#55

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #55 | 1958 words |

"JANGAN ADA yang berani macam-macam!"

Supir gadungan kami berteriak panik di depan. Dia bahkan terlompat di kursinya saat Truck menghantam jendela kawat yang membatasi bagian belakang truk dan kursi supir.

Ketika Erion merentangkan tangannya untuk bertindak, tak ada yang terjadi. Kontan Alatas berteriak, "Ada Arka di sini! Kita teredam!"

Tentu ada Cyone dan Brainware yang tidak bisa diredam, tetapi saat aku berusaha memasuki otaknya, benak pria itu dipenuhi lagu Potong Bebek Angsa—lagu klasik anak-anak yang sudah sepuluh tahun tak pernah kudengar.

Baru dipermukaan pikirannya saja, penggalan-penggalan lirik itu langsung tertanam di benakku, berputar-putar. Bernada. Dan mereka menolak keluar. Gara-gara angsa di kuali sialan itu, aku bahkan tak bisa mengetahui sekadar namanya saja. Atau tujuannya. Atau apa yang dilakukannya kepada Davin.

"Jangan masuk ke otakku!" pekiknya, tampak lebih histeris daripada sanderanya. Teriakannya belepotan di mulutnya, dengan isi benak yang dipenuhi oleh: Nona minta dansa, dansa empat kali

"Kau!" teriak Alatas seraya menempelkan wajah ke kawat-kawat pembatas. "Kau yang tadi curiga—bukankah sudah kubuktikan aku Steeler! Bukan Phantom!"

"Ya, cuma kau!"—Sorong ke kiri! Sorong ke kanan!—"Aku sudah lihat selebaran 'dicari' itu! Yang disembunyikan Marin! Kalian—Davin bersekongkol! Kalian disorong ke kiri—maksudku, kalian dicari Komandan, 'kan!"

Pria itu membanting setir dengan kasar sampai seisi truk terlempar ke sisi. Peti-peti bergeser sampai kami mesti merangkak ke antara spanduk-spanduk.

Lalala lala lala lala la la! Potong bebek angsa

"Hentikan potongan bebek itu!" Kucengkram kawat pembatas dan mengaum seperti hewan liar. Alatas sampai tersaruk kaget sebelum kemudian menarikku karena aku mulai membenturkan kepala ke sana. Alatas terus bertanya ada apa denganku sementara aku meraung-raung, "Berhenti memotongi bebek!"

"Menjauh dari otakku, Nona!" jeritnya seraya mengegas mobil. Gerak tangannya kian liar di roda setir dan caranya mengemudi sekacau isi benaknya. Alatas dan aku terlempar ke depan, lalu ke belakang. Peti-peti bergeser menggencet kami. Kami yang kesakitan, tetapi pria pemegang setir itu yang malah ketar-ketir di tempatnya. "Sialan! Sialan! Sialan! Jangan masuk ke otakku!"

Sorong ke kiri! Sorong ke kanan! LALALA LALA LALA LALA LA LA!

"Arka itu meredammu juga, 'kan!" teriak Truck seraya berpegangan ke peti. Kakinya terikat tali spanduk. "Kalau aku mendapatkanmu, tamat riwayatmu!"

Truck mengangkat salah satu peti kemas dengan segenap otot lengannya, lalu melontarkannya ke kawat pembatas. Supir gadungan kami memekik dan mobil pun oleng. Ketika peti itu jatuh berdebum, ia nyaris membunuhku dan Alatas.

"Berhenti, Truck! Kau bisa membunuh kita!" protes Alatas seraya mencengkram kawat pembatas dan menahan tanganku saat mobil menikung tajam.

Orang-orang dewasa yang tolol! Erion menyumpah dengan tangan mencakari peti paling besar untuk berpegangan. Di dalam sini ada senjata api selundupan, dan yang dipanggul Alatas itu juga senapan—kenapa tidak dipakai?!

Oh, benar juga.

"Senjata apinya!" pekikku, yang langsung membuat Alatas mengerti. Alatas mencoba meraih senjatanya, tetapi mobil bergerak ugal-ugalan dan melemparkan kami semua bak boneka perca. Dengan tangannya yang masih berpegangan ke kawat pembatas, Alatas berpaling dan membungkuk rendah agar aku bisa mencapai senjata di punggungnya.

Truck mengangkat alis dengan wajah berseri pada si supir. "Mati kau!"

Si supir yang panik meneriakkan lirik lagunya keras-keras. Tangannya membanting setir sekali lagi. Saat mobil oleng ke kiri, senapan Alatas menggelincir lepas dari tanganku. Spontan, Alatas melepas pegangannya untuk menangkap senjata yang kujatuhkan. Dia lantas menghilang di antara gumpalan spanduk.

Di sisi lain, dari satu-satunya peti yang tidak berpenutup, tubuh Davin terguling keluar akibat guncangan mobil. Darahnya mulai menyecer, memenuhi bagian belakang truk dengan bau besi. Truck mulai memucat, menampakkan gejala mabuk darat. Erion terus menelungkup di atas peti untuk bertahan dari goncangan.

"Dapat!" Alatas, masih terlilit kain propaganda Dua Istri Lebih Baik, mendorong senapannya menggelincir di bawah spanduk ke raihan tanganku.

Tanpa memahami apa yang kulakukan, aku bersandar ke pintu belakang mobil untuk menahan posisi. Kugeser dan kutekan apa pun sampai senapan itu berkelotak. Tanganku gemetaran, sekilas ingatan ayahku yang mati tertembak membayang. Namun kemudian, benak beracun Truck mengemuka—keras dan liar.

Meski tak mengerti sebagian besar isi pikirannya, aku bisa merasakan betapa pria itu nyaris tak memiliki ketakutan apa pun saat ini. Atau lebih tepatnya, dia mengesampingkan rasa takutnya—ironis, mengingat selama ini yang kurasakan darinya cuma paranoia akan wanita kanibal dan curiga berlebihan.

Saat ini, Truck hanya merasa marah—mungkin separuhnya gara-gara pertengkaran kami sebelumnya. Insting macam itu membuatku gelap mata dan langsung menyasar kepala si supir dari celah kawat.

Tembakanku meleset—tentu saja. Dua peluru mengenai dasbor mobil, lalu aku menembak untuk yang ketiga kali.

Kena dasbor lagi.

Dadaku seperti akan meledak oleh hentakan senjata. Bau mesiu mengaburkan mata, dan telingaku kebas oleh bunyinya. Untuk yang terakhir kali aku menembak, lagi-lagi kena sesuatu di dalam dasbor ....

"Kena Arka! Hebat, Leila!" Alatas memekik gembira begitu menyadari kekuatannya kembali. Dia bangkit dari lautan spanduk dan nyaris lepas kendali untuk mengecupku. Namun, pemuda itu berhasil menyetop dirinya sendiri, dengan kedua tangan masih memegangi pipiku.

Meninggalkanku yang membeku di sudut, Alatas merenggut kawat besi pembatas dengan mudah. Badannya melampaui jendela penyekat dan menarik leher supir kami ke belakang. Pria itu bahkan lebih kecil dari Alatas.

Sambil menggulat sesama kaumnya, Alatas berteriak, "Truck, setirnya—"

Namun, Truck masih mabuk.

Semestinya aku yang maju. Aku lebih kecil dari Truck—aku bisa menyelipkan badan ke jendela penyekat itu dan meraih setir, lalu menginjak rem. Namun, aku malah mematung di ujung dengan kedua tangan mendekap senjata, tak tahu mesti berbuat apa. Pikiranku mendadak kosong—bahkan semua bebek itu telah pergi. Sesuatu di balik rongga dadaku mendentum keras.

Satu pekikan kecil menyambar kepalaku, menamparku sampai sadar—LEILA, AWASI ROTI-ROTI DALAM PETI!

Entah sejak kapan, Erion sudah berada di kursi kemudi. Badan kecilnya berguncang-guncang, tetapi tangannya erat di roda setir. Karena kakinya tergantung tak sampai, dia mengendalikan pedal gas dan rem dengan Phantom. X-nya aktif untuk menghindari pepohonan di depan. Isi kepalanya, selain tuntutannya untuk proteksi roti-roti di peti, dipenuhi oleh: AKU BISA MENYETIIIIR!

Mobil truk menerobos semak tinggi dan menabrak pondok kayu yang—mudah-mudahan—kosong. Melalui mata Erion, aku bisa melihat kami sudah menikung jauh sekali dari jalanan. Sekitar lima detik kemudian, Erion mulai panik: AKU TIDAK BISA MENYETIR!

Setelah kembalinya dominasi benak Erion, fokusku mulai kembali—termasuk nyanyian tentang angsa-angsa dan kemarahan Truck. Kusadari badanku bergeser dan hampir jatuh ke arah pertarungan dua Steeler itu ketika Truck menangkap tanganku. Wajahnya masih pucat dan berkeringat, tetapi seringainya lebar tersungging. Katanya, "Bidikan hebat."

"Aku mengincar kepalanya."

"Tetap hebat."

Dengan satu tangan, kupeluk senapan itu erat-erat. Aku bahkan tak lagi peduli moncongnya berada di bawah daguku. Telinga dan dadaku masih nyeri, napasku sesak, semua benak tercampur, ditambah ketakutanku sendiri, diaduk rasa tak nyaman dari goncangan mobil. Rasanya aku mau muntah, ngompol, dan bernyanyi Potong Bebek Angsa di saat bersamaan.

Tubuh Davin entah sejak kapan berguling ke pangkuanku—kaku, dingin, dengan rambut bernoda darah yang menunjukkan seberapa keras pukulan yang diterimanya.

Terlintas di pikiranku, mungkin sebaiknya aku pingsan saja. Namun, Erion mengejutkan kami dengan menginjak rem mendadak. Mobil sepertinya berputar—atau salto, yang mana tak ada bedanya jika kau ada di dalam. Alatas dan Steeler satunya berhenti bergulat demi mengendalikan semua peti agar tidak membunuh kami semua.

Jasad Davin terguling dan mendarat di atasku. Kepalanya terteleng aneh, yang langsung membuatku tahu bahwa, selain terluka di kepala, lehernya juga patah. Wajah pucat dan mata membelalaknya menjiplak mukaku. Pita suaraku seperti akan copot dibuatnya.

Histeria mendadak padam dan diisi keheningan mencekam manakala terdengar bunyi keriut aneh. Segalanya terasa jomplang, condong ke depan. Suara Erion melirih di benakku. Aku nggak sengaja mengemudikan kita ke jurang ... atau lubang raksasa.

"Kita jatuh," ucapku dengan horor.

Di saat bersamaan, Alatas dan Steeler satunya mendobrak pintu belakang truk sampai rusak. Keduanya terlempar ke jalanan lebih dulu.

"LOMPAT!" teriak Truck. Meski wajahnya masih hijau dan banjir keringat, tangannya tetap cekatan menyergap Erion dan aku sekaligus. Aku baru akan menarik serta jasad David ketika Truck keburu mendorong kami keluar dari mobil.

Senjata api Alatas menggelincir lepas dari tanganku. Kami berguling, tergores bebatuan, terpencar-pencar, sampai akhirnya aku berhasil mengerem diri dengan menabrak sebuah pohon besar.

Tersengal, aku mendongak dan menyaksikan bumper peyot yang menghadap langit sebelum mobil besar itu jatuh menyongsong jurang gelap di ujung sana. Bunyi hantaman dan ledakannya terdengar hampir sepuluh detik kemudian, menyebarkan cahaya oranye sampai ke atas dan menghantarkan panas menyengat.

Erion terduduk tak jauh dari bibir tebing, merintih, Roti-rotinya masih di sana!

Kudekati Erion dan mengarahkan senternya ke bawah walau hal itu sebenarnya tak perlu kulakukan. Meski ngarai itu luar biasa dalamnya, api yang berkobar sudah menyerupai matahari di bawah tanah. Amunisi senjata api, bahan bakar mobil, termasuk Davin—semuanya berubah menjadi lautan api.

Kutelaah sekitar kami, mencoba mencari jalan beraspal yang sudah tak terlihat di mana-mana. Hanya pohon-pohon yang jarang, pondok-pondok yang rubuh, dan banyak sekali bebatuan. Aku akan yakin ini memang di atas tebing andaikata apa yang tengah kupijak ini tak berdentang seperti logam. Tak jauh dari tempat kami berdiri, ada bangkai jembatan yang putus dan hangus. Di sebelahnya, ada dua tangga logam menuju ke bawah, yang satu sudah sangat berkarat dan tertimpa rangka jembatan, yang satu lagi memuai.

"Menjauh dari sana!" bentak Truck, yang langsung kuturuti saat merasakan bebatuan menyerpih di bawah kaki. Kuseret Erion, memaksanya merelakan roti-roti itu yang bahkan bukan miliknya.

"Bukan aku yang membunuh Davin!" Terdengar isakan pria Steeler yang sebelum ini menyaru menjadi supir kami. Dia tengah bersujud, dengan punggung yang berposisi di bawah sebelah kaki Truck. "Aku berani sumpah! Teman-temanku melakukannya! Mereka menyuruhku mengantar kalian ke pangkalan NC terdekat!"

"Apa Marin atau Prabangkara terlibat?!" bentak Truck, lalu satu tendangannya melayang ke wajah si Steeler. Dia tampak terlalu bugar untuk ukuran orang yang baru saja mabuk dalam perjalanan.

Steeler itu menggeleng. Dengan mulut berdarah dan satu gigi depan yang hilang, dia balas berteriak, "Kalian Multi-fervent buronan—memecah-belah kami! Marin dan Davin tidak seharusnya membantu kalian—"

Truck membungkam Steeler itu dengan beberapa tendangan lagi, menyalurkan amarah yang dia pendam-pendam beberapa jam belakangan. Aku tak ingin membiarkannya mendapat kesenangan sendirian, jadi aku berusaha menyeret Erion lebih keras. Namun, bocah itu malah berusaha menarikku ke arah berlawanan.

Ada sesuatu yang aneh di sana!

"Roti-rotinya hilang, Erion!" bentakku. "Sudahlah! Tinggalkan!"

Kau terdengar seperti Truck!

Langkahku langsung terhenti, dan Erion pun lepas dari peganganku. Sementara dia berlari kembali ke dekat ngarai, luapan amarah yang sejak tadi menggerogotiku pun surut. Rasa lelah menyerbuku lengkap dengan bulir-bulir air mata dan keringat dingin. Dengan badan gemetar lelah, aku berusaha menyangkal, Aku bukan Truck!

Kuraba-raba bebatuan, sesekali merasakan dinginnya lantai logam yang membuatku berjengit, lalu menemukan kembali senjata api Alatas di antara lumut dan dedaunan. Ketika mengangkat senjata itu, aku mendapati sepotong palang kayu yang sudah separuh hangus. Ada tulisan terukir di sana, tetapi yang terbaca hanya: P OPERT ILIK N—F SIL T S P NGEMB NGAN C L R.

"ERION!" Teriakan Truck membuatku langsung melupakan palang itu. "LEILA, JAGA ERION!"

Kususul Erion yang lagi-lagi berdiri terlalu dekat dengan ngarai.

"Ada apa?" tanyaku.

Erion menunjuk lautan api di dasar, yang kini sungguh terlihat seperti laut—api-api itu meliuk ganjil, berputar pada satu poros tepat di tengah-tengah. Bayangkan pusaran air raksasa di tengah lautan, dan ganti semua air itu dengan api—semacam itulah yang terjadi.

Yang lebih mengerikan pun muncul. Beberapa titik api meloncat keluar dari pusaran dengan kecepatan serupa peluru yang ditembakkan.

Kami berdengap dan buru-buru berlari menjauh. Aku menabrak Alatas, sementara Erion menyundul Truck dan berusaha keras memberi peringatan.

"Di sana ada—" Kata-kataku terputus saat Alatas membelalakkan mata pada sesuatu di atas kepalaku. Seketika, dia mendorongku ke bawah lengannya. Bunyi retih api dan bau udara terbakar membungkamku sepenuhnya ketika gelombang panas itu kian menjadi. Sekejap saja, kami langsung banjir keringat dan rasanya bola mataku bisa meleleh keluar.

Aku mengintip dari balik lengan Alatas dan menyaksikan kobaran api besar membentuk dinding yang mengepung kami. Kuusap mataku, berusaha melihat di antara denyar panas, bahwa dinding api itu sebenarnya bukan dinding. Mereka manusia ... terbalut api.

Pria Steeler yang babak belur dihajar Truck meludahkan segumpal darah, lalu bergumam dengan mulut bengkak, "Oh, sial .... Calor ..." sebelum kemudian jatuh pingsan.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



FANART DARI Sarrahfajar

.

. .

. . .

*Zoom in*

. . .

. .

.

Leila: "Rambutku keliatan bagus (。'▽'。)♥"


Alatas: "Aku secakep itu? Thanks, Cantik~" (◍•ᴗ•◍)❤


Erion: "Itu siapa?" '-')


Truck: "What the—"


Thank you soooo much for these cute fanarts sarrahfajar (◍•ᴗ•◍)❤

//peluk erat

P.S. yang kirim fanart, mohon cantumkan nama akun wattpad nya biar bisa di tag yaa :D Saya tak bisa memburu kalian satu per satu :'D Atau kalau mau anonym, atau nda mau di post, it's okay, kasih tahu saja '-')/ Yang jelas akan saya simpan baik-baik kayak harta karun

Dan terima kasih banyak untuk yang sudah berkontribusi dalam membahagiakan saya dengan fanart-fanart kece itu, akan saya pamerkan di sini secara bertahap '-')b

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro