#52

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #52 | 2917 words |

ORANG YANG paling ditakuti saat marah adalah ayah. Namun, begitu nenek datang menginap ke rumah, posisi ayah jadi bergeser ke peringkat dua.

Nenek sebenarnya tidak galak—yah ... setidaknya, tidak kepadaku. Nenek menyayangiku lebih daripada dia menyayangi anaknya sendiri. Nenek Magen punya wajah jutek dan tatapan sinis yang menurun pada ayah, lalu menurun lagi padaku. Namun, menurut ayah, wajahku terselamatkan oleh genetika turunan ibu yang fitur wajahnya serba lembut dan kemayu.

"Aku masih heran kau mau dengan anakku," ucap nenek ke ibu saat dipikirnya aku tidak mendengar. Saat itu umurku 3 tahun. Aku kekenyangan kue yang dibawakan nenek, jadi aku memejamkan mata di pangkuannya. Dia mengira aku tidur, tangannya menepuk-nepuk punggungku. Aku menggeliat biar tepukannya naik sedikit, soalnya aku lebih suka ditepuk di sana.

"Aga itu luar biasa keras kepala," celoteh nenek. Tepukannya masih belum naik. "Dulu sebuah bata pernah menjatuhi kepala anak itu—batanya yang pecah! Dia juga angkuh, arogan—kerjaannya cuma berkelahi dari SD! Kupikir, ajaib sekali dia bisa punya istri sepertimu."

Ibu terkikik geli sebagai balasan. "Tapi, dia pria yang pintar."

"Nak," kata nenek seraya mengalihkan tangannya ke lutut ibu. "Ada perbedaan besar antara pintar dan memintari orang."

Aku jengkel sekali karena nenek berhenti menepuk punggungku, jadi aku menggeliat lebih keras dan mengerang protes. Kakiku menendang tanpa tahu ada ceret air panas di antara nenek dan ibu karena mereka habis menyeduh teh.

Semuanya menjerit kecuali aku saat ceret itu menjatuhi kakiku. Aku tidak merasakan apa-apa lantaran kaus kakiku tebal dan jaket nenek yang anti air menyelimutiku sampai pinggang. Jadi, aku melongo saja saat nenek mengangkatku menjauhi air yang tumpah. Baru kemudian, saat ibu dan nenek heboh menanyaiku, dan aku melihat ceret serta sofa yang ketumpahan itu menguarkan asap hangat, aku tersadar: oh, itu air panas. Jadi, aku menangis keras-keras.

Nenek menggendongku ke halaman dan mengalihkan perhatianku ke seekor anjing peliharaan tetangga kami yang lewat. Sementara itu, ibu membuka kaus kakiku dan mengecek bahwa kakiku tidak apa-apa. Dengan tepukan nenek di tempat yang tepat di punggungku, aku sudah mulai tenang. Namun, kemudian ayah muncul dan berteriak dramatis sambil membawa-bawa ceret air, "Ada apa? Leila melepuh?! Sini, Ayah masukkan badannya ke dalam sini biar sembuh!"

Aku menangis lagi dengan volume suara yang lebih besar sampai anjing tetangga kabur.

"Menggoda anak juga ada batasnya!" Nenek menjemba ke arah ayah, tetapi tidak kena—ruang geraknya jadi terbatas karena sedang menggendongku.

"Dia, 'kan, tidak apa-apa!" protes ayah saat mendapat tatapan kesal dari ibu yang merebut ceret dari tangannya. "Leila, kau tidak boleh cengeng! Kakimu tidak apa-apa!"

Mendengar kakiku tidak apa-apa, tangisanku bertambah histeris karena aku malu telah menangis tanpa alasan.

Nenek menggendongku masuk lagi ke dalam rumah sementara ayah mengekor. Aku tidak mendengar apa persisnya yang nenek katakan karena tangisanku memenuhi telingaku sendiri, tetapi garis besarnya nenek bilang bahwa, tanpa ibu, ayah takkan bisa menanganiku sendirian. Sepertinya itu menyinggung ayah.

Nenek mendudukkanku ke sofa yang kering dan berteriak ke ayah, "Tenangkan dia, kalau begitu!"

"Leila, Leila ...." Ayah memegangi wajahku yang terasa panas saking kerasnya aku menangis. Alih-alih menenangkanku seperti yang disuruh nenek, ayah malah bertanya, "Leila, di tengah 'pasar' ada apa?"

"Penjual daging," jawab ibu yang sedang mengelap sofa satunya. Sementara nenek menebak, "Becek?"

Sambil sesenggukan dan menyedot ingus, aku menjawab, "Ada 's'."

Ayah mengangguk bangga. "Ayo beli es ke pasar."

"Ayo." Kubiarkan ayah menggendongku ke luar sementara nenek mengomel dari ruang tamu.

Di depan perumahan, ayah menyapa temannya yang bernama Jopan. Jopan badannya bulat dan dagunya ada banyak—terakhir aku menghitung, dagunya ada empat lapis, tetapi baru-baru ini Jopan mengecil dan lapisannya berkurang satu.

"Aman, Van?" tanya ayah dengan suara berbisik saat kami berpapasan.

Jopan mengacungkan jempolnya tak kentara, lalu lewat begitu saja. Aku heran kenapa mereka selalu seperti itu—ayah dan Jopan tidak pernah berhenti untuk benar-benar mengobrol di jalan, padahal Jopan sering sekali mondar-mandir di depan rumah kami seolah itu sudah jadi pekerjaannya. Namun, satu kali Jopan bertandang ke rumah nenek saat kami menginap di sana, dia dan ayah akrab sekali. Mereka bicara banyak. Katanya, Jopan membantu saat ibu melahirkanku.

Karena pasarnya agak becek habis musim hujan, ayah membawaku ke minimarket yang agak lebih jauh. Aku, sih, oke saja. Toh, yang jalan ayah.

"Es kim ini," pintaku seraya menunjuk gambar es krim paling besar dan paling berwarna yang tertempel di kaca depan toko.

Sambil masih menggendongku, ayah membungkuk di atas freezer es krim dan membiarkanku memilih sendiri. Sementara aku mengacak-acak isi freezer itu, ayah bercanda akan mencemplungkanku ke dalamnya sampai-sampai penjaga kasirnya memandang ayah dengan tatapan mencela.

Aku meraup tiga bungkus es krim yang mirip dengan yang tertempel di kaca sampai wajah si penjaga kasir berubah cerah. Ayah menyuruhku menjatuhkan dua lainnya, tetapi aku kukuh mencengkram ketiganya. Tentu ayah akhirnya menyerah karena Leila di umur 3 tahun tidak terkalahkan. Akhirnya dia membeli satu untuk dirinya sendiri, yang berwarna cokelat berwadah dan pakai sendok.

"Rai!" Seorang wanita yang mengantre di belakang kami tiba-tiba berteriak. Aku menoleh dan melihatnya sedang membentak seorang bocah laki-laki. Mungkin itu anaknya. "Tidak ada es krim untukmu! Kembali ke sini!"

Bocah lelaki yang dibentaknya menggeser pintu freezer sampai menutup, tetapi bocah itu sudah memegangi es krim berwadah, sama seperti yang ayah beli hanya saja warna putih. Saat bocah yang dipanggil Rai itu berbalik, aku melihat matanya yang berwarna biru pucat dengan tatapan tajam menusuk, seperti warna es. Kulitnya juga pucat, tetapi dia tampak dekil seolah belum dimandikan beberapa hari. Aku mencengkram bahu ayah karena takut dan kasihan karena ibunya terus membentak bocah itu untuk mengembalikan es krimnya.

Karena toko itu sunyi—hanya ada aku, ayah, penjaga kasir, Rai, dan ibunya—tidak ada yang menghentikannya saat bocah lelaki itu lari keluar dengan es krim di tangannya.

"Anak sial!" Ibunya mengumpat keras sekali sampai si penjaga kasir berjengit.

Saat wanita itu membayar belanjaan dan es krim yang dibawa anaknya, ayah buru-buru membawaku keluar. Namun, kami tidak langsung pulang. Ayah berdiri dekat pintu toko, di mana aku bisa melihat jelas si bocah lelaki tengah membuka bungkus es krimnya dekat parkiran motor.

Ayah mengeluarkan ponselnya yang kecil (ayah punya dua ponsel, omong-omong) dan menghubungi seseorang—mungkin Sir Ted. Ponsel yang kecil itu biasanya cuma dipakainya untuk menelepon Sir Ted.

"Ti."—Tuh, 'kan. "Aku membaui Relevia."

Kucengkram plastik es krim supaya tidak jatuh, lalu kumiringkan kepalaku ke sisi ayah. Aku ikut menempelkan telinga ke ponselnya karena kepingin tahu.

"—mungkin kau membaui dirimu sendiri, Ga. Kami sudah memeriksa wilayah perumahanmu dan tidak ada lagi Ferv—"

"Leila, jangan menguping," tukas ayah seraya menjauhkan diri, tetapi aku bersikeras mencondongkan diri ke arahnya. Ayah mesti menurunkanku dari gendongannya sebelum bicara lagi, "Maaf. Tadi Leila ... Kau bicara apa tad—ha? Ya, ya, dia baik, ulang tahun yang ketiga minggu lalu. Tambah rewel, seperti neneknya .... Abiar sehat. Ya, ya, begitulah—kau bicara apa tadi, Ti?"

Aku mengeluarkan es krim dari plastik karena bosan menunggu ayah. Kupasang tampang merajuk lantaran es krimku tidak sebesar dan semeriah di gambar. Kacangnya sedikit sekali, warnanya belepotan, dan kalau ayah sampai minta, dia akan menghabiskan separuhnya dalam sekali gigit.

Aku mencicipi es krim itu, tetapi tidak suka rasanya, jadi kukembalikan ke dalam bungkusnya dan mengelap tangan diam-diam ke celana ayah.

Sementara aku berjongkok di tanah dan membuka es krim lainnya, wanita kasar tadi sudah keluar dari toko. Dia menghampiri anaknya dengan marah dan memukul tangan Rai sampai es krimnya jatuh ke tanah.

Untung dia bukan ibuku.

Kalau aku jadi bocah itu, aku sudah menangis keras-keras seolah dunia kiamat, tetapi anak itu hanya diam memandangi es krimnya lama. Ibunya sampai menyeretnya di kerah, melewati motor-motor sambil terus mengatainya dengan nama-nama aneh seperti, "Anak Bajingan," dan "Anak Setan."

Aku memperhatikan saat Rai berkelit berusaha membebaskan diri dari cengkraman ibunya. Satu tangannya terentang, dan sebuah sepeda motor di parkiran tiba-tiba meloncat ke arah mereka, nyaris menabrak ibunya. Pemilik motor itu baru akan masuk ke toko, tetapi dia mesti berbalik kembali dan menghampiri mereka.

Ada cekcok sedikit, di mana wanita itu marah besar dan si pemilik motor bersikeras dia sudah mencabut kuncinya. Gigi motornya tidak masuk, dia bilang, yang mana membuatku terpana bahwa motor ternyata punya gigi.

Sementara si pemilik motor meminta maaf dan membenarkan motornya, Rai berbalik dan merentangkan tangannya lagi. Tanpa ada satu pun yang memergoki kecuali aku dan ayah, wadah es krimnya yang tadi jatuh langsung melayang kembali ke tangannya.

Aku bertepuk tangan pelan dari tempatku berjongkok.

"Relevia—" Kudengar ayah berbisik ke ponselnya. Matanya mengawasi Rai. "Aku serius. Bocah laki-laki, seusia anakku, rambutnya hitam, matanya biru—"

Sementara ayah menceritakan ciri-ciri Rai lewat ponsel, aku mulai disibukkan lagi dengan es krimku. Rasanya sama dengan yang sebelumnya. Jadi, aku membuka yang satu lagi, yang lagi-lagi membuatku kecewa. Plastik di pangkuanku sudah belepotan oleh lelehan es krim, rokku celemotan, tangan dan wajahku terasa lengket dan dingin. Namun, tinggal satu yang belum kubuka.

Punya ayah.

Aku melirik ayah yang masih sibuk menelepon. Saat si pemilik motor tadi akhirnya akan masuk lagi ke dalam toko, dia dan ayah saling lempar senyum canggung. Sementara itu, Rai diseret ibunya pergi sambil masih diomeli.

Ayah tidak lihat. Jadi, aku duduk di tanah dan mencicipi es krimnya.

"Orang tuanya mungkin tidak sadar kondisi anaknya," bisik ayah lagi ke ponsel. Dia berhenti sebentar sebelum berkata lagi, "Jangan gila—aku dengan Leila! Aku tidak bisa ambil risiko membuntutinya!"

Saat itulah dia menunduk dan memergokiku yang berkubang dalam kekacauan warna-warni.

"LEI—" Ayah berdengap. Dia melipat bibirnya ke dalam dan pipinya menggembung—wajah ayah mirip orang menangis, tetapi tidak ada air matanya. Dia bicara buru-buru ke ponsel, "Nanti kuhubungi lagi, Ti."

Ayah memasukkan ponsel ke sakunya dan mengamatiku dengan ngeri. Kedua telapak tangannya membuka-tutup dengan gemas. "Leila! Itu punya ayah!"

Aku balik badan memunggunginya. Punya ayah lebih enak dari punyaku.

Dengan ringisan kecil, ayah akhirnya ikut berjongkok di sebelahku dan menghabiskan sisa es krim yang kuhancurkan di tanganku. Sementara kami membereskan kekacauan ini, aku mengadu ke ayah tentang bocah yang tadi menerbangkan es krim. "Tadi ada 'antu."

Ayah mengernyit tidak paham. "Mantu?"

"'Antu!" Aku membuat gestur mirip hantu dengan kedua tanganku. Kubuat wajah seram dan melebih-lebihkannya biar ayah juga takut—aku tidak mau takut sendirian. Ayah malah terkekeh, tidak tampak takut sama sekali.

Saat pemilik motor tadi keluar dari toko, dia dan ayah saling tersenyum canggung lagi. Mungkin karena tidak enak senyum-senyum terus, ayah akhirnya beranjak menawarkan bantuan untuk mengeluarkan sepeda motor pria asing itu. Bagian depan motornya penyok dan setangnya agak miring. Aku penasaran apakah gigi motornya copot gara-gara itu, soalnya aku pernah melihat gigi sepupuku tanggal karena dia jatuh waktu lari-larian.

Aku mendapati saat ayah menelusurkan jari tangannya di bagian depan motor itu dan setangnya jadi betul lagi. Si pemilik motor menoleh, lalu ayah langsung berlagak menekan-nekan setang itu dengan otot lengannya seperti berusaha membetulkannya. Si pemilik motor seperti hendak menangis. Dia berterima kasih kepada ayah berkali-kali dan memberinya jabat tangan yang berlebihan.

Setelah saling senyum lagi, pria asing itu pergi dengan motornya, dan ayah menghampiriku.

"Kalau nenek lihat bajumu kotor, dia akan memasukkanmu ke dalam penggilingan mesin cuci!" ancam ayah setelah aku naik ke gendongannya.

Saat aku membuang plastik es krim, ayah bercanda lagi dengan memasukkan setengah badanku ke dalam bak sampah. Kali ini, aku berteriak begitu kencang dan mencakar dagunya.

"Kenapa kau galak sekali, Leila? Coba seperti ayah—murah senyum sedikit!" Ayah mengeluh, yang langsung membuatku memberengut. Nenek pernah cerita kalau ayah dulu mukanya galak dan baru-baru ini saja belajar untuk senyum pada orang karena dapat pengaruh dari ibu. "Seperti yang ayah lakukan dengan orang asing tadi—kami tukar senyum. Saling tukar senyum tidak ada ruginya, Leila."

Mataku membeliak. Berarti senyuman yang kulihat sekarang ini bukan punya ayah lagi, melainkan punya pria tadi?! Karena mereka sudah tukaran senyum?!

"Banyak senyum membuatmu jadi cantik, Leila. Kau jadi mirip ibumu. Kalau wajahmu mirip Ayah, nanti kau susah dapat jodoh .... Tunggu ... ya, ayah pikir tidak apa-apa kalau kau jadi jutek sedikit. Kau tidak boleh dapat jodoh sampai umur dua puluh ... atau tiga puluh .... Oh, tidak—kau tidak boleh jadi besar!"

Kubiarkan ayah mengoceh terus sepanjang jalan pulang, dengan begitu dia tidak sadar aku mengelap tangan dan mulut ke bahu bajunya. Sisa es krim tadi masih lengket di mana-mana, sampai ke rambutku, dan rasanya tidak enak. Kalau bukan nenek, ayah yang akan memasukkanku ke dalam penggilingan mesin cuci.

Di depan perumahan, ponsel ayah yang besar berbunyi. Ayah langsung meringis saat mengeceknya karena ibu yang menelepon. Kali ini, ayah tidak berkelit saat aku ikut menempel telinga ke ponselnya.

"Ayah tidak membelikan Leila lebih dari satu es, 'kan?"

Ayah melirikku sambil mengerucutkan bibirnya. "Tidak."

"Sungguh?"

"Ya." Sebelum ibu bicara lagi, ayah langsung memotong, "Bisa siapkan seragam Ayah? Ada yang mesti Ayah cek di sekitar sini."

Seragam ayah biasanya berupa jaket parka dan celana kebesaran berkantung banyak. Aku pernah usil dan membuka kancing jaketnya, tetapi ayah langsung marah. Sebelum menangis karena dimarahinya, aku sempat melihat baju warna hitam di balik jaketnya. Sejak itu, ayah tidak mau lagi menggendongku kalau sudah mengenakan seragamnya.

"Tidak—tidak ada apa-apa," ucap ayah, entah apa yang dikatakan ibu sebelumnya. "Hanya mengecek. Sungguh. Tidak ada apa-apa. Bukannya sudah Ayah bilang daerah ini dipastikan bersih?!"

"Lalu, kenapa—"

"Hanya mengecek! Aku dan Jovan akan memutari wilayah ini secara terpisah—itu saja! Tidak usah cemas! Ini hanya pengecekan rutin setiap bulan!"

Meski berbisik, suara ayah tegas dan terdengar agak jengkel sampai ibu tidak membantah lagi.

Setelah selesai dengan ibu, ayah mengambil ponselnya yang kecil dan menghubungi Sir Ted. Ayah memiringkan kepalanya sedemikian rupa dan memindah ponsel ke telinga satunya supaya aku tidak bisa menguping.

"Ya, Ti—aku akan berangkat setelah mengantar Leila pulang."

Jeda. Aku tidak bisa mendengar Sir Ted.

"Yakin, Ti. Aku melihatnya memelantingkan sebuah sepeda motor. Siapkan saja pengendali tambahan. Ya—"

Berhenti lagi. Rahang ayah mengencang dan dia tampak marah.

"Yang mereka taruh di daerah ini tidak cukup untuk mengendalikan Ferv—ya, ya, aku tahu! Kurang orang! Kurang pekerja! Tapi, di distrik sebelah hanya ada sedikit Icore dan mayoritasnya hanya Detektor—itu pun mereka belum aktif. Seharusnya di sana tidak perlu banyak pengendali. Semua personelnya bisa dipindahkan kemari, 'kan?!"

Jeda lagi. Ayah menggerung, entah apa yang Sir Ted katakan.

"Tidak—Bintara tidak mungkin berani menginjakkan kakinya di sini. Aku mengawasi daerah ini, Ti. Siapa pun yang memberimu informasi itu ... apa? Apa maksudmu?! Aku dan Jovan mengawasi distrik ini, oke? Tidak mungkin Bintara bisa menaruh anak buahnya di sini tanpa kami ketahui!"

Aku merayap di badan ayah dan berhasil mencapai sisi satunya untuk mendengar suara Sir Ted samar-samar di telepon. Saat kau adalah balita umur 3 tahun, berpindah posisi di gendongan ayahmu sama seperti merayap di tebing atau tembok panjat-panjatan.

"—dia langsung pergi malam itu juga. Tampaknya dia membawa Brainware—atau Relevia dengan Brainware-dominant—dan mengecoh Jovan. Masalahnya, bagaimana mungkin dia bisa membawa Fervent sekuat itu tanpa mengundang—"

"Anak itu!" sambar ayah cepat. "Anak yang tadi kulihat di minimarket—"

"Tidak, tidak mungkin. Aktifnya Fervor level 1 sampai 3 ada di usia minimal 5 tahun. Relevia itu level 12, mereka aktif di atas usia 10 dan baru bisa digunakan dengan benar di usia 13 ke atas. Dan Relevia yang kau bilang kau baui itu—berapa? Tiga tahun?"

"Leila sudah menampakkan gejalanya saat baru lahir." Ayah kemudian sadar aku menguping. Digesernya posisiku di badannya. "Leila, jangan ganggu Ayah!"

Namun, aku merayap lagi dan mencengkram bahunya erat-erat supaya bisa mendengar Sir Ted mengatakan, "Leila berbeda. Dia lahir darimu—Relevia generasi awal. Nah, ini baru akan masuk akal jika anak yang kau bicarakan itu—yah ... kau tahu, 'kan desas-desusnya?"

Wajah ayah serius sebentar, lalu dia tertawa seperti mengejek. "Jangan bercanda. Pria itu punya anak?"

"Kenapa tidak? Kau saja punya anak."

Karena hampir jatuh dari gendongannya, aku kembali ke posisi normal. Jadi, aku tidak bisa mendengar Sir Ted lagi. Aku cuma bisa melihat ayah yang benar-benar berang sekarang. Ujarnya, "Terserah kau, Ti. Pokoknya, siapkan saja pengendali. Aku dan Jovan akan mencari posisi bocah itu."

Ayah memutuskan telepon dengan wajah muram. Biasanya wajah itu dia pasang sehabis pulang kerja, dengan mata letih dan jaket parkanya yang kotor seolah ayah habis lari-larian dan jatuh ke tanah. Namun, sekarang dia memasangnya sebelum berangkat kerja. Bagaimana tampangnya nanti begitu pulang?

Aku menarik kedua pipinya, memaksanya tersenyum, lalu mengomel, "Tukay enum ama aku! Nti usah dapat odoh!"—Ya, kalau kalian tidak paham, kurang lebih begini terjemahannya: Tukar senyum denganku, nanti susah dapat jodoh.

Aku cuma mengembalikan kata-katanya, tetapi sepertinya itu berhasil. Setelah bengong sebentar, ayah terbahak sangat keras. Kurasa sekarang kami bertukar tawa—jadi yang ayah pakai itu tawaku, dan aku memakai tawanya.

"Ya, ya! Ayah sudah senyum!" tukas ayah saat aku menarik pipinya lagi. Sambil masih terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya, ayah berkata, "Nanti bilang ke ibu esnya hanya dibelikan ayah satu, ya? Ayah tidak pernah membelikanmu dua, apa lagi tiga es krim."

Pada dasarnya, anak ini sudah makan empat. Aku mendengar suara ayah meski dia tidak membuka mulutnya untuk mengucapkan itu.

Aku mengernyit sambil merentangkan lima jariku, yang saat itu kukira empat.

"Satu!" Ayah berkeras dan melipat beberapa jariku, menyisakan hanya jari telunjukku. "Belajarlah berhitung, Leila. Kau akan butuhkan keterampilan itu saat masuk TK! Begini, tadi kau makan satu; sisa tiga. Kau makan satu lagi, sisa dua. Kau makan lagi yang satunya, sisa satu punya ayah. Kau makan juga yang itu, dan ayah menghabiskan sisa lelehannya yang kau campakkan. Lihat? Kau cuma makan satu-satu. Artinya, ayah hanya membelikanmu satu es krim ... pada satu waktu."

Mulutku membentuk 'o' paham. Benar juga kata ayah.

Dan, karena berhasil memahami perkataannya barusan, kurasa aku sama geniusnya dengannya. Jadi, aku memasang tampang bangga dengan diriku sendiri.

Ayah terbahak lagi, lalu mencium pipiku yang masih terasa lengket oleh es krim. "Oh, Leila. Ayah akan berikan apa pun untukmu di dunia ini. Apa pun."

Kubaringkan kepalaku di bahunya. "Mau es kim 'agi."

"Tidak boleh."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro