#64

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #64 | 3524 words |

AKU PERNAH melihat tinju Alatas berubah menjadi logam saat kami berada di atas kapal pesiar. Dia terpaksa menonjok seorang anak cowok bernama Harun yang mendadak tak stabil karena melihat potongan tubuh jasad keluarganya.

Hampir di saat yang sama, Erion sempat bercerita Alatas pernah mengubah seluruh tubuhnya jadi besi. Pemuda itu menjelma jadi 'iron man' ketika mereka menemui Giok, salah satu teman satu barak Alatas dan Truck di Herde. Yang tidak diketahui oleh anak itu adalah dampak yang diterima tubuh Alatas setelahnya.

Apa yang Erion ceritakan padaku itu terjadi tepat setelah mereka bertiga lolos dari tiga orang Pemburu—yang satu tewas ditembak teman sendiri, yang lain pingsan kena getok gayung logam raksasa di wajah, dan satu lagi lari setelahnya.

Truck memaksa mereka bergegas karena merasa hari menggelap lebih cepat, yang memang benar. Malam turun lebih awal, bulan dan bintang tampak samar sebelum kemudian lenyap seolah ada awan badai yang menyelimuti langit. Meraba dalam kegelapan dan cahaya cat semprot merah di dedaunan, Truck, Alatas, dan Erion terseok di jalan setapak yang diapit belukar tajam setinggi pinggang.

"Lihat?" Alatas menyenggol Truck sambil melirik Erion yang berjalan paling depan. Erion tampaknya sengaja menjaga jarak karena Truck telah menyalakan senternya. "Anak itu seorang X, Truck! Dia bisa melihat dalam gelap—kayak kucing. Dan, coba tadi kau melihatnya—astaga, dia membuat palu logamku yang seberat puluhan kilo melayang sebelum menghantam si Pemburu!"

Truck berjengit dan berkomentar, "Jadi centong raksasa itu memang palu?"

Alatas berpura-pura tak mendengar hinaan Truck. "Erion bahkan bisa—apa itu namanya? Manipulasi sesuatu ... Phantom level atas yang kita pelajari di Herde?"

"Force field?" tanya Truck yang ditanggapi dengan jentikan jari antusias Alatas. "Mustahil. Dia sepuluh tahun."

"Sungguh! Pemburu itu berhenti tepat di depan wajahku dan bertingkah seolah tak melihat apa-apa!" Alatas pun menarik Erion dan meminta, "Bisa kau lakukan yang tadi? Membuat kita tak kasat mata?"

Erion melambaikan tangannya malas-malasan dan berdenyarlah udara di sekitar mereka hingga keduanya lenyap dari pandangan. Truck membelalak sampai jatuh terduduk dan menghancurkan belukar di belakangnya. Senternya jatuh menggelinding sampai Erion meloncat ke belakang Alatas.

"Wah ...." Truck bergumam takjub, tetapi wajahnya memucat. Tangannya mengapai-gapai menembus medan gaya Erion. "Bayangkan apa yang NC mampu lakukan untuk mendapatkan anak ini."

Alatas memutar bola matanya. "Kita sudah bahas ini. Erion tidak bakal ditinggal di mana-mana! Kecuali kau bisa menemukan, entahlah, penitipan anak Fervent yang kurang berbahaya dari Pusat Karantina."

Truck berdiri dan memungut senternya, lantas menyebrangi batasan medan gaya Erion. Masih ternganga, dia berujar, "Di tempat Giok mungkin aman. Dia pasti bersama Meredith."

"Dan Raios," tukas Alatas. "Raios bisa saja menyelamatkan anak ini di Pusat Karantina saat dia membuat kerusuhan waktu itu, tapi dia tidak melakukannya. Mana mungkin kita tinggal Erion di tangan orang macam itu?"

Truck sepertinya hendak menyanggah lagi, tetapi tiba-tiba senter di tangannya terlempar ke tanah. Baterainya lepas dan jatuh menggelinding ke kakinya. Truck langsung memasang tampang yang dulu pernah digunakannya padaku setiap kali aku berjalan terlalu dekat dengannya. Dengan jari menuding ke Erion di balik punggung Alatas, Truck membentak, "Hei, apa yang kubilang tentang melempar barang-barang dengan kekuatanmu! Itu senter terakhir kita setelah dua lainnya kau buang diam-diam! Sekali lagi kau lakukan itu—"

"Dia cuma takut pada cahayanya," sela Alatas seraya memungut kembali senter dan memasang baterainya. Pemuda itu kemudian berjongkok di depan Erion, lalu mengarahkan pegangan senter menghadap pada anak itu. Saat Alatas menyalakannya, bocah itu sempat terlompat, tetapi kemudian merelaks lantaran cahayanya menyorot ke Alatas. "Bagaimana kalau begini? Kau yang pegang kendali, tapi cahayanya tidak menghadap ke arahmu."

Ragu-ragu, Erion menyambut senter dari tangan Alatas. Dia menggenggam senter itu erat, memperlakukannya seperti pistol dengan amunisi yang terisi penuh.

Alatas mendorongnya maju untuk lanjut berjalan, sesekali mengarahkan tangan Erion untuk terus menyorot jalan di depan mereka. Tampak ketakutan, Erion menaruh satu tangan ke kaca senternya dengan hati-hati seolah sedang dipaksa menyentuh api. Dia melakukannya beberapa kali, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa sinar yang ini tak sama dengan yang dilihatnya di Pusat Karantina.

Tak berapa lama kemudian, anak itu sudah bermain-main dengan cahaya senter. Sesekali Erion berbalik mendadak dan menyorotkan senternya ke dua cowok di belakangnya, berlagak seperti menembakkan laser. Sementara Truck meraung kesal karena dikejutkan silaunya, Alatas mengeluarkan jeritan dibuat-buat dan wajah kesakitan palsu untuk mengikuti permainan Erion.

"Kenapa kau berikan padanya?!" protes Truck begitu Erion kembali sibuk menyenteri kakinya sendiri.

"Aku dulu takut ketinggian," beri tahu Alatas. "Jadi, kakak laki-lakiku mengikatku ke punggungnya sementara dia memanjat pohon kelapa setiap hari. Setelah aku agak besar, dia memaksaku memanjat sendiri. Akhirnya, aku malah jadi profesional dalam panjat memanjat dan suka tempat tinggi. Nah, adik kecil ini juga sama—hanya butuh ditunjukkan kalau tidak ada yang perlu ditakutkan."

Truck memutar bola mata. "Jika senter itu hilang juga di tangannya, awas kau."

Mereka berjalan lagi menyusuri jalan setapak, sesekali memeriksa cat semprot pada tumbuhan sekitar.

"Kau yakin ini jalannya benar?" tanya Truck. "Dan lagi, Giok bisa saja berdusta, mengaku-ngaku punya tempat persembunyian di Garis Merah."

"Tapi teman-teman di barak bilang bahwa Giok memang punya banyak tempat persembunyian. Dia tidak punya rumah dan selalu berpindah-pindah sebelum tertangkap Agen Herde." Alatas melompat dan menarik salah satu ranting yang menjuntai di atas kepalanya, lalu memperlihatkan jalinan lampu hias kecil seukuran kuku jarinya. "Ini tanda jalannya menuju tempat Giok."

Alatas melepaskan pegangannya, dan lampu hias kecil-kecil yang menggantung itu pun kembali membaur di antara cat semprot merah.

"Untuk apa dia menandai jalan menuju tempat persembunyiannya?" tanya Truck lagi. "Agar diciduk Pemburu?"

"Untuk kita, tentu saja." Alatas mengedikkan bahu. "Dia bilang, kita boleh berkunjung kapan saja untuk minta suaka kalau berhasil kabur dari Herde. Jadi, dia pasti menyiapkan petunjuk ini. Seperti perjanjian kita dengan para Teleporter, 'kan? Bedanya, para Teleporter itu minta imbalan, Giok tidak."

"Bagaimana caramu bisa hidup sampai sekarang dengan pola pikir se ... baik hati itu?"—Aku terkejut Truck memperhalus kosa katanya. Aku benar-benar yakin tadi dia mau bilang setolol itu.

"Beda dengan Raios, Truck. Giok itu baik. Dia hanya ... kadang suka main aman. Memang, dia kadang suka menjilat agar diistimewakan Agen Herde, tapi dia juga sering menyelundupkan makanan buatku saat aku menjalani masa hukuman."

"Apa perlu kuingatkan kau masuk ruang isolasi dan digebuki Agen Herde waktu itu gara-gara mencoba melanggar jam malam bersama Giok? Dan dia berhasil lolos sendiri."

"Nah, itu karena dia lari lebih cepat. Dia sudah meneriakiku untuk bergegas saat lampu sorot itu petugas datang, tapi aku malah bengong berdiri di sana saking kagetnya sampai tertangkap. Bukan salahnya."

Truck mengerjap. Seperti halnya aku, pada titik ini di masih sulit memercayai betapa temannya itu punya pikiran yang terlampau simpel tentang orang-orang. Selama seseorang tak menjualnya ke pasar Fervent, maka orang itu masuk golongan orang baik di mata Alatas.

Cahaya lampu hias itu membimbing mereka ke sebuah mini market rangkap toko cendera mata yang sudah lama ditinggalkan. Dua dari lima kaca jendelanya pecah, sedangkan yang masih utuh dicoret tanda silang dengan cat semprot putih. Tidak ada pintu, dan seluruh barang pajangan deret depannya hancur seperti habis diterjang bencana alam.

Mereka menyeberangi pecahan kaca, jajaran etalase berselubung debu, dan rak-rak yang rubuh tumpang tindih. Mereka pun tiba di depan pintu bertuliskan staff only. Ada cahaya lain dari jendela kecil pada pintu tersebut.

Selayaknya tamu beradab, Alatas mengetuk. "Giok!"

Truck menggerung tidak sabar. Dia menepis Alatas ke sisi, lantas mendobrak pintu itu sampai rubuh ke dalam.

Ruangan itu dipenuhi kotak kardus yang isinya sudah dijarah. Bungkus makanan instan dan botol air mineral kosong berserakan di sepenjuru lantai seolah ada sekeluarga gelandangan yang pernah hidup di sana. Sebuah kantung tidur dan matras busa dibiarkan menggeletak di tengah-tengah, berjajar dengan lampu pijar tabung redup yang masih menyala dan sebuah kipas angin yang masih tercolok. Kesannya seseorang yang sedang leyeh-leyeh di sana buru-buru meninggalkan tempatnya ketika Alatas, Truck, dan Erion masuk.

Sementara Erion pasang badan di depan kipas angin, Alatas dan Truck mendekati meja di ujung ruangan yang berseberangan dengan pintu. Meja itu dipenuhi kertas memo, keyboard komputer, sebuah layar tv LED, amplifier, dan dua buah speaker berukuran sedang.

"Aku akan mengecek ke sekitar," kata Truck. "Mungkin dia belum jauh."

"Aku akan jaga si adik kecil." Alatas mengedik ke arah Erion.

"Kau hanya mau bergabung bersamanya di depan kipas angin dan matras itu," kata Truck, yang dibalas Alatas dengan cengiran.

Truck bahkan belum meninggalkan ruangan ketika seorang lelaki muncul dari balik meja. Dengan langkah terpincang-pincang, lelaki itu mencerabut speaker di atas meja. Truck berteriak memperingatkan, tetapi orang itu telah melemparkan kedua speaker-nya ke arah Alatas dan Erion.

Kendati Truck berteriak cukup nyaring, dia sudah berdiri di ambang pintu dan terlalu jauh dari jarak pendengaran Erion yang sebelah alat bantu dengarnya tak lagi berfungsi. Satu-satunya hal yang membuat Erion menoleh adalah sepasang tangan logam yang memeganginya erat-erat dari belakang.

Kedua speaker itu pecah menghantam kepala Alatas yang kini sepenuhnya terselubung logam hingga ke ujung helai rambutnya. Namun, laki-laki asing itu tak berhenti sampai sana. Dia meraih amplifier di atas meja dan melemparkannya, yang lagi-lagi hancur saat mengenai Alatas.

"KELUAR DARI SINI!" Lelaki itu berteriak dengan suara kesat. "KELUAR!"

"Giok!"

Lelaki itu berhenti setelah mendengar suara Truck. Bibirnya terbuka, dan dia baru menyebut, "Kau—" saat Truck menerjangnya hingga terpojok ke dinding.

"Apa yang kau pikirkan?! Melempar benda-benda berbahaya—" Kegeraman Truck berubah saat dia melihat perban yang menutupi sebagian besar wajah Giok. "Apa yang terjadi padamu?" Matanya menelusuri lelaki kecil kurus itu sampai ke kakinya yang disangga. Sebuah tongkat bantu jalan tergeletak tak jauh dari kaki mereka. "Apa yang terjadi dengan kakimu?"

"Raios mematahkan kakiku." Giok berujar dengan suara bergetar, tetapi dia tak terdengar sengeri sebelumnya. Tangannya meraba-raba wajah Truck sampai pria itu tampak jengah sendiri. "Dia juga mencolok mataku dengan ibu jarinya. A, aku ... aku tidak bisa melihat dengan jelas. Ini Truck, ya? Apa Alatas dan yang lainnya bersamamu?"

"Cuma Alatas," jawab Truck. Dia melepaskan Giok, mengambil kembali tongkat lelaki itu, lantas membantunya berjalan ke arah Alatas dan Erion. "Kami butuh bantuanmu memperbaiki sesuatu."

"Sembuhkan mataku dulu!" tuntut Giok. Kepalanya mendongak seperti mencoba mengintip dari celah perbannya. "Jarak pandangku cuma 10 sentimeter!"

Erion masih melonjak-lonjak di atas matras, tangannya menampar-nampar tubuh logam Alatas dengan antusias. Keren banget, Bung! sorak anak itu tanpa seorang pun mendengarnya. Seharusnya kau sering-sering begini!

Aku terperangah melihat sosok Alatas yang kelabu-perak. Wajahnya benar-benar seperti terpahat—sosok patung logam yang kebetulan bisa bergerak, tetapi tak bisa berekspresi. Kepalanya tertoleh ke Erion, tetapi matanya yang kini hanya berupa ceruk pada lekuk wajah logam itu membuat pandangannya tampak kosong.

"Hei, jangan dibikin mainan!" bentak Truck. Ditariknya Erion dan didorongnya anak itu ke arah pintu. "Sana! Cari camilan atau apalah!"

Meski sambil bersungut-sungut, Erion menurut saja karena kata 'camilan'.

Sementara anak itu menjelajahi rak dengan senternya, Truck mulai disibukkan dengan luka-luka di balik perban Giok.

Alatas jatuh terduduk membelakangi mereka, tak bersuara sama sekali. Aku hampir mengira badannya ambruk, tetapi pemuda itu masih duduk dengan postur tubuh membungkuk. Satu-satunya yang meyakinkanku bahwa dia bukan patung logam hanya bunyi keriut yang sesekali keluar dari engsel sikunya.

"Alatas berubah jadi logam lagi?!" Giok terkesiap setelah Truck memberi tahu apa yang tak bisa dilihat lelaki itu. "Sampai ke daging dan organ dalam?"

"Sepertinya tidak." Truck melirik Alatas. Tangannya menangkup perban wajah Giok dan mulai memperbaiki apa pun itu yang telah dirusak oleh ibu jari Raios. "Sekarang dia sedang berjuang mengembalikan kulit aslinya. Sepertinya dia panik karena kau melemparkan barang berat. Dan ada bocah 10 tahun yang baru kami selamatkan dari Pusat Karantina, berada tepat di titik sasaranmu."

"Aku tak melihat!" protes Giok seraya menodong matanya yang tengah Truck sembuhkan dengan Cyone. "Bukan salahku! Aku langsung lari begitu mendengar ada yang menginjak pecahan kaca di luar! Bersyukurlah aku tak bisa mencari pisau dan pistolku karena mataku separuh buta!"

Begitu Alatas berhasil membebaskan kepalanya dari topeng logam, pemuda itu langsung bernapas keras-keras. Satu tangannya gemetaran menangkup dadanya yang masih mengilap metalik, sementara tangan satunya memegangi lehernya yang masih separuh jalan pemulihan. Sepertinya dia tak bisa bernapas, bicara, atau pun mendengar selama berwajah logam.

"Ototku seperti terbakar," desah Alatas, masih tersengal tersiksa. "Dan sepertinya siku dan lututku bergeser!"

"Ya, ya, nanti kubenarkan," kata Truck enteng. "Pulihkan saja dulu kulitmu. Jangan dikupas seperti yang terakhir—aku tidak mau melihat luka menjijikkan seperti waktu itu."

"Seandainya kau masuk ke pasukan khusus yang dulu disediakan Herde, kau pasti bisa mengendalikan transformasimu sampai ke organ dalam," oceh Giok, masih dengan suara kering seolah sudah berhari-hari tak menenggak air. "Kalau punya kekuatan sepertimu, aku sudah berubah jadi logam setiap saat. Tidak perlu bernapas, berkeringat, atau mencerna apa pun."

"Sampai ke otakmu?" dengkus Truck. "Kau akan menjadi patung yang jelek sekali."

"Inilah kenapa kita tak pernah cocok berteman, Truck. Aku seorang visioner."

"Visioner yang visi-nya dibutakan Raios?"

"Jangan bertengkar," ringis Alatas saat inci demi inci lehernya pulih, meninggalkan bekas merah pada kulitnya seperti bekas sayatan. "Mana Erion?"

"Di luar, mungkin memburu babi hutan untuk mengisi perutnya."

"Kau semestinya masuk pelatihan Steeler di Herde itu, Al," ungkit Giok lagi. "Kalau kau terus berubah jadi logam secara spontan seperti ini, dan otot serta lapisan kulitmu gagal beradaptasi di lain kesempatan ... ih. Pasti jelek sekali."

"Sudah tiga puluh anak yang mati dalam pelatihannya," ringis Alatas lagi. "Dan kudengar, potongan tubuh Steeler yang gagal itu dijual Agen Herde ke Kompleks. Aku tidak mau jari kakiku dijual terpisah di toko spare part sementara perutku berakhir di tempat peleburan besi dan jeroanku masuk bengkel reparasi."

Logam pada bahu Alatas seperti memanas sebelum melunak bak logam cair, lalu menyingkap jaket di baliknya. Perlahan, proses itu terus turun ke bawah hingga punggung, pinggul, dan kakinya. Begitu tubuhnya kembali utuh dalam fisik organiknya, Alatas ambruk ke matras dengan keringat memabasahi sekujur tubuhnya. Matanya setengah memejam seolah dampak begadangnya baru saja memengaruhinya.

Giok telah melepas perban di wajahnya. Matanya yang diselubungi kelopak bengkak kehitaman menatap Alatas sekilas, dan dia terkekeh, "Bayangkan kalau di sini ada api atau ledakan yang suhunya melebihi titik leburmu."

Alatas membuka mulutnya, dan napasnya beruap seolah kini tubuhnya malah mengalami hipotermia. Suaranya terdengar serak. "Kenapa?"

"Karena kau logam, dasar bodoh," hardik Truck. Tangannya beralih untuk meluruskan kaki dan lengan Alatas di atas matras. "Dalam keadaan seperti tadi, dan fisikmu diekspos langsung pada suhu tinggi—kau pasti sudah jadi logam cair tanpa punya kesempatan kembali ke fisik aslimu."

Setelah hampir satu jam ketiganya memulihkan fisik masing-masing, Erion kembali dengan sepelukan snack kedaluwarsa dan senyum lebar di wajahnya. Namun, ekspresi anak itu menggelap karena Alatas sudah bukan lagi patung logam.

"Jadi, anak ini Phantom level atas, kata kalian tadi?" tanya Giok dengan lirikan mata yang kentara sekali tertarik begitu Erion menghempaskan diri di samping Alatas dengan segunung makanan ringan.

"Aku melihatnya dan Alatas benar-benar menghilang di depan pandangan." Truck mengonfirmasi. "Dia sudah sampai tahap sana—tentu masih banyak yang bisa anak ini lakukan, kurasa."

"Seperti hantu sungguhan." Alatas mengusap puncak kepala Erion, lalu dia merendahkan wajahnya sampai sejajar bocah itu untuk bertanya, "Tapi, kau tidak bisa menggunakan kekuatanmu untuk hal-hal seram, 'kan? Entahlah ... merasuki badan kami misalnya?"

Erion menyengir, meninggalkan kesan misterius hingga suhu di sekitar seolah merosot jadi minus. Alatas seketika bergidik dan menukas, "Jangan bercanda."

Tentu saja tidak bisa, jawab Erion, tetapi kepalanya mengangguk-angguk sambil masih tersenyum seram. Tangannya menyedot bungkus cracker dari Alatas seperti vacuum cleaner.

"Kau keberatan kalau anak ini kami tinggal di sini?" tanya Truck, yang seketika membuat sudut bibir Giok berkedut seperti hendak menyeringai puas.

"Asalkan kau tidak menjual anak ini," tambah Alatas cepat.

"Tentu tidak! Bodoh sekali aku jika menjualnya ke NC!"

Alatas bernapas lega, tetapi kemudian mengejang ketika Giok melanjutkan, "Tidak. Tidak. Aku tahu cara yang lebih efektif memanfaatkan kekuatannya."—Tangannya menepuk-nepuk kepala Erion. "Ada sebuah bank besar yang masih berdiri di Pulau Baru yang sistem keamanannya bisa dibobol dengan mudah karena belakangan ini seluruh bank sudah bangkrut. Aku bahkan takkan meninggalkan jejak setitik debu pun dengan bantuan anak ini—"

Alatas buru-buru menarik Erion menjauhi Giok. Matanya membelalak seolah ini adalah pertama kali dia mengenal mantan teman satu baraknya tersebut.

"Mungkin lebih baik Erion ikut kami saja," kata Alatas dengan raut getir. "Sungguh, kau tidak bakal mau menampung Erion. Di, dia ...."

"Dia yang justru bakal menjarahmu," pungkas Truck membantu. "Kau ajak dia merampok sampai bank itu bangkrut pun percuma. Bukan untung, tapi buntung. Anak itu makan seperti monster yang menyerang sebuah kota."

Giok berdecak. "Kalian yakin mau tetap mengurusnya? Sebentar lagi tempat ini akan ditinggalkan. Kapal terakhir berangkat sekitar tiga hari lagi, setelahnya kalian mungkin mesti berenang menyeberangi perairan jika ingin bertahan hidup."

"Ya, kami dengar berita itu," tukas Truck. "Justru karena itulah kami mencarimu. Kami kira kau masih bersama Raios."

Giok berdecak. "Sayang sekali. Aku tidak bisa menolong kalian. Raios dan Meredith sudah pergi duluan, dan koneksiku baru akan menjemputku besok. Itu pun, dia hanya bisa membawa satu orang penumpang gelap—tidak cukup untuk kalian semua. Kalian harus pikirkan sendiri cara menyeberang. Kecuali ...."—Matanya melirik Erion lagi. "Kalau anak itu bisa membantuku membereskan penumpang gelap lain yang akan dibawa oleh temanku itu. Kita bisa sediakan kursi kosong untuk kalian semua."

"Tidak ..." tolak Alatas seraya menarik Erion merapat ke sisinya. "Kami akan pikirkan sendiri caranya ke sana."

Setelah beberapa menit percakapan alot lainnya, mereka akhirnya berkompromi. Truck telah menyembuhkan penglihatan Giok meski belum sepenuhnya, dan lelaki itu berjanji memperbaiki alat bantu dengar Erion sebagai gantinya. Dan setelah Truck mempercepat proses pemulihan kakinya juga, Giok menunjukkan jalan ke pesisir di mana kapal-kapal berlabuh—dengan taruhan, barangkali akan ada kapal atau sekoci tersisa di sana.

Yang belum mereka ketahui adalah, arah yang mereka tuju akan membimbing mereka pada reruntuhan tempatku terkubur. Dan begitu kami sampai di sana, pesisir telah diambil alih oleh koloni Icore wanita ganas.

"Jadi, dia satu-satunya anak yang selamat dari Pusat Karantina itu?" tanya Giok seraya memeriksa alat bantu dengar Erion di bawah cahaya lampu tabungnya. Dia tampaknya masih tertarik dengan Erion. "Sebenarnya, saat aku dan Raios melewati Pusat Karantina itu, aku menyarankan agar kami menyelamatkan anak-anak ini, tapi, yah ... kalian tahu Raios. Dia bilang perbuatan itu tidak ada gunanya."

Truck dan Alatas, yang tengah berbagi camilan kedaluwarsa, menelan dusta itu bulat-bulat. Sedangkan Erion yang sudah meraup sebagian besar camilan tak lagi mendengar percakapan mereka. Kalau pun anak itu mendengar ... dia tak bisa menyampaikan apa-apa—Alatas dan Truck tidak mendengarnya. Tentu anak itu masih ingat jelas apa yang sebenarnya terjadi—Gioklah yang mendesak agar mereka meninggalkan anak-anak itu dalam kurungan, mematikan Arka, dan memanfaatkan kericuhan saat anak-anak itu lepas dari kurungan mereka.

"Mungkin ada anak lain," kata Truck, "tapi hanya Erion yang kami temukan."

"Tunggu sebentar," kata Giok seraya menyeret langkah kaki pincangnya ke ruangan lain sambil membawa alat bantu dengar Erion. "Kalau tidak salah aku menjarah alat yang berguna dari markas NC."

Begitu Giok lenyap dari balik pintu, Truck segera berbisik curiga kepada Alatas, "Menurutmu, kenapa Raios melakukan itu pada kaki dan matanya?"

"Karena Raios jahat?" usul Alatas. Giginya mengapit permen lolipop, dan aku merasakan dorongan aneh untuk mencubiti wajahnya. Sayang sekali ini cuma memori yang tak bisa kucampuri.

Erion, dengan mulut penuh cracker, ikut mencondongkan wajahnya penasaran. Alisnya mengerut kesal karena dia tak bisa mendengar apa pun yang Truck dan Alatas bicarakan. Sekali lagi, aku menyesal ini hanyalah sebuah kenangan lantaran tanganku gatal sekali untuk memeluknya.

"Bagaimana kalau Giok melakukan sesuatu?" tebak Truck. "Kita semua tahu, walau berdarah dingin, Raios tak pernah menyerang kecuali diganggu duluan."

"Mungkin saja," kata Alatas, yang tampaknya telah mengubah pikirannya tentang Giok. "Lagi pula, apa pun yang terjadi kita mesti menemukan Raios, 'kan? Karena dia tahu di mana Rav—atau apalah itu namanya."

Setelah mereka saling lempar asumsi dan rencana, Truck memutuskan untuk mengecek Giok. Alatas dan Erion tetap di atas matras, menjaga kerajaan mereka.

"Hei, mana senternya?" tanya Alatas. Tangannya membuat gestur seperti memegangi sesuatu, lalu menyorotkan benda tak kasat mata itu ke sepenjuru ruangan, mencoba memberi isyarat senter pada Erion. Sontak, mulut Erion terbuka sampai kunyahan cracker-nya meleleh keluar, matanya membelalak begitu lebar. Benaknya menjerit, Matilah aku! Di mana aku taruh senternya tadi?!

Dengan meminjam lampu tabung Giok, keduanya lantas meninggalkan tempat nongkrong dan menelusuri jalan yang Erion lalui di sepanjang rak camilan. Dengan panik, anak itu menerbangkan semua benda yang dilihatnya untuk mencari senter.

"Apa yang kalian lakukan?"

Alatas dan Erion terlompat kaget ketika mendapati Truck sudah berada di samping salah satu rak. Tangannya melemparkan alat bantu dengar Erion yang tampak terpoles seperti barang baru, yang kemudian ditangkap oleh Alatas.

"Jangan marah," kata Alatas sembari membantu Erion memasang kembali alat bantu dengarnya. "Senternya hilang, tapi kurasa Erion benar-benar tak sengaja—kami sedang mencarinya."

Truck berdecak. Alatas dan Erion sempat mengejang ketika pria itu mendekati mereka, tetapi yang Truck lakukan hanya menjemba ke arah saku celana Erion, lalu menarik keluar senternya dari sana. Beberapa bungkus permen dan wafer yang hancur ikut meluap keluar.

Truck mengangkat senter itu dengan sebal. "Maksudmu ini?"

Alatas menganga seperti bocah tiga tahun menonton sulap. Sementara Erion membelalak ke saku celananya yang kini kosong. Oh, sejak kapan benda itu ada di sana?!

Truck mendengkus. Matanya kemudian menangkap jalinan tali rantai kecil di antara remahan aksesoris hancur dalam etalase. Pria itu lantas mengambilnya, dan mengikatkannya ke lubang pengait di ujung pegangan senter. Dikalungkannya senter itu ke leher Erion, lantas berkata sambil memelotot, "Jangan dihilangkan lagi!"

"Kita mencari ke segala tempat," desis Alatas begitu Truck berbalik untuk kembali ke tempat Giok. "Dan dia menemukannya begitu saja. Seperti sihir seorang ibu."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan




Adorable Fanart dari seirin11_04 

('。• ᵕ •。') ♡


DAAAAAAN BONUS FOTO KELUARGAAAA DARI SI QAQA

Dialog titipan dari empunya fanart:

.

.

.

THANKS seirin11_04 
❤ (ɔˆз(ˆ⌣ˆc)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro