aku harus lari! Namun, aku terkurung saat dia mendekat lagi. "Bukan kucing. Itu seorang bocah."

Cahaya sinar membesar dan rasa panasnya mendekati punggungku. Sekujur tubuhku membeku.

"Dik," panggil salah satunya. "Hei, kau tidak apa-apa?"

Aku diam dan menggulung badanku jadi bola.

"Hei," kata suara lain yang lebih besar, yang tadi mengira aku guguk. Kurasakan tangannya meraih ke dalam dan mencapai bahuku. "Keluarlah—"

Aku melimbai, mencoba menjauhkan tangannya. Terdengar suara teriakan. Sepertinya tenaga Phantomku kebesaran.

"Dik, kami nggak akan melukaimu," bujuk suara yang tadi mengataiku anak kucing. Ada suara lain lagi, serupa kresek plastik atau kain. Entahlah. Telinga kiriku butuh yang kanan untuk memastikan. "Kau lapar? Kami punya beberapa potong pepaya—"

Dengan gerakan secepat kilat, tanganku terulur dan mengisap kantung makanan itu dari tangannya. Tanpa bergerak dari pojok brankas, aku mulai menghamburkan isi kantung itu dan menggasak habis semua yang ada di dalamnya—buah-buahan yang masih setengah mentah, daun harum yang ujungnya sudah agak layu, permen, dan biskuit berbentuk stik.

"Kau lapar sekali, ya ...." Orang itu meringis di belakangku. "Kau bahkan makan daun kemanginya. Padahal itu buat cadangan, lho."

"Hebat sekali, Al!" bentak yang seorang lagi dari kejauhan. Sepertinya Phantom-ku terlalu jauh melontarkannya tadi. "Kenapa kau kasih semuanya?!"

"Dia yang ambil, Truck! Anak ini Phantom!"

Aku bernapas lega setelah kenyang. Namun, tidak berhenti di sana. Terdengar lagi suara plastik yang lebih keras ... seperti botol plastik. Si Al kembali membujuk, "Dik, ayo, keluar. Kau tidak haus?"

"Berengsek jangan diberi semua—"

Sebelum orang itu menyelesaikan kalimatnya dan berlari kembali mendekati brankas, aku sudah menarik botol air mereka dengan Phantom. Namun, aku tidak tahu kalau si Al ini akan mencengkram botol airnya begitu kuat. Tangannya ikut tertarik ke arahku. Kudengar sesuatu yang berbenturan saat badan brankas berguncang—mungkin kepala dan dagunya menghantam atap brankas. Lalu, masuklah separuh badannya ke dalam. Aku terlompat kaget saat mendapatinya di sampingku.

Al membiarkan botol minumnya kuambil, lalu dia mengangkat wajahnya. Aku pun melihat warna matanya yang beda sebelah, disorot cahaya kuning samar yang masih tertinggal di luar.

Lana.

Saat Al merangkak mundur perlahan, aku mengikutinya sampai keluar brankas. Kedua tangan Al terulur menyambutku, tetapi dia tidak meraupku seperti yang biasa dilakukan para Sepatu Bot. Al menunggu.

Tanpa ragu-ragu, aku melompat ke arahnya. Kubiarkan dia mengangkat badanku. Daguku bersandar di bahunya. Tanganku masih memegangi botol air minumnya.

"Kurus sekali kau, Dik." Al menepuk-nepuk punggungku. Jaketnya hangat, tetapi tidak panas menyengat seperti orang-orang berseragam hitam. "Tapi, dengan Mama Truck, kau akan kembali gemuk. Tenang saja."

Temannya yang berbadan besar—Truck—berdecak. Di tangannya ada senter yang cahayanya membuatku bergidik, tetapi senter itu menghadap ke bawah, tidak ke arahku. Jadi, mungkin aku tidak akan apa-apa.

"Bukan kucing atau anjing hutan, Truck," kata si Al seraya membawaku mendekati Truck. "Cuma anak kecil. Aku yakin dia tidak makan banyak. Berbagi panganan buat satu bocah tidak akan bikin kita mati seketika, 'kan?"

Truck menggerutu, tetapi suaranya pelan, jadi aku tidak terlalu mendengarnya. Saat mendapatiku menatap ke arahnya, rengutannya berkurang. "Terserahlah."

"Siapa namamu?" tanya Alatas seraya mengangkat kepalaku dari bahunya.

Aku diam. Kutatap sekitar, yang masih dipenuhi mayat, remah-remah dinding, asap, sedikit api, pecahan kaca, dan barang-barang hancur lainnya. Kedua lelaki itu pun mulai berjalan ke arah hutan, membawaku serta. Ada cahaya kecil-kecil warna merah saat kami masuk lebih jauh ke dalam hutan, mengingatkanku pada kedipan-kedipan di lorong gelap di luar kurungan menuju lab saat kami akan menjalani pengecekan.

"Bagaimana kalau kau kunamai Alatas Junior? Kau tidak mau bernama Truck Junior, 'kan?"

"Bangsat. Diamlah."

Kenapa Truck? Aku ingin bertanya demikian pada si pria besar. Kenapa bukan tangki minyak atau buldoser?

"Apa ini di telingamu?" tanya Alatas. Dia mengamati alat di telingaku lekat-lekat, lalu matanya membesar setelah sadar akan sesuatu. "Kau .... Oh."

Aku kembali menyandari bahunya sementara Alatas berjalan sambil menggendongku. Kuremas-remas botol air di balik punggungnya. Dulu, seorang anak di kurungan pernah mengajariku trik untuk meloncatkan tutup botol. Kami dihukum berdiri di pojok ruangan sepagian, hanya dibolehkan minum air putih untuk sarapan karena botol itu mengenai hidung salah satu Sepatu Bot.

Alatas akan menghukumku tidak, ya, kalau aku meloncatkan tutup botol ini ke hidung temannya?

"Apa namamu diawali huruf A?" tanya Alatas.

Aku menggeleng. Mulutnya dekat dengan telinga kiriku, dan aku bisa mendengar suaranya yang berbeda dari kebanyakan orang berseragam hitam. Dia bukan orang yang keras—kuharap.

"Apa namamu diawali huruf B?" Aku menggeleng lagi, jadi dia bertanya terus, "Apa namamu diawali huruf C?"

"Kau akan terus begitu sampai mendapat namanya?" tanya Truck. Suaranya agak mirip dengan salah satu Sepatu Bot—seakan dia menggeram setiap saat. Dengan hanya telinga kiriku yang juga masih mendengung, suaranya jadi terdengar lebih rendah dan seram. "Bagaimana kalau namanya ada sebelas huruf dan semuanya abjad terakhir?"

Alatas membuat suara pfft. "Tidak ada orang yang namanya Zzzzzzzzzzz, Truck." Alatas kembali bertanya. "Huruf D?"

Aku menggeleng.

"Coba langsung ke Z," usul Truck.

Aku berbalik dan melemparkan botol air ke kepala pria besar itu. Padahal tinggal sedikit lagi ke huruf E!

Begitu botol tersebut menghantam tanah dan pecah sampai airnya tumpah semua, saat itulah aku tahu: aku dalam masalah.

Truck berbalik dan menyerbu dengan tangan terkepal. Alatas menodongkan jari telunjuknya. "Kalau kau pukul dia, kita bakal berkelahi satu lawan satu!"

Namun, tangan itu tidak melayang ke arahku. Tangannya menghantam kepala Alatas. Dan, sepertinya itu sakit.

"Jaga anakmu baik-baik!"

Truck berbalik dan berjalan mendahului kami lagi. Kucengkram jaket Alatas. Kupikir, Alatas mungkin akan mengejarnya, lalu balas memukulnya. Biasanya, itulah yang akan terjadi kalau dua Sepatu Bot berkelahi di sekitar kurungan. Dan, kalau keduanya sudah babak belur, mungkin aku juga akan ikut dipukuli.

Alatas malah berkata, "Tega kau, Mas! Ini anak kita berdua!"

Truck meraung seperti singa. Aku pernah melihat singa di televisi saat Mama Asli masih hidup. Mama Asli bilang, yang rambutnya lebat dan mekar itu jantan. Aumannya keren. Dan, begitulah Truck tampak di mataku. Terlebih saat dia mengejar Alatas.

Alatas berlari membelah hutan, masih membawaku sambil cekikikan. Tanpa kusadari, sudut bibirku terangkat ke atas. Aku tersenyum lebar-lebar. Tanganku menepuk-nepuk punggung Alatas untuk menyemangatinya berlari dari Truck.

Tidak kusangka, saat Alatas tertangkap, bukan hanya Alatas yang kena bogem. Kepalaku juga kena jitak. Aku ingin bilang kepada Truck bahwa aku sudah pernah merasakan yang lebih sakit, dan jitakannya bukan apa-apa, tetapi tentu saja perkataan itu tak pernah sampai kepadanya.

"Huruf E?" tanya Alatas saat kami lanjut berjalan. Yah ... mereka yang jalan. Aku masih digendong di bahunya.

Aku mengangguk.

"Oke, yang kedua—eh, tapi kau mesti acungkan jempol saat namamu sudah lengkap. Baiklah. Apakah yang kedua itu huruf Z?"

Butuh waktu lama dan beberapa kali pemberhentian sampai mereka bisa memanggilku dengan benar.

ERION.

Namaku Erion.

Alatas mengernyit. "Kau masih bisa mempertimbangkan Alatas Junior, lho."

Dengan dagu yang masih tertumpu di bahu Alatas, aku menatap hutan dan kelipan cahaya merah. Di suatu tempat di ujung sana, ada bagian dari diriku yang ketinggalan—atau lebih tepatnya kutinggalkan.

Tempat itu menakutkan, tetapi bagaimana pun aku tumbuh besar di sana—di kurungan. Pernah ada orang yang menyayangiku di tempat itu, dan barangkali peduli kepadaku dengan caranya sendiri seperti Mama atau Lana. Atau bahkan Seli. Para Sepatu Bot juga.

Tanganku melambai ke kegelapan, mengucapkan selamat tinggal pada kurungan yang entah sejak kapan—dan dengan cara yang menakutkan—terasa seperti rumah bagiku. Aku mengucapkan selamat tinggal pada bocah yang meringkuk ketakutan, ditendangi oleh para Sepatu Bot.

Dadah Subjek 377.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro