#65

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #65 | 4248 words |

TELINGAKU MENDENGING dan gigiku seperti akan lepas satu per satu. Meski arena ini luasnya bukan main, dan ledakan flamethrower itu terpaut puluhan meter jauhnya, tetap saja kami merasakan dampak ledakannya. Alatas dan aku terlempar cukup jauh. Api berkobar di sekeliling kami, menjadikan arena serupa wajan panggangan raksasa. Aku pasti sudah melepuh jika bukan karena pakaian ini.

Kupingku kebas dan penglihatanku buram. Aku mesti mengerjapkan mata untuk beberapa lama sampai menyadari bahwa kini aku menelungkup di ujung arena. Dalam keadaan tuli dan nyaris berpenglihatan hitam sempurna, aku beranjak bangun dan melihat tubuh Alatas di tengah-tengah arena. Aku mesti merangkak susah payah untuk mendekati dan melihat keadaan pemuda itu.

Dia tak bergerak. Darah mengalir dari hidung dan sudut mulutnya. Satu sisi lehernya melepuh hingga bawah dagu karena tudung jaketnya koyak. Robekan jaketnya tergenang dalam logam cair tak jauh dari tempatnya menggeletak. Matanya terpejam rapat, dan aku tahu Alatas tidak pernah pandai berpura-pura tidur. Entah separah apa luka yang didapatnya di balik jaket itu, aku tak tahu.

Iris, si pengawas arena, menyeruak di antara aku dan Alatas. Dia berjongkok, memeriksa keadaan pemuda itu. Sementara saudaranya, Amos, masih setengah jalan menuju ke arah kami. Langkah pria itu diseret terseok-seok seolah sepatunya terbuat dari ....

Biji besi seratus kilo ...?

Iris menghabiskan hampir semenit penuh sampai fungsi pendengaran dan penglihatanku kembali. Saat perempuan itu akhirnya berdiri, jantungku seolah tersesat ke suatu tempat di antara ginjalku. Gadis itu berbalik, wajahnya masam, dan rengutannya gagal dia sembunyikan saat matanya bertemu dengan mataku.

Lalu, dia melakukan gestur itu—menarik garis melintang pada lehernya dengan ibu jari, dan menunjukku sebagai pemenang. Bahwa Alatas sudah mati.

Dalam keadaan mati rasa, aku diseret menjauhi Alatas. Amos yang telah lepas dari kendali Brainware pun tidak kesulitan menggiringku ke tempat Erion diarahkan sebelum ini, sementara Alatas digotong menuruni arena, menuju tempat Truck sebelumnya dibawa.

Pikiranku kosong. Penglihatanku seperti terbelah dua, antara dunia dan kehampaan. Indra peraba dan penciumanku pun seakan kehilangan fungsi. Butuh waktu bagiku, sampai Amos mencoba mengalungkan jalinan bunga kertas warna merah ke leherku, dan tanganku melimbainya. Kakiku bergerak, membawaku keluar dari naungan kanopi di bawah tribun, mengelilingi arena, dan masuk ke lorong yang sebelumnya kulalui bersama Alatas untuk melihat Truck. Erion menungguku di sana, dan jejak air mata membasahi pipinya.

Kami ditahan di depan pintu, jadi aku meledakkan langit-langit. Aku mengancam akan merubuhkan tribun di atasku, mengubur kami semua, hingga Embre datang dan menyuruh mereka mengizinkanku masuk.

Pintu mengayun terbuka, dan aku langsung disambut oleh Truck. Pria itu menurunkan tudung jaketnya agar tak dikenali oleh Calor lain yang mengira dia sudah mati. Wajah di balik tudung itu pucat pasi. Matanya merah seolah-olah dia sedang menahan kantuk ... atau tangis.

"T—" Aku menahan diri untuk tak menyebut namanya. Tanganku mencengkram lengannya penuh harap. "Alatas?"

Dia mengedik ke balik bahunya, lalu berlalu begitu saja ke pojok ruangan. Pria itu merosot terduduk, dan satu tangannya menangkup matanya.

Kenapa di sini sesak sekali? Ataukah hanya aku yang merasa demikian?

Begitu melihat tubuh Alatas terbaring kaku di ujung ruangan, berselimut kain kelabu kotor hingga batas leher, kakiku langsung ambruk. Matanya masih terpejam. Luka bakarnya masih ada. Lantai masih digenangi air dingin—mungkin mereka sempat berusaha memberikan pertolongan terhadap luka bakarnya sebelum ini.

Jantungku berdentum sampai telinga. Tanganku gemetar saat meraih tangannya yang kemerahan. Kini, semua bekas luka mengular di tangannya yang dia dapat dari Herde telah dilengkapi dengan luka bakar. Jaket anti api Alatas telah dirobek dari tubuhnya dan dibiarkan teronggok di sisinya.

Erion sesenggukan tanpa suara di sebelahku. Suaranya yang memanggil Alatas berkali-kali kian memedihkanku.

Kujatuhkan wajahku ke atas dadanya yang masih tertutup selimut, tanganku masih menautnya. Tubuhnya dingin. Setetes air mataku jatuh. Lalu, setetes lagi. Dan setetes lagi. Tak berapa lama kemudian, aku sudah membanjiri selimutnya dengan air mata. Wajahku panas, kepala terasa amat berat seperti akan pecah, dan bibirku hanya mampu mengeluarkan namanya di antara isakan. Pikiranku dipenuhi oleh: Apakah ayah saja tidak cukup? Apakah harus Alatas juga?

Kurasakan sebuah tangan di bahuku, lalu suara Truck yang serak dan lemah pun terdengar dalam heningnya ruangan, "Sudah cukup. Sudahlah—"

Aku menarik tangan Truck penuh harap, seperti saat dulu umurku lima tahun dan aku menggandeng tangan ayahku. Dengan suara bergetar dan tubuh berguncang hebat, aku memohon, "Tidak bisakah ... kau ... menghidupkannya? Cyone-mu ... pasti—bisa—iya, 'kan ...?"

Truck melepaskan tanganku dengan gerakan pelan. Dia menyingkap selimut yang menutupi tubuh Alatas sampai aku bisa melihat bekas luka bakar di pinggang kanan pemuda itu, menyebar dari atas celana jinsnya hingga ke bawah lengan.

"Aku sudah berusaha," ujar Truck. Suara geraman rendah keluar dari tenggorokannya. "Tapi, cecunguk ini ...." Truck kemudian membuatku kaget setengah mati saat dia melayangkan kakinya—dia menendangi Alatas dan berteriak, "Sudah! Hentikan itu—dasar bodoh!"

Aku benar-benar membatu saat mendengar Alatas meringis.

Ketika Alatas akhirnya bergerak, Cybra menguak dirinya untuk membantu pemuda itu duduk. Sambil menyeka sisa darah di bawah hidungnya, Alatas akhirnya berkata dengan suara kesat nan kering, "Tungsten itu keras sekali. Rasanya seperti jatuh di atas logam."

Cybra membuat bahasa isyarat, bertanya, Cedera? Gegar otak?

"Tidak mungkin," jawab Embre penuh kepastian. Tangannya mengacak-acak rambut Alatas, mengabaikan ringisan pemuda itu sepenuhnya. "Steeler yang jatuh di atas wolfram paling parah cuma dapat memar. Yang perlu dikhawatirkan adalah luka bakarnya. Kau beruntung hanya rantai besi itu yang meleleh di atas arena. Buat apa juga kau mengubah diri jadi logam begitu, hah?!"

Truck mendengkus, "Memastikan organ dalammu masih berfungsi dan kerusakannya belum mencapai dermis hingga saraf—rasanya nyawaku berkurang dua puluh tahun."

"Leila?" panggil Alatas. Tangannya melambai-lambat di depan wajahku. Saat dia akan memanggil namaku lagi, seorang wanita datang dan berdiri di sampingku. Kehadirannya membuat Alatas tersenyum lebar. "Oh, hei—makasih banyak sudah membantuku tadi!"

"Tidak masalah." Aku mendongak tepat saat Iris mengedipkan sebelah matanya pada Alatas. "Temannya Pascal dan Kak Embre adalah temanku juga."

Segalanya pun tersingkap di benakku. Alasan Embre memintaku masuk ke kepala Amos, dan sugesti yang mesti kutanamkan ... semua itu hanya untuk memperlambat si pria pengawas pertarungan, agar saudarinya bisa sampai lebih dulu. Dia bisa saja mengatakan Alatas sudah mati meski kenyataannya belum. Karena Iris adalah teman. Kongsi. Sekutu ....

Sesederhana itu.

Suaraku terdengar aneh saat bertanya, "Jadi, kau tidak mati?"

Alatas menepuk-nepuk badannya sendiri yang tidak terkena luka bakar. "Hidup, sehat, dan tampan seperti yang bisa kau liha—"

Ujung kalimatnya berubah menjadi suara dengkingan tercekik saat aku mencengkram tangannya. Aku bisa saja mematahkan satu ada dua jarinya—sungguh. Air mataku langsung merebak lagi, padahal pipiku masih sembap sehabis menangisi kematiannya. Kuhempaskan tangannya dengan keras, lalu kepalan tanganku menghujani wajahnya dengan pukulan bertubi-tubi.

"Berengsek!" tangisku. Kepalaku terasa panas luar biasa. "Aku cemas setengah mati! Kupikir kau sudah—aku—kukira—sialan!"

"Leila—"Alatas mengangkat kedua lengannya untuk melindungi diri. "Lei—tunggu! Aku—maaf—Leila, aku tidak bermaksud—"

Aku tetap memukul dan mencoba mencakarnya juga. Tanpa memedulikan Embre dan Cybra yang menonton kami, aku menganiaya Alatas dengan penuh kesungguhan. Sumpah serapah ajaran Truck terlontar dari mulutku di antara nama Alatas. Aku mendengarnya mengucapkan 'maaf' dan 'aku menyesal' di antara namaku, tetapi aku tetap mengamuknya. Sampai kemudian aku terlalu marah bahkan untuk sekadar melakukan kontak fisik dengannya. Aku mendorong Alatas, lalu bangkit dan beranjak sambil terisak-isak.

"Aku tidak—" Kudengar suara Alatas di belakang. Saat kusempatkan diri untuk melirik, dia tengah memegangi Erion yang masih terisak-isak. "Kupikir Embre memberi tahu kalian rencananya."

"Aku sengaja hanya memberi tahu Truck, Cybra dan Pascal. Jadi, Pyro bakal diyakinkan oleh reaksi Leila dan Erion," beri tahu Embre.

Aku mendobrak pintu sampai terbuka, lantas berderap melewati para Calor dan langsung menuju Pascal yang tengah menjaga barang-barang kami di lorong. Melihatku yang kentara sekali marah, Pascal buru-buru menjauhkan senjata api milik Alatas dari jangkauanku. Namun, aku tak menyasar senjata sama sekali. Aku hanya mengambil kembali ranselku dan pergi menjauhinya.

Pascal menarik lenganku. "Jangan keliaran sembarangan, Sayang—"

Aku menampiknya dan tetap berderap meninggalkan arena. Kudengar salah satu teman Pascal menceletuk, "Biarkan dia—pacarnya baru mati, 'kan? Mungkin dia mau langsung mencari penggantinya, dan dia jelas tak tertarik padamu."

Aku berhenti untuk melepaskan sepasang sepatu bot dari kakiku. Kulemparkan yang sebelah kiri pada pemuda kurang ajar itu, tetapi dia berhasil menghindar. Bagusnya, dia tidak sempat berkelit dari sepatu yang sebelah lagi. Bot kanan itu mengenainya tepat sasaran sampai dia merosot jatuh ke pelukan Pascal.

Aku terus berjalan bertelanjang kaki, mengabaikan rasa panas dan penat ketika menginjak tanah kuning gersang dan rumput kecil yang sudah mati.

Aku berhenti saat menyadari bahwa aku tersesat.

Tanah kuning itu sudah berganti menjadi lahan yang lebih hijau. Rumput pendek terasa basah di kaki, dan dari sisi kanan bukit rendah aku mendengar suara yang mengusikku sejak awal kami tiba di arena sarang Calor.

Air terjun.

Kupaksakan kakiku untuk berjalan sedikit lebih jauh lagi hingga melalui lembah dan sampai ke tepian aliran sungai. Deburan air mengguyur dari atas tebing terjal berbatu. Ujungnya tidak terlihat lantaran tertutup kabut di atas kepala.

Belasan meter dari air terjun itu, aku menjatuhkan diri dan duduk merendam kaki di tepian sungai. Airnya yang dingin seolah mencuci bersih semua beban di pundak, menyapu habis pikiran burukku. Lalu, aku pun terpikir ....

Kenapa aku semarah itu pada Alatas?

Di belakangku, kurasakan seseorang melangkah pelan mendekat. Kukira Alatas mungkin menyusul, atau Erion dan Truck. Mungkin juga Embre dan Pascal.

Atau itu Pyro, dan aku akan mati dipanggangnya. Jasadku akan larut dibawa arus sungai.

Iris adalah orang terakhir yang kupikir akan mengejarku sampai sini, tetapi di sinilah dia.

"Tidak perlu sampai memukulinya begitu, 'kan?" sindirnya. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Ekspresi wajahnya yang congkak membuatku muak. "Seharusnya kau bersyukur luka bakar tidak merusak wajahnya yang manis itu."

Kukepalkan tanganku kuat-kuat. Rahangku menggertak. Alih-alih marah, yang ingin kulakukan justru jatuh ke tanah dan menangis bergulingan.

"Tapi, sejujurnya tadi aku juga hampir menonjok wajah imutnya itu," kata Iris lagi. Dia meletakkan pantatnya di sampingku sama sekali tidak memedulikan tatapan permusuhan yang kuberikan. "Kau tahu kenapa? Karena aku sudah mati-matian menggodanya, dan membantunya juga—melawan perintah Pyro itu menakutkan, tahu? Dan setelah kulakukan semua itu ... saat aku membungkuk di atasnya, berpura-pura memeriksa nadinya, dia justru menggunakan sisa tenaganya untuk berbisik ..."—Iris menarik napas, dan kusadari arti pandangan sinisnya terhadapku itu adalah tatapan iri—"Dia bertanya, Apa Leila baik-baik saja?"

Kutundukkan kepalaku, lalu menangis lagi. Sambil terisak-isak, aku bertanya, "Lalu ... kenapa—kau—menolong kami?"

"Kau Brainware, 'kan?" kekehnya. Untuk satu kali itu, akhirnya aku mampu memandangnya selayaknya wanita dewasa yang jauh lebih tua di atasku, alih-alih perempuan asing yang mendadak muncul dan membuatku kesal tanpa alasan.

"Kau ...." Aku tercekat ketika satu bagian benaknya mengemuka. Bagian dari ingatannya yang sebelum ini tidak kusentuh karena aku terlalu fokus mencari sosok saudara kembarnya dalam memorinya. "Kau menyukai Embre."

Dia memasang tampang, Aku juga tidak habis pikir—kok, bisa.

"Anak cowok itu bebal, bodoh, dan menyebalkan," kata Iris begitu saja. "Sudah diberi tanda dengan jelas, tapi tidak paham juga. Kalau ada maunya, barulah mereka beramah-tamah. Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, mereka pun sibuk lagi dengan dunianya sendiri."

Aku mengangguk penuh semangat.

"Tapi, kurasa itu cukup adil," lanjut Iris, membuat alisnya mengerut turun. "Karena kita para cewek suka banyak menuntut dan semaunya."

"Aku tidak—" Suaraku hilang ditelan suara angin terjun.

Aku tidak begitu? Aku baru saja marah pada Alatas, dan memaksa Truck menghidupkan orang mati. Semua itu kulakukan sambil merengek, terisak-isak, dan sudut benakku masih berharap-harap bahwa ayahku suatu hari akan kembali.

"Awalnya kupikir, aku menghormatinya sebagai seorang kakak," tutur Iris kemudian. "Kak Embre sebenarnya adalah orang yang menyelamatkan kami semua dari sel-sel terkutuk itu. Dia menggiring banyak sekali anak-anak dan membopong orang yang terluka ketika kami mencoba kabur. Saat itu, NC masih menguasai tempat ini. Tapi Pyrolah yang mengusir NC. Amos pingsan karena kehilangan banyak darah saat Embre menggendongnya keluar dari sel tahanan kami, dan aku mengikutinya dari belakang. Tapi saudaraku yang tolol itu bangun saat keadaan sudah terlalu baik—NC sudah pergi, dan Pyro berada di puncak sebagai pahlawan yang membakar habis mayat para petugas. Pyro bahkan tak pernah peduli pada kami. Berapa kali pun aku menjelaskan kepada Amos bahwa Embrelah yang seharusnya menjadi pemimpin di sini, dia tetap memandang Pyro sebagai rajanya."

Aku menaikkan kakiku yang mulai menggigil kedinginan di bawah air, lalu memeluk lutut. "Rasanya, belakangan ini aku mudah ketakutan. Segala hal tampak seperti pembawa maut di mataku."

"Itu wajar saja, tapi setidaknya kau tidak sendirian." Iris beranjak berdiri, lalu menarikku bangkit bersamanya. "Kau butuh tidur. Dan kau butuh teman-temanmu sekarang. Untuk besok, kita lihat nanti. Kak Embre pasti punya jalan keluar."

Masih digandeng oleh Iris, sesekali aku terisak lagi. Ranselku terasa lebih berat dari biasanya, seolah kancing NC peninggalan ayah telah mendapat bobot tambahan dari sugestiku kepada sepatu Amos. Kepalaku penuh oleh sosok ayah yang berdarah-darah, Truck yang membiru, dan Alatas yang terkapar dengan luka bakar.

Iris mengantarku ke ruangan yang kami tempati pertama kali tiba di sini. Sel tempat para Calor menumpuk kami berempat seperti kayu bakar.

"Sudah, ya." Iris mengedipkan matanya lagi saat bertemu pandang dengan Alatas di dalam. "Selamat tidur semua."

Aku segera menyambar salah satu kantung tidur yang disediakan dan menempati pojok ruangan dekat pintu. Lilin yang menjadi satu-satunya penerangan ruangan kami berada di dekat Alatas. Dia duduk di atas kantung tidurnya, mengambil tempat di pojok kanan seberang pintu. Erion dan Truck di pojok kiri sisi satunya.

Pintu sel kami dibiarkan terbuka, obor menyala-nyala menerangi lorong.

Diam-diam, kuawasi Erion yang terus menguap di dalam kantung tidurnya, tetapi anak itu terus membelalakkan mata untuk menahan kantuk.

Truck di pojok satunya sudah memejam, tetapi kurasa dia belum tidur. Dia belum menggelontorkan suara mengoroknya yang memecah gendang telinga.

Sementara itu Alatas beberapa kali mencuri lihat ke arahku. Dia sudah mengenakan jaket baru dari para Calor, dan luka bakar pada lehernya memudar seolah semua itu hanya luka lama bertahun-tahun silam. Dia mengibas-ibaskan tangannya pada nyala lilin seperti anak kecil, memainkan liukan apinya, lalu meringis sendiri saat ujung jarinya dijilat api. Kenapa dia tidak pernah jera?!

Aku ingin menegurnya, atau memukul kepalanya, memperingatkannya untuk tidak memainkan satu-satunya sumber cahaya kami. Lalu, yang kutakutkan terjadi. Dengan satu kibasan tangannya yang agak terlalu kuat, lilin kami padam.

"ALATAS!" Truck langsung tahu siapa yang memainkan lilin.

Gelap! Erion memprotes, tetapi kemudian menambahkan. Tunggu, aku malah lebih enak tidur kalau lampu padam—biarkan saja gelap!

"Maaf," ringis Alatas. "A, aku bakal minta nyalakan lagi lilinnya."

Dia mungkin sudah berdiri dan melangkah karena tak lama kemudian terdengar suara klang! dan tong! juga brak!

"Kau Steeler, 'kan," desis Truck dalam kegelapan. "Seharusnya navigasimu lebih baik dalam ruangan logam."

"Justru karena semuanya logam, aku jadi bingung." Alatas menyahut.

Ketika Alatas berada di luar, Truck menyempatkan diri untuk bertanya padaku, "Mau sampai kapan kau merajuk begitu?"

Karena aku masih merajuk, aku menolak menjawabnya, tak peduli segatal apa pun aku kepingin membalasnya dengan kata-kata pedas.

Begitu Alatas kembali dengan lilin menyala, Erion sudah lelap. Dan Truck tahu-tahu mengorok. Padahal belum ada satu menit yang lalu dia bicara padaku.

Alatas dan aku sempat bertemu pandang, tetapi aku buru-buru membuang muka. Kupikir dia akan kembali ke pojoknya, memainkan api lilin, tetapi tidak. Ulahnya malah lebih gawat lagi.

Dia duduk di sisiku.

"Aku benar-benar minta maaf," bisiknya. "Aku sama sekali tak bermaksud membuatmu cemas. Aku hanya .... Badanku memang terasa remuk semua waktu itu. Aku bahkan sempat mengira mungkin aku sedang tidur untuk beberapa saat yang singkat. Saat sudah merasa agak baikan, awalnya aku mau bangun, tapi tiba-tiba kau menangis. Aku jadi ... aku bingung harus apa."

Yang bisa kusuarakan hanya, "Hm ...."

Selanjutnya, hanya kesunyian yang ada. Sayup-sayup, aku mendengar pikiran Alatas—cara lugunya menyusun kalimat bahwa dia menyesal yang kemudian ditepisnya sendiri. Akhirnya dia memutuskan untuk diam saja.

Aku melirik Alatas, hanya untuk mendapatinya yang juga tengah menatapku. Pandanganku kembali jatuh pada semua bekas luka yang luput tertutup oleh pakaiannya. Ingatanku melayang pada tubuhnya sebelum ini saat Truck menyingkap selimutnya—ternyata bekas pukulan dan luka gores serta tikaman yang dibawanya sebagai oleh-oleh dari Herde lebih parah dari dugaanku.

"Maaf aku memukulmu," kataku pelan.

Lorong begitu sepi lantaran suara mengorok Truck mendadak berhenti, hanya ada retih api hangat dari obor di lorong dan lilin di hadapan kami. Sesekali aku mendengar suara napas Alatas, serta suara napasku sendiri. Bahkan sepertinya aku mendengar suara jantungku yang bertalu-talu.

Apa dia mendengarnya juga? Apa Alatas bisa mendengar suara detak jantungku? Jarak kami hanya beberapa lapis udara, dari lengan atasnya ke bahuku.

"Aku cuma ..." lanjutku. "Saat kau terbaring begitu ... aku jadi teringat—"

Ayahku. Kutelan kata itu sebelum rasa panik mencekamku lagi.

"Kau juga sempat membuatku takut saat di arena," kata Alatas. Aku terkejut saat mendapati sedikit nada marah dalam suaranya. "Saat kau menempelkan senjata itu di kepalamu. Kau menempatkannya tepat di ...."—Tangan Alatas membuat gestur pistol dan menempelkannya tepat di antara kedua matanya.

"—tempat ayahmu tertembak," lanjutnya. "Untuk sesaat, kukira kau sungguhan hendak menarik pelatuk."

Untuk sesaat, aku memang ingin menarik pelatuk, tetapi kutelan kalimat itu.

"Jangan begitu lagi," kata Alatas defensif. Matanya mengamati lorong. "Kalau kau mati seperti itu ... buat apa ayahmu menyelamatkanmu?"

Kunaikkan kedua alisku. Alih-alih merasa sebal, aku malah takjub. "Kau sedang memarahiku?"

"Eh, tidak," tukasnya cepat. Suaranya melunak lagi, dan tatapannya yang kini terarah padaku melembut. "Aku tidak bermaksud memarahimu. Sungguh."

Aku membuang muka agar dia tak menyadariku menahan senyum geli. "Aku masih marah padamu—kau tidak boleh balas memarahiku seperti itu."

Kugigit bibirku keras-keras lantaran tawaku nyaris lolos saat dia terdengar gugup. "Eh, i—iya, oke .... Maaf ...."

Hening mendekap lagi. Alatas meluruskan kakinya, lalu menekuknya lagi. Mau tak mau aku jadi memperhatikan postur kakinya yang berbeda sebelah. Gips kakinya sudah dilepas karena kami membawa-bawa Cyone, tetapi tampaknya kaki yang patah akan tetap meninggalkan bekas.

"Kau mau membicarakannya?" bisik Alatas tiba-tiba. "Tentang apa yang terjadi denganmu dan ayahmu?"

"Aku akan membanjiri sarang Calor dengan air mata."

"Tidak apa-apa. Aku pandai berenang."

Aku hampir tertawa. "Tapi, aku tidak bisa berenang."

Hening sebentar. Mata Alatas kembali menelaah liukan lilin.

Sebelum dia kumat mengibas-ibas sumber cahaya kami lagi, aku memulai, "Aku ... kabur dari rumah, meski aku tak berniat begitu."

Kutolehkan kepalaku untuk memastikan dia menyimak. Dan memang itulah yang dilakukannya. Cahaya lilin memantulkan dua warna berbeda dari lensa matanya, tetapi sama hangatnya.

"Aku dan ayahku bertengkar tentang hal yang, setelah kupikir lagi, sangat sepele," lanjutku. "Jadi, aku pergi karena kesal padanya. Kupikir aku akan pulang tengah hari. Tapi ... rupanya saat itu bertepatan dengan para Icore yang menyerang pesisir. Ada seorang anak yang memperingatkanku untuk tak pergi ke Garis Merah, namanya Aaron, tetapi aku memandangnya sebelah mata. Dia berkebutuhan khusus, dan aku benar-benar malu jika mengingat lagi—aku benar-benar jahat padanya saat itu. Lalu, saat semuanya runtuh ... ya, kau tahu kelanjutannya."

Samar, kulihat Alatas mengangguk. Dia tidak tampak akan menyela, jadi aku meneruskan, "Saat kalian menyangka bahwa ada sisa radiasi di reruntuhan itu ... ternyata tidak begitu."

Kisah itu keluar begitu saja, seperti muntahan yang terlalu lama kutahan.

Lantaran Alatas tak menyela sama sekali, kata demi kata mulai berhamburan dari mulutku. Ayah, Ra, Sir Ted, hubungan mereka dengan Bintara dan NC, sel-sel tempat aku dijebloskan oleh Bintara, pertemuanku dengan Pascal, sumur gua tempat pengasingan ayah, Pavlov yang diekstrak dari Brainware, penyemaian Fervent, sampai rencana mengerikan Bintara.

Pada bagian di mana ayah yang akan menyemaiku, tangisanku mulai pecah lagi. Aku mesti mencengkram lututku sesekali untuk melampiaskan rasa panik.

Sekilas dari tirai air mata, aku mendapati Truck membuka matanya. Namun, dia tidak berkata apa-apa. Kaget kutangkap basah, dia buru-buru memejamkan matanya lagi. Dia mungkin mendengarkan sejak tadi.

"Lalu ... pistol itu—dia arahkan ke kepalanya sendiri."

Kuremas kedua tanganku sendiri, dan sekujur tubuhku mulai bertingkah seperti mesin kelotok yang rusak, bergetar tak terkendali.

Tangan Alatas jatuh di atas tanganku, dan tubuhku berhenti gemetaran.

Aku menjeda cerita sebentar untuk menarik napas. Tanpa sadar, aku mencengkram tangan Alatas dengan kuat. Aku mungkin mencakar punggung tangannya juga, tetapi Alatas bergeming.

Terisak-isak, aku melanjutkan, "Padahal dia punya kesempatan—satu detik—untuk mengarahkan—tembakannya ke tempat lain. Tapi—tidak ... dia tidak melakukannya. Hanya demi—agar—dia—tidak membunuhku di bawah pengaruh Pavlov ... ayahku—membunuh dirinya lebih dulu."

Kubenamkan wajahku ke atas lutut, mencoba menghilangkan ingatan itu—saat-saat ayahku menekan pelatuk dan peluru menembus batok kepalanya.

"A—air mataku tidak bisa berhenti ..." isakku. "Bagaimana ini?"

"Kalau kau menahannya, kau akan merasa panik terus, Leila."

Aku tak tahu bagaimana Alatas menyadarinya—bahwa belakangan ini aku terus-terusan merasa panik. Mudah histeris. Kemarahan Truck masuk dengan mudah ke kepalaku melalui Brainware tempo hari, sebuah lagu anak-anak yang sepele membuatku hampir gila, dan aku seringkali mendapati diriku bertanya-tanya, Sebenarnya yang berada di balik batok kepalaku ini otak siapa?

Tubuhku gemetar dan lemas seperti orang kelaparan, tetapi perutku mengkal seperti hendak memuntuhkan seluruh isinya. Sebagian besar waktu, aku ingin berteriak dan berlari tanpa henti, lalu kebingungan sendiri akan alasannya. Saat terkungkung di ruangan sempit, saat memegang senjata api, atau saat melihat seseorang terbaring tak bergerak ... rasanya aku selalu melihat ayah.

"Harusnya aku lebih berguna," isakku. "Harusnya aku tidak kabur. Harus—"

"Harusnya kita tidak berada di sini, 'kan," potong Alatas. "Harusnya aku di rumah, bersama keluargaku, menemani kakak-kakakku cari uang dan sibuk memikirkan orang tuaku yang menua terlalu cepat. Harusnya Truck sekarang sekolah, menyelesaikan kelas 12 SMA dan lulus, berambisi jadi profesor yang tersohor karena badannya mirip petinju atau semacamnya. Harusnya Erion bermain sepak bola dengan anak seumurannya. Harusnya kau di lingkunganmu, berpacaran dengan entah siapa, lalu mengobrol dengan teman-teman perempuanmu, sementara ayah dan ibumu yang menunggu dengan cemas karena kau melanggar jam malam."

Jeda sesaat. Kudengar Alatas mendesah, napasnya terasa panas di telingaku.

"Tapi, tidak. Kita malah bergelimpangan di lantai yang dingin, di sarang orang-orang yang bisa terbakar sendiri. Truck mengorok dan tampak seperti pria beranak sepuluh setelah tadi sempat mengalami henti jantung, Erion baru saja menyebabkan henti jantung itu dan menangisi kematianku, kau menangisi ayahmu, dan aku masih tak bisa tidur walau aku ingin. Jadi, Leila,"—aku terkesiap saat jemari Alatas menyelipkan beberapa helai kusut rambutku ke balik telinga—"kalau kau terus menyesali apa yang harusnya terjadi, tidak akan ada habisnya."

Kuseka wajahku yang sembap. Selama Alatas berbicara, entah bagaimana aku menjadi lebih tenang. "Kau juga—pernah mengalaminya?" Kuberanikan diriku bertanya. "Merasa panik tanpa alasan jelas?"

"Ketika aku masih di Herde—setiap saat," jawabnya. "Tapi segalanya membaik setelah aku mengenal Truck. Lalu, kami bertemu Erion—rasanya, jadi lebih mudah bagiku untuk menjalani hidup. Lalu, ada kau."

"Kalau dipikir lagi, aku tidak pernah benar-benar mengucapkan terima kasih saat kau mengeluarkanku dari reruntuhan itu," kataku seraya bersandar di sisinya. "Terima kasih, Alatas—apa itu cukup?"

"Aku bisa menerima ciuman di pipi sebagai tambahan."

"Aku masih marah karena kau pura-pura mati."

Alatas mengerucutkan pipinya, tersenyum malu seolah aku baru memujinya.

Kita semua memang rusak. Aku teringat perkataan Truck di gorong-gorong. Cewek bahagia sepertimu, yang selama ini tinggal di Kompleks, mana mengerti?!

Dia benar. Aku tidak pernah mengerti rasanya dipisahkan dari keluarga di usia dini. Aku tidak pernah mengerti rasanya tidak memiliki tujuan atau rumah untuk pulang. Ayahku tiada, tetapi aku masih punya ibu.

"Bagaimana caramu bertahan?" tanyaku, masih tersengal dan cegukan sesekali. "Maksudku, berada jauh dari keluargamu atau melihat banyak orang mati di Herde dan Garis Merah?"

Atau bertahan dari pemikiran bahwa keluargamu sudah tidak mengingat eksistensimu lagi? Namun, aku tidak tega melontarkan pertanyaan itu.

"Aku biasanya memikirkan yang bagus-bagus tentang mereka. Aku berusaha untuk tidak mengingat bagaimana seseorang mati, atau bagaimana cara kami terpisah, tapi lebih pada momen-momen yang bagus. Ingatan-ingatan yang membuatku kangen dan merasa senang."

Aku menurunkan kepalaku, mencari posisi nyaman di lengannya sementara Alatas mulai mengoceh dalam bisikan.

"Misal ... saat aku dan teman-teman sekabinku mengerjai Agen Herde dan kami terbahak sampai kena hukuman—Truck marah sekali karena dia ikut kena hukum. Atau ... saat Aldebaran—adikku—dan aku menjebol jendela tetangga kami dengan bola sepak, dan kami menyalahkan Alfi, kakak tertua kami. Atau saat Alya, kakak perempuanku, menyelipkan selembar uang jajan ekstra ke tanganku setelah aku membantunya mencuci pakaian .... Juga saat aku menceritakan lelucon, dan bapakku baru tertawa tiga menit setelahnya .... Atau saat ibuku—ibuku ... membiarkanku tidur di pangkuannya, meski aku sudah 14 tahun saat itu. A, aku melelehkan gagang pintu depan rumah kami, membuatku nyaris ketahuan tetangga, dan ibu berkata bahwa aku bakal baik-baik saja, dan orang Herde tidak akan bisa merenggutku darinya ...."

Suaranya agak pecah. Aku mendongak untuk melihatnya, tetapi Alatas memalingkan muka.

Tangannya masih menangkup tanganku, dan aku teringat suatu hari Ayah menggandeng tanganku ke jalan depan Kompleks 2 di Pulau Lama untuk membelikanku sesuatu, untuk menghiburku agar aku berhenti menangisi rumah lama kami.

Aku teringat saat umurku 15, dan ibu sedang berusaha mengajariku tentang sifat atom—sekolah pribadiku di rumah. Ayah memberi contoh yang bagus dengan kacang polong dan memutar-mutarnya untuk menirukan proton dan elektron. Sikuku menyenggol mangkuk kacang hingga tumpah, tetapi, alih-alih marah, ayah malah mengajakku perang lempar kacang. Ibu seperti akan pingsan melihat kami memainkan makanan.

Ketegangan mulai terurai, dan rasanya aku seolah berada di rumah. Aku merasakan Brainware menguak, tetapi tidak lagi liar seperti sebelumnya. Untuk pertama kalinya, Brainware-ku dengan stabil menyusup ke pikiran tiga orang sekaligus—Erion, Alatas, dan Truck.

Erion yang paling jelas, seperti biasa, dan dia sedang bermimpi berenang di antara sayuran segar. Jarang sekali ada bocah yang memimpikan sayuran tampak seindah itu. Tampaknya Erion makan apa saja yang menurutnya bisa dikunyah dan ditelan.

Alatas terasa jernih dan ringan, dan dia sungguh memikirkan semua hal yang baik-baik dari orang-orang yang pernah dikenalnya.

Truck masih pura-pura tidur. Pikirannya masih terasa samar-samar seolah dia masih mencoba menolakku, tetapi ada celah di mana pria itu kini bukan lagi sekadar menoleransi, melainkan mulai menerima kehadiranku di antara mereka.

Aku mendengar ketenangan mereka bahwa, apa pun yang akan terjadi besok, setidaknya kami masih hidup. Aku merasakan kelegaan ketiganya bahwa kami masih lengkap.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


SURVEY BENTAR

MOHON LUANGKAN WAKTU UNTUK MENJAWAB

RavAges ini kan sangat panjang karena saya ngetiknya nafsuan ngegas dan ga ada remnya,
dan kalau dipaksakan dalam satu buku bisa-bisa berojolan jelek dan banyak adegan terpotong.

Jadi, kalau RavAges terbit dalam bentuk series (dibagi ke dalam beberapa buku), apa masih ada yang beli? Mohon acung tangan dan kakinya kalau masih mau beli '-')/

(Tentu saya akan usahakan agar uang kalian nda sia-sia dengan menambahkan adegan2 atau detail2 yang tak ada di versi wattpad)

Maukah kalian berbaik hati membantu saya promosi-promosi ke teman-teman kalian andai kata buku ini terbit?  Mohon acung tangan dan kakinya kalau kalian orang baik itu '-')/


SEKIAN

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro