#56

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #56 | 1497 words |

BANYAK SEKALI keganjilan dan kejadian-kejadian seram di Kompleks, kadang melebihi cerita horor dari Garis Merah. Mayat hidup yang berjalan sejauh lima kilometer untuk mengingatkan cucunya membayarkan utang hanya salah satunya. Terlebih dengan prajurit NC yang terus berkeliaran—kadang beberapa orang menghilang begitu saja pasca disambangi petugas.

Namun, selama ini aku hanya fokus mendengar cerita-cerita dari Garis Merah dan mengabaikan apa yang terjadi di sekitarku dalam Kompleks. Aneh, semua pengalaman mengerikan yang amat dekat justru luput dari kekhawatiranku.

Aku ingat, tak lama setelah cerita bangkitnya mayat Al Ghifari itu tersebar, ayah jadi lebih sibuk daripada biasanya. Dia sering kali pergi saat aku belum bangun, dan pulang ke rumah setelah aku tertidur. Ketika berada di rumah, yang dilakukannya cuma memainkan ponsel atau komputer, atau menelepon seseorang bernama Viera.

"—Relevia." Suara ayah terdengar dari ruang tamu. Pintunya terbuka meninggalkan celah, dan lampunya menyala, padahal ruang tamu jarang sekali digunakan kecuali ada yang berkunjung atau ayah sedang menelepon. "Gawatnya, kudengar Raven keparat itu juga mulaibergerak kemari."

Aku yang baru bangun pukul 5 pagi itu langsung berniat hendak mengambil kesempatan ini untuk menyerbu dan mendesak ayah mengaku apakah dia selingkuh dari ibu. Namun, tanganku berhenti di gagang pintu ketika suara Sir Ted terdengar.

"Jelas saja Raven tertarik. Sudah ada dua nama yang dicoret. Lama-lama mereka akan mendatangimu jika kita tak menemukan Relevia pengacau itu."

Aku mengintip, lalu mendesah kecewa. Pria itu tak bawa apa-apa kecuali map besar di atas meja. Padahal aku menunggu tas kertas berisi baju baru atau boneka, atau kaset film lama yang sering dibawakannya.

"Bagaimana jika ternyata Al Ghifari sendiri yang Relevia?" tanya ayah dengan suara sengau. Dia kedengaran letih. "Atau salah satu cucunya?"

"Tidak. Al Ghifari 65 tahun saat tewas, sedangkan Relevia tertua yang pernah Raven bangkitkan usianya sepantaran kita. Sedangkan semua cucunya sudah beberapa kali melewati Detektor—mustahil Fervor sebesar Relevia tak terdeteksi."

"Tapi, pada kenyataannya memang ada Relevia yang berhasil menyusup kemari, 'kan? Bagaimana bisa para Detektor melewatkannya?"

"Aku punya perkiraan," kata Sir Ted. Dia memajukan duduknya dan menunjuk sesuatu di atas map. "Pada hari kepindahanmu kemari, ada tiga Detektor yang bertugas di portal depan. Tepat saat kau mobilmu masuk, salah satu Detektor itu mengejar Al Ghifari dan anaknya yang mencoba menyusup ke dalam. Dua Detektor lainnya seharusnya tetap berjaga, tetapi salah satunya malah meninggalkan tempatnya ketika mobilmu masuk. Detektor itu sempat dapat masalah dengan pusat karena kelalaian itu, tetapi dia berdalih bahwa dia ingin membantu temannya yang terlibat penembakan, yang menewaskan Al Ghifari."

"Penyuapan lagi?" terka ayah. "Detektor kedua itu yang menyusupkan seorang Relevia liar kemari?"

"Awalnya kupikir begitu. Tapi, minggu lalu aku menemui si Detektor langsung bersama Sunny—"

"Relevia cilik yang kau selamatkan dari Bintara?" potong ayah.

"Ya, dia." Sir Ted melambaikan tangan seolah hendak buru-buru menuntaskan ucapannya. "Detektor itu langsung kabur hampir seketika, bahkan sebelum aku dan Sunny benar-benar menghampirinya. Kami mengikutinya, dan mendapati Detektor itu pingsan di lorong sambil menggenggam masker yang tak sempat dipasangnya."

"Akurasi 10 dari 10," sahut ayah, tampak terkesiap.

"Apa maksudnya?" Terdengar suara ibu, yang membuatku tambah kaget karena ternyata dia ada di sana juga.

Aku bergeser untuk melihat sudut yang terhalang daun pintu. Ibu rupanya berdiri di sisi ayah. Mustahil rasanya mereka menggosipkan selingkuhan di depan ibu, maka kuputuskan prasangkaku salah. Untung aku belum mengamuk ayah.

"Normalnya, Detektor penjaga portal memiliki tingkat kepekaan—yang kami sebut akurasi—dalam skala 7 sampai 8," jelas Sir Ted. "Detektor macam itu lebih umum ditemukan. Mereka bereaksi berlebihan hanya pada jumlah besar Relevia."

"Bereaksi?"

"Mereka bilang Relevia berbau bangar, seperti bagian tubuh yang membusuk, daging mentah, dan lem. Tapi, bau itu samar—jika tiga Relevia dikumpulkan di satu tempat, paling parah bisa membuat seorang Detektor mengalami iritasi mata dan sesak napas. Butuh 10 sampai selusin Relevia untuk membuat seorang Detektor mabuk sampai semaput. Lain cerita jika Detektor itu memiliki tingkat kepekaan yang tinggi—dua Relevia sudah cukup menimbulkan reaksi pada seorang Detektor itu seperti keracunan."

Sir Ted beralih lagi menatap ayah sampai aku terpaksa mundur dari pintu agar tidak masuk ke jarak pandangnya. Aku merasa jadi seperti detektif. Atau mungkin aku cuma terpengaruh serial animasi detektif kecil yang belakangan ini terus kutonton bersama ibu.

"Kemarin aku memastikan—kudesak teman Detektornya yang bertugas bersamanya hari itu." Sir Ted kembali menunjuk ke map. Jarinya menelusuri sesuatu. "Hari saat kalian pindah kemari, Detektor yang bermasalah itu berlari ke arah hutan, berlawanan dengan lokasi penembakan Al Ghifari. Ini bertentangan dengan dalihnya di awal, yang katanya hendak membantu temannya meringkus anak Al Ghifari. Dan lagi, dia ditemukan dalam keadaan lemas di tengah hutan. Artinya, saat mobil kalian mendekati portal—"

"Detektor itu merasakan dua Relevia," pungkas ayah. Giginya menggertak. "Kalau kau berani bilang bahwa Leila sudah sampai ke tahap itu, awas kau—"

"Tidak," sela Sir Ted cepat, sementara aku nyaris jatuh di atas pantatku karena namaku dibawa-bawa. "Tentu tidak. Kita baru saja memeriksa Leila bulan lalu, dan hasilnya masih negatif. Lagi pula karakteristik Leila hitam—kemungkinan Fervornya bermutasi di bawah 50%."

Mereka membicarakan apa? Yang kulitnya jadi gelap karena terus di luar, 'kan, ayah. Bukan aku.

"Kemungkinan lainnya, mobil yang masuk sebelum atau sesudah kalian yang membawa Relevia. Berhubung identitasmu tercatat sebagai Pemburu, kau selalu dibiarkan melewati portal tanpa pemeriksaan khusus. Lalu, ada keributan antara Al Ghifari dan anaknya yang kabur dari Herde. Terlalu pas untuk disebut kebetulan. Kurasa, ada yang mengetahui jadwal kepindahanmu dan memanfaatkannya untuk menyusupkan Relevia kemari. Al Ghifari entah hanya salah satu pionnya atau memang ikut terlibat."

"Artinya hanya tinggal mencari pemilik dua mobil itu, bukan?" sambar ibu.

"Jangan buru-buru, Abiar—"

"Kita harus cepat!" Ayah menyetujui ibu. "Kaubilang sudah dua nama dicoret, 'kan? Dan mereka masih belum menemukan Relevia yang mendalangi kehebohan Al Ghifari. Jika satu nama lagi dicoret, mereka akan datang kemari—tak peduli aku Pemburu atau bukan, mereka tetap menaruhku dalam daftar! Kalau para Agen sampai kemari memeriksaku, mereka akan tahu aku punya anak!"

"Kau tidak boleh cepat panas." Sir Ted membalik halaman dokumen pada mapnya. "Aku selalu satu langkah lebih maju darimu karena berkepala dingin."

"Oh," desah ayah lega. "Kau sudah dapat alamat dua orang itu."

Mereka mulai berunding. Makin lama mendengarkan, makin aku tak paham.

"Kunci semua pintu dan jendela sampai aku kembali," ucap ayah setelah mengecup ibu, lalu dia memasang jaketnya. "Kurasa, kami tidak akan lama."

"Tetap hati-hati," tegas ibu. "Aku merasa belakangan ini kita terlalu menarik perhatian. Bahkan semalam kau pulang dibuntuti salah satu petugas, 'kan?"

Sir Ted sudah berjalan ke pintu seraya memeluk mapnya. Katanya, "Itu Jovan. Aku memintanya menempel pada Aga beberapa hari ini untuk menunjukkan pada Komandan bahwa Aga masih diawasi."

Ayah menyengir ke arah ibu. "Kau mungkin mau mengurangi tontonan aneh dengan Leila. Selain kau yang curigaan, Leila juga jadi parah. Beberapa hari ini barang-barangku bergeser, diacak-acak anak itu. Dan aku mendapatinya membeli kaca pembesar mainan beberapa hari lalu."

Aku nyaris tersedak liurku sendiri saking kagetnya. Ternyata ayah sadar.

"Dia mengira kau selingkuh." Ibu mengadu sambil terkikik geli. "Biarkan saja dia main detektif-detektifan. Dia 13 tahun—dia pasti bosan karena kau tidak mengizinkannya sekolah lagi. Lagi pula anak-anak sekitar sini memusuhinya karena kau membela petugas NC yang menembak Al Ghifari."

Sampai sana saja kegiatan mengupingku. Kepalaku terasa panas karena kesal. Aku memelesat ke kamar tidur dan membungkus bantal dengan selimut sampai seolah-olah aku masih tidur di sana. Ini tidak akan mengelabui ibu lama-lama, tetapi setidaknya sudah cukup memberiku waktu untuk menyelinap membuntuti ayah.

Kalau bukan ayah, pastilah Sir Ted yang selingkuh. Walau aku tak yakin apakah orang yang masih jomblo bisa selingkuh, tetapi siapa tahu!

Aku menyelinap keluar lewat jendela, dan langsung merapat ke bumper mobil Sir Ted. Ayah masih bercanda dengan ibu, sementara Sir Ted marah-marah sambil memukul ayah dengan map. "Jangan bermesraan di depanku—norak!"

Ketika aku mencoba membuka bagasi belakang mobilnya, sepasang tangan menyekapku. Aku menendang-nendang dengan panik, tetapi kemudian pemilik tangan itu memutarku sampai menghadapnya. Badanku merelaks melihat Jovan.

"Jangan bilang ayah," rengekku.

"Tidak akan, Nona Muda." Jovan tersenyum dari balik topinya. Butuh beberapa detik sampai aku menyadari bahwa yang kudengar ini bukan suara Jovan. "Kalau ketahuan, kenanganmu akan direbut lagi oleh Paman Beruang, 'kan? Lagi pula, prediksi cuacaku hari ini tak bagus—mungkin akan ada badai api. Bisa-bisa ingatanmu kali ini dia sembunyikan di dalam laci yang lebih besar."

Aku menoleh ke depan rumah. Entah kenapa aku merasa yang dia maksud sebagai Paman Beruang itu Sir Ted, padahal pria itu tidak gemuk atau tinggi.

Dan aku baru dengar bahwa ingatan bisa dimasukkan dalam laci.

"Anda siapa?" tanyaku seraya mengintip ke balik lidah topinya. Wajahnya Jovan—aku kenal jelas lipatan dagu dan hidung besarnya. Namun, pria ini memiliki sepasang mata biru besar yang menghujamku. Mata Jovan tidak seperti itu.

"Aku? Mungkin bisa dibilang, aku ini pamanmu—saudara ayahmu. Ah, aku juga bersaudara dengan Paman Beruang—lucu, 'kan? Gagak dan beruang bisa jadi saudara. Ya ... aku bersaudara dengan banyak sekali orang."

"Kau bukan Jovan."

Jovan gadungan hanya melebarkan cengirannya seraya membukakan bagasi belakang mobil. Dia membantuku masuk ke dalam, lantas menepuk-nepuk puncak kepalaku dengan tangan besarnya.

"Sudah, sana." Aku mengusir seraya melimbai tangannya. "Nanti ketahuan."

"Ah, Leila." Jovan gadungan terkekeh. Tangannya menurunkan pintu bagasi perlahan. "Kau sungguh mirip dengan nenekmu saat dia masih muda."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



FANART!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

~(^з^)-♡ Big thanks to Scarlethyne ~(^з^)-♡

AAAAAAAAAAAAAA BAGOOOS SEKALLEEEEE


"Strong is beautiful."
-Selena Gomez di iklan sampo






"Imperfection is beautiful and don't be afraid of that."
-Katanya Akang Dylan O'Brien





"The Hate U Give Little Infants, F Everybody."
-2pac, THUG LIFE






"I don't want to die without any scars."
-Chuck Palanhiuk di buku Fight Club

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro