#53

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Psst!

Kalo ada typo, kalimat aneh, plot hole, dan anu-anuan lainnya
bilang-bilang yah
'-')/


| RavAges, #53 | 3769 words |

SAAT ALATAS membangunkanku, pipiku sudah basah oleh air mata. Rasanya sesak saat rindu itu memuncak. Dalam mimpi dan saat pertama bangun pun aku langsung teringat dua hal: aku baru bertemu ayahku, lalu kehilangannya.

"Kita harus bersiap pergi sekarang," kata Alatas lembut. Ibu jarinya bergerak mengusap wajahku. "Kau bisa bangun? Mau kugendong?"

"Jangan cari kesempatan, Alatas." Suaraku terdengar lemah dan parau, tetapi Alatas tetap mundur dengan kedua tangan terangkat sejajar bahu seolah kutodong pistol. Padahal, dialah yang tengah menyandang senjata api di sini.

Erion membantu mengompres wajahku yang bengkak sementara Truck membereskan barang-barang dan menghapus jejak kehadiran kami sebaik mungkin dari gang itu. Kami lantas menyelinap ke bagian belakang toko roti yang, Alatas janjikan, orang-orangnya akan membantu kami keluar dari sarang Steeler. Bau besi di mana-mana. Toko roti itu sendiri berupa sebuah ruko logam empat tingkat berpalang baja bertuliskan 'Molybdenum Bakery' yang menyala-nyala warna neon.

"Alatas!" Seorang wanita berdaster bunga-bunga menyambut kami di pintu belakang. Dia memberi Alatas pelukan yang bisa saja meremukkan rusuk pemuda itu. Alatas memanggilnya 'Marin'.

Marin selebar Truck, tetapi lebih pendek sekepala dariku. Wajahnya tembam kemerahan, seperti terlalu sering terpapar hawa minyak panas. Dan gara-gara cerita rayuan Truck, mau tak mau aku sungguhan mengasosiasikannya dengan bakpau.

Meski tubuhnya begitu subur sampai lehernya tidak kelihatan, Marin tidak tampak semenyeramkan Steeler lain. Dia ramah, senyumnya mencapai matanya. Dia mungkin baru awalan 30. Biasanya aku benar kalau menaksir umur orang—kecuali Alatas dan Truck, yang barangkali jiwanya tertukar saat mereka dilahirkan.

Kedua mata Marin cokelat gelap, sementara semua pekerjanya yang lalu lalang, kuperhatikan, memiliki warna mata yang beda sebelah. Tentu Marin sudah melampaui umur 25 saat dia mengonsumsi obat-obatan penihil Fervor itu.

"Oh, siapa ini?" Marin mendekati Erion dengan sikap gemas sampai membuat anak itu berjengit mundur, tetapi Marin telanjur menangkapnya. Sembari mencubiti pipi Erion, Marin mengerling jail ke Alatas, "Bukan anakmu, 'kan?"

Alatas terkekeh pelan. "Adik."

Sembari membenarkan alat bantu dengarnya, Erion memutar bola matanya. Kalau saja mereka dengar, aku bakal memanggil Alatas 'Daddy'.

Dan, Truck jadi mommy-nya? Aku membatin geli.

Erion berpikir sejenak, lalu mengedikkan bahu. Truck lebih seperti Mommy tiri. Kau saja yang jadi Mommy asli.

"Ih!" Tawaku lolos setelah beberapa jam belakangan aku cuma menangis, dan suaraku menyerupai dengkingan serak. Itu membuat semua mata memandangku.

"Ada yang lucu, Nona Muda?" tanya Marin bingung.

Aku baru akan menjawab bahwa aku bicara dengan Erion, tetapi sudut mataku menangkap Alatas yang tengah menggeleng ngeri seolah tahu apa yang akan kukatakan. Yah, kengeriannya beralasan—memperkenalkan diri sebagai Brainware di sarang Steeler rasis bukan hal bagus untuk dilakukan.

"Dia ...." Truck angkat bicara dengan suara goyah tak meyakinkan. "Saudari kami ini sebenarnya agak ... terganggu."

"Oh ...." Marin membelalak, lalu memutar-mutar jari telunjuk di sisi kepalanya seolah aku tak berada di antara mereka untuk melihat gestur tak beradat itu. "Oh, sayangku! Malangnya! Berapa umurmu, 16? 17? PF13 memang yang terburuk!"

Marin memberiku pelukan yang lebih meremukkan daripada yang Alatas dapat. Dengan napas tercekik, aku mendelik tajam kepada Truck sambil mengirim kata 'berengsek' belasan kali ke dalam kepalanya.

Truck berpaling, menyembunyikan wajah puas dan gelinya yang kentara.

"Moly, adikku tersayang—dia juga dirusak oleh obat itu!" isak Marin seraya menepuk-nepuk bahuku. Jari tangannya yang lain menyeka sudut matanya yang berair. "Sudah tiga tahun Moly tidak bicara padaku—dia jadi seperti boneka mati! Dia susah untuk makan dan beraktivitas dengan benar! Dia jadi kurus sekali!"

Marin jadi emosional selama beberapa saat dan menyandarkan kepala ke dada Alatas. Sambil merangkul wanita itu, Alatas menghiburnya, menghamburkan banyak sekali kata-kata manis. Jika saja tidak sedang berakting jadi korban PF13, aku tentu sudah merenggut leher Alatas dan membenturkan mukanya ke ....

Bukannya kalau aku dikira gila, artinya wajar kalau aku mengamuk ...?

Marin berbalik dan memelukku lagi, membuatku kehilangan motivasi untuk menghancurkan dapurnya.

"Semoga mereka segera menemukan penyembuhan dari dampak PF13 itu," desah Marin. Dia kemudian mencegat salah satu pekerjanya yang tengah bercelemek penuh tepung. "Prabangkara—siapkan perbekalan untuk teman-teman kita di sini. Sekalian antar mereka ke tempat Davin."

Prabangkara lebih besar dari Truck sampai-sampai aku mesti mendongak hanya untuk melihat di mana kepalanya. Pria itu bahkan harus membungkuk untuk melewati pintu saat membimbing kami. Namun, dengan celemek yang bermotif sama dengan daster Marin, aku tidak tahu mesti menilainya bagaimana.

"Semoga kalian tidak mati di jalan," kata Marin dengan begitu baik hati.

Aku baru akan menyusul Erion dan Truck yang sudah melewati pintu, tetapi langkahku terhenti saat melihat Marin menarik lengan baju Alatas dan berjinjit untuk mengecup pemuda itu di pipi.

Alatas tampak kaget sedikit, tetapi cuma itu. Dia memberi Marin senyum yang menurutku sudah kelewatan untuk ukuran sopan santun belaka.

Saat kami melalui pintu, mengekori Prabangkara, aku bisa mendengar Marin mendesah, "Andai aku 10 tahun lebih muda."

Sementara kami mengikuti Prabangkara menuruni tangga menuju ke ruang bawah tanah, aku menyinggung ucapan yang sempat Alatas ucapkan sebelum ini. "Pemilik tokonya jerawatan dan mirip bakpau, ya? Kau tampak tidak mempermasalahkan itu dan oke saja bermesraan dengannya."

Alatas mengerjap tolol, tampak berusaha mencerna maksud dari ucapanku. Dia kemudian mengernyit dengan senyum geli tersungging di wajahnya. "Leila, Marin tidak bermaksud apa-apa. Aku dulu masih dicium ibuku sampai umur 14—"

Dia tercekat sendiri saat wajah ibunya membanjiri ruang kenangannya, dan itu bukan ingatan yang bagus. Dia teringat saat ibunya tertatih-tatih mengejar mobil jip yang dikendarai Bintara ketika dia dibawa paksa ke Herde. Alatas langsung memalingkan muka dan berkata serak, "Kau luar biasa manis saat cemburu, Leila."

Aku sadar dia hanya ingin mengalihkan pembicaraan, tetapi kata-katanya tetap membuat kepalan tanganku melayang ke lengannya. Saat dia kembali berpaling padaku, Alatas sudah mengatur wajahnya lagi. Aku heran apakah Alatas akan pernah sadar betapa payahnya dia dalam menyembunyikan perasaannya.

Prabangkara membawa kami kepada seorang pria setengah baya bertubuh kurus tinggi, penuh tato, dan banyak tindik di telinganya—namanya Davin.

"Duduklah dulu." Davin melambai pada peti-peti logam yang memenuhi sisi ruangan. "Aku yang akan membawa kalian, jadi usahakan jangan banyak tingkah. Nanti, pokoknya jangan sentuh apa-apa. Nah, masih ada beberapa senjata yang mesti kami sembunyikan, jadi kalian diamlah di sini."

Lalu, dia pergi begitu saja, padahal aku mengharapkan semacam saran—bagaimana caranya melewati Detektor di gerbang kompleks? Apa kami akan digeledah? Apa kami mesti berpakaian seperti mereka dan membaur?

"Benar-benar pengarahan yang jelas." Truck mengomel. "Tidakkah mereka mau menjelaskan sesuatu—bagaimana kita melewati pendeteksi logam, misal?"

"Mereka menyogok dua orang penjaga gerbang Kompleks," beri tahu Alatas. "Jangan cemas. Mereka sudah sering melakukan ini."

Truck mengerling Alatas, lalu tatapan matanya mendadak berubah. "Apa yang ada di balik jaketmu itu?"

Alatas membeku seperti bocah tepergok menyelundupkan permen di balik lidahnya. "Bukan apa-apa."

"Kau mengambil barang aneh lagi? Kau tahu, masalah arloji itu saja aku masih berusaha curi-curi kesempatan untuk menariknya dari tanganmu?"

Sebelum Truck menyerbu, Alatas menyerah sendiri. Dia mengeluarkan beberapa selebaran kumal dari saku jaketnya. Kertas-kertas itu memiliki beberapa foto berwarna yang sudah agak pudar dan lecek bekas kena air. Ada beberapa tulisan yang dicetak besar yang langsung kusadari adalah semacam kepala berita—Kasus Perampokan Perumahan Mewah, Melawan Terorisme, Skandal Narkoba Selebriti, dan judul lainnya yang sudah lama sekali tak pernah kudengar. Berita terakhir yang bisa kuingat hanya kedatangan NC sebelum semua siaran diputus.

"Koran lama," kata Alatas. "Pangkalan NC di Kompleks 4 menyimpan ini."

"Ini dari surat kabar digital yang di-print sendiri," gumam Truck. "Dan semua peristiwanya barangkali terjadi di zaman kakekmu. Ini sampah."

Kugumpal kertas-kertas Alatas. "Jangan bawa yang aneh-aneh, Alatas."

"Ya, tinggalkan," tambah Truck. Kakinya menyepak kertas-kertas itu.

"Oh, sekarang kau setuju pada wanita yang terganggu ini?" sindirku.

Truck bersikap seolah tak mendengarku sama sekali. "Sekarang semua masalah kita sumbernya cuma NC dan Fervent—koran-koran ini tak ada gunanya."

"Tapi, aku pernah janji ke Erion bakal mengajarinya membaca," protes Alatas.

Erion memutar bola mata lagi. Aku sudah pernah bilang ke Alatas, aku bisa membaca, tapi dia tidak paham.

"Memang kau sendiri bisa membaca, Alatas?" Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Sedetik kemudian, aku sadar pertanyaanku mungkin keterlaluan.

Namun, pemuda itu hanya memasang tampang terluka yang dibuat-buat dan berdecak, "Hatimu saja bisa kubaca, Leila, kenapa tidak dengan surat kabar?"

"Kalau kau mau mengajari Erion membaca," kataku seraya berpura-pura bahwa wajahku tak terasa panas, "koran yang isinya kasus penyanderaan dan pembunuhan sama sekali bukan bahan yang tepat."

Kudahului Alatas memunguti semua kertasnya, lantas menumpuknya ke dalam kotak kosong yang sejak tadi kududuki.

"Ketimbang masalah ini ... bagaimana dengan Raios?" Karena pertanyaan itu, para cowok melemparkan tatapan yang mempertanyakan akal sehatku. "Aku bukannya peduli pada sosiopat itu! Aku memikirkan Meredith! Dia masih tertinggal! Kalau Raios tidak ada, nasib gadis itu bagaimana?!"

Alatas berdengap, Truck langsung tertarik pada kakinya, sedangkan Erion berpura-pura menekuri remah roti di sela kuku jarinya. Ketiganya seakan baru teringat pada seorang gadis waras malang yang kami tinggalkan di gorong-gorong Garis Merah. Aku jadi merasa marah. "Dia memberi kita makan dan tempat bernaung meski dia dikutuk berpacaran dengan Raios, dan kalian melupakannya?!"

"Mungkin dia bersekongkol dengan Raios," tuduh Truck tanpa perasaan.

"Mungkin dia bersama temannya Raios," kata Alatas. "Mungkin dia aman ...."

"Mungkin!" hardikku jengkel. "Kau tidak ingat yang Raios katakan? Temannya yang menjemput Meredith itu laki-laki! Orang-orang sialan—"

Truck tampak tersinggung. "Hentikan prasangka penuh seksisme-mu itu—"

"Oh, Bung, berkacalah," dengkusku.

Truck jadi tampak masam. "Kau tidak mungkin masih mendendam masalah aku yang mencoba menguburmu di bawah reruntuhan—"

"Karena aku perempuan yang kausangka akan menganibal kalian? Oh, ya, tidak mungkin aku masih mengingatnya sampai sekarang."—Kugerakkan dua jari tanganku untuk mengutip perkataan Truck hari itu. "Tinggalkan. Tutup lagi."

"Hei, hei." Alatas menyeruak ke tengahku dan Truck. "Sudah. Jangan di sini. Kita bisa menarik perhatian—"

"Mereka, toh, menyangka aku terganggu. Sedikit ledakan untuk permak wajah Truck, atau aku menyusupi otaknya sampai dia menari akrobat di sini, itu wajar."

Truck akhirnya berdiri geram, yang kutanggapi dengan tatapan menantang. Tangannya mencengkram senjata di punggung Alatas, hendak merebutnya, tetapi Alatas segera menepis tangan Truck dan membentak, "Jangan bercanda, Truck!"

"Oh, kau ingin menembakku?!" Kemarahanku seketika memuncak. Sebelah tanganku terangkat dan aku hanya satu detik jauhnya dari mengaktifkan Corona saat Alatas menyerbu memegangi kedua tanganku.

Melihatku yang sungguh akan meledakkannya, Truck ikut menyerbu maju, tetapi langkahnya seketika terhenti dan matanya dengan cepat melirik Erion.

Segera saja kami dikerubungi oleh Davin dan teman-teman Steeler-nya. Aku masih berteriak dan melontarkan banyak hinaan untuk Truck yang kupelajari darinya saat Alatas menganggungku ke atas bahunya. Aku nyaris tak menyadari pemuda itu berlari membawaku menyebrangi ruangan. Lalu, kudengar suara pintu digeser dan teriakan Davin. "Sini!"

"Apa kita mesti mengikatnya?" tanya Prabangkara. Sudut mataku menangkap pria itu yang menyeret keluar serenteng rantai besi, membuatku bungkam seketika.

"Tidak—tidak perlu!" sanggah Alatas cepat.

Masih membawaku, Alatas melompat masuk ke dalam ruang sempit penuh rak kosong. Pintu tertutup di belakangnya. Aku langsung merasa panik. Ruangan ini tidak cukup lebar bahkan untuk meluruskan kaki. Kepala Alatas menyentuh langit-langit, nyaris terantuk bohlam meski dia sudah membungkuk. Punggungku mentok di rak. Tempat ini mampu membuat penderita claustrophobia kejang-kejang.

Napasku langsung sesak. Kucoba untuk menyerbu keluar, tetapi Alatas memblokade pintu dengan badannya.

"Apa kau marah karena kami terlambat datang menyelamatkan ayahmu?!"

Seketika itu juga, aku kembali merasa marah. "Apa maksudmu?! Tentu saja tidak! Sudah kubilang aku sama sekali tidak menyalahkan kalian—"

"Tapi kelihatannya kau seperti ingin melampiaskan kemarahanmu pada kami!"

Aku membuka mulut, tetapi tak satu kata pun keluar. Selama beberapa detik, aku membisu. Justru air mataku yang meleleh tanpa bisa kukontrol lagi.

"Aku ... tidak tahu apa yang salah denganku!" Kutangkup wajahku yang terasa panas. Tubuhku berguncang saat aku mulai terisak lagi. "Maaf—aku—aku—"

"Tidak ada yang salah denganmu," sengal Alatas kemudian. "Kau hanya sedang berduka—kau butuh waktu, dan sialnya kita berada di tengah situasi yang tidak mengizinkanmu berduka lama-lama. Jadi, sungguh, Leila ... tidak apa-apa."

Tangannya bergerak hendak merengkuhku saat aku mendorongnya menjauh. "Jangan peluk—aku masih emosional. Aku mungkin akan menendangmu."

Setelah beberapa menit, tangisanku mulai mereda. Kubiarkan Alatas menyeka wajahku dengan lengan jaketnya. Sepertinya sudah tak terhitung lagi berapa kali aku mengotori baju Alatas. Dia kemudian berkata lembut, "Aku tahu kau tidak sungguh-sungguh mau membunuh Truck."

"Masa?" tukasku. "Dan dari mana kau tahu aku tidak sungguh-sungguh?"

Alatas menunjuk senjata api di punggungnya. "Saat aku membopongmu, benda ini cuma seraihan tanganmu. Kau tidak mengambilnya untuk menembak Truck."

"Tapi, dia sungguh berniat menembakku!"

"Tidak, dia cuma menggertak. Truck lebih percaya kepalan tangannya daripada senjata, soalnya dia payah dalam membidik." Alatas menggaruk cuping hidungnya, matanya menelaah lantai seperti mengenang. "Aku pernah memberinya ketapel di Herde dan aku langsung menyesal."

Entah dia mendadak pintar menilai manusia, atau Alatas hanya terlalu pandai membuat alasan untuk tetap memercayai orang-orang di sekitarnya—aku tak tahu.

"Apa dia menembakmu pakai batu dengan ketapel itu?" tanyaku sambil masih mengatur napas.

"Nggak. Dia mengenai hidungnya sendiri."

"Hidung—?" Aku menjengit. "Bagaimana mungkin—memangnya ada—o, orang sebodoh apa yang merentangkan karet ketapel terbalik?!"

Alatas mengangkat bahu. "Saat itu dia bahkan belum pernah lihat ketapel. Truck cuma pernah diajari berkelahi dengan tangan kosong seumur hidupnya."

"Diajari?" ulangku, yang langsung membuat Alatas menggigit lidahnya.

"Dengar," ucap Alatas lamat-lamat, kentara sekali mencoba menghapuskan perkataannya barusan dari percakapan. "Truck itu tampangnya saja yang pembunuh bayaran, tapi dia belum pernah, sekali pun, membunuh siapa pun. Bahkan saat kami di Herde. Beda dengan—" Alatas tercekat lagi. "Beda denganku. Aku pernah menembak mati Brainware, membunuh beberapa penjaga gerbang Kompleks 4, beberapa kali nyaris mencelakai orang—"

"Iya, sudahlah, Alatas," potongku lembut. "Mungkin kita harus kurangi penyebutan nama Raios. Namanya seperti membawa alamat buruk."

"Dan Bintara," tambah Alatas.

Aku langsung teringat ....

"Raios anak Bintara."

Aku terkejut sendiri karena perkataan itu amat enteng keluar dari mulutku, seolah-olah aku cuma mengatakan namaku sendiri.

Alatas menatapku selama beberapa detik dengan alis mengernyit dan bibir separuh terbuka, lalu dia tertawa. Kubiarkan sampai tawanya menyurut sendiri dan wajah Alatas berubah mengerut. "Kau tidak bercanda, ya?"

Aku menggeleng.

"Maksudku, pria macam itu ... dengan wanita macam apa ... menghasilkan anak yang—" Alatas menyetop dirinya. "Sekarang ini terdengar seram." Alatas terdiam lagi, persis denganku saat pertama mendengarnya dari ayah. Sepertinya siapa pun butuh waktu untuk memproses informasi macam itu. "Tahu tidak ... rasanya jadi masuk akal. Raios bisa menyusup ke kompleks-kompleks, membuat tempat domisilinya sendiri tanpa diringkus—"

"Hei!" Davin menggedor pintu di belakang punggung Alatas. "Bagaimana? Cewek itu sudah tenang? Kita mau berangkat!"

Kami terpaksa menunda dulu gosip itu dan buru-buru keluar, lantas menyusul yang lainnya yang telah menaiki tangga menuju ke luar.

Saat kami menunggu di dekat pintu ruang bawah tanah itu, ada jarak antara aku dan Truck. Alatas dan Erion sengaja berdiri di antara kami.

Rolling door belum dibuka, tetapi mesin mobil truk sudah dinyalakan. Melihat gerobak-gerobak yang telah dikosongkan dan dua buah mobil besar yang siap berangkat, Alatas langsung bertanya pada Davin, "Bukankah kalian akan masuk dengan gerobak-gerobak itu?"

Prabangkara di sebelahnya yang menjawab, "Perubahan rencana. Entah kenapa ada perubahan shift jaga di depan gerbang Kompleks 12. Dan dengan adanya kalian, kami tidak bisa ambil risiko mengantarkan lebih dari 5 gerobak muatan—para penjaga gerbang akan bertanya-tanya."

Setelah Prabangkara menyingkir, barulah Davin beringsut mendekati kami.

"Aku dan Marin tahu kalian ini apa dan sedang dikejar siapa," bisiknya, yang segera saja membuat kami membeku. "Poster wajah kalian sudah tersebar di Kompleks 4—tiga Multi-fervent dan satu Cyone murni, dicari langsung oleh Komandan. Ada kabar bahwa pangkalan NC di dekat sini dilanda kerusuhan saat beberapa tahanan melarikan diri. Itu sebabnya Kompleks 12 sedang siaga satu."

Truck mencoba menyela, "Kami bisa menyamar—"

"Kubilang, aku dan Marin. Teman-temanku yang lain tidak tahu. Mereka menyangka kalian cuma Fervent liar biasa. Kau mau jelaskan pada mereka kenapa kalian mesti menyamar ke Kompleks 12?"—Lantaran tak satu pun dari kami menjawab, Davin melanjutkan, "Kalau mereka tahu berapa harga kepala kalian untuk Komandan, kalian takkan pernah sampai ke Kompleks 12. Sekarang, masuk."

Saat pintu belakang truk terbuka, aku pun sadar kami mesti berdesakan dengan berpeti-peti roti, empat unit pemanggang baru, dan sepeti besar senjata api yang lengkap dengan amunisinya. Davin masuk lebih dulu untuk merentangkan selembar kain spanduk lusuh di atas peti-peti itu, lalu turun lagi dan menyuruh kami bergegas.

Saat Truck melompat masuk Erion terkekeh dalam kepalaku, Truk naik truk.

Begitu aku bergabung ke dalam, Truck menendang salah satu peti kemas sampai mengenai kakiku. Kurasa dia sengaja.

"Kalian." Davin menghentikan Alatas dan Erion yang akan melompat naik, lantas mengedik ke gerobak terakhir yang belum dikosongkan. "Bantu kami memindahkan beberapa muatan. Kami salah memperkirakan jumlah bebannya karena kalian bergabung, jadi akan ada satu tambahan mobil lagi."

"Ya ... tentu." Alatas mengangguk, tampak gugup. Dia melepaskan senapan yang dipanggulnya dan menitipkannya kepadaku. "Tapi, Erion bukan—"

"Phantom, 'kan?" Davin mengangkat sebelah alisnya. "Setidaknya, yang lain melihatnya melevitasi peti-peti logam itu."

Alatas langsung terpaku di tempatnya. Padahal tanpa dia melakukan itu, Truck dan aku sudah seperti akan meledak dalam kecanggungan—kami akan ditinggal berdua di dalam sini.

Alatas mengambil kembali senapannya dari tanganku. "Jaga-jaga ... biar kubawa saja."

Mereka pun pergi, meninggalkanku dan Truck dalam keheningan total.

Kucoba untuk memecah keheningan untuk meminta maaf, tetapi saat aku baru menarik napas, Truck langsung menyela, "Jangan berani-berani bicara padaku."

Rasa bersalahku langsung sirna. "Kau lebih kekanakan daripada Erion. Aku cuma mau bilang maaf. Setidaknya aku merasa menyesal, tidak sepertimu—"

"Aku merasakannya, tapi aku tidak bakal mengakuinya."

Hening lagi. Kulipat bibirku ke dalam dan tercenung untuk beberapa saat sampai aku tak bisa menahannya lagi. Aku menyengir. "Kau sadar tidak, dengan perkataan barusan kau malah mengakuinya bahwa kau menyesal?"

Truck menelungkup pada kedua lengan yang terlipat di atas lututnya, menolak menjawab mau pun membalas tatapanku. Kuanggap itu sebagai lampu hijau.

"Hanya satu kata 'maaf' akan sangat baik, Truck. Itu tidak akan meracunimu."

Aku menunggu selama beberapa detik, tetapi Truck berpura-pura tuli. Jadi, aku mendesak terus.

"Kenapa kau benci sekali padaku? Kau sudah tahu aku tidak gila—padahal cuma itu alasan kalian menghindariku di awal. Kalau alasannya karena aku Corona, kau sudah lihat sendiri aku cukup pandai mengendalikannya sekarang. Kau mau mencemburui Cyone-ku juga percuma—kau lebih pandai dariku."

Truck, dengan wajah masam, mencoba beranjak dari tempatnya duduk. Dia mungkin berniat menyusul Alatas dan Erion saat aku berucap lagi, "Kecuali kau memang alergi pada perempuan, maka masalahnya adalah Brainware."

Truck menghentikan dirinya, yang kupikir bagus. Aku berhasil menahannya. Jadi, aku meneruskan, "Kau membenciku karena aku Brainware?"

Betapa bodohnya—aku tak sadar memojokkan Truck itu sama seperti memojokkan beruang liar, dan itu berbahaya. Dia segera berbalik dan mencengkram leherku dengan segenap otot tangannya.

"Kau masuk ke dalam kepalaku?" tanyanya geram.

Mataku langsung berair. Kupaksa diriku untuk bernapas. "Tidak. Sungguh—"

Dia melonggarkan cengkramannya, tetapi napasku masih satu-satu. Rasa ngeri membanjiriku seiring dengan pandanganku yang mulai memutih.

Selang beberapa detik, Truck akhirnya melepaskanku. Segera kureguk udara banyak-banyak meski rasanya tangan pria itu masih menempel di leherku.

"Cuma menduga," tukasku tercekat, lalu terbatuk keras. "Dulu, saat pertama kali kau tahu aku bicara dengan Erion, kau bilang Brainware membuatmu muak."

Truck melirikku sekilas, lalu berkata, "Maaf," dengan sangat cepat. Dia buru-buru berbalik untuk turun dari truk. Namun, aku segera mengait bajunya sampai Truck jatuh telentang. Mobil bergoyang sedikit akibat debumnya.

Truck bangkit dengan marah, tetapi aku buru-buru menunjuk leherku. "Impas."

Kami baru akan mulai saling melemparkan beberapa unit pemanggang ke kepala satu sama lain saat Erion datang. Senternya menyala, dan anak itu menyerbu ke dalam seolah pantatnya dipasangi roket. Kepalanya membentur salah satu peti.

"Erion!" Buru-buru kuusap kepalanya. Jari tanganku mendapatkan sebuah benjolan besar dekat ubun-ubunnya. "Haruskah kau masuk seperti roket manusia?!"

Aku mengacau! jeritnya. Tangannya menekan tanganku di atas kepalanya. Aku menggencet kaki Prabangkara pakai peti! Sekarang, para Steeler itu sedang mengomeli Alatas tentang cara mendidikku menjadi Steeler mumpuni!

Kusampaikan hal itu pada Truck, yang dari tatapannya berpikiran serupa denganku untuk gencatan senjata sementara. Seraya mengurusi benjol di kepala Erion, Truck bertanya, "Apa mereka batal membantu kita?"

Erion menggeleng. Davin meyakinkan mereka.

Tepat saat akan kusampaikan kalimat itu pada Truck, Alatas tiba-tiba melompat masuk dan mengumumkan, "Salah satu Steeler bertanya padaku apakah kita adalah kawanan Phantom yang pura-pura jadi Steeler."

"Kau jawab apa?" desakku.

"Tidak kujawab," desah Alatas. Titik peluh sebesar biji jagung memenuhi wajahnya. "Dia sudah cukup yakin saat aku melelehkan lantai yang kupijak."

"Pintar," pujiku.

"Terima kasih, Cantik," sengal Alatas seraya menyeka keringat di pelipisnya.

"Kau melelehkan lantai dengan sengaja?" tanya Truck skeptis.

"Tidak juga." Alatas menyengir. "Aku gugup."

Truck berdecak dengan pandangan sinis. "Sudah kuduga."

"Tiba-tiba saja besi cair sudah menggenang di bawah kakiku—lihat!" Alatas mengangkat sebelah kakinya untuk dipamerkan. Ujung sepatunya nyaris menjiplak wajah Truck. "Masih ada sisa mengilapnya, 'kan? Tadi alas sepatuku sempat berubah jadi aluminium!"

Saat menurunkan kakinya kembali, Alatas meringis samar. Dalam gelap, kuperhatikan tangannya berkelebat meraba bekas luka tembak di atas perutnya.

"Kenapa?" tanyaku cemas. Alatas berkeringat sama banyaknya dengan saat dia tertembak. Aku teringat bahwa tadi dia sempat membopongku di atas bahunya, lalu mengangkuti barang-barang, dengan bekas luka tembak di bawah dada yang mungkin masih basah. "Luka tembakmu ...?"

"Tidak," ringisnya. "Semua luka tembakku sudah membaik, kecuali yang di kaki, karena Truck dan Erion menjemputku saat kakiku masih setengah jalan diobati waktu itu."

Namun, pandanganku masih tak mampu lepas dari titik-titik luka tembak yang pernah didapatnya.

"Tidak apa-apa, Leila. Cuma lelah—sungguh. Kalau disuruh memilih, aku mending disuruh menggendongmu lagi daripada unit-unit panggangan itu."

Setidaknya kepalamu tidak menghantam sebuah peti, dengkus Erion sambil masih memegangi ubun-ubunnya.

Sebelum kami melanjutkan percakapan lebih jauh, Davin masuk dan duduk di belakang kemudi dengan tampang datar. Begitu mobil truk melaju, kami pun dikuasai kecanggungan.

"Masuklah ke dalam spanduk itu kalau ada petugas menggeledah," adalah satu-satunya yang dikatakan Davin sepanjang perjalanan. Jadi, kami mengambil tempat masing-masing di bawah spanduk-spanduk bekas yang lebih lebar.

Beberapa kali, mobil truk berhenti untuk mengisi bahan bakar dan mengambil lebih banyak amunisi selundupan dari toko lain. Pada pemberhentian keempat di portal yang membatasi wilayah Steeler dan Garis Merah, kami tertahan cukup lama karena seorang penjaganya mendesak untuk memeriksa muatan satu per satu.

Dengan posisi tengkurap senyaman mungkin di bawah spanduk, aku berbisik ngeri, "Bagaimana kalau mereka sungguhan memeriksanya?"

"Banyak sekali muatan yang mesti diperiksa, 'kan." Alatas balas berbisik. "Total ada empat truk. Kalau aku jadi penjaga portal, aku bakal malas begitu selesai mengecek isi bak truk pertama. Dan mobil kita paling belakang—tenang saja."

"Kalau aku jadi penjaga portalnya, aku bakal mulai dari mobil paling belakang," celetuk Truck, membuat Alatas mendesis menyuruhnya diam.

Tidak sampai satu menit, ucapan Truck terkabul. Seseorang berderap mendekati truk kami, diikuti bentakan Davin yang mencoba menghentikannya.

Erion langsung mematikan senternya, lalu bergabung bersama Truck yang merapat ke satu unit pemanggang, menyelimuti diri mereka dengan sehelai spanduk bertuliskan Sedia: Ayam Bakar dan Nasi Goreng—Hanya Separuh Harga Untuk Steeler Murni. Sementara Alatas dan aku membungkuk diam di bawah spanduk penyuluhan bertulisan Dua Anak Lebih Baik, yang dengan kurang ajarnya tulisan Anak itu dicoret oleh seseorang, dan diganti dengan Istri.

Selama beberapa saat, tidak ada yang terjadi. Keheningan mencekam tanpa ada yang berani bergerak sedikit pun. Bahkan untuk bernapas keras-keras pun aku takut.

Pintu belakang truk tiba-tiba terbuka. Seseorang melompat masuk sampai truk berkeriut. Dengan tegang, kutunggu spanduk-spanduk ini disingkap, tetapi hal itu tak kunjung terjadi. Malah, terdengar suara barang-barang berat yang digeser, diangkat ke dalam bak truk.

"Beres," kata seorang pria. Sepertinya mereka hanya menambah muatan.

Pintu belakang truk ditutup. Mesin-mesin mobil kembali dihidupkan. Betapa leganya aku saat Davin kembali duduk di belakang kemudi dan menjalankan mobil.

"Banyak sekali yang diselundupkan," kata Truck yang keluar dari persembunyiannya bersama Erion.

Aku kesulitan keluar dari spanduk kami karena ujungnya diduduki Alatas. Begitu aku mendesak keluar, sikuku membentur peti baru itu. Ukurannya jauh lebih besar, dari kayu, tak diikat atau dipaku seperti yang lainnya. Tutupnya tak pas terpasang dan guncangan truk menyingkap—

Perutku langsung teraduk, sesuatu yang pahit menggumpal di tenggorokan. Kudorong penutup peti itu sepenuhnya sampai Alatas pun bisa melihat isinya.

"Davin ...." Tanganku menangkup mulut. Mataku menelusuri tubuh supir kami yang begitu pas dalam peti, tak lagi bergerak. "Yang menyetir itu bukan Davin."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro