#59

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #59 | 3150 words |

ARENA CALOR di mana Pyro membakar para tahanannya terletak tepat di dasar jurang, agak jauh dari tempat jatuhnya mobil truk yang kami kendarai untuk sampai kemari. Dasar ngarai ini, saking luas dan dalamnya, sudah membentuk lembah-lembah kecil yang gersang seperti habis dilanda kekeringan bertahun-tahun.

Andaikata Embre tak memberi tahu ini adalah dasar jurang itu, aku takkan tahu. Ke mana pun aku mendongak, aku tak bisa menemukan bibir tebingnya. Belasan meter ke atas hanya ada kabut serupa awan yang menutupi lembah ini dari dunia luar. Sejauh apa pun mata memandang, di kiri-kanan semata tanah retak-retak berbatu, pilar-pilar, lantai logam, dan paviliun-paviliun kecil seolah tempat ini adalah taman. Dari kejauhan, aku mendengar deburan air ....

"Seperti suara air terjun," bisik Alatas di sisiku.

Arena itu sendiri berupa panggung baja sebesar dua kali lapangan sepak bola. Segera saja suara deburan air menghilang, tertutupi seruan dan huru-hara para Calor yang mengerubungi arena. Jumlah mereka puluhan—mungkin seratus lebih. Mereka bertingkah layaknya penonton sepak bola, versi yang tengah terbakar secara harfiah.

"Tenang saja," kata Pascal, "ketika Pyro masuk nanti, para penonton tidak akan diizinkan menyalakan apinya. Tapi kurasa pakaian itu menjaga kalian, 'kan?"

Memang benar apa yang dikatakannya. Aku nyaris tak merasakan panasnya udara. Bahkan begitu kunaikkan tudung kepalanya, wajahku hanya seperti sedang di hadapkan ke cahaya matahari pagi alih-alih dibakar langsung seperti sebelumnya.

Di depanku, Truck terus-terusan bergerak gelisah. Wajahnya mengilap oleh peluh lantaran dia tidak menaikkan tudung jaketnya. Lelaki itu malah mengedepankan tudungnya lewat bahu kanan, menelaah simbol api putih dan tulisan di dalamnya.

"Kapan Pyro datang?" tanya Alatas.

"Dia sedang makan," beri tahu Pascal. "Tahulah—mengisi bahan bakar."

Dia dan seorang Calor lainnya lantas terbahak seperti berbagi lelucon pribadi.

"Dan jangan berpikiran untuk melawan atau kabur kalau kalian sudah di tengah sini," ingat Pascal. "Entah kalian Steeler, Cyone, Peredam—bahkan Brainware sekali pun. Tidak semua yang kalian lihat di sini adalah Calor murni. Satu lusin di antara kami adalah Multi-fervent. Tanpa Pyro sekali pun, kami menang jumlah."

Aku bergerak ke belakang barisan melewati Pascal, lantas menangkap lengan Embre yang sejak tadi terus bergerak diam-diam untuk menjauhi kami.

"Kau belum memberiku jawaban," kataku. "Apa maksudmu menanyakan yang tadi? Tentang Raven?"

"Kau juga belum memberiku jawaban," kilahnya.

"Karena aku memang tidak punya!" sanggahku. "Kancing itu bukan milikku—harus kukatakan berapa kali?!"

Embre berdecak. Matanya menelaah ke atas bebatuan yang tertumpuk tinggi di sudut arena. Dia lantas bertanya pada Pascal, "Berapa lama lagi Pyro kembali?"

"Setengah jam?" Pascal menerka. "Tadi dia sempat ngambek karena para tahanan tidak segera dibawa kemari."

Embre berdecak lagi. Dia mencoba menarik diri, tetapi aku bersikeras mencengkram lengannya. "Ya, ya. Akan kujawab! Ikuti aku, dan bawa bocah itu."

Dia menunjuk Erion, yang memang sedang membelah barisan Calor untuk menyusulku. Bisa kulihat Ash si bocah Calor di belakangnya, masih menempelinya.

Begitu aku menarik Erion ke sisiku, Embre menepis Ash ke sisi sembari mengancam bocah itu agar dia kembali ke barisan penonton.

"Jaga tahanan lain," kata Embre ke teman-teman Calornya, mengacu pada Alatas dan Truck yang mengamati kami dengan resah. "Aku mau mengecek alat bantu dengar bocah ini sebentar."

"Alat bantu dengar itu headset keren yang menempel di telinganya?" Ash, menolak bergabung dengan para penonton di sisi-sisi area, mulai merecoki Alatas dan Truck. "Alat itu buat apa? Kenapa kalian tidak pakai juga?"

"Alat bantu dengar," desis Truck jengkel, "bukankah namanya saja sudah menjelaskan fungsinya, Bocah?"

Aku dan Erion mengekori Embre menuruni undakan arena. Di antara tribune, diapit oleh dua pasak setinggi dua meter lebih, tampak sebuah lorong dengan tangga di dalamnya. Embre bilang, kami akan memasuki bagian bawah arena.

Jauh dari hiruk-pikuk para Calor, terdengar suara deguk air lagi.

"Apa ada air terjun di sekitar sini?" tanyaku ketika kami sudah menyusuri lorong lagi. Embre membawa kami berbelok sampai menemui jalan buntu—lorong itu berakhir pada sebuah pintu besi yang tak berkenop.

"Ya, tepat di sisi timur arena—bagaimana pun, kami juga manusia. Kami butuh air saat tak berwujud api. Minum bensin tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah dahaga." Wajah Embre terkesan netral sampai-sampai aku tak tahu apakah dia serius atau bercanda perihal minum bensin.

Tangannya menempel pada ujung pintu tak berkenop sampai logam tersebut berbunyi klang!—dan terbuka.

"Keren, 'kan?" katanya seraya memberi jalan agar aku dan Erion masuk. "Pintu yang hanya bisa dibuka oleh Calor atau Steeler."

Ruangan itu cukup luas, diterangi sebuah lampu LED, dipenuhi oleh lemari dan rak kaca berisi perkakas bengkel, alat elektronik lama, dan panel-panel pengendali dengan layar pantau seperti yang fasilitas NC miliki. Potongan baja, plastik, dan gulungan kertas berserakan di lantai. Bahkan, aku melihat sebuah alat penyedot debu di antara lautan perkakas itu, dengan dua lampu sen mobil tertempel di bagian atas corong penghisapnya, mengedip nyala-mati seperti sepasang mata.

Di tengah-tengah ruangan, dikepung oleh kekacauan artifisial, seorang pemuda berambut gondrong menghentikan apa pun yang tengah dia kerjakan di atas meja panjangnya. Dia menatap Embre dan aku bolak-balik.

"Kau masih punya sirkuit khusus untuk alat bantu dengar, Cybra?" tanya Embre, yang ditanggapi anggukan oleh si pemuda gondrong.

Ketika diminta mendekati meja kerja Cybra, Erion malah tampak sibuk mengamati ujung pintu yang kini mengerut dengan sorot penasaran.

"Tadi aku memanaskan besinya," jelas Embre seraya mempraktikkan ulang sambil menutup rapat pintunya. "Dalam temperatur tertentu, logam ini bisa diubah bentuknya. Steeler yang punya akselerasi bagus bisa melakukannya dengan mudah meski level kekuatannya rendah. Kau tahu? Phantom juga bisa melakukannya—kalau kau bisa memanipulasi atau membuat disintegrasi molekuler."

Aku bisa melakukannya! pamer Erion seraya menggedor-gedor dan mendorong pintu dengan kekuatannya. Dia terlihat seperti punya dendam pribadi terhadap pintu itu, dan aku sempat cemas pintunya akan roboh ke luar. Namun, yang dia lakukan hanya membuat lengkungan penyok kecil di tengah-tengah daun pintu.

Sebelum Embre atau Cybra menuntut ganti rugi, aku memberi tahu mereka bahwa Erion tak bermaksud melakukannya.

"Nanti kuajari," kata Embre seraya mendorong Erion ke arah Cybra.

"Jadi," kataku memulai, "siapa Raven?"

"Aku tak tahu," jawab Embre dengan cengiran lebar.

Sebelum aku menghajarnya seperti cara Erion mengamuk pintu besi, Embre membuka kancing seragamnya dan memperlihatkan kancing NC yang terjahit pada bagian dalam jaket. Kancing itu sudah tergores-gores dan tulisannya memudar.

"Sebelum kau berpikiran macam-macam, aku Calor murni," kata Embre seraya menahan lenganku. Saking ngerinya, aku tak sadar telah melangkah mundur sampai kakiku menyenggol penyedot debu berlampu sen mobil. Sesaat yang mengerikan, sebelah lampu sen itu mengedip padaku. "Bibiku pemilik asli benda terkutuk ini. Sayangnya, bibiku keburu mati sebelum menjelaskan siapa itu Raven."

"Raven ...." Kuatur napasku. "A, ayahku memanggilnya Ra."

"Ra atau Raven memang nama yang lebih sering dipakainya saat datang kemari," kata Embre. "Nama aslinya panjang sekali."

Aku menggali ke dasar ingatanku—atau lebih tepatnya, ingatan milik ayahku. Pertama kali ayah dan Sir Ted bertemu Ra di sebuah seminar kampus mereka, dan dia mendapat perhatian peserta seminar setelah memperkenalkan diri sebagai—

"Ravenaterieentre Ferventiarivor Erde."

Aku mengerjap dan sempat menyangka bahwa Embre barusan sedang berkumur-kumur tanpa air—yang mana mustahil.

"Aku sempat tahu beberapa hal tentang Raven dari bibiku," kata Embre seraya bersandar pada sebuah rak kosong, menelaah Erion dan Cybra yang mendadak jadi akrab. Aneh sekali, padahal Erion dan Cybra tak saling bicara sejak tadi.

"Apa yang kauketahui?"

"Pertama ...." Embre mengangkat jari telunjuknya. "Dia adalah orang yang membawa semua Fervor ini kepada kita. Dia memulainya dengan Relevia."

Aku menyimak dengan tegang. "Lalu?"

Embre mengamati jari telunjuknya sendiri. "Kurasa cuma satu hal itu yang kutahu tentangnya."

Tanganku mengepal. Kuingatkan diriku sendiri—pria ini lebih tua, lebih besar, dan lebih kuat dariku. Kalau menghajarnya, leherkulah yang patah.

"Oh, tidak tunggu," tepis Embre seraya mengerjap-ngerjap. "Maaf, ingatanku agak acak. Bibiku sempat berusaha membuatku melupakan kenangan buruk tentang Raven. Jadi, yang kedua, Raven punya teman ... atau saudari, atau istri .... Entahlah. Pokoknya, seorang wanita seram yang wajahnya ditato dengan motif aneh—"

"Meteran," sambarku refleks. Begitu Embre menatapku takjub, kurasakan wajahku memanas sepenuhnya karena malu. "Maksudku, Demetrean."

"Tidak apa. Waktu kecil aku pun sempat mengira namanya Demit Comberan."

Aku bernapas lega karena ternyata ada yang lebih parah.

"Tahu, 'kan, pelafalan huruf t itu mirip huruf c bertemu r di lidah Raven." Embre menggelengkan kepala, seperti mencoba mengenyahkannya sebelum nama itu benar-benar melekat di ingatannya. "Yang ketiga ... Raven bukan pendiri NC."

Aku menautkan alisku. "Apa?"

"NC didirikan untuk kepentingan Raven, tapi bukan dia yang mendirikannya. Malah, sebagian besar waktu, Raven terlihat seperti bekerja sendirian—apa pun itu yang dia kerjakan dan entah apa tujuannya. Tapi dia tak benar-benar melibatkan NC. Justru NC-lah yang melibatkan diri ke dalam urusan Raven."

"Kenapa ...? Jadi, semua yang NC lakukan selama ini—mendirikan Herde, Pusat Karantina, menyekat Kompleks dan Garis Merah ...?"

"Raven tak terlibat dengan semua itu," tegas Embre. "Aku juga tak begitu paham bagaimana mereka bekerja. Intinya, setiap kali Raven bergerak, NC akan menutupi jejaknya hingga seolah-olah Raven tak pernah ada. Bahkan, sebagian besar pekerja NC pun tak tahu siapa itu Raven. Orang-orang yang mengenal Raven hanya petinggi NC, dan ..."—Embre menepuk kancing di balik jaketnya yang kini sudah dikancingkan kembali—"orang-orang yang terlibat dengan Relevia."

"Bibimu Relevia?" Aku mengulik. "Apa dia ... punya anak?"

Embre tersenyum aneh. "Dia mengangkatku jadi anak setelah kedua orang tuaku mati—apa itu masuk hitungan?"

"Anak biologis."

"Tidak. Dia tak menikah sampai mati." Embre menelaahku kemudian. "Kau tahu kegunaan kancing ini, 'kan? Berarti kau tahu kekuatan mengerikan macam apa yang dimiliki seorang Relevia?"

"Relevia bisa menggunakan semua jenis Fervor." Aku mengangguk. "Dan kancing ini ... membendung kekuatan Relevia."

"Mengatur," ralat Embre. "Jadi ... kutebak, kau dapat kancing itu dari ayahmu? Kau anak seorang Relevia? Siapa?"

"Mungkin kau tidak mengenalnya—"

"Jumlah mereka sangat sedikit, jadi aku kenal semua Relevia," sanggah Embre. "Terutama yang bisa bertahan hidup cukup lama. Dan setahuku, hanya ada empat Relevia yang cukup bodoh untuk punya anak. Juanda Moria, Dwi Eka, Ivan Cross, dan Aga Morris."

"Aga Morris ayahku."

Ayahku ternyata terkenal sekali ... karena kebodohannya. Dan kebodohan itu adalah memilikiku sebagai anak.

"Benarkah?" Embre tampak terkesiap. "Aku kira .... Dari cara Pascal dan orang-orang membicarakannya, dan desas-desus Aga Morris sedang mencari anaknya .... Selama ini kami mengira anaknya masih 5 atau 7 tahun. Bukannya,"—Embre melambai ke arahku dengan kagum—"remaja 17 tahun ...."

"Ya ...." Kurasakan wajahku memanas. "Sampai umurku 16 tahun sekali pun, ayahku masih suka membicarakanku seperti bayi kecil yang baru bisa berjalan."

"Oh, wow, jadi Pascal masih belum tahu kau adalah anak dari pria yang pernah menyelamatkannya? Kalau dia tahu, kau bisa membuatnya bersujud di kakimu ...."

Benar juga. Aku tak pernah memberi tahunya. Dan saat aku menemukan ayah di fasilitas NC, Pascal langsung pergi tanpa benar-benar melihat ayahku di sana.

"Dan, Pyro!" seru Embre bersemangat. "Kalau dia tahu kau anak Aga Morris, dia takkan berani menyentuh kalian—eh, tunggu. Jadi ... mana ayahmu sekarang?"

Pertanyaannya seperti jari usil yang menekan tombol dalam kepalaku. Tangisanku pecah lagi seperti air keran yang jebol. Kubiarkan air mataku menetes-netes sampai lantai.

"Mati ... di fasilitas NC yang baru-baru ini meledak," isakku.

Embre terdiam. Mendadak keadaan jadi aneh. Pria itu menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah.

"Kau yakin dia mati?" tanya Embre dengan suara yang mengecil. "Selain kau, siapa yang tahu bahwa Aga Morris sudah mati?"

"Teman-temanku." Kuseka air mataku sebelum Erion melihatnya. "Kami menguburkannya. Truck bahkan sudah memastikannya tak bernyawa .... Tapi, kurasa orang-orang NC pasti sudah tahu, 'kan, mengingat markas mereka ambruk?"

"Relevia tidak mudah terbunuh kecuali mereka kehilangan kancing NC itu," tukas Embre. Kakinya terentak-entak gelisah. "Bahkan sampai berita meledaknya fasilitas NC itu menyebar, yang keluar hanya surat penangkapan dan daftar baru buronan, yaitu kalian berempat dan Aga Morris. Kurasa mereka mengasumsikan ayahmu melarikan diri karena tak menemukan mayatnya. Menguburkan ayahmu ... itu tindakan pintar. Sekarang, memakamkan orang sudah tabu. NC bahkan mendirikan fasilitas khusus pembakaran mayat. Mereka takkan menyangka ...."

"Memang kenapa—"

"Tidak ada yang boleh tahu bahwa ayahmu sudah mati," putus Embre. "Bahkan Pascal. Makin sedikit yang tahu, makin baik. Beri tahu teman-temanmu juga untuk merahasiakannya."

"Tapi, kenapa—"

"Tunggu .... Itu artinya, tidak ada yang boleh tahu kau anaknya. Akan ada yang bertanya-tanya kenapa kau di sini tanpa ayahmu. Kalau sampai ada yang tahu—"

"Bintara tahu aku anaknya—"

"Komandan buangan itu?" tanya Embre, yang malah membuatku kaget dengan titel terakhir yang barusan diucapkannya. "Dia yang merilis daftar buronan. Artinya, dia tak tahu Aga Morris mati. Dia masih mengira kau buron dengan ayahmu .... Jadi, kau tak bisa tertangkap olehnya! Kalau dia menemukanmu, dan tak ada ayahmu di mana pun ...."

"Memangnya kenapa kalau orang-orang tahu?"

"T. Ed Company," kata Embre penuh penekanan. "Mereka penggagas perlawanan utama pada NC saat ini, tapi di saat bersamaan mereka masih bagian dari NC. NC adalah tampuk kekuasaan karena mereka memegang kendali penuh atas sistem Kompleks dan para Fervent, tetapi setengah dari kekuatan mereka saat ini berasal dari T. Ed Company—pabrik senjata, teknologi, sandang, pangan, bahkan sumber daya manusianya. NC tak bisa meruntuhkan T. Ed Company karena itu artinya memotong kaki mereka sendiri. Sedangkan T. Ed Company tidak bisa begitu saja memutuskan hubungan dari NC karena mereka tak punya cukup dukungan dari para Fervent.

"Di sinilah, hubungan NC dan T. Ed Company jadi rumit, sekaligus sederhana. Karena seutas benang tipis yang menggantungkan nasib T. Ed Company pada NC adalah ayahmu. Ayahmulah alasan NC tak bisa mengambil alih semua aset T. Ed Company. Ayahmulah penghubung keduanya—dia Agen NC sekaligus pemegang T. Ed Company, bersama Timothy bersaudara yang tersisa. NC tak melewati batasan karena mereka tak mau kehilangan aset paling besar—Relevia generasi awal, yaitu ayahmu sendiri."

Rasanya jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Jika mereka tahu ayah mati—"

"NC tak memiliki apa pun lagi untuk ditakutkan," tegas Embre. "Bintara bisa dengan mudah meyakinkan orang-orang di Kompleks Sentral untuk memulihkan jabatannya, dan mengambil alih T. Ed Company seluruhnya. Jika sudah begitu, perang besar antara keduanya akan terjadi, dengan banyak Fervent yang terlibat ... dan manusia normal yang terjepit di tengah."

"Tapi, masih ada Sir Ted ... maksudku, Timothy Edison, yang juga Relevia."

Embre mengerjap. "Kau memercayai pria itu?"

"Ya ...." Aku sendiri terkejut mendapati keraguan dalam suaraku. "Pria itu sudah seperti keluargaku."

"Sudah seperti keluarga." Embre menyeringai. Tangannya mengusap bagian bawah bahunya, tepat di mana kancing NC terjahit. "Aku sempat berpikiran bahwa bibiku yang Relevia itu sudah seperti ibuku sendiri. Dia menyayangiku, memenuhi kebutuhanku, selayaknya ibu kandung. Sampai bertahun setelah kematiannya, aku tahu semua itu dilakukannya bukan karena rasa sayang, melainkan rasa bersalah. Karena kebakaran besar yang menewaskan orang tuaku adalah ulahnya."

Tepat saat itu, percakapan kami harus berakhir lantaran Erion menabrak semua perkakas yang dilaluinya dan berlari ke arahku. Aku mesti mengusap muka keras-keras agar anak itu tak menyadari jejak air mata atau ekspresi tegang di wajahku.

"Kau masih memakai model BTE ini?" Embre menunjuk alat bantu dengar Erion. Ekspresi wajah pria itu mengendur dengan cepat. Kesannya kami barusan hanya mendiskusikan makanan favorit atau film jelek, bukannya perang Fervent.

Cybra menyusul. Dia menggerakkan tangan serta jari-jarinya, yang kemudian kusadari adalah bahasa isyarat. Suara pemuda itu kudengar belakangan, Alat bantu dengar bentuk canal tak cocok untuk anak-anak.

Lalu, kusadari kemudian bahwa warna mata Cybra pun hampir seperti Alatas—memiliki dua warna berlainan. Hanya saja mata Alatas berbeda antara kiri dan kanan (complete heterochromia), sementara Cybra hanya sebagian di iris mata yang sama (partial heterochromia).

Siapa pun yang membuat BTE ini, lanjut Cybra. Bukan orang sembarangan.

"Kalian mendapat alat bantu dengar itu dari NC?" tanya Embre kepadaku.

Aku mengedikkan bahu. "Setahuku Erion mendapatkan alat bantu dengar ini dari temannya Alatas dan Truck. Kalau tak salah ... Giok."

Embre merenung seperti mencoba mengingat nama itu. Aku sempat berharap dia akan menyebutkan nama Raios. Mungkin dia tahu apa hubungan antara Raios dan Giok, yang pernah berada di satu Herde bersama Alatas dan Truck.

Namun, Embre hanya mendengkus. "Siapa pun orang itu, dia pasti entah sudah direkrut oleh NC atau mati sekarang."

"Kenapa kau yakin sekali?" tanyaku seraya membunti Embre keluar.

Erion dan Cybra di belakangku, mengekor sambil main tangan yang tampaknya adalah cara mereka bercanda tanpa saling bicara pada satu sama lain.

"Alat bantu dengar itu alat akustik listrik, butuh baterai. Dan, aku yakin di luar sana pasti sudah banyak sekali yang kalian alami, tapi alat bantu dengarnya masih baik-baik saja. Terlebih, melihat kalian—sekumpulan anak muda yang berdarah-darah dan menjerit-jerit hanya karena aku bermain obor—aku yakin kalian tak pernah membersihkan atau melakukan perawatan pada alat bantu dengar bocah itu."

Aku meringis, separuh malu, separuh marah pada diriku sendiri.

"Kau lihat Cybra?" Ucapan Embre membuatku refleks menoleh ke arah si pemuda Calor, yang kini membiarkan Erion memanjat naik ke atas gendongan bahunya. "Meski menggunakan alat bantu dengar, kami kadang masih harus berada dalam jarak 3 meter dari Cybra dan menggunakan gerakan bibir yang lugas agar dia bisa mengerti perkataan kami."

"Dia Steeler?" tanyaku.

"Ya, salah satu dari selusin Multi-fervent yang Pascal singgung sebelum ini. Tapi, Cybra tidak pandai bertarung. Dia juga tak pernah tidur sejak kami menyelamatkannya dari Herde. Jadi, kami biarkan dia mengurung diri di dalam sini, mengerjakan apa pun yang dia sukai."

"Bagaimana denganmu?" kulikku. "Apa kau dulunya guru atau semacamnya?"

"Apa kau habis menerapkan santet otak andalan Brainware padaku?" Embre balas bertanya, yang kemudian malah ditingkahi oleh tawanya sendiri. "Ya, guru olahraga. Lalu, NC datang dan merekrutku paksa. Mereka sepertinya hanya sebatas tahu bahwa profesiku guru, tapi tak mau tahu ilmu yang kudalami dengan lebih spesifik. Orang-orang sialan itu memaksaku mengajar olahraga sekaligus IPA dan Sejarah Fervor untuk anak-anak dalam Program Fervent Dasar mereka."

Rasanya aku tak pernah mendengar ada sekolah yang didirikan NC, atau apa pun itu Program Fervent Dasar, atau mungkin memang ayah yang tak membiarkanku masuk ke sana. "Di mana kau dulu mengajar?"

"Fasilitas rahasia di distrik utama saat NC belum melancarkan invasi terang-terangan—itu semacam tempat pelatihan sekaligus karantina pertama saat jumlah Fervent belum membludak seperti sekarang, namanya Program Fervent Dasar atau PFD. Lalu, Kompleks 18 selama satu tahun penuh, sebelum aku dimutasi ke Kompleks 20. Tanya saja temanmu yang besar itu. Aku baru teringat pernah melihatnya saat anak itu masih 9 tahun di distrik utama PFD—tapi kurasa dia tak mengingatku lagi karena aku mengganti nama, dan rambutku tak sepanjang dulu."

"Truck?" Langkahku langsung terasa memberat. "Truck ... di fasilitas NC saat masa-masa awal Fervent ...?"

"Ya." Embre tampak kebingungan. Perlu beberapa detik sampai pria itu sadar bahwa dia telah salah bicara. "Kalau temanmu tak pernah membicarakannya ... mungkin lebih baik kau pura-pura tak tahu. PFD tidak seburuk Program Herde, tapi ada bencana mengerikan di saat-saat terakhir sebelum tempat itu runtuh. Jadi ... lupakan apa yang barusan kukatakan."

"Apa yang terjadi di sana?" desakku terus sampai aku tak menyadari kami sudah kembali ke permukaan. Suara riuh para Calor yang memenuhi tribune langsung menggetarkan kaki dan menelan bunyi debur air terjun. "Apa yang mereka lakukan di PFD? Di mana letaknya? Aku tak tahu tempat macam itu ada."

Embre menepis semua pertanyaanku dan segera bergabung dengan teman-teman Calornya. Di sisi Pascal, Alatas tampak luar biasa pucat.

"Pembakarannya belum dilaksanakan?" tanya Embre. Namun, tak ada yang tertawa menanggapinya.

"Pyro sudah tahu harga kepala mereka," beri tahu Pascal. Dia begitu murung seolah barusan mendapat kabar dunia akan kiamat. "Beberapa Calor yang kemarin merampok para Pemburu di perbatasan Kompleks 5 ... mereka melihat harga kepala buronan yang dipasang Bintara, dan memberi tahukannya pada Pyro. Jadi, ...."

"Kita takkan melawan Pyro," potong Truck.

Aku sudah sering melihat Truck marah, atau bersikap mengintimidasi. Namun, kali ini dia tampak benar-benar seperti siap membunuh orang. Andaikata sorot mata itu mewujud secara harfiah, ia telah menjadi belati yang menusuk seorang pria di atas podium paling tinggi di antara apitan dua tribune.

Di atas podium tempat tatapan Truck tertuju, berdirilah seorang pria yang bahkan lebih pendek dari Alatas, tetapi berotot seperti Pascal. Tudung kepalanya tak terpasang, jadi aku bisa melihat sepasang bola mata oranye serupa nyala api yang tengah menatap gembira ke arah kami. Di lehernya, melingkar logam putih yang menyerupai belenggu rantai.

"Dia mengadu kita berempat," lanjut Truck, masih berusaha membalas tatapan sang pimpinan Calor. Bisa kudengar gigi geligi yang bergemeletuk marah saat Truck menggertakkan rahangnya. "Aku harus bertarung melawan Erion. Alatas dengan Leila. Dua di antara kita harus mati, dua sisanya dijual pada Bintara."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan




Fanart kiriman sonozakirei di mana Truck mendadak jadi unyu ~(^з^)-♡

Thank youuuuuu (◍•ᴗ•◍)❤(◍•ᴗ•◍)❤(◍•ᴗ•◍)❤(◍•ᴗ•◍)❤(◍•ᴗ•◍)❤(◍•ᴗ•◍)❤(◍•ᴗ•◍)❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro