#58

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #58 | 3016 words |

"TIMOTHY EDISON, Timothy Freya, dan Timothy Darren." Kudengar seseorang mengucapkan nama-nama. "Catat itu. Mereka semua dari T. Ed Company, yang tersisa dari keluarga Dokter Timothy."

"Kupikir, mereka semua sudah dibantai sampai habis," kata seseorang yang lain—suaranya seperti wanita. Agak serak dan nyaris kusangka laki-laki. Saat wanita itu berucap, aku mencium bau asap rokok. "Lalu? Ada lagi?"

"Aga Morris," kata suara pria yang pertama, mengejutkanku seketika karena dia membawa-bawa nama ayah juga. "Ivan Cross, Dwi Eka, dan Juanda Moria. Mereka orang besar di NC. Tapi, dari beberapa catatan transaksi, ada kemungkinan mereka telah bergabung dengan T. Ed Company."

Si wanita mengeluarkan suara helaan napas yang berat. Sekali lagi, aku mencium asap rokok. "Apakah hanya T. Ed Company yang ingin kau awasi?"

"Mereka yang paling kuat. Jika T. Ed Company keluar, pondasi NC bisa hancur. Aku tak peduli dengan yang lainnya—toh, perusahaan-perusahaan kecil sudah sepenuhnya di bawah cakar NC."

"Maksudmu, kau belum menancapkan cakarmu pada T. Ed Company?"

"Tentu saja sudah," kata suara pertama lagi. "Tapi, belum cukup dalam."

Aku mengucak mata, tetapi penglihatanku tetap gelap. Lalu, aku sadar bahwa aku ketiduran dalam bagasi mobil.

Tunggu. Tidak. Ini bukan bagasi mobil itu. Berarti aku sudah keluar ....

Atau ada yang mengeluarkanku.

Aku tidur menelungkup di atas dipan keras berseprai berbau aneh—seperti barang lama yang disimpan sampai apak, lalu mendadak dikeluarkan untuk langsung dipakai. Saat membuka mata, yang kulihat ada tembok semen penuh coretan dari cat semprot.

Samar-samar bau dinding dan cat semprotnya masuk ke hidungku, lalu tertutup oleh bau asap lagi saat si wanita buka suara. "Sungguh mengesalkan. Kau menyeretku ke sini untuk pekerjaan yang jelas-jelas kubenci. Dan tempat ini ... aku tidak tahan dengan tempat ini! Semuanya sangat ... asing. Meski aku bisa, aku tidak mau beradaptasi di sini! Intrik para manusia ini merepotkan!"

Kuharap wanita itu tidak bicara lagi. Makin lama dia bersuara, makin kuat bau asap dan sangit yang tercium.

"Tapi menarik," tukas suara yang pertama lagi. "Kerjakan saja. Setelah semua datanya terkumpul, kau boleh pulang ke Nether."

Nether .... Kalau tak salah ingat, ibu pernah mengajariku, Netherland itu negeri nan jauh di sana. Di sana mana—aku tak tahu. Sejak kapal NC berlabuh, semua akses keluar-masuk lintas negara ditutup.

Namun, dia bilang Nether. Bukan Netherland.

Lalu, aku terpikir lagi, Memang apa pula bedanya?

"Kenapa? Kau tidak mau pulang ke Nether?" lanjutnya, sampai otakku yang masih agak berkarat sehabis bangun tidur pun bisa mengenali suaranya.

Suara orang pertama itu mirip dengan suara Jovan, tetapi setahuku Jovan itu pendiam. Dia jarang bicara, bahkan pada ayah. Dan, begitu Jovan buka suara sekali pun, cara bicaranya aneh—formal, tercampur dengan bahasa sehari-hari, seolah tak bisa menentukan mesti pakai yang mana. Caranya melafalkan huruf r dan beberapa huruf vokal juga terdengar ganjil seolah lidahnya tak sampai. Bahkan, aku membuat panggilan Sir Ted itu karena Jovan menggunakannya—Sir Morris, Sir Edison.

Aku tak mungkin memanggil ayahku dengan sebutan Sir Ayah, jadi aku cuma menerapkannya pada Sir Ted.

Jovan yang ini tidak bicara seperti Jovan yang asli meski suara mereka sama. Apa Jovan punya kembaran jahat?

Aku berniat bangun dan menyudahi permainan detektif-detektifan ini. Seharusnya aku tahu orang jomblo tidak mungkin selingkuh—Sir Ted dan ayah mungkin hanya membicarakan pekerjaan mereka. Siapa pun itu Verelia yang dicari Sir Ted, pasti tak ada hubungannya dengan ayah dan ibu.

"Nether sama buruknya dengan tempat ini." Si wanita tiba-tiba mendengkus. Nyaris aku terbatuk karena pencemaran udara yang dilakukan oleh mulutnya yang bau busuk. "Aku masih tak mengerti kenapa kau memilih di sini."

"Sudah jelas, bukan?" Kuberanikan diri untuk balik badan dan mendapati Jovan Gadungan sedang menyengir kepada sesosok wanita yang tengah membelakangiku. "Ini, 'kan, Nusantara—ah, lihat siapa yang sudah bangun!"

Aku terkesiap karena telah tertangkap basah. Selain detektif yang nista, aku juga pengintai yang buruk. Jelas saja dia melihatku dalam posisi ini, bergerak menghadapnya.

Baru kemudian aku terpikir; aku bakal diapakan? Apa saat ini aku sedang diculik? Aku ketahuan menguping pembicaraan mereka—apa aku bakal dipotong-potong dan organ dalamku dijual? Atau potongan badanku disebar di 12 tempat sampah berbeda? Apa ayah akan menolongku? Apa Jovan yang asli sudah dibunuh?

Terlalu banyak menonton animasi detektif itu mengacaukan otakku.

Bodohnya aku! Ini bukan perkara tontonan tak pantas untuk umurku atau pun permainan detektif-detektifan tolol. Kalau saat ini aku memang korban penculikan, aku celaka. Kenapa juga aku malah balik badan? Seharusnya aku pura-pura tidur saja dan kabur saat ada kesempatan!

Pandanganku kemudian jatuh pada sosok wanita yang kini menoleh ke arahku. Dia mengenakan semacam gaun sutra panjang, merah segar seperti warna darah. Kakinya dibalut sandal bertali yang kelihatannya dianyam dengan tangan. Untuk sesaat, aku iri pada bajunya. Lalu, wajahnya mengalihkan perhatianku sepenuhnya.

Aku pernah melihat preman-preman di Kompleks, berkeliaran dengan baju seminim mungkin untuk memamerkan tato mereka. Di lengan, leher, punggung, kadang pipi. Ditato itu sakit, jadi kurasa mereka membanggakannya. Namun, tak pernah satu kali pun aku melihat secara langsung ada orang gila yang menato seluruh wajahnya sampai habis—tak satu inci pun kulitnya terlewat. Wanita inilah orang gila itu.

Tato wajahnya berupa liukan motif indah seperti ukiran barang antik yang dulu pernah disimpan nenekku. Sama persis. Padahal biasanya, sulit untuk mengenali motif ukiran yang meliuk-liuk sedemikian rupa, tetapi aku ingat jelas motif itu karena dulu nenek senang sekali memamerkan koleksinya padaku. Semua barang antiknya, juga tato yang menutupi wajah wanita itu, memiliki motif tribal seperti batik dalam warna-warna yang kontras satu sama lain, dengan simbol-simbol berupa sayap kupu-kupu dan ular, terjalin dengan kawanan gagak.

Mata wanita itu berwarna merah darah, semerah gaun dan gincunya. Saat dia tersenyum padaku, asap kelabu terembus dari celah bibirnya. Padahal dia tidak mengapit rokok di giginya, atau tangannya. Tidak ada rokok di mana-mana. Kecuali wanita itu menelannya.

"Kau yakin mau melibatkan gadis kecil ini?" tanya wanita bertato. Asap hitam mengepul dari mulutnya, menggodaku untuk memohon padanya agar dia menuliskan saja apa yang ingin dia sampaikan karena napasnya bau sekali. Namun, kurasa itu bukan tindakan sopan.

"Tentu," jawab Jovan Gadungan seraya mendekatiku. "Bagaimana pun, dia anak dari orang itu—manusia pertama dan satu-satunya yang menolak tawaranku, dan memutus rantai hidupku."

"Ya ...." Si wanita tato bicara lagi. Mataku sampai berair gara-gara bau asapnya. "Garis keturunan Aga Morris memang agak menakutkan. Aku tak tahu mesti senang atau sedih saat ibunya mati dengan ... semudah itu."

Jovan gadungan bersimpuh di depanku, tetapi matanya menerawang dan dia masih bicara pada wanita tato. "Kurasa kau harus keluar, Demetrean. Mereka sudah kembali kemari."

Wanita tato bernama aneh—Meteran?—mendengkus sampai asap mengepul dari hidungnya. "Sudah kubilang, mereka tidak akan tertipu lama-lama, Ravenater."

Sementara Tante Meteran beranjak keluar, Jovan Gadungan mengusap puncak kepalaku. Aku ingin lari, tetapi mendadak aku merasa lumpuh oleh rasa ngeri. Wajah Jovan yang gemuk dan bersahabat jadi tampak mengerikan dengan mata biru dan seringai itu.

Terdengar suara gerungan mesin mobil yang kukenali—mobil Sir Ted. Berarti ada ayah di luar.

"Aku tidak takut padamu," kataku dengan nada ketakutan. "Mana Jovan yang asli?"

Jovan Gadungan menepuk-nepuk dada kemejanya. "Masih di sini."

"Di dalam saku bajumu?" tanyaku dengan wajah lemot untuk mengulur-ulur waktu. Beberapa kali aku melirik pintu di balik punggungnya, berharap ayah akan mendobrak masuk dan menghajar pria ini.

"Tidak," jawab Jovan Gadungan sambil terkekeh. "Pria baik hati itu masih ada. Aku hanya meminjam fisiknya sebentar."

"Bagaimana caranya meminjam fisik orang?" tanyaku lagi, masih sambil melirik pintu dengan gelisah. Kenapa rasanya mendadak panas sekali di sini?

Jovan Gadungan menyengir sampai kerut-kerut pipinya terlihat. Jovan asli tak pernah tersenyum selebar itu. Dia benar-benar merusak citra wajah Jovan yang lucu di benakku. "Nak, apa kau pernah mendengar tentang Brainware?"

"Ha?" Kuputar otakku untuk membuatnya terus bicara. "Taperwer—alat plastik buat rumah tangga itu?"

Sebelum Jovan Gadungan sempat memberi jawaban, terdengar bunyi tabrakan keras di luar. Badanku berkedut sedikit lantaran kaget, dan tahu-tahu aku sudah duduk tegak sebelum meloncat dari atas dipan. Kusaksikan dari jendela-jendela besar mobil Sir Ted yang hancur bagian depannya, dilalap api.

Di dekat mobil itu, Tante Meteran berdiri dengan separuh tubuhnya—dari kaki sampai pinggang—terbalur api. Dari mulutnya, menyembur kobaran api oranye yang kemudian meledakkan mobil itu sepenuhnya.

Aku menjerit dan langsung menyusup masuk ke bawah dipan untuk menghindari pecahan kaca jendela. Sambil memeluk lutut, aku bertanya-tanya, apa yang barusan kusaksikan itu?

"Demetrean agak terlalu bersemangat, ya?" Jovan Gadungan melongok ke bawah dipan, masih tersenyum padaku. "Kurasa, sekarang saatnya untukku pergi."

Mendengar itu, aku buru-buru merangkak keluar dan menangkap kakinya. Kupegangi erat kedua betisnya sampai-sampai aku terkesan seperti hendak memanjat naik ke badannya.

"Nak, aku tidak bisa membawamu. Aku tidak benar-benar berada di sini—"

"Aku tidak berniat ikut denganmu!" teriakku dengan air mata berurai.

Sekujur badanku basah kuyup oleh peluh, dan ada pecahan kaca di sekitar sepatuku yang kian membuatku merasa lumpuh oleh rasa takut. Namun, aku tidak boleh melepaskan pegangan. Kalau orang ini kabur, ayah tidak bisa menghajarnya!

Jovan Gadungan membungkuk dan mengusap kepalaku lagi. Katanya, "Ingat-ingatlah ini suatu hari, Nak: aku akan datang lagi untuk menjemputmu. Tidak dalam waktu dekat, karena Paman Beruang suka ikut campur. Tapi, aku pasti datang. Saat hari itu tiba, pastikan kau telah bangun dari ilusi ciptaan ayahmu."

Lalu, tangannya mengelincir dari kepalaku. Tubuhnya rubuh ke samping sampai berdebum di antara jelaga dan pecahan kaca. Matanya tertutup rapat dan kelopaknya membiru seperti lebam.

Tepat ketika aku memekikkan nama Jovan, pintu didobrak sampai terbuka. Ayah dan Sir Ted merengsek masuk dalam seragam serba hitam. Mereka hampir terlihat seperti orang NC kalau saja mereka pakai topi dan membawa senjata api.

"Jovan!" Aku terisak-isak saat ayah memelukku. "Dia seperti orang lain!"

"Leila, berdiri!" perintah ayah, yang langsung kuturuti meski tungkaiku gemetaran setengah mati. "Ikuti Paman Ti,"—ayah menunjuk Sir Ted, yang telah berada di seberang ruangan untuk membuka pintu belakang—"jangan jauh-jauh darinya!"

Kuhampiri Sir Ted, yang masih sibuk memindahkan barang-barang yang menghalangi pintu. Ada kotak besar yang tampak berat, kursi dan meja dari kayu jati, serta etalase tak berkaca berukuran dua kali badanku—Sir Ted tampak tak kesulitan memindahkannya seolah benda-benda itu hanya balon gas.

"Kau tahu siapa yang membarikade pintu, Leila?" tanya Sir Ted.

Aku menggeleng ngeri sambil melirik ayah yang masih membantu Jovan untuk bangun. Jovan sudah sadar, dan warna matanya kembali seperti semula—tidak lagi biru kelam. Bibirnya yang pecah-pecah bergetar mengatakan sesuatu yang tak bisa kudengar.

"Leila," panggil Sir Ted seraya membalikkan badanku menghadapnya. Matanya melirik cemas pada ayah dan Jovan. "Bantu aku menggeser meja ini, ya?"

Kurasa, Sir Ted cuma mau mengalihkanku. Aku bahkan tak memakai tenaga saat mendorong meja itu—cuma menempel tangan, dan meja itu bergeser sendiri oleh tenaga Sir Ted.

Ketika Sir Ted lengah, aku berlari kembali ke ayah.

"Dia sudah mendapatkan saya." Kudengar Jovan merintih. "Kau harus membunuh saya sekarang, Sir. Ra bisa kembali kapan saja."

"Dia tidak kembali! Dia hanya mengecek Relevia—"

"Relevia itu jebakan." Jovan memotong ucapan ayah. "Dia hanya mengincar anakmu, Sir. Dia tahu kau punya anak. Keributan Relevia dan mayat hidup itu hanya untuk menyibukkan prajurit NC di kompleks ini agar tak ada yang menyadari ... bahwa dia sudah kembali."

"Tapi—kenapa? Aku dan Ti tidak menyadarinya—"

"Ra mengambil alih setiap kalian tidak ada, lalu pergi saat kau dan Sir Ed bersama saya," kata Jovan gemetaran. "Itu sebabnya saya terus membuntutimu belakangan—agar dia tidak datang. Saya tak tahu dia ternyata mengincar anakmu! Tapi sekarang, saya bisa merasakannya seperti tumor. Cyone saya ... berbalik—membunuh saya."

Aku menyaksikan saat Jovan menempelkan sesuatu ke tangan ayah. Mataku membelalak, mengenali benda silver-cokelat itu sebagai pistol.

"Jangan biarkan saya mati dengan cara itu, Sir." Jovan mulai terisak-isak. Air matanya bercampur jelaga, wajahnya memerah oleh suhu panas lantaran api telah melalah sampai bagian depan bangunan. "Jika Ra datang lagi ... saya mungkin tak bisa mengambil alih kembali—lebih baik kau bunuh saya sekarang!"

"Leila!"

Sir Ted menarikku. Lengannya yang besar meraup wajahku. Dengan masih menutupi pandanganku, Sir Ted menyeretku keluar.

Aku berkelit tepat di depan pintu dan sempat melihat tangan ayah di pelatuk, moncong pistol menempel pada sisi kepala Jovan.

"Ayah—"

Terdengar suara letusan, lalu badan Jovan berkedut seperti bereaksi pada hantaman keras. Kaki dan tangannya terkulai. Sesuatu yang merah menciprat ke wajah dan baju ayah. Begitu pistol menggelincir jatuh dari tangannya, bahu ayah mulai berguncang.

Mendadak, aku seperti bisa merasakan seluruh ruangan berputar. Kakiku kehilangan tenaga, dan hanya Sir Ted yang menyeretku untuk tetap keluar dari bangunan itu. Pada bagian depannya, api berkobar, jilatannya melalap pepohonan di sekitarnya. Asap hitam naik, menaungi kami seperti awan bermuatan petir.

Ayah membunuh Jovan, kataku, tetapi suaraku tidak bisa keluar. Kucengkram lengan baju Sir Ted kuat-kuat, berharap dia mendengar. Ayah menembak Jovan sampai mati.

"Leila ...." Sir Ted bersimpuh di depanku. Wajahnya coreng-moreng oleh jelaga. "Bernapas dengan tenang. Lihat aku. Sini. Lihat Paman Ted."

Ayahku membunuh orang.

Aku menelan ludah, menarik napas, lalu mengembuskannya. Aku ingin berteriak, tetapi yang keluar hanya suara batuk serak. Leher dan dadaku sakit, napasku sesak, dan aku ingin muntah.

Ayahku menembak mati Jovan.

Jari-jari tanganku seperti menempel permanen pada lengan baju Sir Ted. Meski kuku jariku menancap di lengannya, Sir Ted tampak tak memedulikannya. Dia terus menyuruhku untuk menarik napas dan menatapnya.

Entah sejak kapan tangan kanan Sir Ted menangkup mulutku. Perlahan, saluran pernapasanku melega, bau asap tak sepekat sebelumnya, dan isi kepalaku sedikit melengang.

"Leila," panggil Sir Ted lagi. Suaranya lebih kuat sampai aku menangkat kepala secara refleks dan menatapnya tepat di mata. "Kau ingat cerita detektif itu? Saat penjahat menculik seorang anak, dan ayah dari anak itu menolongnya?"

Aku mengerjap. Sekujur tubuhku masih mati dan suaraku tetap lenyap. Mengangguk pun aku tak mampu. Jadi, aku hanya mengerjap satu kali sampai setetes air mata jatuh begitu saja.

"Anak itu masih, berapa, 10 tahun?" lanjut Sir Ted. Kali ini, aku berhasil mengangguk samar. "Ya, dan badanmu sekecil anak 10 tahun. Kau sangat mirip dengan anak dalam cerita itu."

Aku mengerjap lagi. Mataku seperti hendak berputar ke atas, tetapi tangan Sir Ted mempertahankanku tetap berdiri.

"Ya, kau sangat mirip dengan anak yang diculik itu," kata Sir Ted seraya meringis dramatis. "Sangat, sangat mirip. Sukar dibedakan. Dan ayahnya .... Apa kau tahu apa yang terjadi di akhir cerita? Kau sudah menontonnya sampai habis?"

Susah payah, aku menggeleng.

"Ayahnya mengambil sebuah pistol semiotomatis berkaliber 9 milimeter milik si penculik." Sir Ted melepaskan tangannya dari wajahku sampai bau asap kembali tercium. Tangannya kemudian membuat gestur menembak, lalu mengarahkan jari-jari moncongnya pada pelipisnya sendiri sampai mataku membelalak. "Dan, menembak si penculik. Dia dan sang detektif cilik kemudian menyelamatkan anaknya."

Dengan gerakan yang amat lembut, Sir Ted meraih jari-jari tanganku yang mencengkramnya, lalu melepaskannya. Sembari menggandeng tanganku, dia menarikku berdiri. Katanya, "Keren, 'kan? Kuharap kau tidak keberatan aku memberikan akhir ceritanya sebelum kau menontonnya."

Terseok-seok mengimbangi langkahnya, aku mengangguk.

"Ayo, kita pulang," ajaknya. "Aku akan belikan kue untukmu dan ibumu. Di rumahmu nanti, kita bisa menonton akhir ceritanya bersama—saat ayah dari anak itu mengalahkan si penculik dengan pistol. Anak yang sangat, sangat mirip denganmu."

Aku tak ingat detailnya. Sepertinya kakiku bergerak di luar keinginanku. Mata dan telingaku menyimak Sir Ted yang menceritakan akhir dari cerita misteri-kriminal berulang-ulang, penuh penekanan, mengingatkanku betapa miripnya aku dengan bocah tak berdaya yang menjadi korban penculikan itu.

Begitu aku membuka mata lagi, aku sudah tiduran di jok belakang mobil, berselimutkan jaket parka milik ayah. Pendingin udara beraroma lemon dan mesin mobilnya menggerung lembut. Sepertinya Sir Ted punya mobil baru lagi.

"Kenapa kau tidak langsung saja menghapus ingatannya?" Kudengar ayah bertanya di jok depan, di samping pengemudi. Suaranya serak dan bergetar seperti orang yang habis menangis. Namun, itu mustahil. Ayahku tak pernah menangis ... 'kan?

"Itu sangat berisiko," jawab Sir Ted di balik roda setir. "Pertama, ingatan yang dihapus serampangan akan meninggalkan lubang. Otaknya akan mencoba menambal lubang-lubang itu dengan entah ingatan palsu macam apa, bisa saja berbahaya. Leila bisa mengalami *)amnesia disosiatif. Kedua, ingatan itu bisa terkunci secara permanen dan tak terbuka lagi—"

"Itu bagus!" bentak ayah, lalu suaranya mengecil seperti merasa bersalah sendiri. "Maksudku, bukan amnesia disosiatif. Maksudku ... jika Leila tak pernah mengingat kejadian ini lagi, bukankah itu bagus ...."

"Sangat lugu, Aga." Sir Ted menukas dingin. "Sampai kapan kau mau mengunci anakmu di dalam rumah? Lihat anakmu baik-baik—umurnya 13, tidak punya teman dan putus sekolah. Banyak anak yang putus sekolah sejak NC melancarkan programnya, tetapi sebagian besar anak-anak itu setidaknya masih bisa keluar rumah tanpa orang tuanya. Dan, kau mau Leila melupakan hari ini secara permanen?! Pikirkan baik-baik—suatu hari Ra akan datang padanya, dan dia takkan tahu apa yang harus dilakukan—"

"Ra. Tidak. Akan. Pernah. Datang." Ayah menggertakkan rahang. Tiap kata diludahkannya penuh penekanan. "Dia tidak akan pernah menyentuh anakku selama aku masih hidup—"

"Oh, tentu, kita akan hidup selamanya," kekeh Sir Ted sarkastis. "Kau bisa tampar dirimu sampai sadar sebelum aku yang melakukannya, Aga. Kita memang Relevia, tapi akan datang hari di mana kekuatan ini tidak berguna. Kita akan tua. Kita akan mati. Atau terpisah, atau apa pun itu—situasi di mana anakmu akan sendirian. Kau mau anakmu menghadapi Ra tanpa persiapan apa pun?"

Ayah terdiam.

Selama beberapa saat aku hampir tertidur lagi, dinina-bobokan oleh dengung mesin mobil mahal dan pendingin udara yang sepoi-sepoi. Lalu, suara ayah membuat mataku melek lagi.

"Apa yang akan terjadi sekarang pada Leila?"

"Paling parah **)apatia dan paramnesia seperti ***)jamais vu. Aku menanamkan ingatan palsu sendiri—akan gawat kalau dia mengalami konfabulasi dan membuat ingatan palsu sendiri. Kau tahu susahnya mengganggu pengkodean dalam sensory cortex? Bisa-bisa dia malah mengingat akulah yang menarik pelatuk dan menewaskan—"

"Jangan bahas itu."

"Pokoknya, ingatannya sekarang seperti kumpulan berkas yang diarsipkan." Sir Ted mengetuk-ngetuk roda kemudinya. "Tersimpan apik dalam laci yang terkunci. Jika ingin membukanya kembali, harus ada kuncinya."

"Apa kuncinya?"

Sir Ted membuat pistol dengan jari tangannya, lalu menempelkannya pada sisi kepala ayah. "Pistol asli, yang menempel pada kepala seseorang—jika Leila menemui pemandangan seperti itu, sosok Jovan akan mulai mengemuka di benaknya karena, untuk saat ini, aku terpaksa menghapus Jovan dari memorinya. Kedua, adalah api. Api yang cukup besar. Proses pembakaran yang hanya bisa dilakukan oleh sekawanan Calor. Memorinya tentang Ra dan wanita aneh itu akan kembali dengan utuh. Dan ketiga,"—Sir Ted mengetuk dasbor mobil—"mobil yang meledak. Ketika dia menyaksikan hal-hal seperti itu, memori Leila yang selama ini kuarsipkan dan kukunci akan kembali mengemuka."

Ayah tercekat. "Semua kejadian kunci itu mustahil terjadi di Kompleks yang aman, 'kan? Terlebih, tidak ada lagi kawanan Calor di sini. Kenapa—"

"Karena, jika dia sudah menyaksikan semua hal mustahil itu," jawab Sir Ted, "artinya Leila tidak lagi berada dalam pengawasan kita. Dia akan menghadapi Ra seorang diri."

Kelopak mataku terasa berat. Obrolan mereka seperti berembus lewat tanpa singgah sedikit pun dalam kepalaku. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

Kupejamkan mataku, dan cerita Sir Ted kembali mengiang. Anak yang diculik itu mirip denganku. Ayahnya menembak si penculik dan menyelamatkan anaknya. Anak yang mirip denganku. Dan ayahnya mirip dengan ayahku.

*)amnesia disosiatif: muncul saat penderita memblok informasi tertentu berhubungan dengan peristiwa traumatis, tetapi hal ini menyebabkan dirinya tidak dapat mengingat informasi pribadi yang penting, disebabkan oleh stres luar biasa atau kejadian traumatis

**)apatia: suatu derajat penurunan kesadaran; individu lambat merespons terhadap stimulus dari luar (apatis dengan keadaan di sekitarnya)

***)jamais vu: kebalikan dari deja vu; penderita merasa asing terhadap situasi yang justru pernah dialaminya.


Music credit: Fantasy & World Music by the Fiechters - Ravenville

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Fanart super keceh dari tyrdevp :3


Huhuuhuuuuu mereka jadi kece badai begonoooo

Puja fanart ajaiiiiib ulululullululululuuulululu

Thank u tyrdevp ⚈ ̫ ⚈⚈ ̫ ⚈⚈ ̫ ⚈⚈ ̫ ⚈⚈ ̫ ⚈


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro